BAB 7

2072 Kata
Ferdi dan aku sudah tiba di kantor polisi. Kami bahkan sudah duduk dengan para tersangka. Diluar dugaanku, mereka sangat ngotot dan tidak ramah sama sekali. Mereka terlihat saling membenci satu sama lain padahal mata mereka menunjukkan sesuatu yang berbeda. Keterangan mereka tetap sama seolah mereka tidak ingin mengubah apapun. Walaupun saksi untuk alibi mereka masing-masing menyanggah dan saling menghancurkan. "Jadi, bagaimana Paman?" tanya Ferdi pada salah satu polisi disana. Sepertinya dia mengenalnya secara pribadi. Polisi setengah baya yang diajak Ferdi bicara hanya menggeleng pelan. "Mereka masih bersikukuh dengan keterangan mereka masing-masing. Jika terus begini, kita akan kesulitan menemukan titik temu untuk bisa mengungkap kasus ini!" jawab polisi itu. Ferdi menghela napas panjang. "Kalau begitu, boleh aku memeriksa mereka?" pinta Ferdi. Polisi itu tampak sedikit terkejut tetapi mencoba untuk tenang. "Kamu yakin? Aku tidak bisa memberikan izin begitu saja." jawab polisi itu ragu. "Anda bisa menemaniku saat menginterogasi mereka. Namun aku mau dia juga ikut!" ujar Ferdi sambil menunjukku. Polisi itu menatapku sebentar lalu mengarahkan pandangannya ke Ferdi lagi. "Kenapa?" tanya polisi itu setengah berbisik. "Karena dia akan sangat membantu," jawab Ferdi sambil tersenyum. Polisi itu sedikit mengerucutkan bibirnya, agak kesal dengan jawaban Ferdi. "Dia saksi huh? Bagaimana bisa dia sangat membantu?" sindir polisi itu. "Dia bahkan melihat apa yang tidak kita lihat!" jawab Ferdi meyakinkan. Polisi itu berpikir sebentar walaupun pada akhirnya dia memutuskan untuk menyetujui usul Ferdi. "Jadi, apa kamu mengenal Anya?" tanya Ferdi pada Dilla saat kami bertiga ( aku, Ferdi dan polisi tadi) menginterogasi ketiga saksi itu bersamaan. Dilla mengangguk. "Dia teman dekatku," jawab Dilla. Ferdi tersenyum tipis. "Kalau begitu, bisa ceritakan lagi tentang kesaksianmu?" tanya Ferdi. Dilla menghela napas kasar. "Sudah aku beri jawaban yang sama berulang kali, mengapa kalian selalu menanyakan hal yang sama?" tanya Dilla balik. Sepertinya gadis muda itu sangat marah walau aku tidak tahu mengapa dia bisa semarah itu. "Ceritakan saja, jangan marah-marah!" ucap Ferdi membuat Dilla hanya mampu mengepalkan tangannya kesal. "Baiklah, jadi begini. Kira-kira sekitar jam delapan kurang, aku memutuskan untuk menemui Anya!" "Mengapa?" potong Ferdi. "Hah?" "Mengapa kamu menemuinya?" tanya Ferdi. "Ya, aku sudah biasa menemuinya. Apa salahnya?" jawab Dilla dengan suara yang sedikit menunjukkan rasa gugup. "Lanjutkan!" suruh Ferdi. "Aku mengetuk kamar Anya beberapa kali tetapi tidak ada jawaban. Karena khawatir, aku mencoba memutar knop pintunya dan ternyata tidak dikunci. Jadi, aku memutuskan untuk masuk ke dalam lalu aku melihat Anya yang sudah tergeletak bersimbah darah. Aku pun keluar dari kamar itu dan mengetuk kamar Fahrenheit. Jadi begitulah!" kata Dilla mengakhiri kesaksiannya. Ferdi terdiam sebentar, sepertinya pacarku itu sedang mencerna kesaksian Dilla. Walaupun aku tahu kalau dia sudah mengetahui siapa pelakunya. Dia melakukannya lagi. Bersenang-senang sebelum menangkap dan membunuh mangsanya. "Anya itu siapamu?" tanya Ferdi setelah beberapa saat diam. "Teman dekatku, kenapa?" tanya Dilla balik. Ferdi tersenyum. "Lantas, mengapa kamu tidak menangis? Bukankah dia teman dekatmu?" tanya Ferdi dengan menatap Dilla tajam. Dilla terdiam, matanya menunjukkan sebuah ketenangan yang luar biasa mengejutkan. Jika aku adalah dia, aku pasti sudah menangis saat teman dekatku meninggal di depan mataku. "Kamu membencinya bukan?" tanya Ferdi dengan mata lekat. Dilla hanya diam dengan ekspresi datar. "Jika iya, kamu mau apa?" tantang Dilla. "Aku tidak mau apapun, hanya ingin sebuah kebenaran!" jawab Ferdi tegas. Dilla menautkan alisnya. "Apa maksudmu?" tanya Dilla tidak mengerti atau hanya pura-pura tidak mengerti. "Kamu melihatnya bukan?" tanya Ferdi sambil menunjuk Aryo. Dilla hanya memalingkan wajahnya. "Tidak! Yang aku temui adalah Fahrenheit bukan Aryo!" bantah Dilla. Ferdi tersenyum tipis. "Aryo, jika kamu tidak berterus terang, Dilla akan menjadi pelakunya!" kata Ferdi sambil menatap tajam Aryo. Aryo tampak kaget, lelaki itu membelalakkan matanya. "Bagaimana mungkin?" pekiknya tanpa sadar. "Karena kamu bukan pelakunya, maka yang paling mungkin adalah Dilla. Kalian berselingkuh di belakang Anya bukan?" tebak Ferdi. Aku terperanjat kaget mendengar pernyataan Ferdi. "Hah?" "Jangan bicara omong kosong, dasar anak kecil sok tahu!" dengus Dilla kesal. "Jangan bicara sembarangan, aku ini setia dan-," "Oh ya? Lalu mengapa di kamar Anya aku menemukan ini?" tanya Ferdi sambil menyodorkan beberapa foto kebersamaan Dilla dan Aryo. "Ka-kamu," kata Aryo tergugup. "Bagaimana bisa kamu menemukan ini?" tanya Aryo tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Anya sudah tahu tentang skandal kalian. Karena itukah kamu membunuhnya Dilla?" tanya Ferdi dengan menatap tajam ke arah Dilla. "Eh?" Aku dan semua orang di sana juga menatap tajam ke arah Dilla membuat gadis manis itu langsung mengelak karena merasa dipojokkan. "Tidak!!! Aku bukan pembunuhnya. Aku melihat Aryo keluar dari kamar itu dengan wajah panik. Saat kulihat ke dalam ternyata Anya sudah tewas. Jadi kusuruh Aryo sembunyi dan kupanggil Fahrenheit sebagai saksi seolah aku yang menemukan mayat Anya lebih dulu. Aku tidak mau Aryo jadi tersangka dan masuk penjara!" Dilla mulai mengatakan kebenarannya tanpa diminta. "Jadi, kapan kamu menemukan mayat Anya?" tanya Ferdi pada Aryo hanya bisa tertunduk lemas. "Aku menemukannya sekitar jam setengah delapan kurang," jawab Aryo. "Lalu mengapa Dilla mengatakan kalau dia menemukan mayat Anya pada jam delapan kurang? Dalam jeda yang panjang itu, apa yang kamu lakukan?" tanya Ferdi lagi. Aryo tampak frustrasi, lelaki itu melipat kedua tangannya ke kepalanya. "Aku memohon dan meyakinkan Dilla kalau aku bukan pelakunya. Aku sudah berniat lari saat itu tetapi dia melihatku jadi." "Jadi kalian bersekongkol untuk berbohong?" tanya Ferdi menarik kesimpulan. Aryo dan Dilla mengangguk bersamaan lalu tertunduk lemas. "Jadi, siapa pelakunya?" tanyaku. Ferdi menoleh dan tersenyum ke arahku. "Pelakunya," Ferdi terdiam. Aku mengangguk. "Siapa?" "Seseorang yang sudah menjalin hubungan rahasia dengan Anya. Yang datang pagi sekali ke kamarnya yang hanya berjarak satu meter! Seseorang yang menyadapnya selama dua bulan terakhir, sang menguntit yang akhirnya berubah menjadi kekasih gelap dan kini menjadi pembunuhnya." Ferdi tertawa geli lalu menatap tajam pada si pelaku. "Pelakunya," "Kamu!" Fahrenheit tergelak. "Bagaimana bisa itu aku?" tanyanya santai. "Kalau begitu, bisa ulangi lagi kesaksianmu?" tanya Ferdi. Fahrenheit mengangguk. "Baiklah," katanya dengan tenang. "Entah jam berapa aku mendengar kegaduhan di kamar Anya, karena aku mengantuk dan setengah sadar, aku tidak tahu itu jam berapa. Namun, aku keluar kamar sekitar jam setengah delapan pagi untuk mengecek kondisi Anya. Aku makin khawatir karena pintu kamar Anya terbuka. Saat itulah aku masuk dan melihat Anya sudah tewas. Aku memutuskan keluar dari kamar Anya, kembali ke kamarku lalu menelpon ambulans!" si pria Bule yang ternyata lancar berbahasa Indonesia itu mengakhiri kesaksiannya. Ferdi terkekeh membuat pria bule itu heran. "Mengapa kamu tertawa? Bagaimana bisa keteranganku membuatku jadi pelakunya?" tanya Fahrenheit heran. "Kamu masuk dan melihatnya Anya sudah tewas, kamu belum memeriksanya dari mana kamu tahu dia sudah mati?" tanya Ferdi dengan ekspresi yang menganggumkan, begitu kuat dan mengintimidasi. "Kamu mendengar suara-suara? Apa kamu lupa? Kosmu itu kosan elit yang kedap suara, bagaimana bisa kamu mendengar keributan di kamar Anya? Tidak bisa, kecuali kamu menyadapnya!" tuding Ferdi. "Selain itu, siapa orang bodoh yang memanggil ambulans saat tahu ada seseorang yang tewas? Kalau itu aku aku akan menelpon polisi!" Fahrenheit membisu, dia tampak kesal. "Itu hanya asumsimu belaka, kamu tidak memiliki bukti apapun!" kata si bule sambil menyeringai. "Apa kamu tidak tahu," kata Ferdi. "Soal apa?" tanya Si bule. "Jejak kakimu begitu nyata dari ruang tamu, kasur, dan kamar mandi. Selain itu, dia sempat melakukan sesuatu padamu sebelum meninggal bukan?" "Tidak!" bantah tegas si bule. "Dia menendangmu, melakukan sebuah perlawanan yang pada akhirnya menempelkan sesuatu di pakaianmu!" Si bule tampak panik dan memeriksa bajunya. Sebuah noda merah telah bersarang di pakaiannya. Hanya sedikit tetapi mampu menjadi bukti konkrit bahwa Anya menyentuh Fahrenheit. "Kamu bilang hanya masuk dan melihat, bukan menyentuh atau memeriksanya. Jadi darimana noda darah Anya itu muncul?" tanya Ferdi dengan senyum kemenangan. "Jangan bilang noda darah itu membekas saat kamu membantu Dilla memeriksa Anya. Dilla sudah mengakuinya, kalau kamu dan dia tidak pernah bertemu! Karena yang dia temui adalah Aryo. Jadi apa kamu masih mau menyangkalnya?" Fahrenheit tertunduk lemas. Pada akhirnya dia mengakuinya kalau dia adalah pelaku pembunuhan Anya. Pria bule itu ternyata adalah teman SD Anya. Namun dia pindah ke Kanada saat kelas 5 SD. Namun, dia masih mencintainya, tidak! Dia memuja Anya. Dia selalu mencari informasi tentang Anya selama ini. Saat dia kembali ke Indonesia, dia mulai mendekati Anya dan menjadi kekasih gelapnya. Namun, perasaan cinta yang begitu besar yang dimilikinya menjadi sebuah rasa benci saat Anya menolak memutuskan hubunganya dengan Aryo. Anya lebih mencintai Aryo. Karena itulah pada akhirnya Fahrenheit memutuskan untuk membunuh Anya. "Manusia memang seperti itu," gumam Ferdi saat kami sudah di dalam mobil dan dalam perjalanan pulang. "Seperti apa?" tanyaku. "Karena tidak suka, mereka menjadi benci. Karena suka, mereka menjadi benci. Dan karena terlalu suka, mereka akhirnya menjadi pembenci. Benci itu akhirnya berkembang pesat dan mengakar sebagai sebuah dendam yang menakutkan!" Aku menelan ludah saat kulihat pandangan Ferdi yang tajam dans sedikit menakutkan. "Nisa," "Ya?" "Kamu ingat 5 jejak kaki yang aku sebutkan di awal?" tanya Ferdi. Aku mengangguk. "Ya, itu jejak kaki korban dan 4 saksi lainnya bukan?" Ferdi menggeleng. "Bukan, jejak kaki ke lima itu," Ferdi terdiam dan menoleh ke arahku lekat. "Dia." Aku tertegun. "Dia?" Ferdi mengangguk. "Radit!" *** Aku menatap lekat langit-langit kamarku. Pikiranku melayang jauh dengan sebuah pemikiran luar biasa yang perlahan merayap hingga menembus logikaku. Bulu kudukku berdiri tanpa sadar dan rasa itu pun menguasai hati dan pikiranku hingga membuatku nyaris gila. Sejujurnya aku takut. Bukan takut mati tetapi aku takut jika harus kembali menghadapinya. Radit atau Denis, dua nama dengan raga yang sama. Lelaki yang dulu pernah kucintai dengan sepenuh hatiku itu ternyata hanyalah monster yang berniat untuk membunuhku. Psikopat gila sepertinya, meski enggan kuakui adalah cinta sekaligus pacar pertamaku. Dia pun juga masuk sebagai musuh pertamaku. Denis sangatlah luar biasa menakutkan. Aku mencintainya, meski aku tidak tahu apakah cinta yang dia tunjukan padaku selama kami bersama adalah sebuah cinta atau sebatas obsesi belaka. Sulit sekali untuk membedakannya. Dia terlalu ahli bersandiwara dan membuat banyak orang di sekitarnya mempercayai dirinya. Denis telah membuat Ferdi, pacar keduaku menjadi pengikut setianya dengan membunuh kakak Ferdi. Jika dipikir secara logis, baik Denis ataupun kakak Ferdi, mereka sama saja. Seorang pembunuh. Namun Ferdi terperdaya dan memberikan segalanya untuk Denis karena hutang budi yang seharusnya tidak perlu. Denis juga sudah menipuku. Berpura-pura menaruh hati padaku dan mulai membunuh orang di sekitarnya satu per satu. Dia juga bahkan telah membunuh Mia, sahabatku. Parahnya, dia telah membuat seolah-olah Mia adalah pembunuh dan memaksa sahabatku itu untuk bunuh diri. Padahal Mia sangat mencintai Denis. Jika Denis mampu melakukan itu pada cewek yang mencintainya, entah bagaimana nantinya nasibku nanti di tangannya. Drtt.. Drtt... Drt.. Handphoneku bergetar, sebuah pesan masuk telah mendarat dengan selamat. Rupanya dari Ferdi, kekasihku. [ Ferdi Nisa, kau baik-baik saja? ] Aku menghela napas panjang lalu mengirimkan pesan balasan. [ Me Iya, aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Bagaimana dengan Pamanmu? ] Pesan terkirim dan hanya beberapa detik kemudian Ferdi meneleponku. "Halo?" kataku setelah aku angkat telpon dari Ferdi. "Halo, Nisa?" sahut suara Ferdi dari seberang sana. "Ada apa?" tanyaku. "Aku akan berjaga di sini untuk sementara. Jadi hari ini aku tidak bisa mengantar-jemputmu ke kampus. Apa kamu tidak masalah dengan itu?" tanya Ferdi. "Iya, tidak masalah. Aku tidak apa-apa. Jangan khawatirkan aku!" jawabku. Ferdi menghela napas lega. "Syukurlah. Jaga dirimu. Jika terjadi sesuatu segera hubungi aku," ujar Ferdi. "Iya, pasti!" sahutku mantap. Kami saling diam beberapa detik, topik di antara kami menghilang dalam sekejap. Ini suatu kecanggungan yang tidak biasa bagi dua orang yang sudah setahun pacaran. "Nisa," panggil Ferdi pelan. "Ya?" "Aku mencintaimu," ucapnya pelan nyaris tidak terdengar. Aku terpaku, terkejut untuk kesekian kalinya. Walau ini bukan pertama kalinya Ferdi mengatakan hal semacam itu, tetap saja aku masih merasa 'aneh', kaku dan tidak biasa dengan ini. "Nisa!" panggil Ferdi membuatku tersadar dari lamunanku. "Ah, iya, aku juga mencintaimu!" kataku dengan jantung yang mulai berdebar tidak karuan. Bukan berdebar karena aku mulai mencintai Ferdi. Sejujurnya, aku masih terlalu gugup untuk mengatakan hal semacam itu. Bahkan meski dia adalah kekasihku. Sepertinya ada yang salah dengan otakku. "Nisa," "Ada apa?" tanyaku. "Terimakasih. Nanti kuhubungi lagi. Dah." kata Ferdi lalu menutup telpon. Aku menghela napas panjang dan tersenyum kaku pada ayah yang entah sejak kapan sudah berdiri di pintu kamar. "Boleh ayah masuk?" tanya ayah sambil tersenyum kecut. Aku mengangguk pelan. "Silahkan!" kataku mempersilahkan ayah masuk. Ayah tersenyum kecil lalu mendekat padaku. Beliau duduk di dekatku dan membelai-belai lembut rambutku. "Bagaimana kabarmu, sayang?" tanya ayah. Aku tersenyum kecil. "Baik, ayah!" jawabku. Ayah merangkulku ke pelukannya dan mengelus-elus punggungku dengan tangannya yang kekar. "Ferdi itu lelaki yang baik, Nisa." ucap ayah pelan. "Nisa tahu, Yah." sahutku. "Tapi," kataku lalu diam. Ragu untuk melanjutkan. "Ayah tahu!" kata ayah sambil melepas pelukannya. Ayah tersenyum lalu membelai rambutku. "Nisa belum bisa melupakan Denis?" tanya ayah. Aku hanya tertunduk lemas. "Denis sudah meninggal, sayang. Nisa harus bisa melupakan Denis!" kata ayah lagi. Aku tersenyum kecut. "Denis memang baik tetapi Ferdi juga baik, sayang. Denis itu sudah meninggal, jadi Nisa harus bisa melupakan Denis!" kata ayah menimpali. Aku menghela napas berat. Entah apa yang ayah ocehkan, aku sudah tidak bisa mendengarnya lagi. Karena ayah tidak tahu jika Denis hanyalah psikopat gila yang suka membunuh. Ayah hanya tahu kalau Denis adalag cowok baik yang meninggal karena bom di rumahnya. Padahal, akulah pembunuh Denis dan dia akan segera datang untuk membunuhku. "Jadi, lupakan Denis ya," kata ayah mengingatkan sebelum akhirnya keluar dari kamarku. Aku memandangi ayah sampai hilang dari pandanganku. Aku kepalkan tanganku kuat-kuat. Lama-lama aku jengah bersandiwara dan menyembunyikan semua ini dari ayah. Sungguh seandainya bisa, aku ingin jujur saja. Namun, dari awal aku sudah berbohong. Jadi, aku harus menanggung resikonya apapun akibatnya. Yah, Denis masih hidup dan cepat atau lambat, dia akan datang untuk membunuh Nisa. Jadi, bagaimana bisa Nisa melupakan dia?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN