BAB 20

1745 Kata
Saat aku bangun, Denis sudah berada di kamarku. Dia membuka rantai kakiku dengan senyuman yang tidak pernah hilang dari bibirnya. Aku mengerti, tentang hari ini. Selasa, adalah hari kebebasanku. Hari di mana ayahku akan datang berkunjung ke rumah kami, lebih tepatnya rumah Denis, untuk mengunjungiku. Jika sudah begitu, dia akan melepaskanku dalam sehari, membiarkanku merasakan udara segar untuk sejenak. Walau begitu, aku sama sekali tidak ingin melarikan diri. Ayahku pasti akan dibunuh olehnya jika aku melakukan hal itu. Aku tidak mau lagi melakukan kesalahan yang hanya akan membuatku dan orang yang aku sayangi kehilangan nyawa. Cukup aku kehilangan Ferdi, jangan ayahku. Aku tidak akan sanggup hidup dengan menanggung rasa bersalah seumur hidupku. Tidak akan pernah bisa. itu sebabnya, aku berhati-hati. Tidak ada waktu untuk melakukan kesalahan. Sebab, sekecil apapun kesalahan yang diperbuat olehku, hal itu sudah seperti dosa besar di mana Denis. Aku tidak mau menantang iblis. Dia pasti akan marah dan membalasku lebih buruk dari kemungkinan terburuk yang bisa aku bayangkan.  Monster sepertinya pasti akan melakukan tindakan keji dan menyakitkan untuk membalasku. Aku tidak mau mengalami kematian yang menyakitkan. Cukup hidupku saja yang sulit dan menyedihkan. Kematianku seharusnya menjadi surga, bukan neraka. Aku tidak mau mati konyol dan mengkhianati segala usahaku untuk melindungi orang-orang yang aku sayangi. Melawan Denis, tentu bukan jalan keluar. Aku sudah pernah melakukannya dan gagal. Aku belum kehilangan otakku untuk mencobanya lagi. Aku sudah berusaha, berkali-kali, tetapi perbedaan kekuatan di antara kami terlihat jelas dan sangat jauh. Aku tidak akan bisa mengalahkannya. Tidak akan bisa. Aku sudah mengakuinya sekarang. Meskipun seharusnya aku lakukan dari dulu.             Aku hanya diam, tidak melawan atau berontak, saat para pelayan datang, memandikan, memakaikan pakaian bagus dan rapi, serta mendadaniku sedemikian rupa. Mereka juga tidak bicara, hanya bekerja dan menjalankan tugas semata, tidak ingin mati konyol karena empati tidak berguna mereka padaku. Aku hanya boneka bagi Denis, mangsa lemah yang bisa dipermainkan olehnya sesuka hati. Aku benci untuk mengakuinya, tetapi kenyataannya memang seperti itu adanya.             Setelah selesai, para pelayan itu pun pergi, tinggallah kini aku dan Denis. Aku tidak lagi terperangkap dalam kamar sempit dan pengap. Aku sudah berada di kamar yang dulu pernah menjadi saksi malam pertama berdarah di antara kami. Aku sempat akan mati saat itu, tetapi Denis menyelamatkanku. Bukan karena dia mencintai atau tidak ingin kehilanganku, dia hanya tidak mau mangsa yang sudah diburunya sejak dulu mati dengan mudah. Dia sedang bermain-main dengan hidupku dan aku tidak bisa melakukan apapun untuk melawan atau menghentikannya. Aku sudah berusaha dan tidak ada yang bisa aku lakukan saat kegagalan selalu menjadi akhir dari usaha yang aku lakukan selama ini. Aku benci berusaha keras, sekarang aku hanya pasrah saja. Dengan kata lain, seorang Annisa Sofiana sudah putus asa untuk melakukan perlawanan. Sebab, manusia tidak akan  pernah menang dalam perang melawan iblis atau monster berwujud manusia seperti Denis. Never.             “Kamu cantik sekali, Nisa,” puji Denis sembari mengaitkan rambutku sedikit ke telinga. Dia tersenyum manis, siap berakting sebagai suami yang baik hari ini. Sebentar lagi ayahku akan datang dan melihatku. Jadi, aku juga harus berakring seolah telah bahagia, padahal sama sekali tidak.             “Jangan menampakkan wajah seperti ini saat ayahmu datang.” Sorot mata Denis mendadak dingin. “Aku akan membunuh kalian jika dia sampai curiga.”             Aku segera merubah ekspresiku, memaksakan diri untuk tersenyum.,             “Bagus, kamu memang boneka terbaik, Nisa,” pujinya sekali lagi. Dia menarikku mendekat, memelukku dengan erat. Aku terpaksa membalas pelukannya, meskipun enggan. Jijik, perasaan itu seolah kebal dari jiwaku, membuatku memeluknya tanpa rasa, seolah sedang memeluk sebatang pohon, bukan manusia. Walau Denis, tentu bisa dibilang sudah bukan manusia. Dia adalah iblis. Tidak! Dia adalah raja iblis dan monster!             Pukul Sembilan lewat sedikit, aku berdiri di depan pintu, menunggu kedatangan ayah. Saat ayahku datang, Denis selalu menyingkirkan semua pelayannya. Tidak, mereka tidak dibunuh, hanya diminta untuk diam di kamar dan tidak pernah keluar sampai Denis memerintahkan mereka untuk keluar. Jika melanggar, Denis akan membunuh mereka. Anehnya, tidak ada dari mereka yang berusaha untuk melawan atau menolong teman mereka. Mereka sangat takut dengan Denis. Aku juga, tetapi tetap penasaran kenapa mereka tidak bersatu dan melawan Denis? Setidaknya, mungkin, mereka memiliki harapan untuk menang. Meski aku tidak terlalu yakin dengan itu. Namun, aku tidak akan pernah menyuarakan isi hatiku tersebut. Aku tidak mau terjadi hal yang buruk pada mereka. Aku tidak akan berhenti menyalahkan diri sendiri jika sampai hal itu terjadi.             Ayahku datang setelah beberapa lama aku menunggu. Beliau memang selalu datang tepat waktu. Bisa saja, dia mengunjungiku kapan saja, tetapi Denis tidak mengizinkan. Ayahku juga tidak terlalu mempermasalahkan jika harus datang setiap Selasa. Yang terpenting baginya, adalah melihatku sehat dan bahagia. Mungkin, itu adalah salah satu alasan mengapa Denis tidak membunuhku. Dia sudah berjanji pada ayahku. Walau sulit rasanya seorang pembunuh menepati janjinya. Saat aku sekarat karenanya dulu, dia juga tidak pernah meninggalkanku. Walau dalam keadaan kritis, aku tahu, Denis selalu datang dan menemaniku setiap hari. Dia mengatakan kami sedang berbulan madu pada ayahku sehingga beliau tidak terlalu curiga, meskipun Denis sama sekali tidak memperdengarkan suaraku pada ayah dengan berbagai macam alasan manis yang diucapkannya. Mungkin, kepercayaan ayah pada Denis sudah sangat besar sehingga tidak ada kecurigaan sedikit pun pada menantunya yang seorang monster. Sejak dulu, memang, mereka sangat dekat dan semua ini adalah salahku karena membuat ayahku mengenal seorang Denis Aditya. Seharusnya, aku tidak pernah berurusan dengannya. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sungguh sangat menyebalkan.             Aku segera memeluk ayah begitu kami bertemu. Kami mengobrol, berbasa-basi sebentar, lalu aku membawanya masuk, menemui Denis yang segera keluar dari kamar, menyambut kedatangan ayahku. Mereka berbicara dengan santai dan akrab. Dari luar, tidak akan ada yang menduga kalau seekor domba yang terlihat jinak sebenarnya adalah seekor citah yang siap menerkam kapan saja. Aku dan ayah bukan domba, kami rusa, yang berusaha lari tetapi selalu tertangkap oleh citah yang memang sangat cepat dan tanggap. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi mangsa dan predator tidak akan pernah bisa berteman. Walau aku dan Denis tinggal di rumah yang sama, aku tidak lebih dari sekadar mangsa, mainan dan bonekanya semata. Dia menggunakanku sebagai tameng dan sebagai alat untuk bersenang-senang. Ini menyedihkan, tetapi sekali lagi, aku tidak berdaya. Aku tidka bisa berbuat apapun untuk keluar dari sini. Mengadu pada ayah pun percuma, segala kode akan diketahui dan  itu artinya riwayatku dan ayah akan tamat. Hal mengerikan itu tidak boleh terjadi. Aku sudah cukup melihat kengerian pembunuhan dari video yang Denis rekam, aku tidak mau melihatnya secara langsung, apalagi jika korbannya adalah orang yang aku kenal dan sayangi. Aku tidak mau melihat hal seperti itu lagi. Tidak akan pernah!             Selepas mengobrol cukup lama, Denis mengajak kami untuk makan siang. Segalanya sudah dipersiapkan pelayan tadi. Jadi, aku hanya melayani saja. Denis dan ayahku terlihat sangat dekat dan akrab. Setelah makan, Denis memohon diri, ada urusan. Sebelum pergi, dia memelukku dan berbisik, “Aku memantau semuanya dengan CCTV dan alat penyadap, jangan pernah berpikir untuk melarikan diri atau menceritakan semua pada ayahmu. Jika tidak, aku berjanji akan membunuh semua orang yang kamu sayangi, lalu membawa kepalanya padamu. Kamu mengerti?”             Aku hanya mengangguk mengerti sembari mencoba tersenyum karena ayahku melihat kami, meskipun tidak mendengar apa yang baru saja Denis katakana barusan. Jika mendengar, Denis pasti tidak akan membiarkannya.             “Nikmati waktu kalian. Ayah, aku pergi, maaf tidak bisa menemani lama,” pamit Denis merasa sedikit tidak enak.             Ayahku hanya mengatakan tidak masalah, dan meminta Denis untuk berhati-hati. Suamiku itu mengangguk mengiyakan lalu pergi. Selepas Denis pergi ayah melihatku dengan seksama.             “Kamu bertambah kurus, apa Denis tidak membiarkanmu makan?” tanya ayah dengan serius.             Aku menggeleng, “Nisa makan tiga kali sehari, kok,” sanggahku.             “Benar??” Ayah masih ragu.             Aku mengangguk mengiyakan, “Benar, Yah. Jangan khawatir.”             Ayah pun menghela napas lega lalu memintaku menceritakan banyak hal, juga melepaskan rindunya padaku sepenuhnya. Sebab, seharian ini, kami bisa bertemu dan mengobrol. Akan perlu waktu 6 hari lagi untuk ayah menemuiku lagi. Jadi, kami akan menghabiskan waktu bersama. Lagipula, aku tidak tahu, apakah ini akan menjadi Selasa terakhir kami bertemu atau tidak. Aku akan mati, meskipun Denis berusaha untuk tidak membuatku mati. Apa yang dilakukannya, akan membuatku mati muda. Meskipun aku tidak mati-mati juga meskipun sudah hampir enam bulan kami menikah. Ini memuakkan dan menyebalkan, tetapi firasatku mengatakan, penderitaan ini akan segera berakhir.             Aku seorang watcher, tetapi sepertinya kemampuan itu sudah tidak ada lagi. Selama menikah dengan Denis, aku sama sekali tidak melihat kematian siapapun, terakhir, aku hanya melihat kematianku sendiri. Meskipun, kenyataannya, aku tidak mati, masih selamat karena Denis menyelamatkanku. Dia yang membuatku sekarat, dia juga yang membuatku sehat. Sungguh kenyataan yang ironis dan tragis.             “Apa kamu tidak bisa pulang? Ayah sangat ingin kamu di rumah ayah, bukan di sini,” ucap ayah membuatku sedikit panik. Akan sangat gawat jika ayah mengatakan hal seperti itu, seolah ingin membawaku pergi dari sini. Denis pasti akan sangat marah.             “Yah, Nisa sudah bilang, itu tidak bisa,” kataku mencoba untuk tidak terlihat panik.             “Apa Denis melarangmu?”             Aku menggeleng cepat, “Aku akan membicarakannya dengan Denis, oke? Untuk sekarang, mari kita membahas yang lain.” Aku menyarankan, mencoba mengarahkan pembicaraan kami.             Ayah tertegun sejenak, tetapi mengangguk mengiyakan permintaanku. Aku menghela napas lega lalu memeluk ayah dengan erat. Ayahku itu terlihat sedikit tidak sehat. Aku menanyakan bagaimana harinya selama aku tidak disampinganya dan ayah bilang, dia sangat merindukanku. Meskipun setiap Selasa kami bertemu, ayah ingin melihatku pulang dan menjaganya. Namun, permintaan itu sepertinya akan sangat sulit diwujudkan.             Malamnya, Denis belum pulang. Namun, ini sudah waktunya pulang. Seorang supir datang, menjemput ayahku. Setiap mau ke sini, Denis memang selalu menyiapkan kendaraan pribadi sekaligus supirnya untuk ayah. Mau tidak mau, ayah pun pergi, meskipun dia terlihat snagat sungkan, enggan dan berat hati. Namun, aku terus membujuknya sehingga ayah pun mau.             Setelah kepulangan ayah, Denis datang tak lama kemudian. Dia menarikku masuk ke kamar sempit itu. Di sana, kakiku di rantai, hanya bisa melangkah sepanjang kamar, di mana di sana hanya ada kasur, televise, pemutar video dan kamar mandi. Sangat menyesakkan di sana, tetapi ini mungkin lebih baik daripada dipasung di sepetak tempat.             “Denis, ayahku tadi bilang…”             Denis meletakkan jari telunjuknya di bibirku, “Aku sudah mendengarnya,” katanya lembut. “Mendadak, aku ingin tubuhmu malam ini.”             Aku tercekat, “Apa terjadi sesuatu?”             Denis tidak menjawab, hanya terus menjamahiku membuatku mau tidak mau menutup mataku, membiarkannya melakukan apapun tanpa berniat melawannya. Dia suamiku. Terpaksa atau tidak, sudah kewajibanku melayaninya. Malam ini akan lebih panjang. Ah, aku benci mengakuinya, tetapi aku suka menyukai sentuhannya. Sungguh, tubuh dan hati sialan! Aku benci diriku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN