KEJUTAN KEMATIAN

1422 Kata
Hastuti berjalan mondar-mandir di kamar hotelnya yang baru. Otaknya sibuk menyusun rencana. Darmo, dulu dia dan Simbah sangat percaya padanya. Darmo seperti keluarga sendiri. Simbah sering menyuruhnya untuk mengantar Hastuti sekolah atau ke mana pun. Simbah juga sering menyuruh Darmo membersihkan pekarangan Simbah, mengangkat barang belanjaan, atau membantu pekerjaan kasar di warungnya. Darmo salah satu orang kepercayaan Simbah. Tapi sayangnya, Darmo menyalahi kepercayaan itu.   Hari itu, Darmo mengajak Tutik membantunya di kebun belakang rumah Simbah. Darmo disuruh Simbah mengambil lengkuas, serai, dan daun salam untuk persediaan di dapur. Hastuti membantu memetik daun ubi yang muda-muda. Simbah akan mengolahnya menjadi buntil yang enak. Saat Hastuti asyik mengumpulkan daun ubi, tiba-tiba mulutnya dibekap dan tubuhnya ditarik ke belakang rumpun kenikir yang lebat. Hastuti bertubuh gemuk, tapi dia perempuan. Sekuat apa pun dia meronta, tenaganya masih kalah dengan tenaga Darmo yang otot-ototnya terlatih melakukan pekerjaan berat.   Kebun belakang Simbah tak pernah dilalui orang. Tak akan ada yang mendengar atau melihat perbuatan yang dilakukan Darmo. Hastuti sibuk menggapai dan meronta-ronta saat tangan dan mulut Darmo menjelajahi tubuhnya. Juga saat kaki Darmo memaksa kakinya membuka, Hastuti masih berusaha melepaskan diri, tapi saat Darmo menurunkan celana dalamnya dan memasukkan sesuatu ke sana, Hastuti hanya bisa menangis. Pertahanannya sudah selesai. Semua sudah berakhir. Darmo melepas bekapan pada mulut Hastuti yang mengerang pelan. Sakit dan sedih. Darmo mengguncang tubuhnya dan berlama-lama menindihnya di atas tanah keras. Hastuti mulai merasa tubuhnya merespon dengan baik perbuatan Darmo. Selangkangannya basah dan tubuhnya mengejang hebat. Rintihan dan tangisan keluar dari mulutnya.   Hastuti tidak ingin merasakannya tapi dia sudah merasakan.   Dia terhina. Di sekolah dan di rumah semua melecehkannya. Jika tak ada lagi yang menganggapnya makhluk hidup, untuk apa dia hidup? Lebih baik dia mati.   Mati. Mati. Mati.   Hastuti mengikat tali di kayu atap rumah simbah yang tak berplafon. Mengalungkannya pada leher dan mengetatkannya. Digoyangkannya kursi di kakinya hingga terjatuh. Dia pun memejam mata yang penuh air kesedihan. Menjemput dunia baru yang menurutnya indah. Tapi Tuhan tidak sependapat. Kayu rumah Simbah terlalu lapuk untuk menahan tubuhnya yang kelewat subur. Hastuti terjatuh bersama tali yang bergulung-gulung  menimpanya.   ‘Bahkan neraka pun tidak mau menerimaku!’   Hastuti gagal mati hari itu. Darmo memaksanya mengulangi lagi kejadian di kebun belakang. Kali ini malam hari, saat Simbah pergi menghadiri pengajian akbar di alun-alun. Hastuti ingin mati lagi. Dia mencoba minum racun serangga. Tuhan tidak mengabulkan permintaannya, dia muntah sebelum racun itu sampai di lambungnya. Muntah yang hebat sehingga dia harus dirawat di rumah sakit.   Di sana, di ruang serba putih itu, saat semua pikiran Hastuti lebih jernih, saat dia merasa terlindungi dan disayang, Hastuti mendengar suara yang berkata-kata. Suara yang lebih mirip bisikan nuraninya ketimbang nasihat orang bijak.   Namamu Hastuti Kusuma. Sekuntum bunga yang terpuji. Bukan kuntum bunga yang dilecehkan dan diabaikan. Kamu tidak bisa mati sebelum menjadikan dirimu seorang perempuan yang bergelimang pujian dan sanjungan.   Ya, Hastuti Kusuma tidak boleh mati. Hastuti Kusuma tidak akan mati. Tidak! Sebelum rasa sakit dan penghinaan ini terbayarkan.   Sejak itu, Hastuti mengasingkan diri dari lingkungannya. Tidak ada Wijat dan gengnya dalam pandangan Hastuti. Tidak ada teman-temannya di ruang kelas saat dia belajar. Hanya ada dia, guru, dan papan tulis. Halaman sekolah sepi. Kantin sepi. Perpustakaan sepi. Tidak ada siapa pun dalam dunia Hastuti yang sepi.   Di rumah, dia lebih sering mengunci diri dalam kamar. Membangun benteng pertahanan yang berlapis-lapis. Menghalangi pintu yang terkunci dengan kursi dan lemari. Lebih waspada membaca gerak-gerik Darmo. Lebih awas jika Darmo bergerak di sekitarnya.   Tapi sekali lagi, Hastuti kecolongan. Darmo menyergapnya saat keluar dari kamar mandi. Tapi Hastuti tidak meronta, tidak berteriak, tidak juga mengerang dan menangis. Dia mati rasa. Darmo menikmati tubuhnya yang terbujur seperti papan kayu yang dingin. Tidak ada kehidupan, tidak ada perlawanan. Setelah Darmo selesai memuaskan napsunya, Hastuti bangkit ke kamar mandi dan membasuh tubuhnya. Tanpa air mata dan juga kebencian pada tubuhnya.   Tidak ada perasaan apa pun.   ***   Hastuti masih mondar-mandir di kamarnya. Pikirannya masih menyusun rencana-rencana. Entah mengapa dia melupakan Darmo dalam rencana-rencananya. Mungkin dipikirnya Darmo sudah tua dan sebentar lagi mati. Darmo memang sudah tua, tapi dia tidak renta. Dia bahkan sempat menawari Hastuti singgah di rumahnya. Apalagi rencananya kalau bukan ingin mengulangi perbuatan kotor berpuluh tahun yang lalu.   Seharusnya Hastuti mengabaikan saja laki-laki tua yang sudah bau tanah itu. Tapi saat melihat senyum dan matanya yang menjijikkan, Hastuti seperti diingatkan kembali pada masa-masa dingin ketika dia ingin melepas nyawanya.   Hastuti melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir jam enam sore. Dia sudah terlalu lama berpikir. Langkahnya sedikit terhambat karena tidak ada informasi yang bisa dia beli. Terlalu tipis waktunya, kata informan suruhan dia.   Ceroboh! Ceroboh! Ceroboh!   Hastuti tidak punya rencana cadangan dan dia harus segera bertindak.   Hastuti memutuskan untuk mengistirahatkan mata dan pikirannya. Dia berbaring di kasur dan memejamkan mata. Sebentar saja dia ingin terlelap.   Tik. Tok. Tik. Tok   Suara napas teratur dan desingan halus penanda waktu berlari adalah suara monoton yang terdengar di ruangan sederhana itu.   Tik. Tok. Tik. Tok   Waktu terus berjalan, malam memasuki ruangannya.   Tik. Tok. Tik. Tok   Hastuti masih terlelap. Malam semakin larut. Mimpi semakin hanyut. Empat puluh menit jelang tengah malam dia terbangun. Matanya nanar menatap ruangan tempatnya berada. Pikirannya langsung fokus. Rencana-rencana itu. Malam ini, malam ini semua harus terjadi. Tengah malam waktu yang tepat. Hastuti bergegas bersiap.   ***   Langkahnya mengendap-endap, bersembunyi di balik bayangan. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar rumah tujuannya, dia mengetuk pintu perlahan sekali. Sudah lewat tengah malam. Udara malam sedikit dingin. Angin bertiup lumayan kencang. Gemerisik suara daun dan desau angin menutupi suara-suara lemah. Ketukannya tak terdengar.   Hastuti mengetuk sedikit kuat. Dia mendengar bunyi dua sisi bergesekan di dalam rumah. Lalu suara langkah kaki yang mendekati pintu.   "Siapa?" Suara laki-laki tua bertanya dari dalam.   "Tutik," jawab perempuan di luar rumah sambil menyandarkan tubuhnya ke pintu. Terdengar suara kunci yang dibuka terburu-buru.   "Mbengi banget, koh!"   Hastuti buru-buru masuk saat pintu dibuka.   "Aku ketiduran," jawabnya sambil melepas jaket hitam ketat dari tubuhnya. Darmo berdecak kagum saat melihat tubuh di balik jaket itu. Hanya terhalangi kaus putih tanpa lengan yang sangat ketat. Hastuti tidak mengenakan bra.   "Sebelum mulai, Mas Darmo minum ini dulu. Biar tambah jos!" Hastuti menuang minuman dari botol air mineral yang dibawanya ke dalam gelas berisi air putih yang ada di meja ruang tamu Darmo.   Darmo menuruti permintaan Hastuti. Dia memang butuh stamina yang lebih untuk memuaskan Hastuti malam ini. Darmo menghabiskan minumannya dan segera menggiring Hastuti ke kamar.   Hastuti tidak menolak semua tindakan Darmo. Sejak dulu, dia sudah tidak menghargai tubuhnya. Ibarat pakaian yang indah, seperti itulah tubuh bagi Hastuti.   Minuman yang diberikan Hastuti mulai menunjukkan reaksi. Darmo terlihat sedikit terburu-buru. Saatnya bagi Hastuti membalikkan keadaan. Dia menyuruh Darmo terlentang. Mengikat kedua tangan dan kakinya pada ranjang besi. Darmo terlihat kesenangan mendapat perlakuan yang sedikit liar. Sesuatu yang hanya bisa dia lihat dari DVD porno koleksinya. Hastuti menduduki  s**********n Darmo dan mulai melakukan aksinya. Saat Darmo menunjukkan tanda-tanda hampir tiba di puncak, Hastuti mengarungkan plastik tebal ke wajah Darmo dan menahan dengan kedua tangan hingga tak ada lagi udara mengalir ke dalam plastik itu. Wajah dalam plastik megap-megap, sebentar wajahnya tercetak jelas di plastik, sebentar menghilang. Tubuh Darmo meronta tak karuan. Hastuti terus menggoyangkan pinggulnya. Tangannya semakin kuat mengikat plastik.   Dan perlawanan pun berakhir. Tubuh Darmo berhenti meronta. Kepala Darmo terkulai di dalam plastik. Hastuti merasa cairan hangat menyembur di dalam dirinya. Dia melepas plastik dari kepala Darmo dan memandangi wajah dengan mata terbuka dan mulut menganga itu dengan pandangan jijik dan benci.   Hastuti membersihkan diri dan tanda-tanda keberadaannya di rumah itu. Meletakkan satu bungkus kosong obat kuat di samping gelas kosong bekas minum Darmo dan mengendap keluar rumah. Kembali bersembunyi dari satu bayangan ke bayangan yang lain.   Malam hampir menjemput subuh saat Hastuti berlari di jalan besar yang sepi. Angin masih berembus kencang dan desaunya sedikit berisik. Di balik jaketnya, dia menyembunyikan stoking bekas mengikat tangan dan kaki Darmo, juga plastik bekas membungkus kepala Darmo. Darmo tidak curiga melihat Hastuti mengenakan sarung tangan. Mungkin dipikirnya, udara sangat dingin di luar sehingga dia perlu sarung tangan untuk menghangatkannya. Darmo juga tidak memintanya melepas sarung tangan itu saat dia melucuti pakaiannya satu per satu. Dia terlalu bernapsu untuk segera menyetubuhi Hastuti.   Angin menerpa wajahnya saat kakinya terus berlari sepanjang jalan. Suara orang mengaji yang diputar masjid-masjid sayup-sayup mulai terdengar. Hastuti menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah sedang berolah raga saat seorang bapak dengan topi haji berpapasan dengannya. Penginapannya masih jauh, dia mulai lelah. Kepalanya yang terbungkus wig dan topi mulai terasa berat. Tadi dia pergi dengan berlari menyusuri jalan kecil dan gelap. Entah berapa kilometer sudah dia lalui dengan berlari hari ini.   Hastuti berhenti sebentar dan mengatur napas. Dia merentangkan kedua tangannya, mengucap selamat pagi pada semesta. Pada hari yang baru dihidupnya. Saat semua benci dan dendam menguap selamanya ke udara.   Selamanya ... ©      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN