AKHIR PERJALANAN

1466 Kata
D’Bee Tour & Travel   Papan nama itu terpasang di sebuah ruko di Jl. Gajah Mada. Deira menghadiri pembukaan biro perjalanan miliknya. Dia menyalami beberapa undangan dan menjelaskan beberapa paket tur yang dimilikinya. Sebagian undangan yang datang adalah lelaki pemuja Deira yang menanyakan apakah Deira akan menjadi guide yang akan mengantar mereka berwisata? Sudah terbayang di imajinasi mereka, menghabiskan beberapa hari perjalanan wisata dengan Deira. Tapi Deira tidak menjanjikan apa pun kepada mereka. Semua operasional diserahkan kepada Galang. Dan sebenarnya Deira juga tidak bisa ikut di semua paket wisata yang ditawarkan. Tidak mungkin baginya meninggalkan suami seorang diri. Para undangan yang hadir pun benar-benar di atur. Sebisa mungkin mereka adalah orang-orang yang tidak ada hubungan dengan suaminya. Tapi mulut itu seperti angin. Pergi diam-diam dan menyelusup diam-diam. Kabar yang dibawa diam-diam pun akan tersebar ke mana-mana. Suatu hari nanti, suaminya pasti akan mengetahui kegiatan Deira yang baru dan mempertanyakannya.   Jika saat itu tiba, Deira sudah siap. Segala resikonya sudah dia perhitungkan. Dia berharap banyak pada biro perjalanan wisatanya. Jika semua berjalan lancar, dia bisa segera terlepas dari ikatan dengan suaminya. Tidak mengapa jika suaminya tidak memberinya nafkah atau harta. Tidak mengapa jika anak-anak dipisahkan darinya. Dia akan menikmati kebebasannya nanti dengan mengantar peserta tur berwisata ke tempat-tempat eksotis. Dan kesempatan dia untuk menyalurka ‘hobinya’ pun akan semakin besar. Deira sedikit gugup membayangkan itu semua.   “Aku menyerahkan semua operasional biro sama kamu ya, Lang. Jangan lupa untuk bikin laporan bulanannya.”   “Mau aku kirim ke mana laporannya?”   “Kita akan membicarakannya seperti ‘biasa’.” Deira mengedipkan sebelah matanya dan bersiap pergi ke mobilnya.   “O, ya, Ra, sertifikat rumahmu sudah ada tapi belum balik nama. Kapan ada waktu?”   “Mmm, kamu simpan saja dulu sertifikat dan semua surat penting lainnya di brankas kantor. Aku tidak mungkin menyimpannya di rumahku, kan? O, ya jangan lupa janjimu sore ini, ya. Kamu sudah janji mau presentasi tentang biro kita di depan arisan rempong, kan? Dandan yang ganteng! Biar mereka ibu-ibu tapi hatinya lemah sama laki-laki ganteng.” Deira tersenyum penuh arti.   Dulu, Deira pernah bergabung dengan kelompok arisan bonafit itu. Hanya untuk menghormati suaminya dan mencoba berteman dengan istri-istri relasi bisnis suaminya. Tapi lama kelamaan Deira menjadi risih dan tidak betah bergabung di sana. Perempuan-perempuan yang gemar bersasak dan sangat suka menempeli tubuhnya dengan sesuatu yang gemerlap itu sedikit cemburu dengan penampilan Deira yang menawan. Tak perlu disasak, rambutnya sudah indah. Tak perlu di gantungi perhiasan gemerlap, bahasa tubuh Deira sudah sangat memesona. Ada rasa khawatir bari para istri jika suaminya bertemu Deira. Karena setiap dua bulan sekali, mereka mengadakan gathering bersama suami dan anak-anak mereka.   Dan itu sungguh terjadi. Saat gathering pertama Deira, para suami tak hentinya mengagumi lekuk tubuh dan kecantikannya. Membuat para istri harus menegur, mencubit, dan bersungut pada suami-suami mereka. Tetap saja, para suami memperhatikan Deira diam-diam dan berdecak kagum pada Suyudi karena bisa mendapatkan Deira. Gathering hari itu pun berakhir lebih cepat, karena banyak keluarga yang mempersingkat kehadiran mereka dengan berbagai alasan.   Sejak itu, satu per satu anggota arisan menjauhi Deira, hingga akhirnya Deira tidak betah dan memilih keluar setelah satu putaran arisan berlian berakhir. Diam-diam, Deira menghukum para istri dengan meniduri suami-suami mereka. Beberapa berakhir, beberapa masih berlanjut hingga sekarang.   Deira memarkir mobilnya di garasi rumah mereka yang sangat lapang. Dia bergegas masuk ke dalam rumah ketika disadarinya satu mobil ambulance terparkir di halaman rumah. Jangan sampai sesuatu terjadi pada suaminya lagi.   “Bik! Bibi!”   Deira berteriak memanggil asisten rumah tangganya. Dia melemparkan tasnya di salah satu kursi ruang tamu. Masih menggunakan sepatu bertumit runcing, dia berlari-lari masuk ke dalam rumah. Dia hampir bertabrakan dengan salah satu ART-nya ketika hendak menuju kamar suaminya.   “Bi, kenapa dengan Bapak? Ada apa? Kenapa ada ambulance di halaman. Mana Bapak? Mana, Bi?”   “Bapak baik-baik saja, Nyonya. Bapak tidak apa-apa.”   “Terus kenapa ada ambulance di halaman?”   “Bapak menunggu Nyonya di ruang kerjanyanya.”   Deira memandang ART-nya tak mengerti. Firasatnya berkata ada sesuatu yang tak beres. Jika suaminya baik-baik saja lalu untuk apa ambulance itu?  Jantung Deira berdebar tak menentu saat dia membuka pintu kantor suaminya.   “Pa, Papa baik-baik saja? Papa sehat?” Deira memandang suaminya yang menatapnya hangat di kursi roda. Perawat suaminya berdiri di belakangnya dengan wajah tertunduk. Deira merasa ada senyum kemenangan yang dia sembunyikan di sana. Kemenangan terhadap apa?   “Duduklah, Ma. Ada yang ingin Papa bicarakan.”   Deira duduk di salah satu kursi kosong di ruangan itu. Ada dua orang perawat berbadan tegap yang berdiri di dekat pintu. Mereka kini bergerak perlahan ke belakang Deira. Seorang lelaki yang sudah cukup tua dan berwajah sabar duduk tidak jauh dari suaminya. Sepertinya dia seorang dokter.   “Apa yang terjadi, Pa? Papa tidak sakit lagi, kan?” Deira bertanya cemas kepada suaminya. Dia juga melirik sekilas kepada dokter di depan suaminya yang juga menundukkan pandang.   “Papa sehat. Papa baik-baik saja. O, ya, perkenalkan teman Papa. Ini Dokter Totok. Dia seorang dokter psikiatri dan punya klinik perawatan yang sangat pribadi di luar kota.”   Deira mengembuskan napas lega. Suaminya tidak apa-apa dan dokter itu adalah dokter jiwa, jika benar perkiraan Deira. Dan tidak ada yang sakit jiwa di rumah ini. Jadi ini mungkin hanya sekedar kunjungan teman lama.   “Oh, halo, Dokter. Senang berkenalan dengan Anda.” Deira menyalami Dokter Totok dan disambut dengan uluran tangan yang ragu-ragu.   “Kalau begitu, silakan kalian berbincang lebih lanjut. Mama mau ke atas dulu, Pa. Akan Mama suruh Bibi untuk menyiapkan jamuan untuk Dokter Totok.” Deira bangkit hendak meninggalkan ruangan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.   “Duduklah, Ma. Dokter Totok datang untuk Mama.”   “Ap-apa maksudnya, Pa? Kenapa Dokter Totok datang untuk Mama?”   “Duduklah dulu …,”   “Tidak! Papa jelaskan dulu apa maksudnya?” Dua orang perawat di belakang Deira semakin mendekat ke arahnya.   “Papa meminta Dokter Totok untuk membawa Mama ke kliniknya. Dia akan melakukan beberapa tes untuk Mama.”   “Apa?! Tes? Tes apa maksud Papa?”   “Tes untuk menilai tentang kondisi kejiwaan seseorang, Nyonya,” jawab Dokter Totok sopan.   “Maksudnya saya gila?”   “Bukan begitu, Ma. Hanya untuk memulihkan perilaku menyimpang Mama.” Suyudi mengatakannya dengan nada prihatin.   “Papa pikir aku gila? Aku menyimpang? Memang apa salahnya yang kulakukan? Aku tidak mau!” Deira membalikkan badan hendak keluar dari ruangan itu. Dua orang perawat sudah bersiap menahannya.   “Lepaskan!” Deira mengibaskan tangannya kuat-kuat.   “Ma, tolong ikuti saja tes-tes itu. Papa janji tidak akan lama dan tidak akan menyakitkan. Mama bisa segera pulang jika Mama sudah sembuh.”   “Aku tidak sakit, Pa. Aku tidak gila. Aku sehat.” Deira mulai menangis.   “Tolong lakukan saja, Ma. Demi anak-anak kita. Demi aku, Ma!”   “Demi Papa? Setelah aku menjadi istri yang baik di hadapan Papa, sekarang Papa membuangku? Ini pasti gara-gara perawat itu, kan? Iya, kan? Apa yang telah kamu lakukan? Kamu menghasut suamiku!” Deira hendak menyerang perawat di belakang suaminya, tapi tangan kekar kedua perawat laki-laki begitu kuat mencengkeramnya.   “Sudahlah, Ma. Papa sudah tahu semuanya. Kegilaan Mama di belakang Papa.” Suyudi menundukkan wajahnya, tak sanggup membayangkan apa yang telah dilakukan istrinya di belakang dia.   “Sekarang Papa bilang aku gila? Aku tidak gila! Aku tidak gila, Pa! Lepaskan aku! LEPASKAN!”   Deira berteriak-teriak dan meronta. Suyudi melambaikan tangan, menyuruh mereka membawa Deira dan segera keluar dari ruangannya. Air matanya meleleh melepas kepergian istrinya.   “Pa, tolong jangan biarkan mereka membawaku! Bagaimana anak-anak tanpaku, PA! PA! PAPAAA!”   Deira terus melawan dan berteriak-teriak histeris. Membuat perawat berbadan tegap yang membawanya sedikit kesulitan. Akhirnya, salah seorang perawat terpaksa menusukkan jarum suntik ke tangan Deira. Seketika Deira terkulai lemas. Air mata masih berjatuhan di pipinya. *** Beberapa hari sebelumnya, Suyudi meminta Dokter Totok datang ke rumahnya. Dia menceritakan semua perilaku dan kecurigaan terhadap istrinya. Dokter Totok mendengarkan dengan saksama dan hanya mengangguk-angguk hingga Suyudi selesai bercerita.   “Aku tidak bisa menyimpulkan apa pun, Di. Aku harus menganalisa kejiwaannya dulu dan memberikan serangkaian tes yang harus dijalani. Setelah itu baru bisa memberinya terapi yang sesuai.”   “Tapi aku ingin semuanya dilakukan diam-diam. Aku juga tidak mau kalau anak-anak dan teman-temanku dan temannya tahu mengenai kondisinya.”   “Itu bisa diatur. Aku punya klinik pribadi dan rahasia yang letaknya terpencil di luar kota. Khusus untuk merawat pasien dari golongan sepertimu yang tidak mau diketahui publik.”   “Lakukanlah. Berapa pun biayanya, akan aku sanggupi. Asalkan dia bisa normal seperti perempuan pada umumnya.”   “Boleh aku tanya sesuatu yang sedikit pribadi?”   “Apa itu?”   “Apakah kamu melakukan ini karena desakan orang lain atau untuk kepentingan pribadi?”   “Seberapa penting pertanyaan ini bagi kesembuhannya?”   “Orang-orang seperti Deira butuh kepercayaan bahwa dia dicintai oleh orang-orang di sekitarnya. Dan ketika dia membaik, dia harus yakin bahwa kamu masih menerimanya.”   “Dia istriku, Tok. Ibu dari anak-anakku. Aku melakukan semua ini karena menyayanginya. Aku tahu dia tidak bahagia saat ini. Dan aku akan membahagiakannya jika dia kembali nanti.”   “Baiklah. Itu cukup. Aku akan kembali nanti untuk menjemput istrimu.”   “Satu pertanyaan dariku. Apa diagnosa sementaramu?”   “Nymphomania.”   Suyudi memandangi kepergian Deira dengan hati yang perih. Dia percaya ini bukan akhir dari segalanya. Dan dia yakin Deira akan kembali padanya dengan kondisi yang lebih baik. Saat itu terjadi, mereka akan bahagia selamanya.   Bagi Deira, ini menjadi penghinaan terbesar yang dilakukan suaminya. Dia berjanji tidak akan memaafkan perbuatan yang dia terima pada hari ini. Di bawah alam sadarnya, Deira juga tidak memaafkan Banyu Arya. Semua yang dia rasakan, semua yang dia alami adalah akibat dari perasaan mendalam yang dimilikinya kepada Banyu. Dia akan menyimpan rasa terhina ini baik-baik dalam hatinya. Selamanya tidak akan memaafkan suaminya. Selamanya tidak akan memaafkan Banyu.   Selamanya … ©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN