BAB 19

1291 Kata
Mimpi indah yang tidak akan pernah menjadi kenyataan selalu memberikan kesakitan yang membuatku putus asa dan tidak ingin lagi hidup. Kesehatanku sudah memulih sepenuhnya. Aku sudah menjadi diriku, seolah luka-luka dan cidera yang aku rasakan sebelumnya hanyalah mimpi semata. Namun, semua tidak seperti yang aku inginkan. Aku sekarang bukan lagi Nisa yang dulu, aku hanyalah tahanan yang siap untuk dibunuh kapan saja. Denis masih seperti biasanya, jahat dan baik dalam waktu yang bersamaan. Aku sama sekali tidak mengerti, mengapa dia hanya mengamati, tidak berbuat apapun, padahal setiap kali bertemu, yang dikatakannya hanyalah membunuh dan membunuhku. Namun, dia sama sekali tidak melakukannya, seolah dia bersenang-senang dengan kematianku. Aku tidak suka itu. Sama sekali tidak suka. Aku menatap pisau buah yang berada di depanku, saat ini aku sedang mengupas apel sembari menonton “aksi penjagalan” yang Denis rekam dan tunjukkan padaku. Entah sejak kapan, aku sudah kehilangan rasa kasihan dan empati untuk para korban di sana. Aku merasa tidak pantas mengasihani mereka di saat aku tidak bisa berbuat apa-apa dan mengalami penyiksaan yang sama. Bedanya, mereka sudah mati sedangkan aku tidak. Aku masih menunggu kematianku, tetapi Denis, iblis jahat itu, sepertinya tidak berniat sama sekali tidak membunuhku. Aku merasa, hidupku hanyalah permainan yang membuat Denis tidak merasa bosan dengan hidupnya. Aku benci mengakuinya, tetapi keadaanku tidak lebih baik atau beruntung daripada para korban yang sudah dibunuhnya. Bahkan, aku ingin menjadi korbannya, setidaknya, kematian jauh lebih indah daripada terkurung di sini dengan penyiksaan yang tiada berakhir dan mungkin tidak akan pernah berakhir. “Wajahmu tampak pucat, Sayang.” Aku menoleh menatap lelaki jahat yang kini menyeringai. Dia baru saja datang. Pakaiannya rapi, tetapi aku tahu dia baru saja mendapatkan korban baru. Bagaimana dia menyeringai, kebahagian di pancaran matanya dan kata-kata sayangnya barusan merupakan bukti kalau dia baru selesai memangsa. Aku tidak bergerak dari tempat dudukku. Aku benci menyambutnya dan dia tidak pernah ingin disambut, terkecuali, dia memang ingin bermain dan membunuhku dengan niat yang sama sekali tidak serius. Dia mempertahanku tetap hidup, semata-mata untuk berakting di depan orang-orang, terutama ayahku, di mana dia memanfaat kami untuk membangun citra yang baik di masyarakat. Padahal, dia adalah monster kejam yang sudah membunuh banyak orang, tidak peduli jenis kelaminnya. Dia hanya membunuh dan menargetkan seseorang dengan sponstan dan tanpa alasan yang jelas. Terkadang, aku ingin membedah otaknya, mencari tahu apa isi kepalanya. Namun, aku tidak akan sanggup melakukan itu. Dia adalah Denis, sang iblis, aku tidak akan menang melawannya. Sekuat apapun aku berusaha. Dia tidak akan pernah bisa dilawan. Never. Aku bukan Nisa yang naïf yang masih tidak sadar diri kalau aku dan Denis memang tidak sebanding. Bagaimanpun aku berusaha, aku tidak akan pernah menang darinya. Saat aku dan Ferdi, kemungkinan kami untuk menang, mungkin masih ada, tetapi keadaan sudah tidak sama lagi. Aku sudah kehilangan Ferdi. Walau dia tidak meninggal dunia, Denis akan membunuhnya jika aku berhubungan atau bertemu dengan Ferdi lagi. Jadi, aku memutuskan komunikasi dengannya, sama sekali aku tidak pernah menemuinya. Mendengar kabarnya pun tidak pernah dan tidak bertanya, pada ayah atau siapapun. Aku tidak mau Denis tahu, marah lalu mencelakainya. Tidak. Ferdi harus hidup. Dia sudah kehilangan jarinya karena aku. Oleh sebab itu, aku tidak mau dia kehilangan apapun lagi. Dia pantas bahagia meskipun bukan denganku atau mungkin dia memang seharusnya tidak boleh bertemu atau masuk ke dalam hidupku sama sekali. Aku hanya membuatnya menderita, terluka dan nyaris mati. Dia akan dalam bahaya jika aku tetap berusaha mendekatinya. Seperti mimpiku dulu, aku ditakdirkan untuk menikah dan mati di tangan Denis. Itu takdir yang sudah ditentukan, aku tidak akan bisa melawan sekuat apapun usahaku untuk menolak kenyataan, yang aku dapatkan hanyalah kegagalan. Aku tidak mau lagi berusaha, sudah putus asa. Aku menatap pisau buah di tanganku, kulit dan daging buahnya sudah dikupas, tidak ada yang tersisa untuk dimakan. Rasanya, aku ingin menancapkan pisau buah itu ke leherku lalu mati. Dengan begitu, aku akan lepas dari segala penderitaan ini. “Jangan berpikir bodoh, Nisa.” Aku mendongak, menatap Denis yang sudah berada di depanku. Dia menyunggingkan senyuman menyeramkan, duduk di sebelahku, meraih pisau buahku dengan cepat dan melemparkannya jauh. Mata kami bertatap dengan lekat, hambar, rasanya, hidup ini terasa begitu hampa. Wajah yang dulu sempat membuatku jatuh cinta, kini hanya membuatku merasa sesak dan ingin mati. Air mataku tiba-tiba menetes, entah karena apa. Aku tidak tahu, rasanya, aku hanya kecewa dengan segala keadaan dan kenyataan yang terjadi di antara kami. Aku muak dengan hidupku yang sekarang. Walau ayahku melihatku bahagia, aku tidak merasa begitu sama sekali. Aku terluka, menderita dan sudah gila. “Aku suka air mata dan ekspresimu saat ini, Nisa,” puji Denis lalu menarikku ke arahnya, mendekatkan wajah kami di mana dia memberikan kecupan singkat di bibirku. Aku terdiam, tidak membalas dan sama sekali tidak berniat melakukannya. Aku memang sudah gila, tetapi menyukainya setelah apa yang terjadi, sepertinya akan membuatku benar-benar kehilangan kewarasan sama sekali. Insine. “Dingin sekali,” katanya lalu memelukku. “Apa kamu bersenang-senang hari ini?” Pertanyaan konyol. Bagaimana aku melakukan hal yang menyenangkan, jika aku hanya di kamar, duduk menonton video memuakkan dengan kaki terantai dan CCTV di mana-mana. Dia memang sudah kehilangan otaknya. Dipikirannya sepertinya, kesengsaraanku adalah kebahagian baginya. Aku benci mengakuinya, tetapi aku muak dengan semua yang dilakukannya. Aku benci padanya. Sangat benci. Aku memberontak, melayang tinju padanya tetapi berhasil ditahan. Dia semakin bersemangat saat aku berusaha menyerangnya lagi dan lagi. Cukup bersennang-senang, dia membantingku ke lantai, membuatku terkapar dengan posisi terlentang. Segera dia menindih tubuhku membuatku terdiam, beku, teringat de javu. Aku melebarkan puil mata saat Denis mengeluarkan sebilah pisau yang terlihat tajam dan menyilaukan dari balik jaket yang dikenakannya. Dia menyeringai lebar dan apa yang dilakukannya selanjutnya sanggup membuatku ingin segera kena serangan jantung agar kematianku tidak berlangsung panjang dan menyakitkan. Jika benar-benar harus mati, kematian yang menyakitkan, bukanlah impianku. Aku pernah melihat hal seperti ini di salah satu video yang ditunjukkannya padaku, di mana dia menikam korbannya berkali-kali , tetapi bukan di bagian tubuh yang fatal sehingga korbannya mengerang kesakitan dan tidak segera mati. Aku menutup mata saat melihat Denis mengacungkan pisaunya tinggi-tinggi, bersiap untuk mati—entah ditikam, dipotong, disayat atau apapun cara yang Denis gunakan untuk menyiksaku, aku harap itu membuatku mati dengan cepat. Semoga. Waktu berlalu dan aku cukup tidak sabar hingga membuka mataku lagi. Aku pandang Denis yang kini menatapku dengan sorot mata yang tidak asing. Sorot mata yang sama dengan saat dia masih menjadi cowok kampret yang selalu ada untukku. Mungkinkah..? Apa itu mungkin? Kami bertatapan cukup lama. Dia kemudian tersenyum manis. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali melihat senyuman yang membuatku jatuh cinta padanya bertahun-tahun yang lalu. “Larilah!” suruhnya. “Selagi aku belum merubah pikiranku!” Aku tercenung beberapa saat lalu segera menguasai diriku untuk segera membaca situasi. Ini adalah kesempatanku untuk melarikan diri. “Tunggu apa lagi? Pergilah!” Aku masih terdiam, sadar kalau dia hanya mempermainkanku. Dia masih menindihku, juga menahanku dengan berat tubuhnya, dia tidak benar-benar serius dengan apa yang dikatakannya. Aku merasa bodoh karena sempat tertipu dan percaya dengan apa yang dikatakannya barusan. “Kamu adalah istriku, jangan mencoba untuk mati tanpa izinku, Nisa.” Denis menatapku dengan mata dingin, kelam dan seram. Aku menelan ludah pahit. Bulu kudukku meremang sempurna, ketakutan. “Istirahatlah, besok kita akan pergi berwisata.” Denis bangun, berdiri congkak seolah menegaskan kalau dia adalah raja dan aku hanyalah tahanan. “Jangan berpikiran untuk membunuh dirimu. Jika tidak, aku akan membantai semua orang yang mengenalmu, mengerti?” Aku hanya diam, air mataku meleleh lagi. Dia pun pergi, meninggalkan kamar yang kecil dan pengap ini. Aku benci di sini. Aku ingin mati. Sayangnya, aku tidak bisa melakukan hal yang paling aku inginkan tersebut hari ini. Hal itu hanya akan membahayakan semua orang. Aku harus bertahan dan berharap aku akan mati secara alami. Semoga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN