BAB 10

1084 Kata
Author's pov Gadis itu hanya duduk terdiam di sebuah kafe dengan segelas minuman hangat di tangannya. Saat ini dia hanya melihat rintik hujan dari kursi tempatnya berdiri. Dia sedang menunggu hujan reda agar bisa pulang. Hari ini gadis itu memiliki janji bertemu dengan teman yang dikenalnya di dunia maya. Seorang gadis yang berkuliah di kampus yang berbeda tetapi di jurusan yang sama. Dia merasa cocok dengan gadis itu walaupun baru saja bertemu. Jadi, dia memilih untuk menemuinya langsung daripada harus menunggu temannya itu mengajaknya bertemu. Dia hendak pergi hari ini tetapi hujan tiba-toba turun dengan deras sehingga memaksanya berteduh di kafe itu. Dia terjebak dan tidak bisa pergi. Hubungannya dengan kekasihnya sedikit renggang karena pertengkarannya kemarin. Jadi, dia enggan meminta jemput. Bukan karena gengsi tetapi lebih kenapa bersifat menjaga privasi. "Halo, Radit. Kamu di mana?" Deg. Jantungnya berdegup kencang saat nama itu terdengar. Kepalanya otomatis menoleh pada sumber suara dimana suara itu berasal dari gadis lain yang duduk tidak jauh dari tempatnya duduk. "Ah, kamu sebentar lagi sampai? Oke, aku tunggu!" Gadis itu terpaku, memperhatikan lebih akurat gadis yang tengah bicara di telpon itu. Gadis itu berperawakan tinggi, kurus dengan kulit putih dan rambut hitam panjang. Sorot matanya tajam dan bibirnya memiliki bentuk yang indah dan menggoda. Cantik. Begitulah gadis itu menilai gadis yang tengah diamatinya. "Heh, ngapain lihat-lihat?" sergah gadis lain itu seolah menyadari kalau sedang diperhatikan. "Ah, maaf! Aku sungguh merasa kalau kamu cantik sekali!" kata gadis itu memberikan alasan. Gadis lain itu hanya merona, merasa tersipu malu karena dipuji oleh gadis lain. "Ah, biasa aja. Aku akan bertemu dengan kekasihku. Jadi, aku sedikit berdandan hari ini!" katanya sembari memegang kedua pipinya yang mendadak memerah. "Ah, kamu sudah punya pacar," Gadis lain itu mengangguk. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya lalu berpindah tempat duduk ke kursi di dekat gadis itu. "Boleh aku duduk di sini?" tanyanya sopan. Gadis itu mengangguk kecil. "Silahkan!" katanya mempersilahkan gadis lain itu duduk. Gadis lain itu tersenyum senang. Dia duduk lalu mengulurkan tangannya. "Aku Ghea," katanya memperkenalkan diri. "Nisa," sambut gadis itu sambil menerima uluran tangan dari Ghea. "Apa kamu sedang menunggu seseorang juga?" tanya Ghea pada Nisa. Nisa menggeleng pelan. "Tidak!" sahutnya. "Teman yang aku tunggu membatalkan janjinya, jadi saat ini aku tidak menunggu siapapun." Nisa menimpali. "Ah, sangat disayangkan. Kamu pasti kecewa," sahut Ghea. Nisa hanya tersenyum tipis. "Tidak juga, aku mengerti kenapa temanku tidak jadi datang," sanggah Nisa. "Kenapa?" tanya Ghea penasaran. Nisa tersenyum sekali lagi lalu menunjuk ke arah luar. "Ah, hujan!" kata Ghea sambil mengangguk-nganggukkan kepalanya sebagai tanda dia telah mengerti maksud dari ucapan Nisa. "Iya, hujannya deras sekali. Jadi, apa kamu sedang menunggu seseorang?" tanya Nisa. Ghea mengangguk. "Iya, aku sedang menunggu Radit, kekasihku!" jawab Ghea lalu tersenyum lebar. Nisa tersenyum kecut mendengar nama Radit. Hatinya begitu was-was tetapi dia mencoba mengendalikan rasa takut yang mulai memperlihatkan kehadirannya. "Radit, pacarmu itu, jika boleh tahu, hm," Nisa menghentikan ucapannya. Ragu. "Raditya!" ucap Ghea membuat Nisa melebarkan pupil matanya. "Nama pacarku Raditya, apa pacarmu juga memiliki nama itu?" tebak Ghea. "Heh?" Nisa mulai merasa linglung. "Jangan bilang pacarku adalah pacarmu. Tetapi itu tidak mungkin bukan?" Ghea tergelak membuat Nisa tersenyum canggung. "Raditku bukan dari kota ini." kata Ghea menjelaskan. "Dia hanya lelaki biasa dari desa, jadi tidak mungkin Radityaku itu pacarmu atau seseorang yang kamu kenal bukan?" ungkap Ghea membuat Nisa sedikit merasa lega. Sepertinya Ghea menyadari bahwa Nisa sangat tertarik dengan nama Radit. Tetapi dibandingkan tertarik, Nisa justru lebih cocok jika dikatakan kalau Nisa 'ketakutan' saat nama itu disebut. "Ya, aku rasa memang Radityamu bukan seseorang yang aku kenal. Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman," kata Nisa merasa tidak enak pada Ghea. Ghea hanya tertawa geli. "Sudahlah, tidak masalah. Jika dia datang, akan aku perkenalkan dia padamu!" janji Ghea. "Baiklah!" sahut Nisa. Keduanya pun mulai mengobrol tentang diri mereka masing-masing. Saling membicarakan seputar kehidupan masing-masing yang tidak terlalu penting sehingga tidak akan merusak privasi masing-masing. "Jadi, kapankah Radityamu itu akan datang?" tanya Nisa setelah lebih dari tiga puluh menit mereka mengobrol dan masih belum ada tanda-tanda kalau pacar Ghea akan datang. "Ah, Radit tidak akan masuk ke kafe. Dia akan menungguku di luar." "Eh, sayang sekali aku tidak bisa berkenalan dengannya," kata Nisa sedikit merasa kecewa. "Yah, jangan kecewa begitu. Kamu masih bisa melihatnya. Ikutlah aku keluar nanti maka kamu bisa melihatnya saat kuturunkan kaca mobil dan melambaikan tangan padamu." Ghea memberikan usul. "Ah, baiklah. Kalau begitu, boleh aku minta kontakmu?" tanya Nisa. Ghea mengangguk mengiyakan. "Tentu saja," sahut Ghea dengan senang hati. Kedua pun saling bertukar kontak. Nisa sedikit merasa nyaman saat mengobrol dengan Ghea seolah dia memiliki karakter yang sama dengan Mia. Ah, sungguh aku merindukanmu, Mia. Batin Nisa. "Ah! Raditku sudah berada di depan. Apa kamu mau ikut mengantarku?" tanya Ghea. Nisa mengangguk mengiyakan. "Oke," Keduanya pun keluar dari kafe. Ghea mengembangkan payung hitam yang dibawanya lalu menoleh ke arah Nisa. "Itu dia!" kata Ghea sambil menunjuk sebuah mobil mewah berwarna silver yang baru saja parkir. Mesin mobil masih menyala seolah mobil itu hanya akan singgah sebentar. "Aku duluan, bye!" pamit Ghea lalu melambaikan tangan. Nisa membalas lambaikan tangan Ghea. "Hati-hati!" katanya mengingatkan. "Okey," sahut Ghea lantas mulai berjalan menuju mobil silver itu. Pintu mobil itu terbuka dan Nisa langsung merasakan sakit di jantungnya. Otot kakinya melemas begitu kaca mobil diturunkan. Di sana, di dalam mobil itu, meski tidak seutuhnya, hanya sebagian saja, dia melihat sebuah pemandangan yang membuatnya berhenti bernapas. Lelaki di tempat duduk pengemudi itu, Raditya, pacar Ghea itu-.. "Tidak!!!" Nisa berteriak kerasa setelah kaca jendela mobil tertutup sempurna dan Ghea telah mengalihkan pandangannya dari dirinya. "Tidak, tidak!!" Nisa mulai histeris. Gadis itu hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin telah mengucur tanpa henti dan dia mulai kehilangan keseimbangan. Sebuah pesan mendarat di handphonenya. Nisa mulai berlinang airmata saat membaca pesan yang baru saja masuk. [ Ghea Senang bertemu denganmu lagi, Nisa. ] Nisa mencoba menenangkan dirinya, gadis itu berupaya sekuat tenaga untuk menekan tombol calling pada nomer Ghea. “Nomer yang anda tuju sedang-.” Nisa mencoba sekali lagi, airmatanya pun semakin tidak terkendali. “Nomer yang anda tuju sedang-.” Sekali lagi, sekali lagi. Begitulah Nisa terus mencoba berulang-ulang kali akan tetapi yang dia dengar hanyalah sebuah pesan yang mengatakan bahwa nomer Ghea sudah tidak aktif. Tiba-tiba Ghea calling, membuat jantung Nisa serasa terhenti. Nisa menekan tombol hijau pada handphonenya. Telpon pun tersambung. "Ha-halo?" suara Nisa bergetar, cemas dan takut menguasainya. Tidak ada jawaban. "Ha-halo Ghea?" ulang Nisa. Masih tidak ada jawaban. "Ghea, jawab dong! Ghea!" teriak Nisa. "Halo, Nisa!" Deg. Suara lelaki. Air mata Nisa langsung jatuh. "Kamu masih tetap saja cantik seperti dulu,” suara itu kembali terdengar dengan mengucapkan pujian. "Ka-kamu," Nisa mulai terbata. Tidak sanggup meneruskan kata-katanya sendiri. "Ya, ini aku!" Jawaban itu meremas kuat jantung Nisa. "Jangan sakiti Ghea, Denis!" mohon Nisa. Suara tawa terkekeh terdengar. "Jangan khawatirkan orang lain. Selanjutnya giliranmu!" Tut.. Tut.. Tut.. "Argghhh," Nisa membanting ponselnya asal. Nisa mulai menangis sejadi-jadinya membuat sebagian pengunjung di kafe itu menjadikannya tontonan. Nisa tertunduk lemas di tanah. Gadis itu berulang kali melayangkan tinjunya ke tanah yang basah karena hujan. Hatinya kembali terkoyak oleh luka yang sama. Aku membencimu, Denis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN