BAB 24

1684 Kata
DENIS’S POV             Saat pertama kali bertemu dengan Annisa, aku merasa dia berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus membuatku penasaran dan selalu ingin mengawasiku. Pada awalnya, aku ingin membunuhnya, sama seperti yang aku lakukan biasanya, termasuk pada Mia, sahabat Nisa sekaligus perempuan yang selalu mengaku kalau dia menyukaiku. Perasaan semacam itu hanyalah tipuan logika. Dia tidak benar-benar mencintaiku. Saat dia akan mati pun, permohonan terakhirnya adalah agar aku membiarkan Nisa hidup. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa memikirkan nyawa orang lain saat dirinya dalam bahaya dan akan segera mati. Itu masih pertanyaan yang belum aku ketahui jawabannya sampai sekarang. Rasanya, mengkhawatirkan nyawa lain menjelang kematian, itu hanya perasaan tidak berguna dan bodoh. Namun, sepertinya aku terpengaruh sehingga tidak juga membunuh Nisa meskipun memiliki kesempatan untuk melakukannya.             Aku tidak mengerti, bagaimana bisa dia begitu menarik, seolah dia adalah darah suci yang terus dicaro selama ratusan tahun oleh kaum vampire. Dia begitu adiktif dan membuatku ingin terus di sisinya. Sayangnya, kebiasaan lama selalu sulit untuk ditinggalkan. Aku terus membunuh dan dia mencurigaiku. Pada akhirnya, dia mengetahui segalanya dan melawanku. Semua karena b*****h bernama Ferdi itu. Dia sama sekali tidak ingin temui lagi, melihat wajahnya saat membuatku muak. Walau kemudian, Nisa berpaling dan mencintainya. Aku merasa harus membunuhnya, tetapi Nisa terus memohon sehingga aku hanya memotong sebagian jarinya. Aku bisa saja memutilasi seluruh tubuhnya, tetapi tidak akan menyenangkan jika setelah itu Nisa memutuskan untuk mati. Aku akan kehilangan mainan dan kesenanganku. Tentu itu hanya akan merugikanku saja. Tidak mudah untuk mendapatkan mainan menarik sepertinya. Dia langka. Bahkan, mungkin hanya satu-satunya di dunia ini.             Aku mencintainya, meskipun itu menggelikan. Itulah yang aku rasakan. Jadi, dia harus menjadi milikku. Tidak ada yang boleh membuatnya tertawa, menangis dan tersiksa selain aku. Setiap erangan penderitaannya adalah kebahagianku. Setiap hari, aku selalu mencari cara agar dia bisa berubah menjadi sepertiku. Terutama, karena kami sudah menikah. Sebagai suami-istri, kami harus memiliki visi dan misi yang sama agar pernikahan ini bisa terus bertahan lama. Akan tetapi, sepertinya apa yang aku inginkan tidak juga menjadi kenyataan. Nisa jauh lebih keras kepala dibandingkan perkiraanku. Dia tidak mudah dipengaruhi.             Aku sudah berusaha untuk membuatnya bisa menjadi kaki tanganku, atau sepertiku, tetapi sepertinya, dia tidak akan bisa melakukannya. Saat melihat bagaimana aku membunuh seseorang secara langsung, dia muntah-muntah. Bahkan, semangatnya untuk bertahan hidup semakin hari semakin meredup. Itu sebabnya, kali ini, aku menawarkan sebuah kesepakatan dengan harapan dia akan kembali bersemangat dan membuatku tidak lagi bosan. Dia harus menghiburku agar aku bisa bersenang-senang. Aku suka dengan Nisa, respons dan antusiasnya selalu tinggi. Sejak SMA, dia selalu bersemangat dalam menyelesaikan kasus, meskipun analisisnya selalu dangkal dan terburu-buru. Akan tetapi, Nisa yang sekarang, tentu berbeda dengan Nisa yang dulu. Dia seharusnya sudah bertambah pintar dan cerdas. Kalaupun tidak, aku tidak masalah. Selama ini mengikuti peraturan dan permainanku, semua akan baik-baik untuknya dan semua orang di sekitarnya, termasuk ayah dan Ferdi. Kedua orang itu tidak bisa dibunuh meskipun ingin, sebab, Nisa akan kehilangan alasan untuk tetap hidup jika aku melakukannya.             Aku menatap kasur yang kosong. Nisa sudah pergi sejak kemarin. Aku mendengar dari Feng kalau dia dalam pemulihan sebelum dipulangkan ke rumah ayahnya. Aku tidak keberatan dengan itu. Dia memang harus sembuh dan pulih sebelum melawanku dan masuk ke dalam permainan. Akan sangat tidak menyenangkan melawan seseorang yang tidak sepadan. Itu hanya membuang waktu karena hasil akhir yang sudah diketahui. Tidak ada kejutan dan itu sangat membosankan.             Aku terdiam, sembari melihat bagaimana mangsaku jatuh ke dalam perangkap. Dengan sedikit trik, dia bersedia untuk ikut denganku. Dia berjalan ke depan menuju ke pintu yang aku tunjuk. Dia masih muda, usianya mungkin sekitar 20 tahunan awal. Usia kami tidak berbeda jauh, tetapi derajat dan kasta kami tentu berbeda. Dia jauh berada di bawahku. Kami tidak sepadan. Dia mangsa, sedangkan aku predator.             Pemuda itu tampak bersemangat saat kami sudah dekat ke pintu suatu ruangan.             “Kamu yakin tempat hartanya di sini?” tanyanya dengan antusias.             Aku mengangguk, “Tentu saja. Buka dan masuklah, kamu bisa melihat banyak emas sudah menunggumu,” kataku mencoba meyakinkan.             Pemuda itu bersorak riang lalu masuk ruangan itu. Aku segera menyusul, menutup pintu dan mengambil kursi yang memang sudah disediakan di sana.             “Di mana emasny…” Perkataan pemuda itu tidak selesai karena langsung jatuh terduduk ketika sebuah kursi melayang dan menghantam kedua kakinya dengan cepat. Ia sempat merintih, tetapi segera memasang kuda-kuda, waspada. Dia tertegun saat melihatku berdiri di depannya dengan wajah angkuh. Aku tersenyum, merasa permainan ini akan sangat menarik. "Jangan bersikap naif, Teman." Aku mulai bicara."Duduklah. Aku hanya ingin kamu mendengar ceritaku." Dia mengernyitkan keningnya, bingung. “Bagaimana dengan emasnya? Kamu membohongiku? Tapi kenapa? Bukankah kita sudah berteman selama hampir dua bulan?” Dia sama sekali tidak mengerti. Sepertinya dia lupa, manusia gampang berubah hati. Lagipula, dari awal, tujuanku berteman dengannya adalah untuk bersenang-senang dengannya. Aku tidak memiliki waktu untuk bermain harta karun atau sebagainya dengannya. “Dengarkan ceritaku, maka aku akan memberikan semua emas itu padamu,” janjiku. "Apa hanya sekadar itu?" tanyanya tidak mudah percaya begitu saja. Aku tersenyum kecil lalu mengangguk. "Tentu saja. Apa yang bisa seseorang sepertiku lakukan?" kataku berusaha meyakinkan pemuda yang berbadan lebih atletis dan berisi dibandingkan denganku. Dia pasti merasa berada di atas angin dan tidak menganggapku sebagai ancaman. Buktinya, dia hanya waspada, tidak merasa takut. Belum, lebih tepatnya. Pemuda bernama Sam itu terdiam, mulai terbujuk. "Tidak! Kamu melempar kursi itu padaku dan tidak tampak kelelahan.. Itu artinya kamu kuat!" Sam membantah kata-kataku dengan cepat.Dia tidak sebodoh seperti yang aku duga. Sungguh kejutan yang menyenagkan membuatku terkekeh ringan. “Apa yang akan kamu lakukan padaku? Apa kamu ingin melawanku atau semacamnya? Kita sedang memainkan permainan bertarung sampai mati?” Dia berspekulasi. "Kalau begitu, lawanlah aku dalam ceritaku." Aku menunjuk kursi di depannya."Kita tidak harus saling membunuh." Sam menggeleng tegas. Tanpa diduga, dia mengeluarkan pistol dari balik jaketnya dan melepas pengaman pistolnya lalu mengarahkannya padaku. Pemuda yang penuh kejutan. Tidak salah aku memilihnya sebagai mangsa. "Tidak! Semakin cepat semakin baik. Aku ingin segera memiliki semua emas itu sendiri." Sam menolak saran dariku. Padahal, seharusnya, dia menurutiku. Aku hanya menghela napas panjang lalu duduk di kursi itu lebih dulu lalu menunjuk kursi di depanku. “Duduklah, permainan akan membosankan jika berjalan cepat,” saranku. Dorr. Pemuda itu melepaskan tembakan tanpa diduga. Aku terdiam melihat selongsong peluru menembus lantai. Sebuah timah panas mendarat di sana dengan begitu cepat sehingga membuatku tak sempat bereaksi, berpura-pura kaget dan ketakutan misalkan. Namun, sepertinya, permianan ini tidak akan segera dimulai jika memakai cara halus. Aku menatap pemuda itu dengan tajam, mulai merasa marah. "Jawab aku! Di mana semua emas itu? Kalau tidak, selanjutnya peluruku akan menembus kepalamu," ancam Sam. Ancaman yang sungguh menyeramkan, membuatku sampai tidak tahan untuk tertawa. “Apa yang lucu? Kenapa kamu tertawa?” tanya Sam heran. "Awalnya, aku mau bersenang-senang denganmu lebih lama seandainya kamu menerima usulanku. Namun, sepertinya aku sudah kehilangan ketertarikan padamu." Aku bangkit dari dudukku. Permainan yang sebenarnya akan segera dimulai. Aku berdiri sembari memandang tajam ke arah pemuda kurus yang sekarang ketakutan. Dia dengan cepat berubah pikiran, yang awalnya ingin membunuhku, kini menjadi ciut hanya dengan perkataan. Pengecut! "Aku kembalikan ini padamu," kataku lantas mengeluarkan pistol dari balik punggungku, menembak tepat ke perut pemuda itu. “Arggh.” Pemuda itu merintih kesakitan sembari memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertembak. Dia pun mengeluarkan banyak darah. Ditekannya luka diperutnya dengan tangan kiri untuk menghentikan pendarahan sedangkan tangan kanannya kembali mengarahkan pistol ke arahku. Dia masih mencoba melakukan perlawanan, belum menyerah. "Aku tidak peduli, siapa, kamu harus mati karena berani membuatku terluka," ujarnya geram. Keberaniannya dengan cepat kembali, mengagumkan. Pemuda itu melesatkan dua tembakan ke arahku, tetapi meleset. Sepertinya, luka di perut membuatnya tidak bisa berkonsentrasi. Dalam seperkian detik aku maju dan telah berada di depan pemuda itu. Aku memegang kedua tangan pemuda itu, memutarnya dan mematahkannya dalam satu serangan. Pemuda itu berteriak keras menahan rasa sakit saat tulang dan persednian tangannya dipatahkan dalam satu serangan memutar yang mematikan. Namun, aku tentu belum selesai, aku pun menendang kaki pemuda itu sehingga membuatnya ambruk. Pemuda itu mengerang kesakitan. Dia merasakan tulang kakinya retak. Aku merendahkan tubuh, menyobek dengan ganas baju yang dikenakan oleh pemuda yang sudah tak berdaya itu. Dengan cepat, aku mengeluarkan pisau bedah yang terselip di balik kemeja. Dengan kedua tangan, aku menikamkan pisau ke bagian d**a pemuda itu. Tanpa ampun, aku menarik pisau bedah itu hingga merobek jaringan kulit, otot dan sebagian daging pemuda itu, terus memanjang hingga ke bagian bawah perut. Aku semakin bersemangat ketika tulang rusuk pemuda itu mulai terlihat dan organ di dalamnya menggundang rasa bengis di dalam jiwaku. Pemuda itu masih bernyawa ketika aku membedah tubuh bagian atasnya, memamerkan dengan tak kasat mata organ-organ dalamnya. Dengan penuh kepuasan, aku menarik usus dua belas jari dari pemuda itu keluar dan meletakkan di lantai. Pemuda itu meradang, sekarat dan jijik saat melihat ususnya ditarik keluar. Aku membuka pintu lainnya dan dua  anjing kesayanganku keluar. Pemuda sekarat itu pun hanya meneteskan air mata sebelum nyawanya ditarik paksa. Dia mati, tepat sebelum tahu bagaimana rasanya saat dua anjing memakan isi tubuhnya dengan ganas. Ini sangat disayangkan, tetapi cukup memberikan hiburan.             Nisa, bersiaplah. Tiga hari lagi, giliranmu untuk bermain denganku. Kamu harus membuatku senang. Aku benci kebosanan. Kamu mengerti kan, istriku tersayang? Ah, ini akan sangat menghibur. Aku sudah tidak sabar rasanya untuk itu.            Aku pun keluar dari ruangan, menutup dan mengunci pintu itu untuk beberapa hari, menunggu anjing-anjingku selesai mengunyah makanan mereka. Setelahnya, aku akan mengubur sisanya. Tidak akan ada jejak yang tersisa, aku sudah menghilangkan jejak, termasuk berkas catatan percakapan kami. Walau ini menyedihkan, karena Sam sebenarnya anak tunggal, tidak ada lagi keturunan yang akan menggantikan ayahnya setelah dia pensiun nanti, akan tetapi, aku sama sekali tidak peduli. Aku sudah meletakkan sekotak emas di kamar Sam, berikut sura terakhirnya. Itu sudah cukup sepadan. Bahkan, aku terlalu baik hati karena menghargai nyawanya dengan sekotak emas. Walau itu emas palsu, bukan asli. Haha. Ah, hari yang sangat indah.         Aku ke,bali ke rumah dan makan dengan lahap. Suasana hatiku sangat bagus hari ini. Permainan yang cukup menghibur dan menyenangkan. Meskipun bermain dengan Nisa, tentu selalu menjadi faforitku. Tidak akan ada yang bisa mengalahkan ketertarikanku pada istri cantikku itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN