Upacara pemakaman baru saja selesai. Sebuah gundukan tanah merah basah dengan taburan bunga yang masih baru dengan bau yang menyengat terlihat. Angin bertiup pelan, menggerakkan perlahan daun dan bunga dari pohon kamboja yang berada tepat di dekat makam baru itu. bau kematian tercium dengan sangat kentara, menyayat hati-hati para manusia yang ditinggalkan oleh orang yang sudah barada di liang lahat.
Aku melihat Ferdi masih duduk di tepi makam dengan kepala tertunduk. Tangisnya telah usai, tetapi hatinya masih berduka. Dukanya bukanlah karena kematian yang merenggut paman yang begitu disayanginya tapi lebih kepada kekecewaan karena tidak sanggup melindungi seseorang yang sangat dia sayangi itu. Aku pernah merasakan kekecewaan semacam itu. Jadi, aku sedikit mengerti mengapa Ferdi sefrustrasi ini. Kesedihan dan kekecewaan adalah dua hal yang berbeda. kesedihan bisa ditebus oleh waktu, tetapi kekecewaan tidak. Oleh sebab itu, aku hanya bisa menunggu agar Ferdi bisa bangkit dan pulih. Bagaimanapun dia adalah kekasih yang sangat aku cintai. Aku harus berada di sisinya agar dia tidak melakukan hal-hal bodoh dan gegabah.
Aku merendahkan tubuhku, ikut berjongkok di dekat Ferdi. Kutepuk pelan pundaknya dan pacarku yang biasanya bisa menangani masalah dengan kepala jernih itu hanya membisu.
"Fer, ayo kita pulang!" ajakku.
Ferdi masih diam, mengunci rapat mulutnya dalam kebisuan.
Aku menghela napas panjang, hanya sanggup menunggu Ferdi bicara dengan kemauannya sendiri. Aku tidak ingin memaksanya bicara karena dia memang lelaki yang keras kepala.
"Nisa," panggil Ferdi setelah cukup lama kami terjebak dalam diam.
"Ya?" sahutku.
"Di penglihatanmu, kapankah kamu mati?" tanya Ferdi.
Aku menelan ludah pahit sehingga membuat tenggorokanku sedikit sakit mendengar pertanyaan itu.
"Aku tidak tahu," jawabku.
"Kalau begitu, dimanakah kamu akan mati?" tanya Ferdi mengganti pertanyaannya.
"Di rumahku," jawabku.
Ferdi terkejut mendengar jawabanku sehingga membuatnya spontan menoleh ke arahku dengan pupil mata yang melebar.
"Rumahmu? Lalu bagaimana dengan ayahmu?" tanya Ferdi panik.
"Tenanglah, aku tidak melihat ayahmu mati saat aku mati," jawabku sembari mengusap pelan pundak Ferdi untuk menenangkannya.
"Lantas, bagaimana kamu mati?" tanya Ferdi lagi sepertinya dia berambisi untuk melindungiku.
"Dipenggal dengan kapak," jawabku pelan.
"Ah~," desah Ferdi sembari menutup matanya.
Dahinya sedikit berkerut seolah dia merasa ngeri karena terdapat imajinasi dalam anggannya yang mmapu membuatnya membayangkan apa yang baru saja kukatakan.
"Tenanglah, Nisa. Aku pasti akan melindungimu!" ujar Ferdi lantas memelukku.
Aku hanya menganggukkan kepalaku, rasanya tidak ada kata-kata yang bisa kukatakan lagi. Walaupun Ferdi berniat melindungiku, bagaimanapun ini adalah penglihatan tentang kematianku. Yang mampu menghadapi takdirku pada akhirnya adalah aku sendiri.
"Nisa, apa penglihatanmu bisa berubah?" tanya Ferdi setengah berbisik.
Aku mengedik ragu.
"Mungkin,"
"Bagaimana?" tanya Ferdi penasaran.
"Dengan mengubah alurnya," jawabku.
Ferdi melepas pelukannya dan memandangku dengan tatapan bingung.
"Maksudmu?" tanya Ferdi tidak mengerti.
"Penglihatanku berubah saat terjadi sebuah perubahan alur cerita sehingga menyebabkan peranpun berganti. Jika itu terjadi, penglihatanku pun mengalami perubahan," jawabku menjelaskan.
"Apa kamu pernah mengalaminya?" tanya Ferdi.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Iya, pernah!" jawabku.
"Kapan?" tanya Ferdi lagi.
"Saat pertama kali bertemu Denis, aku melihatnya membunuh Ana. Namun yang terjadi, dia malah menjadi saksi dan mengungkap pelaku yang sebenarnya. Itu artinya, ada perubahan dalam alurnya!" jawabku.
Ferdi hanya diam, sedang mencoba mencerna penjelasanku dengan seksama.
"Seandainya aku tidak mengawasi Denis, tentu saja dia akan membunuh Ana. Namun kenyataannya aku selalu mengawasinya sehingga dia terhambat pelakukan pembunuhan itu. Pada akhirnya pembunuhan itu tetap terjadi karena ada orang lain yang mengambil alih perannya. Penglihatanku pun mengalami penyimpangan. Tetapi dalam hal ini aku dapat menyimpulkan bahwa penglihatanku bisa diubah!" kataku menjelaskan panjang lebar.
Ferdi mengangguk-ngangguknya kepalanya sepertinya dia mulai memahami apa yang baru saja aku jelaskan barusan.
"Kalau begitu, haruskah kita membunuh Denis sebelum dia membunuhmu?" usul Ferdi membuatku langsung terkejut setengah mati.
"Fer, apa yang kamu katakan?" tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.
"Kita pernah membunuhnya sekali, Nisa. Kita hanya perlu menyingkirkannya sekali lagi. Namun kali ini akan kupastikan dia benar-benar mati. Dengan begitu, hidup kita akan normal dan bahagia!" kata Ferdi dengan seringai yang menakutkan.
"Jika kita membunuhnya lagi, rasa bersalah kita karena membunuhnya dulu akan semakin bertambah. Aku tidak akan bisa menanggungnya, Fer!" tolakku.
Ferdi menggelengkan kepalanya lalu mencengkram kuat lenganku.
"Nisa, kita hanya perlu membunuhnya. Dia pembunuh, untuk apa merasa bersalah karena membunuh pembunuh? Dia pantas mati dan-,"
Plaak.
Tanpa sadar aku telah mendaratkan tanganku di pipi kiri Ferdi. Pacarku yang biasanya kalem itu terlihat menunjukkan ketidaksukaan atas apa yang baru saja aku lakukan.
"Apa kamu begitu mencintainya hingga kamu melakukan ini hanya karena aku ingin membunuhnya huh? Aku melakukannya untuk melindungimi, Nisa!" kata Ferdi sedikit meninggikan suaranya.
Aku meronta dan berusaha melepaskan cengkraman tangan Ferdi di lenganku.
"Lepaskan!" seruku.
Ferdi menatapku, kami bercakap dalam diam. Namun sayangnya percakapan kami bukan tentang cinta. Kami sedang meluapkan amarah masing-masing dalam tatapan mata yang saling menyalahkan satu sama lain.
"Cih, dia memang menyebalkan. Sang raja yang telah mengikat hati ratuku!" dengus Ferdi kesal.
Perlahan cowok jangkung itu melepas cengkramannya dari lenganku. Dia memalingkan wajahnya seolah enggan menatapku lagi. Hatinya kecewa sekali lagi.
"Maafkan aku, Fer!" ucapku pelan.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku yang salah karena memaksamu memihakku!" sahut Ferdi kesal.
Aku menghela napas panjang, entah mengapa aku tidak suka dengan kesalahpahaman ini.
"Bukan begitu maksudku, Fer!" kataku mulai menjelaskan.
"Aku hanya tidak ingin kamu menjadi pembunuh seperti dirinya. Aku bukan melindunginya, aku melindungimu!" tekanku.
"Tapi jika dia tidak dibunuh, dia akan membunuhmu, Nisa!" sanggah Ferdi.
Aku menggerakkan tanganku, meraih kepala Ferdi dan membuatnya menoleh ke arahku.
"Aku tahu, Fer! Tetapi aku tidak ingin lari lagi. Kamu yang bilang akan melindungiku bukan? Tekadmu itu telah mengubah alur cerita sehingga aku yakin kematianku pun akan mengalami pergeseran,"
Aku tersenyum kecil sembari menatap tajam ke dalam bola mata Ferdi yang hitam bulat itu.
"Kita akan menghadapinya bersama, bukan dengan niat membunuh tetapi membela diri," ucapku dengan tersenyum tipis. "Kita bisa jika bersama, bukankah kita pernah menang satu kali saat melawannya dulu?"
Ferdi membalas senyumanku dengan sedikit memaksa. Aku yakin dia masih belum menerima keputusanku tetapi agaknya dia enggan berdebat.
"Kita akan menghadapinya bersama," kataku dengan bersungguh-sungguh.
Ferdi mengangguk lalu merangkulku erat.
"Hanya kamu yang saat ini kupunya, Nisa. Aku tidak ingin kehilanganmu!" bisik Ferdi.
"Huum, aku akan berusaha agar tetap hidup!" janjiku.
Tak lama kemudian, kami pun meninggalkan pemakaman dengan tangan saling menggenggam erat satu sama lain. Aku memang masih mencintainya, Ferdi. Aku tidak dapat memungkiri perasaan bodoh itu, tetapi aku masih sanggup melawannya. Aku tidak akan kalah. Perasaanku padamu jauh lebih kuat daripada pada Denis. Psikopat itu harus mati, bukan aku ataupun kamu. Ini mungkin terdengar kejam, tetapi tidak ada pilihan lain. Pilihannya hanya dua, dia atau kita yang mati. Aku memilih pilihan yang kedua.
Denis, tunjukkanlah dirimu dengan segera. Karena aku yang sekarang, tidak akan pernah mundur untuk melawanmu. Jika takdir mengharuskan salah satu diantara kita harus mati, maka terpaksa saat itu mungkin aku akan membunuhmu lebih dulu.