KEJUTAN MILIK FEBI

1540 Kata
Hampir dua minggu sudah suami Deira dirawat di rumah sakit di daerah Candisari. Hampir selama itu juga dia bolak-balik dari rumah ke rumah sakit dan berhubungan intim dengan Dokter Arya. Dan saat suaminya minta dipulangkan, Dokter Arya tidak bisa menahan lebih lama lagi.   "Ra, tawaranku masih berlaku. Jika kamu ingin melakukannya, bisa aku atur waktunya. Asalkan setelah dia meninggal, kamu benar-benar menikah denganku. Aku bersungguh-sungguh, Ra."   "Terima kasih, Dokter. Saya akan menghubungi Anda lagi nanti."   Tapi dia tidak pernah menghubungi Dokter Arya lagi. Panggilan-panggilannya pun tidak pernah menjadi panggilan masuk. Deira mengganti dokter suaminya dan membujuk suaminya untuk rawat jalan di rumah sakit lain dengan alasan pelayanan yang tidak memuaskan. Tapi suaminya tahu, sesuatu telah terjadi di belakangnya.   Suaminya juga tidak menyetujui perawat yang direkomendasikan Deira. Pemuda gagah berbadan tegap berkulit bersih itu disuruh segera angkat kaki di hari pertama tuannya tiba di rumah. Tak mengapa. Toh, Deira sempat merasakan kebersamaan dengannya beberapa kali dan masih bisa berlanjut.   Masalah yang paling penting saat ini adalah pembelian beberapa aset atas nama Deira. Dia membatalkan membeli rumah di Ungaran.   "Lebih baik uangnya diinvestasikan di beberapa property kecil, Ra. Bisa juga membangun rumah petak atau kos-kosan. Tidak mati di satu aset saja. Kalau masih ada dana berlebih bisa untuk membangun bisnis kecil-kecilan."   "Bisnis apa contohnya? Aku kurang paham soal bisnis."   "Mmm, gimana kalau usaha travel? Tinggal pilih, mau wisata domestik, luar negeri atau umroh? Saranku wisata luar negeri saja. Aku punya link ke ibu-ibu pemerintahan dan anggota dewan yang suka jalan-jalan ke luar negeri."   "Wah, bagus itu. Coba kamu buat proposalnya dulu biar nanti aku pelajari."   Galang sangat bersemangat mengerjakan proyek baru dari Deira. Dia menyiapkan proposal usaha lengkap dengan break event point keuangannya. Dia juga sudah memperkirakan di mana akan membuka usaha travelnya itu.   Deira sangat percaya dengan perencanaan usaha Galang. Dia setuju untuk menjalin kemitraan dengan Galang dengan pembagian keuntungan sama rata. Modal sepenuhnya dari Deira. Rencana-rencananya terlihat sangat sempurna. Deira sedang menabung untuk mendapatkan dana pensiun lebih awal. Jika semua berjalan lancar, dia tidak akan takut mengajukan cerai ke suaminya. Masalah anaknya sudah Deira pikirkan masak-masak. Jika mereka sudah besar nanti, mereka akan mencari ke mana ibunya pergi. Mempertanyakan cerita-cerita yang diembuskan ke pikiran mereka, mengapa ibu yang mereka kasihi tega meninggalkan mereka begitu saja. Bagaimana pun juga, dia adalah ibu yang telah mengandung dan menyusui mereka. Pertalian batin ibu dan anak tidak akan bisa diputus begitu saja oleh kekuatan apa pun.   Suami Deira akhirnya menyewa seorang perawat perempuan yang sangat matang dan berpengalaman. Perawat perempuan yang sudah pasti tidak akan tergoda oleh rayuan Deira. Perawat yang lebih cocok menjadi istrinya. Karena meskipun dia nyonya di rumah ini, dia tidak punya kebebasan mendekati suaminya sesuka hati seperti biasa. Perawat itu mempunyai banyak alasan untuk menghalau Deira menjauh dari suaminya. Ini membuat Deira kesal. Apa mungkin suaminya yang menyuruh?   “Mana mungkin Papa menyuruh Mama menjauh. Malahan Papa heran, kenapa Mama jarang menjenguk Papa semenjak kita tidak tinggal satu kamar lagi.”   “Perawat Papa selalu punya seribu alasan untuk mengusir Papa dari Mama. Lihat saja dia sekarang, berdiri mengawasi seolah-olah Mama akan membawa lari Papa dari rumah kita. Mama tidak suka sama dia!” Deira mengerucutkan bibirnya. Tangannya mengupas jeruk untuk suaminya.   “Mama terlalu berlebihan. Dia hanya menjalankan tugasnya. Mungkin kedatangan Mama memang tidak tepat. Pas Papa lagi istirahat Mama muncul, pas Papa senggang Mama menghilang. Kemana saja Mama akhir-akhir ini? Kayaknya sibuk banget. Mansyur bilang, Mama sudah tidak pernah lagi datang ke kantor untuk melakukan rekap.”   Deira sudah menduga. Meskipun suaminya terlihat lemah di kursi roda, tapi otaknya masih sehat dan awas seperti biasanya. Dia memang tidak pernah lagi datang ke kantor teman suaminya untuk melaporkan penjualan seperti biasanya. Dia bosan bekerja di bawah pengawasan dan menghindar terus setiap kali Mansyur mencoba mendekatinya. Dia tahu apa yang diinginkan Mansyur. Tapi dia teman baik suaminya. Deira harus menjaga hubungan itu tetap sehat. Tapi rupanya Mansyur membalas penolakan Deira dengan pengawasan yang berlebihan terhadapnya. Bahkan mungkin Mansyur juga yang memberi laporan kepada suaminya tentang aktifitasnya di luar sana. Bukan tidak mungkin juga Mansyur melebih-lebihkan laporan kepada suaminya.   “Mama bosan kerja sama Mansyur. Dia genit. Mama hanya keliling-keliling mall di Semarang. Cape nggak ada kegiatan. Papa juga, kan lebih suka diurus sama perawat itu dibanding sama Mama. Tuh lihat, dia datang ke sini. Pasti mau ngusir Mama.” Deira meletakkan jeruk di atas pangkuannya ke meja.   “Maaf, Pak. Sudah waktunya kita masuk ke dalam dan istirahat.” Perawat tersebut meraih pegangan pada kursi roda Suyudi dan hendak mendorongnya masuk ke dalam rumah.   “Tunggu, Suster. Saya sedang berbicara dengan istri saya.”   “Tapi, Pak! Ini sudah waktunya …” perawat itu berusaha bersikeras memaksa Suyudi menuruti perkataannya. Hal ini membuat Suyudi jengkel.   “Apa saya tidak boleh bersama istri saya lebih lama? Ini masih rumah saya, kan?” Perawat itu menundukkan wajahnya karena malu. Meskipun boleh dibilang, Deira adalah majikannya, tapi dia kurang suka pada Deira. Menurutnya Tuan Suyudi tidak cocok beristrikan Deira yang terlalu glamour. Tapi uang bisa membeli segalanya, bukan?   Suyudi menatap Deira yang sedang memandangi perawat itu dengan tatapan puas. Selama ini dia menurut saja jika perawat itu mengusirnya. Dia memang takut mengganggu suaminya dan membuat suaminya terkena serangan lagi.   “Mama tidak kangen Papa?” tanyanya lembut. Dibelainya pipi Deira yang kemerahan. Rasanya sungguh bangga saat dia bisa memiliki perempuan yang begitu didambakan banyak laki-laki. Apalagi ketika perempuan itu hamil anaknya.   “Papa yang lebih tahu bagaimana perasaan Mama. Tapi Mama, kan tidak bisa mendekati Papa. Papa masih sakit.” Deira membalas menatap lembut pada Suyudi. Suyudi menghela napas.   “Papa tidak berguna sebagai suami, ya?” Deira menempelkan telunjuknya pada bibir Suyudi.   “Ssstt!! Papa nggak boleh bilang begitu. Papa suami terbaik di dunia dan ayah terbaik di dunia. Begini saja, nanti malam Mama temani Papa sampai tertidur, ya. Itu juga kalau perawat Papa mengizinkan. Atau mungkin dia yang akan menemani Papa tidur?” Deira melirik sinis dan tajam pada perawat yang berdiri di belakang kursi roda Deira. Suyudi tersenyum melihat kelakuan Deira yang kekanakkan.   “Mama boleh datang ke kamar Papa kapan saja. Ini masih rumah Mama juga, kan?” Suyudi mengecup punggung tangan Deira sebelum akhirnya meninggalkannya.   ‘Ya, ini masih rumahku. Masih rumahku …’   ***     Dua minggu sudah Febi berpisah dengan Ervan. Kadang mereka masih saling menghubungi, kadang terlupa karena kesibukan masing-masing. Dua minggu yang terasa tak menentu bagi Febi. Rindu yang tak terpaut. Perasaan yang tak menentu. Emosi yang tiba-tiba berubah. Sebentar marah-marah, sebentar menangis, tak lama kemudian bahagia.   Febi juga mulai kehilangan napsu makannya. Rasanya dia menjadi sensitif terhadap bau-bauan dan indera perasanya juga tidak bekerja dengan baik. Beberapa masakan favoritnya tiba-tiba terasa aneh di lidah. Membuat Febi harus memuntahkah kembali makanan itu. Febi juga menjadi tidak suka mencium bau indomie goreng. Biasanya dia akan tergoda begitu bau tersebut tercium oleh hidungnya. Tapi pagi ini, bau tersebut membuatnya mual dan ingin muntah.   "Mama masak apa, sih? Baunya nggak enak! Bikin Febi mual dan muntah."   Febi menyeka mulutnya dan meminum air hangat yang disediakan Mama di meja. Mama memandangi Febi dengan tatapan menyelidik.   "Mama masak mi goreng kesukaanmu, kok. Pakai telor, cabe rawit dan tauge. Seperti biasa," katanya sambil meletakkan sepiring mi goreng di hadapan Febi. Seketika, aromanya yang menusuk membuat Febi kembali muntah di wastafel.   "Fe, kamu sakit? Apa kita perlu ke dokter?"   Febi membersihkan mulutnya dengan tisu dan menggeleng kuat-kuat pada mamanya.   "Masuk angin, mungkin, Ma. Dan ..., Febi nggak mau mi goreng itu. Baunya terlalu menyengat. Mama yakin nggak salah masukin bumbu?" Mamanya menggeleng.   "Atau telurnya mungkin yang busuk?"   "Rasanya nggak mungkin." Mama mengambil piring mi goreng di meja dan mendekatkannya ke hidung. "Baunya enak, kok."   Febi berjengit ketika Mama menyodorkan piring itu ke hidungnya.   "Buat Mama saja. Febi mau makan apel saja. Sudah, ya, Ma, Febi berangkat dulu," pamitnya sambil menyambar tas dan tumpukan buku tebal di meja.   "Fe!" Panggilan Mama menghentikan langkahnya.   "Kapan terakhir kamu datang bulan?"   Febi terdiam dan berpikir sejenak. Dia memandang Mamanya heran.   "Entahlah, 2-3 minggu yang lalu mungkin. Febi tidak terlalu ingat. Sudah, ya, Ma."   "Fe!" Lagi-lagi Mama menghentikan langkahnya.   "Apa lagi, sih, Ma?" Febi mulai kesal.   "Kamu dan Ervan ..., tidak melakukan hubungan yang aneh-aneh, kan?"   "Aneh gimana, sih, Ma? Udah, ah, Febi hampir telat. Febi pergi dulu, ya!" Dia pun bergegas meninggalkan Mama yang masih memandangnya khawatir.   Semakin siang, keadaan Febi semakin membaik. Dia tidak mual lagi, tapi masih sensitif terhadap bau beberapa makanan. Lidahnya ingin mengecap yang asam-asam. Dia pun memesan sepiring rujak dari kios makanan di depan sekolah.   "Bu Febi kayak orang ngidam saja makan rujak mangga bukannya makan nasi," goda Bu Amel saat melihat Febi sangat lahap menikmati rujak di kubikelnya.   "Mau nyicip, Bu? Enak, lho seger."                                                  "Tidak. Terima kasih. Saya mau cari nasi saja. Perut saya suka bermasalah kalau makan rujak sebelum makan nasi."  Bu Amel pun meninggalkan Febi yang segera menghabiskan rujaknya.   Setelah menghabiskan rujaknya, Febi merenungi kejadian hari ini. Mulai dari mual-mualnya di pagi hari, pertanyaan Mama dan perkataan Bu Amel. Febi menjalin satu per satu cerita yang bertebaran di kepalanya. Ketika akhir cerita itu mulai jelas, Febi meraih kalender dan mulai menghitung tanggal demi tanggal. Seketika wajahnya memerah dan bahagia, dia memandang perut dan merabanya dengan rasa sayang. Jika perhitungannya benar dan dikaitkan dengan kondisinya beberapa hari ini, dia sedang mengalami kesempurnaan menjadi seorang perempuan. Dan hanya ada satu cara untuk memastikannya.   Febi menjerit bahagia ketika mengetahui test pack yang dia beli menunjukkan dua garis merah. Kali ini keinginannya untuk bersama Ervan akan terwujud. Mama bisa menolak Ervan, tapi Mama tidak bisa mengingkari cucunya. Ervan juga, dia pasti akan bahagia dan segera menikahinya. Tidak ada alasan baginya untuk menunda-nunda lagi.   Kali ini, dia dan Ervan akan bersama selamanya.   Selamanya ... ©  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN