BAB 25

1438 Kata
Selama tiga hari terakhir, aku menunggu dengan was-was, menanti dengan tidak sabar, apa yang mungkin bisa terjadi, mengingat Denis entah dengan alasan apa melepaskanku, seolah obsesinya terhadapnya sudah berkurang atau mungkin sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, syarat yang dikatakannya, membuatku bimbang, maksudku, dia bukan orang yang seperti itu. Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, dia akan mempersulitku dan membuat semua usahaku menjadi berantakan dan percuma. Dia tidak akan pernah mengabulkan permintaanku. Kedua, dia mungkin akan mempersulitku, tapi mengabulkan permintaanku. Walau ada opsi ketiga, ia mempermudah dan mengabulkan keinginanku. Walau begitu, aku mungkin, tidak akan percaya dengan opsi yang ketiga. Bukan Denis namanya jika dia mempermudahku dalam mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku tidak akan percaya dia adalah psikopat kejam yang sudah membunuh banyak orang jika opsi yang ketiga benar-benar terjadi.             Feng mengatakan, dia akan menjemputku. Namun, dia tidak kunjung datang. Padahal, aku sudah pulih. Lebam dan luka yang aku dapat karena berkelahi dengan Denis terakhir kali sebelum dia membiarkanku pergi, sudah sembuh. Aku sudah sepenuhnya pulih. Walau kadang masih merasakan sakit dan ngilu, aku masih bisa menahannya. Aku siap untuk bertemu dengan ayah lagi.             Tak lama kemudian, Feng datang. Dengan riang, aku segera datang menyambutnya. Dia meminta maaf karena datang terlambat lalu memintaku untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku menurut dan dia mengantarku ke rumah ayah. Selama perjalanan Feng diam saja. Dia memang seperti itu. Aku juga tidak berniat mengobrol dengannya. Bagaimanapun dia adalah kaki tangan Denis. Aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Walau dia yang bertugas mengatar-jemput ayah setiap Selasa, aku tidak bisa percaya padanya. Aku hanya bisa mempercayai diriku sendiri saat ini. Itu adalah aturan dasar dalam pertaruangan ini. Walau menyebalkan untuk tidak mempercayai seseorang yang dekat dengan kita, mau tidak mau, kondisi ini harus diterima dan disesuaikan. Dengan demikian, aku tidak akan terkhianati dan sakit hati sama seperti Denis dulu. Di mana aku sangat mempercayainya, tetapi dia mengkhianatiku dan membunuh sahabatku, Mia. Semua kenangan buruk itu tidak akan mudah untuk dilupakan ataupun dimaafkan begitu saja.             Sampai di rumah ayah, aku segera turun dari mobil Feng. Supir itu pun pergi setelah memastikan aku masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan ayahku. Ayah sempat terkejut dengan kedatanganku, tetapi dia menerimaku dengan tangan terbuka dan penuh dengan suka cita. Ayah memelukku erat karena sudah lama kami tidak bersua. Bahkan, kami sama-sama menangis untuk melegakan hati yang telah terbelunggu rindu selama beberapa hari. Walau kami bertemu setiap Selasa, tetap saja, itu terasa tidak cukup. Sama sekali tidak! Makan dan mengobrol beberapa jam, itu bukan rutinitas yang bisa membayar rindu dari seorang anak pada ayahnya atau sebaliknya. Kini kami bebas melakukan apa saja bersama, tidak ada lagi batas waktu, tidak ada lagi ketakutan, tekanan dan sebagainya.             Aku rindu melakukan sesuatu dengan ayah, menonton tv, bermain di luar rumah, pergi ke luar bersama dan lain-lain. Aku butuh ayahku, demikian pula sebaliknya. Di dunia ini, kami saling memiliki. Walaupun aku harus dipisahkan secara paksa oleh Denis sejak kami menikah. Tidak ada yang merawat ayah dan aku sangat khawatir setiap kali mendengar ayahku sakit. Aku tidak ada di sana untuk melihat atau menjenguknya, hanya dokter yang Denis utus dan itu sama sekali tidak membuatku lega. Walau demikian, aku tidak bisa membantah Denis. Dia mau memanggil dokter untuk ayah saja sudah cukup bagus. Kadang, dia tidak peduli. Padahal, dia dulu sangat bestfriend dengan ayahku saat kami masih SMA. Sungguh perubahan sikap yang sangat luar biasa. Terkadang, aku sama sekali tidak bisa memahami pemikirannya. Dia terlalu abstrak untuk diterjemahkan dengan beberapa kata atau kalimat. Kepribadiannya misterius dan sulit ditebak. Selama enam bulan lebih hidup bersama dan bertahun-tahun mengenalnya, aku sama sekali tidak bisa memahaminya. Dia selalu menjadi orang asing bagiku, seseorang yang tidak bisa aku ikuti arah pemikirannya, meskipun kami berteman, bermusuhan dan menikah. Dia sangat sulit dipahami, selalu berubah-ubah.              Aku dan ayah masuk ke dalam rumah. Ternyata, Feng sudah membawakan barang-barangku, sudah mengantarkannya, meskipun tidak semua. Ayah membawaku ke kamar lamaku. Di sana, semua telah bersih dan tertata rapi. Kami berpelukan kembali. Rasa senang karena kembali ke rumah dan berkumpul dengan ayah membuatku tidak bisa berhenti menangis. Setelah puas bernostalgia, dan lelah menangis, ayah mengajakku untuk ke ruang makan, di sana, sudah tersaji makanan dan minuman kesukaanku. Setelahnya, aku dan ayah mulai menyantap makanan kami dengan lahap, hampir tidak berbicara sama sekali, fokus dengan perut yang sudah keroncongan karena kelaparan. Sejujurnya, aku memang belum makan sejak kemarin. Pikiranku gelisah dan membuatku tidak berselera untuk makan sama sekali. Lagipula, makan di sana sedikit membuatku curiga dan bernegatif thinking. Walau Denis sudah melepaskanku dan tidak membunuhku selama aku di rumahnya, aku merasa, dia mungkin saja membunuhku di luar rumah, dengan racun misalkan. Itu tidak bisa diabaikan dan dikecualikan begitu saja. Akan tetapi, sepertinya, itu hanya kecurigaanku saja, tidak terbukti.             “Tadi malam, Denis berkunjung,” kata ayah yang seketika membuatku tersedak.             “Untuk apa, Yah?” Aku melotot saking kagetnya, tidak percaya kalau psikopat kejam itu akan berani ke sini. Walau tentu, itu bukan hal yang mengherankan. Justru aneh jika dia tidak berani ke sini sendirian. Namun, aku tetap saja tidak menyangka dengan serangan tiba-tibanya. Aku tidak di rumah dan itu sudah merupakan kecurangan.             “Dia bilang akan pergi ke luar kota untuk suatu urusan dan menitipkanmu pada ayah, sungguh ayah sangat senang sekali. Kamu akhirnya kembali ke rumah ini, Nisa,” jawab ayah dengan penuh haru.             Aku tersenyum lega lalu beranjak dari kursiku, pergi untuk memeluk ayahku dengan erat, memberikan dukungan dan mengatakan padanya kalau semua akan baik-baik saja. Tidak akan ada lagi yang bisa memisahkan kami selain kematian. Aku bersumpah tidak akan pernah kembali ke rumah Denis. Akan aku selesaikan sepuluh, tidak, dua puluh kasus, di mana aku akan meminta Denis untuk tidak lagi muncul di hidupku dan melepaskanku serta seluruh orang yang mengenalku dari target pembunuhannya. Dengan begitu, aku akan lepas tanpa perlu mengorbankan siapapun. Cara yang cukup cerdas, aku rasa begitu.             Selesai makan malam, aku kembali ke kamarku, merebahkan diri di kasur yang sudah lama ditinggalkan. Tak perlu menunggu lama sampai aku benar-benar terlelap.             Seorang perempuan menangis di sudut ruangan dengan ponsel tertempel di telinga kanannya. Wajahnya sangat ketakutan. Penampilannya sudah sangat kacau. Lampu ruangannya dimatikan, hanya ada penerangan dari lampu luar. Dia tak bisa menahan diri untuk tidak menangis dan mengeluarkan suara, terisak. Walau seluruh pintu sudah dikunci, dia masih merasa tidak aman. Telpon di telinganya terhubung dengan seseorang, entah siapa.             “Siapa pembumuh di film 13th Friday” tanya suara itu.             “Jason, Jason,” teriaknya dengan antusias. “Aku benar kan?”             “Tidak, jawabanmu salah.” Suara di seberang sana menelpon.             “Mana bisa? Tidak mungkin. Kamu mempermaikanku huh?” Wanita itu tidak terima.             “Jawabannya adalah ibu Jason. Sebab, Jason tidak muncul sampai pertengahan film. Jadi, pembunuh sebenarnya adalah ibunya. Kamu salah, Sarah. Kamu keluar dari permainan.”             “Tidak! Tidak!” Sarah berteriak keras, sampai akhirnya suara pintu yang ditendang keras terdengar. Seseorang masuk ke rumahnya secara paksa. Dia menjerit, berlari, berusaha untuk pergi dari sana. Dia berhasil keluar rumah, tetapi sebuah kapak terbang dan menancap di punggungnya. Dia terjatuh, tetapi masih bernapas. Dia mencoba untuk tetap bergerak meskipun harus merangkak, tetapi seseorang datang. Dengan topeng buruk rupa, seseorang itu menangkap kaki Sarah, membalikkan tubuhnya lalu menikamnya berkali-kali. Setelahnya, dia menyeret tubuh Sarah dan menggantungnya di pohon dekat rumahnya.             Aku terbangun dengan keringat dingin yang membasahi hampir seluruh tubuhku. Dingin, aku merasa kedinginan dan gerah di waktu yang bersamaan. Kaki dan tanganku menggigil dan jantungku berdebar-debar tidak karuan. Rasanya, perasaan ini tidak asing. Aku menoleh pada jam dinding, masih pukul sebelas malam. Itu hanya mimpi, aku mencoba meyakinkan hal itu berulang kali. Namun, aku tidak bisa mengenyahkannya dari pikiranku. Mondar-mandir, aku tidak bisa tidur sampai dini hari. Mataku sudah mengantuk, tetapi aku tidak mau terlelap. Otakku masih memikirkannya. Mimpi itu terasa nyata. Aku tidak mengharapkan hal buruk akan terjadi, tetapi ini seperti sebuah devaju.             Tepat jam empat pagi, di saat aku mulai kehilangan konsentrasi dan nyaris bisa tertidur, sebuah pesan dari Denis, mendarat di ponselku. Aku nyaris berteriak saat dia mengirimkan sebuah gambar di mana seorang wanita tergantung di sebuha pohon dengan bersimbah darah. Aku mengenal wajah wanita itu. Dia adalah Sarah. Wanita di mimpiku tadi malam.             Datanglah ke alamat yang aku kirim tadi. Temukan petunjuk dan pelaku yang sebenarnya dalam tiga hari. Goodluck.             Aku menelan ludah, rasanya aku bisa mengerti apa yang terjadi. Kekuatanku kembali. Aku sekali lagi, menjadi seorang watcher setelah sekian lama kehilangan kemampuan tersebut. Namun, mengapa sekarang? Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Ini terlalu sulit untuk dipahami. Kekuatanku kembali sesaat sebelum Denis memberikanku tugas. Rasanya, ini terlalu aneh jika dianggap suatu kebetulan. Apakah kekuatanku tergantung pada Denis? Aku bertekad untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN