BAB 6

2346 Kata
"Nisa, Nisa, Nisa!" Aku membuka mataku ketika suara panggilan itu membangunkanku. Aku tersenyum saat kulihat sosok lelaki paling berharga dalam hidupku tersenyum saat melihatku. "Ya, Ayah?" tanyaku dengan kesadaran yang belum pulih. "Ferdi sudah menunggumu di depan," jawabnya. Aku hanya mengangguk lalu duduk sebentar di atas kasurku, mengumpulkan kesadaranku yang belum pulih benar. "Jam berapa ini, Yah?" tanyaku. "Jam 10," jawab ayah. "Heh? Nisa ada kuliah jam 9," ujarku tersentak kaget. “Bukankah kamu bilang kalau hari ini libur?" tanya ayah heran. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, memaksa diriku sadar lebih cepat. "Ah, iya, Nisa lupa, haha," ucapku sembari menggaruk-garuk kepalaku dan tertawa canggung. Aku memang tidak pandai bersandiwara. Bagaimanapun caranya aku tidak boleh membiarkan ayah khawatir. Bagaimanapun aku harus merahasikan keanehan Ferdi yang menyuruhku tidak kuliah hari ini. Namun, ini sungguh aneh jika dia datang kemari padahal kemarin dia mengatakan akan ada sesuatu yang dilakukannya. Apa terjadi sesuatu? Aku beranjak dari kasurku, keluar kamar dan menemui Ferdi yang sudah menungguku di ruang tamu. "Hai, Nisa!" sapa Ferdi. Aku hanya tersenyum dan duduk di sofa di depan Ferdi. "Ada apa?" tanyaku saat kulihat wajah Ferdi yang agak bengkak dan matanya sembab. Ferdi hanya tersenyum getir. "Ada apa?" tanyaku lagi. Ferdi menghela napas panjang. "Bisakah kita bicara sambil jalan? Aku ingin menghirup udara segar denganmu," ujar Ferdi mengusulkan. Aku terdiam. "Apa penglihatanku menjadi nyata?" tanyaku mulai menebak-nebak alasan wajah Ferdi yang terlihat suram pagi ini. Ferdi hanya melipat bibir bawahnya ke dalam. Itu artinya memang sudah terjadi sesuatu. Sesuatu yang buruk pastinya. "Mungkinkah, terjadi pembunuhan?" tanyaku ragu. Ferdi hanya diam saja. "Yang mana?" tanyaku semakin penasaran sekaligus takut. "Paman atau temanmu?" tanyaku. Ferdi hanya diam tidak bergerak. Aku pun berinisiatif mendekatinya. Aku duduk di sampingnya dan kupeluk dia. "Siapa?" tanyaku lagi. "A-Anya," jawab Ferdi dengan suara agak bergetar. Aku pererat pelukanku pada Ferdi. Anya? Bagaimana bisa? Padahal aku melihat kematiannya kemarin. Bukankah ini terlalu cepat? Bagaimana bisa penyimpangan dalam penglihatanku semakin menjadi? Aku tepuk-tepuk kecil punggung Ferdi seolah mengatakan kalau aku akan selalu disisinya untuk mendukungnya. "Kapan kejadiannya?" tanyaku memberanikan diri untuk bertanya. "Tadi pagi sekitar jam 8," jawabnya. "Yang menemukan?" "Ada tiga saksi," jawab Ferdi. "Hm, kalau begitu tenanglah! Pelakunya akan segera tertangkap!" hiburku. Ferdi hanya diam membuatku yang awalnya bawel mendadak bungkam dan enggan bicara. "Nisa," panggil Ferdi. "Ya?" "Bantu aku menemukan pembunuhnya," pinta Ferdi sungguh-sungguh. "Eh? Bukannya kamu lebih pintar daripada aku?" tanyaku heran. "Kali ini, aku tidak bisa!" jawab Ferdi lemas. "Kenapa?" tanyaku penasaran. "Karena ketiga saksinya," Ferdi berhenti sebentar. "Hm," Ferdi ragu-ragu melanjutkan ucapannya membuatku jadi kesal karena seolah dia itu tidak mempercayai kemampuanku. "Kenapa ketiga saksinya?" tanyaku. "Kenapa? Kenapa, Fer?" desakku. "Mereka bertiga, mengaku sebagai orang yang pertama menemukan mayat Anya," "Hah?" seruku tanpa sadar. "Kamu melihatnya bukan?" tanya Ferdi. "Soal apa?" tanyaku. "Kematian Anya," jawab Ferdi. Aku mengangguk lemah. "Aku melihatnya," jawabku jujur. Ferdi tersenyum. "Karena itulah aku butuh bantuanmu," ucap Ferdi dengan yakin. *** Ferdi tampak gelisah. Sejak tadi cowok ganteng itu memasang wajah tegang dengan tingkat konsentrasi menyetir yang ambigu. Aku sungguh khawatir melihat keadaannya. "Fer," panggilku. Ferdi masih diam. "Ferdi!" panggilku sekali lagi. Tidak ada reaksi. "Ferdi!!!!" teriakku nyaring. "Ah!!" Ferdi spontan menginjak rem dan mobil berhenti mendadak. Tubuhku agak terpental ke depan tetapi aku baik-baik saja. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyaku. Ferdi mematikan mesin mobil dan menyandarkan dirinya ke sandaran kursi. "Maafkan aku, Nisa!" ucapnya merasa bersalah. "Tidak apa-apa, ada apa?" tanyaku. "Aku tidak bisa berpikir, Nisa!" jawab Ferdi mulai berbagi uneg-uneg di hatinya. "Soal Anya?" tanyaku. Ferdi menggangguk lalu menggeleng. "Ini bukan soal kematian Anya saja, tetapi soal pelakunya!" jawab Ferdi. "Maukah kamu ceritakan padaku kesaksian masing-masing saksinya?" Ferdi menoleh ke arahku. "Benarkah boleh aku ceritakan sekarang?" tanya Ferdi tampak ragu. Aku mengangguk. "Tentu saja, lagipula kalau di kantor polisi kita tidak akan bebas berbagi informasi bukan?" jawabku meyakinkan. Ferdi mengangguk mengiyakan. "Baiklah, akan kuberitahukan kesaksian dari mereka bertiga!" "Saksinya hanya tiga?" tanyaku penasaran sebelum Ferdi melanjutkan ucapannya. Ferdi menggeleng. "Ada 4, tetapi yang membuatku curiga hanya 3 saksi," jelas Ferdi. "Siapa saja saksinya?" tanyaku. "Saksi pertama Dilla, teman dekat Anya. Dia juga satu kosan dengannya. Saksi kedua, Aryo kekasih Anya. Saksi ketiga Fahrenheit, seorang bule. Saksi terakhir, Bu Rahmat, pemilik kosan!" jawab Ferdi. Aku hanya mengangguk-nganggukkan kepalaku mencoba mencerna dan merekam apa yang baru saja Ferdi katakan. "Lalu mengenai kesaksian mereka, bagaimana?" tanyaku. "Nah, itu yang membuatku bingung, Nisa! Mereka memberikan tiga kesaksian yang berbeda!" jawab Ferdi merasa kebingungan. "Hm, kalau begitu bisa saja salah satu dari mereka berbohong bukan?" tebakku. Ferdi terdiam, berpikir sejenak tentang pradugaku. "Masalahnya, kesaksian mereka bertiga saling bertentangan dan aku menjadi bingung, siapa diantara mereka yang kira-kira berbohong!" "Baiklah, sekarang ceritakan soal kesaksian mereka!" pintaku. Ferdi mengangguk. "Kita mulai dari Dilla, teman dekat Anya!" usul Ferdi. Aku mengangguk mengiyakan.   "Dia mengatakan kalau sekitar jam delapan kurang, dia mengetuk kamar Anya tetapi tidak ada jawaban. Karena mereka satu kosan dan udah bersahabat dekat, Dilla memutuskan untuk masuk ke kamar Anya waktu tahu pintunya tidak dikunci. Dia kaget melihat Anya yang sudah tergeletak bersimbah darah. Dia keluar dari kamar itu dan mengetuk kamar Fahrenheit!" Ferdi mulai menjelaskan. "Lalu?" tanyaku tidak sabaran. "Lalu dia memanggil bule itu dan memintanya memeriksa keadaan Anya. Saat itu dia tahu kalau Anya sudah tidak bernyawa!" Ferdi menundukkan kepalanya. Wajahnya kembali murung. Aku genggam tangan Ferdi seolah menguatkannya agar tidak bersedih seorang diri. "Kalau Aryo, bagaimana?" tanyaku. "Jadi, semalam mereka sudah janjian untuk bertemu. Sekitar jam 6 pagi, Aryo menelpon Anya dan tidak diangkat. Sekitar jam 7 pagi, Aryo menelpon lagi dan kembali tidak dijawab. Karena khawatir Aryo mendatangi kosan Anya. Dia memiliki kunci duplikat kamar kosan Anya, jadi dia bebas masuk. Saat masuk dia melihat Anya sudah bersimbah darah. Karena ketakutan, dia keluar dan menemui Dilla. Mereka pun bersama-sama melihat keadaan Anya, saat itulah dia tahu kalau Anya sudah tidak bernyawa!" terang Ferdi panjang lebar. "Kalau pria bule?" tanyaku makin penasaran. "Pria bule itu kamarnya tepat berada di dekat kosan Anya. Dia mendengar suara kegaduhan dari kamar Anya. Karena dia mengantuk dan setengah sadar, dia tidak tahu itu jam berapa pastinya. Namun, dia keluar kamar sekitar jam setengah delapan pagi untuk mengecek kondisi Anya. Dia makin khawatir karena pintu kamar Anya terbuka. Saat itulah dia masuk dan melihat Anya sudah tewas. Dia memutuskan keluar kamar, kembali ke kamarnya dan menelpon ambulan!" terang Ferdi. Aku terdiam. Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. "Kenapa mereka memberikan kesaksian yang berbeda ya," ungkapku tidak mengerti. "Entahlah, aku juga tidak mengerti!" ungkap Ferdi. Ferdi menghela napas panjang, dahinya tampak berkerut. Sepertinya dia terlalu banyak berpikir. "Kesaksian mereka saling berkaitan satu sama lain, apa mereka tidak melakukan pembenaran atau sanggahan?" tanyaku. Ferdi menggeleng. "Mereka bersikukuh dengan argumen masing-masing. Karena itulah ketiganya dianggap tidak memiliki Alibi. Mereka memiliki kemungkinan yang sama sebagai pelakunya!" jawab Ferdi menjelaskan. "Kalau begitu, bisa jadi mereka semua berbohong, iya kan?" kataku menarik kesimpulan. Ferdi mengangkat kedua bahunya. "Entahlah," sahutnya lemas. "Tenanglah! Semua akan terungkap!" hiburku. Ferdi hanya menganggukkan kepalanya lemah. "Tapi, Fer sejujurnya aku penasaran!" ujarku. "Mengenai apa?" tanya Ferdi. "Dimana kesaksian bu Rahmat sehingga dia dikatakan sebagai saksi?" tanyaku. Ferdi diam sebentar. "Mungkin karena dia adalah pemilik kos!" jawab Ferdi. "Apa dia tidak masuk ke TKP (Tempat Kejadian Perkara)?" tanyaku lagi. Ferdi tampak berpikir, berusaha mengingat-ingat. "Dalam kesaksiannya, dia hanya bilang kalau dia datang saat mendengar suara ambulans!" jawab Ferdi.   "Apa kosnya bebas untuk pria dan wanita? Mengapa si Anya memiliki tetangga Dilla dan si bule?" tanyaku lagi. Ferdi mengangguk. "Iya," "Hm, wajar saja kalau begitu!" ucapku mulai mengerti. "Ada apa Nisa? Apa di penglihatanmu ada yang berbeda dengan apa yang aku katakan?" tanya Ferdi mulai kembali menjadi dirinya. Antusias dan tertarik dalam memecahkan sebuah kasus pembunuhan. "Dalam penglihatanku, ada pintu gerbang sebelum masuk ke kosan itu. Itu artinya, untuk masuk ke area kos, maka dia harus memiliki kunci pintu gerbang bukan?" Ferdi mengangguk. "Jadi, suatu hal yang mustahil pelakunya orang luar. Selain itu tidak ditemukan tanda-tanda kalau pintu kamar Anya dibuka paksa. Artinya pelakunya dikenal oleh Anya!" kata Ferdi melanjutkan. Aku mengangguk mengiyakan analisis Ferdi. "Apa hasil otopsinya sudah keluar? Apa penyebab kematiannya?" tanyaku penasaran. "Hasil otopsi belum keluar, tetapi ditemukan tiga tusukan di tubuhnya!" "Satu di perut bagian kiri dan dua lainnya di leher?" tanyaku. Ferdi mengangguk. "Kamu benar, apa tidak ada penyimpangan?" tanya Ferdi memastikan. Aku mengangguk. "Kalau tidak ada penyimpangan, itu artinya pelakunya sesuai dengan apa yang kamu lihat, benarkan?" kata Ferdi menyimpulkan. Aku mengangguk mengiyakan. "Tepat!" Ferdi tampak berpikir keras. "Aku memiliki satu pertanyaan lagi, Fer!" kataku. Ferdi menoleh ke arahku. "Apa itu, Nisa?" tanyanya. "Darimana kamu tahu mengenai kasus ini?" tanyaku. Ferdi terdiam lalu tersenyum. "Aku sudah bilang ada urusan bukan? Dan aku tidak menyangka kalau urusanku, akan membawaku pada kasus ini!" jawab Ferdi. "Apa urusanmu sudah selesai?" tanyaku. Ferdi menggeleng. "Belum!" "Boleh aku tahu tentang apa urusanmu?" tanyaku penasaran. Ferdi hanya tersenyum dan mengelus lembut pipiku. "Aku hanya datang menemui Desi, ada sesuatu yang menarik perhatianku darinya. Saat itulah, aku tahu mengenai kasus Anya!" jawab Ferdi menerangkan. "O," sahutku hanya ber-O-ria. "Baiklah, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan!" usul Ferdi. Aku mengangguk. Mobil pun kembali melaju. Kupandangi pemandangan sebelah kiri dari kaca mobil. Ada pantulan wajahku di kaca itu dan entah mengapa aku merasa kalau kematianku sendiri semakin dekat. Denis, apa kamu akan datang untuk membunuhku? *** Aku dan Ferdi telah sampai di lokasi pembunuhan Anya. Bisa aku cium bau darah yang begitu kuat begitu kami sampai. Polisi sudah pergi dari tempat ini, hanya ada sebuah garis polisi sebagai gantinya. Aku dan Ferdi masuk ke kamar Anya dan kulihat bekas darah yang masih ada. Keadaan kamar Anya masih sama dengan awalnya. Berkat bantuan 'koneksi' yang dimiliki oleh paman Ferdi dan juga 'reputasi' ayah Ferdi yang merupakan mantan kepala polisi membuat kami yang sebenarnya cuma anak kuliahan biasa bisa masuk ke TKP dengan bebas. Ya, kami hanya mahasiswa biasa atau lebih tepatnya aku saja yang biasa. Ferdi adalah satu-satunya yang relevan dengan masalah ini karena dia adalah seorang mahasiswa hukum. Dia bilang akan menjadi jaksa. Padahal menurutku dia lebih cocok menjadi detektif. Saat kukatakan itu dia hanya tertawa dan berkata bahwa kami ada di dunia nyata, bukan komik remaja. Karena itulah, dia ingin menjadi jaksa dan menghukum semua penjahat dengan dakwaan yang sesuai dengan hukum yang berlaku. "Jadi, apa kamu menemukan sesuatu?" tanya Ferdi saat kami sedang berupaya mencari petunjuk sebanyak-banyaknya untuk kasus yang ambigu ini. Aku menggelengkan kepalaku ragu. "Belum," Ferdi menghela napas panjang. Dia pun melanjutkan pencariannya. Kulihat pacarku itu dan dia sedang mengecek setiap benda dengan sarung tangan agar tidak meninggalkan jejak. Dia juga sedang berupaya mencari petunjuk dengan begitu serius. Melihat kesungguhan yang diperlihatkan olehnya aku sempat mengira kalau dia itu adalah kloning nyata dari Shinichi Kudo, tokoh fiksi seorang detektif SMA yang jenius. Aku? Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan Ran, tokoh yang memerankan peran sebagai kekasih Shinichi di komik Detektif Conan. Aku bahkan tidak bisa disamakan dengannya. Aku tidak pantas untuk itu. Karena aku belum mencintai Ferdi layaknya Ran yang mencintai Shinichi dengan sepenuh hati. Lucunya, aku juga tidak pantas menjadi tokoh manapun di komik itu. Aku hanya Annisa Sofiana, si watcher yang hanya mampu melihat tanpa bisa mengubah apapun. Kadang aku bertanya-tanya, untuk apa aku melihat kematian orang lain jika aku tidak sanggup menghentikannya? Aku selalu terlambat sehingga mereka semua tewas dengan cara yang sama dengan di mimpiku. Terlalu sering aku melihat kematian itu hingga menjadi sebuah kebiasaan yang membuatku menjadi lebih takut melihat kematianku daripada kematian orang lain. "Nisa," Aku tersadar dari lamunanku lalu menoleh pada Ferdi. "Ada apa?" tanyaku. "Kemarilah!" Aku mendekat pada Ferdi dan cowok itu menunjuk sebuah jejak kaki. "Lihat!" Aku memperhatikan dengan seksama jejak kaki itu. Walaupun samar  masih bisa dikenali. Ada beberapa jejak kaki disana. Jejak kaki yang utuh. "Oh," Ferdi tersenyum. "Kita mendapatkannya!" ujar Ferdi. "Heh?" Ferdi tersenyum sekali lagi. "Mendapatkan apa maksudmu?" tanyaku. "Petunjuk!" "Soal apa?" tanyaku. "Soal siapa yang datang lebih dulu," jawab Ferdi santai. "Bagaimana bisa?" tanyaku. "Lihat! Ada berapa jejak kaki di sini?" tanya Ferdi. Aku mencoba memperhatikan jejak kaki yang kami lihat. Aku hitung dengan seksama. "Ada 5," jawabku. "Benar, ada 5!" "Lalu?" tanyaku masih belum mengerti. "Apa kamu merasa tidak ada yang aneh?" jawab Ferdi balik tanya. "Aneh? Apanya?" tanyaku lagi. Ferdi menggaruk-garuk kepalanya. "Sudahlah, lupakan! Aku sedang malas menjelaskannya!" "Heh? Jangan begitu, dong! Jelaskan!" rengekku. Ferdi menghela napas sekali lagi. "Akan aku jelaskan setelah kita menangkap pelakunya," jawab Ferdi masih menyimpan misteri. Aku tatap Ferdi dan sorot matanya menunjukkan keseriusan. Kalau sudah begitu, aku tidak bisa memaksanya. "Kalau menurutmu, siapa pembunuhnya?" tanya Ferdi. "Heh?" Ferdi mengusap-usap lembut kepalaku. "Jangan kaget begitu, aku hanya ingin tahu analisismu!" ucap Ferdi. Aku berpikir sejenak. "Menurutku pelakunya Aryo," jawabku yakin. "Kenapa?" tanya Ferdi. "Coba pikirkan, dia menelpon Anya jam enam dan tujuh pagi. Padahal dia janjiannya bukan jam segitu, bukankah itu seperti dia sedang memastikan apakah Anya sudah bangun atau tidak?" tanyaku meminta dukungan. Ferdi hanya mengangguk kecil. "Lalu?" tanya Ferdi seolah memintaku meneruskan analisisku. "Jadi, Aryo datang ke kos ini lalu masuk ke kamar Anya dan membunuhnya. Setelah itu dia berpura-pura memanggil Dilla untuk menguatkan alibinya agar tidak ada yang mencurigainya. Sungguh kejahatan yang sempurna, ya kan?" ucapku dengan senyuman lebar. Aku berhasil menuntaskan kasus ini dengan cepat. Ferdi tersenyum. "Apa yang membuatmu mencurigai Aryo?" tanya Ferdi. "Mudah saja, karena pintu kamar tidak dibuka paksa. Artinya korban dan pelaku saling mengenal. Lagipula, dimana-mana kebanyakan jika seorang gadis terbunuh di kosannya, kebanyakan pelakunya adalah kekasihnya!" jawabku. Ferdi tergelak dengan pernyataanku. "Ck, kenapa kamu tertawa? Apa analisisku lucu?" tanyaku dengan kesal. Ferdi tersenyum. "Maaf, sayang. Analisismu sungguh luar biasa tetapi Aryo bukan pelakunya!" bantah Ferdi tegas. "Kenapa?" tanyaku. "Pertama mengenai pintu itu. Sudah kukatakan dia punya kunci duplikat bukan?" Aku mengangguk. "Jika benar dia masuk dengan kunci itu, untuk apa Anya membukakan pintu untuknya? Lihat! Ada jejak kakinya di pintu, itu artinya seharusnya jika benar Aryo pelakunya, kita tidak akan menemukan jejak kaki Anya di sini!" Aku terdiam. "Bisa saja dia memanipulasinya bukan?" "Caranya?" "Sebelum membunuhnya dia meminta Anya ke ruang tamu untuk melakukan sesuatu!" jawabku ragu. Ferdi tersenyum miring. "Perkiraan waktu kematian korban jam tujuh lewat sepuluh menit, Nisa. Jika benar Aryo pelakunya, bagaimana bisa dia menelpon Anya lalu sepuluh menit kemudian dia telah berhasil membunuhnya? Dilihat dari bekas darahnya, Anya sempat melawannya. Jika benar begitu, harusnya dia butuh waktu lebih lama untuk membunuh dan merancang alibi!" Ferdi terdiam, menatapku yang semakin bingung dengan kasus ini. "Tapi, akan sangat berbeda jika pelakunya adalah seseorang yang sangat kuat!" "Heh?" Ferdi tersenyum lagi, puas melihatku bingung. "Jika kita rinci lagi urutan penemuan mayat korban maka semuanya menjadi lebih jelas!" "Si bule mengaku menemukan Anya pada jam setengah delapan lewat, Dilla mengaku pada jam delapan kurang. Sedangkan Aryo tidak mengatakan apapun seolah dia tidak ingin mengungkapkan waktu penemuannya untuk melindungi pelakunya!" "Hah?" Ferdi lagi-lagi tersenyum membuatku semakin kesal. "Berhentilah berteka-teki, jadi siapa pelakunya?" tanyaku tidak sabaran. "Apa kamu mengingat keterangan para saksinya, Nisa?" "Memangnya kenapa?" tanyaku. "Ada sesuatu yang aneh disana. Jika kamu berhasil menemukannya maka kamu akan tahu jawabannya!" jawab Ferdi. Aku mengerutkan keningku. "Tidak bisakah kamu beritahu aku pelakunya secara langsung?" mohonku. Ferdi menggeleng. "Tidak bisa! Gunakan otakmu!" kata Ferdi tegas. Aku memanyunkan bibirku. "Aku selalu menggodakan otakku! Tapi otakku selalu buntu untuk hal seperti ini!" Ferdi tersenyum geli. "Itu karena kamu terlalu berpikir lurus sayangku," ucap Ferdi. Aku tersipu malu, piiku terasa panas. Aku sangat yakin, jika berkaca saat ini, wajahku sedang memerah. "Berhentilah memanggilku begitu," pintaku malu-malu. "Baiklah! Mari kita pergi, Nisa!" "Kemana?" tanyaku. "Menangkap pelakunya!" jawab Ferdi. Kami pun bergegas menuju kantor polisi. Kulihat wajah Ferdi yang penuh senyuman sepertinya dia memang sudah berhasil menemukan pelakunya. Kira-kira jika bukan Aryo, siapa pelakunya? Dilla? Si Bule? Atau.. Bu kos? Ah.. Aku sungguh penasaran. Siapakah pelaku yang bersembunyi dibalik kami?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN