Awal yang Baru

1523 Kata
Febi memberitahukan kabar baik tentang kehamilannya pada mamanya.   "Anak Ervan! Ini anak Ervan, Ma! Mama percaya? Febi akhirnya bisa menikah dengan Ervan. Dan Mama tidak bisa menolaknya. Kecuali Mama mau anak ini tidak punya ayah."   Febi tertawa terbahak-bahak dan berlalu meninggalkan mama yang mengurut d**a. Mama terlihat letih. Dia kalah. Perjuangannya kalah. Usahanya kalah. Dan dia lelah. Mungkin memang sudah saatnya Mama mengalah. Menerima takdir yang seharusnya terjadi puluhan tahun lalu. Sementara di kamar, Febi menyanyikan lagu kemenangannya. Melukis dinding kamar dengan lirik-lirik bernuansa pelangi.   "Aku milik Ervan! Aku mengandung anak Ervan!"   Febi tersedu. Penantian puluhan tahunnya berlabuh. Kesepian yang membatu di dinding hatinya sudahlah retak. Tidak ada lagi penghalang antara dia dan Ervan. Dan Mama, dia tidak mungkin menyuruhnya menggugurkan kandungan. Meskipun itu sama saja dengan memelihara aib. Tapi Mama sangat ingin seorang cucu yang terlahir dari rahim Febi. Mama akan menerima cucunya, meski itu berasal dari darah orang yang tak pernah direstuinya.   "Aku harus mengabari Ervan tentang berita baik ini. Dia pasti akan terkejut. Tapi bagaimana jika dia tak suka aku hamil? Aku tidak mungkin memaksanya menikahiku. Tapi perut ini akan semakin besar, tidak mungkin aku hamil tanpa suami."   Febi mulai gelisah. Dia bingung bagaimana cara memberi tahu Ervan. Muncul sedikit rasa takut dalam dirinya, bagaimana jika Ervan menolaknya?   'Tapi Ervan harus tahu, ini anaknya.'   Febi mengusap perutnya yang masih rata. Sebelah tangannya menekan tombol speed dial di ponselnya. Nomor telepon Ervan.   "Ha-halo, Van. Apa kabar? Sibuk?"   Dia belum pernah segugup ini saat menghubungi Ervan. Mereka berbasa-basi sebentar. Berbicara tentang cuaca yang tak menentu, banjir di beberapa tempat, dan kekeringan di tempat lain.   "Ka-kamu ada rencana mau ke Cilacap lagi tidak, Van?" Ervan tertawa mendengar pertanyaan Febi. Dia menggoda Febi sebentar. Bertanya apakah Febi merindukannya? Febi tersipu mendengar pertanyaan Ervan. Tentu saja Ervan tidak bisa melihat wajahnya yang memerah dan tangannya yang tak henti mengelus-elus perutnya.   “A-aku ingin memberitahumu sesuatu. Kabar baik. Menurutku. Tapi …, aku takut itu bukan kabar baik bagimu. Dan …, kamu menjadi marah, tidak suka, atau menghilang lagi tiba-tiba.”   Hening cukup lama. Sepertinya Ervan berpikir keras dan mencoba mencerna perkataan Febi. Mengait-kaitkan kejadian yang pernah terjadi di antara mereka. Dia mencoba menarik kesimpulan walaupun dia berharap bukan itu kejadian sebenarnya. Ervan pun bertanya, dengan nada yang dibuat riang. ‘Kabar baik apa?’   “A-aku …, aku …, aku hamil, Van. A-nak-mu.”   Febi mengucapkan kata ‘anakmu’ dengan perlahan dan terbata. Sebenarnya dia ingin melihat langsung reaksi Ervan. Apakah marah, kecewa, atau bahagia? Seharusnya dan dia juga berharap, Ervan bahagia dengan berita yang telah dia sampaikan. Tapi …, mengingat kondisi dia saat ini, bisa jadi Ervan justru kecewa dan marah. Ah, Febi mulai menyesali mengapa dia begitu ceroboh saat Ervan menggaulinya. Tapi dia tidak bisa menolak Ervan melakukan apa pun terhadap dirinya. Dia betul-betul bahagia akhirnya sesuatu terjadi di antara mereka berdua.   ‘Kamu yakin? Maksud aku kamu sudah cek ke dokter atau bidan?’ tanya Ervan setelah terdiam lagi cukup lama. Sepertinya dia baru saja memulihkan diri dari rasa terkejut.   “Aku sudah tes dengan tespack yang aku beli di apotek. Tidak perlu menunggu lama untuk melihat dua garis yang begitu jelas, Van. Dengar, aku mengerti jika kamu mungkin sedikit marah atau kecewa. Aku paham situasimu saat ini, kamu baru saja bercerai. Tapi jangan suruh aku menggugurkan kandungan ini, Van. Ini anakmu, anak kita! Aku sudah menunggunya terlalu lama.”   ‘Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Tentu saja aku akan bertanggung jawab, Sayang. Aku akan menikahimu segera. Bilang sama mamamu, akhir pekan ini aku akan datang ke rumah untuk melamar.’   Febi meneteskan air mata. Hatinya benar-benar hangat sekarang. Ini pertama kalinya Ervan memanggil ‘sayang’. Dan apa katanya tadi? Melamar? Oh, impian Febi sungguh-sungguh akan terwujud kali ini. Dia akan menjadi pengantin Ervan. Dia akan menjadi istri Ervan yang sah.   Nyonya Ervan!   ***   Seperti seorang napi menghirup udara bebas, seperti itulah perasaan Hastuti saat ini. Kembali ke apartemennya yang nyaman. Kembali pada pekerjaannya yang mengasyikan. Dunia gemerlapnya. Teman-teman selebritisnya. Dan tentu saja, laki-laki simpanannya yang baru. Tidak ada lagi masa lalu yang menghantuinya. Semua telah dia musnahkan sekarang. Ahh, tidak semuanya. Ada satu bagian dari masa lalu yang dia sisakan, bukan untuk diingat, tapi untuk dijadikan masa depan yang membahagiakan.   Hastuti membiarkan tubuhnya terendam lebih dalam di bath tub yang telah dibubuhi bath salt beraroma peppermint. Harum aroma lavender juga menguar dari anglo pemanas. Alunan musik orkestra terdengar samar dan perlahan dari player yang diputar di ruang keluarga. Hastuti menggerak-gerakkan lehernya sedikit, mengurangi rasa tegang di urat-urat kepalanya. Khasiat aroma terapi telah memengaruhi suasana hati dan juga tubuhnya. Dia lebih segar, lebih santai dan lebih bersemangat.   Bunyi pintu dibuka dan ditutup terdengar samar-samar di antara alunan Eine Kleine Nachtmusic. Gesekan kain pada pangkal paha terdengar semakin mendekati kamar mandi yang sengaja dibuka pintunya. Hastuti tersenyum, dia menyadari ada seseorang yang datang. Dan dia tahu betul siapa orangnya.   “Kapan kamu kembali?”   Seseorang itu sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. Memperhatikan tubuh Hastuti yang terendam busa-busa sabun.   “Belum lama. Dan kamu? Ini masih sore, kenapa sudah pulang?”   “Aku cape sekali, tadinya ingin tidur sebentar baru pergi lagi. Tapi sekarang, sepertinya aku lebih baik langsung pergi saja.” Laki-laki itu berbalik hendak meninggalkan Hastuti.   “Hei! Kenapa terburu-buru?” tanya Hastuti sambil bangkit dari bath tub dan mengeringkan tubuh sekenanya. Air masih menetes dari rambutnya yang basah.   “Kamu tidak rindu padaku?”   Dia mendekati laki-laki itu dan memeluknya dari belakang. Membaringkan kepala di punggungnya yang keras.   “Aku cape, Tik.”   “Ayolah, aku bantu kamu terlelap.” Hastuti menggandeng tangan laki-laki itu ke kamar tidur. Handuk Hastuti perlahan terlepas sebelum keduanya tiba di atas kasur.   “Berbaringlah, Jat. Aku akan melemaskan urat-uratmu yang tegang.”   Hastuti melepas kancing-kancing kemeja Wijat dan mengendurkan tali pinggangnya. Wijat memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan lembut yang diberikan Hastuti.   ***   Kembali ke rutinitas yang biasa.   Bangun tidur, menyiapkan sarapan, memasukkan baju ke mesin cuci, membangunkan kedua ratunya dan memandikan ratu kecilnya. Setelah pengasuh paruh waktu yang akan menjaga kedua anaknya datang, Shila pun bersiap pergi ke kantor. Sudah dua hari ini suaminya masuk shift malam dan dia tidak akan bangun hingga jam 10 nanti. Shila memberikan beberapa intruksi kepada pengasuh anak-anaknya sebelum akhirnya dia berangkat. Berbaur dengan para pencari rupiah di jalanan Batam yang berdebu.   Dia tiba di kantor 10 menit sebelum waktu kerja di mulai. Masih sempat baginya untuk menyalakan komputer dan mengecek e-mail pribadi. Kebiasaan baru ini dia lakukan setelah pulang dari reuni tempo hari. Entah kabar apa yang diharapkannya. Yang pasti, setiap selesai membuka e-mail, hanya desahan panjang dan sedih yang keluar dari mulut Shila.   “Bu, bisa tarik laporan sekarang? Sudah ditunggu region.” Suara  Branch Manager  membangunkannya dari lamunan.   “Oh, oke! Saya tarik sekarang, Pak.” Shila bergegas menutup e-mail pribadi dan juga akun media sosialnya.   Bukankah dia sudah memutuskan untuk menutup pintu locker itu rapat-rapat? Jadi apa lagi yang harus diharapkan? Shila tidak bisa menemukan jawaban yang pasti. Terkadang rasa rindu itu begitu besar datangnya. Dan rasanya semua tentang suaminya kini mulai terlihat salah. Shila tahu ada yang tidak beres dengan perasaanya dan dia tidak berusaha keras untuk menekannya. Dia begitu ingin sesuatu terjadi.   Sesuatu yang bisa mengubah takdir agar menjadi lebih ramah terhadapnya.   ***   Udara desa ini begitu segar. Suasananya juga sangat tenang. Terlalu tenang malah. Memang sangat cocok untuk memulihkan perasaan orang yang tersakiti atau menangkan pikiran-pikiran yang sedang kalut.   Deira mulai merajut pikiran-pikiran sehatnya di desa ini. Dia sudah terbiasa bersandiwara menjadi anak baik dan tidak susah bersandiwara sekali lagi di depan Dokter Totok dan tim medisnya.   Awal kedatangannya di klinik pribadi ini, Deira sempat frustasi. Tidak terima jika dia disamakan dengan pasien-pasien stres yang lain. Deira menutup diri dari keadaan di sekitarnya dan menjauhi kontak sosial dengan penghuni klinik. Bahkan Deira menolak makan bersama di ruang makan. Atau melakukan kegiatan sosial bersama di ruang rekreasi. Dia ingin pulang. Ingin pulang secepatnya! Tapi syarat pulang adalah jika dia sudah sembuh. Deira tidak tahu pasti seperti apa rasanya sembuh.   “Aku tidak sakit,” bisik Deira lirih saat Dokter Totok menanyakan tentang perasaannya.   “Anda tidak sakit, Nyonya. Secara fisik tidak. Hanya ada beberapa hormon yang terlalu berlebih di tubuh Anda dan kita akan belajar mengendalikannya.”   “Aku tidak pernah melukai orang karena kelebihan itu. Suamiku baik. Anak-anak baik.”   Deira teringat anak sulungnya. Dia pasti sudah rusak sekarang. Entah bagaimana dia melakukan pelampiasan jika tidak ada Deira. Bukankah lebih baik jika Deira yang menjadi sumber pelampiasannya? Daripada dia ‘jajan’ atau menghamili anak orang.   “Suami Anda merasa, Anda bisa membahayakan diri sendiri jika kelebihan itu tidak dikendalikan.”   “Suamiku?”   “Ya, suami Anda sangat mencintai Anda, Nyonya. Dia ingin Anda kembali kepadanya dan menjadi perempuan biasa seperti perempuan lain.”   Tapi sejak dulu Deira sudah berbeda. Dia tidak pernah merasa biasa. Suaminya melakukan ini hanya untuk menghukum dirinya karena telah berselingkuh. Dia menyalahkan Deira atas ketidakmampuannya memenuhi gairah seksual Deira. Apa yang dimaui suaminya? Menjadikan dia frigid dan merawat dia sampai mati? Seharusnya suaminya sadar, siapa dia dan siapa Deira dulunya.   Deira menuruti segala hal yang disarankan kepadanya. Dia meminum semua obat yang disodorkan kepadanya. Dia mengikuti semua sesi terapi walau lebih banyak bungkam ketika terapis mengajukan pertanyaan. Dia juga mematikan segala perasan simpati dan empati pada dirinya. Deira menangis saat terapis menyinggung soal anak-anaknya. Deira menekan rasa sakit di dadanya saat harus menceritakan masa lalunya.   Tidak ada masa lalu yang harus diceritakan. Tidak ada lagi masa lalu yang akan dia kenang dan dia bawa-bawa seumur hidupnya. Saat Deira keluar dari penjara bernama klinik ini, dia akan menjemput masa depan itu sendiri. Dia akan membuat masa depan itu menjadi miliknya, meski nyawa taruhannya! ©  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN