SATU JAM EMPAT PULUH LIMA MENIT

1459 Kata
(Shila POV)   Akhirnya aku meninggalkan Yogya. Meninggalkan Cilacap. Meninggalkan Adhit dan kenangan-kenangan tentangnya.   Mama dan Papa sangat terkejut saat aku muncul di rumah mereka dengan diantar Adhit. Begitu juga dengan Abra, adikku. Mama langsung menarikku masuk ke dalam, membiarkan Adhit dengan Papa dan Abra. Mama menginterogasiku. Mengajukan bermacam pertanyaan yang hanya memiliki satu inti saja: apakah aku masih istri dari suamiku? Aku memandang Mama heran. Apakah datang bersama kenangan kita lantas membuat kita kehilangan identitas saat ini? Aku mungkin bersalah dengan ciuman-ciuman itu. Juga pelukan-pelukan hangatnya. Hanya itu. Aku sanggup menjaga tubuhku agar tetap menjadi milik suamiku.   Bagaimana dengan hatiku?   Tapi Mama adalah mamaku. Perempuan yang telah mengandungku selama 9 bulan lebih dan menyusuiku selama 2 tahun. Dia pernah melihatku dalam masa bahagia juga masa tersulitku. Mama tidak bisa dibohongi. Tidak ada yang bisa membohongi perasaan seorang ibu saat melihat mata anaknya bersinar bahagia. Sama seperti yang dirasakan Mama Adhit. Mama bilang, dia sangat bahagia melihatku hidup lagi. Dia juga menangis karena tahu kebahagiaan seperti apa yang akhirnya kudapatkan.   Aku baik-baik saja, Ma. Sungguh aku baik-baik saja dan berjanji untuk selalu bahagia.   Adhit tidak menginap. Setelah memastikan aku berada di tangan yang tepat, setelah cukup beristirahat untuk memulihkan kondisinya, dia kembali pulang ke Cilacap. Aku sedikit khawatir akan kondisinya. Dia bilang, dia sempat ketiduran waktu menjagaku semalaman. Tapi pasti tidak lama. Lingkaran hitam di bawah matanya mengatakan itu. Sedikit pun dia tidak terlihat lelah. Dia bahagia, selalu tersenyum. Dan selalu menggenggam tanganku jika ada kesempatan.   Aku pernah berjanji pada diri sendiri. Pada malam itu, saat aku datang ke kamar Adhit. Aku berjanji akan menjadi Shilanya Adhit walau hanya sebentar. Melupakan sesaat siapa diriku sebenarnya. Aku akan membiarkan perasaanku tercurah pada Adhit hingga nanti jarak memisahkan kita.   Sebenarnya aku ingin memaksa Adhit tinggal lebih lama. Papa dan Mama juga pasti tidak keberatan. Tapi aku tidak yakin apa nanti bisa melepas Adhit tanpa ada harapan-harapan yang berkembang? Semakin lama aku bersamanya, semakin kuat keinginanku untuk terus di sisinya. Dan semua hal tentang suamiku akan menjadi salah.   Akhirnya Adhit pulang pada kesendirian dan kesepiannya, hingga akhirnya nanti takdir berbaik hati mempertemukan kami kembali. Aku melepas kepergian Adhit dengan d**a yang kosong. Sesuatu yang pernah mengisi di sana beberapa hari ini mendadak hilang. Aku melepas kepergian Adhit dalam gerimis. Setidaknya dia tahu, aku bersamanya saat tetes-tetes air menuruni bumi.   Jangan hapus tetes hujan yang mengetuki jendela mobilmu, Dhit. Itu aku yang menyertai perjalananmu dan membasuh sepimu.   Satu jam empat puluh lima menit waktuku di udara saat ini. Waktuku untuk mengingat kembali saat-saat bersamamu. Membuatnya membatu dan selamanya membeku.   Aku mengeluarkan surat-surat Donna dari dalam tas. Ada tiga surat, dua di antaranya sudah k****a. Surat ketiga Donna bertanggal 15 Agustus 2003. Hari ulang tahun Adhit. Surat kali ini cukup panjang. Tumben, pikirku.   'Hari ini Adhit berulang tahun. Seperti biasa, seperti tahun-tahun sebelumnya, dia tidak ingin ulang tahunnya diingat. Tidak boleh ada yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Apalagi memberi kado atau kejutan-kejutan. Terakhir aku melakukannya, Adhit melempar kue tart kejutan dan pergi dari rumah selama seminggu. Sejak itu aku belajar melupakan perayaan apa pun di rumah kami. Termasuk ulang tahun anak-anak kami.   Aku pernah cemburu padamu saat bersusah payah mencari kado ulang tahun untuknya. Waktu itu di bazar sekolah, kamu pasti ingat. Kamu menghilang dari sekolah beberapa jam. Dia begitu kebingungan mencarimu ke seluruh sekolah. Seharusnya kamu melihat wajahnya saat itu.   Ya, aku bisa membayangkan kebingungannya. Seperti kebingunganku saat di terminal kota.   Seandainya saat itu sudah ada ponsel, aku yakin ponselmu tidak akan berhenti berdering hingga dia bertemu dirimu. Dan aku sangat cemburu, saat melihat wajahnya begitu lega dan bahagia melihatmu kembali ke sekolah. Aku tahu semuanya. Aku tahu kamu memberikan gantungan kunci foto untuknya. Dia selalu menyimpan dan membawanya ke mana pun. Aku pernah membuangnya ke halaman saat marah. Dia hanya menatapku sedih dan keluar ke halaman mencari gantungan itu sampai ketemu.   Dia itu gila! Ya, dia gil. Adhit gila! Seperti aku bilang, Adhit tidak sesempurna perkiraanku.   Kamu sudah tahu tentang Dhita? Dia adik angkat Adhit. Kamu pasti heran, kenapa cewek biasa banget sepertimu bisa dicintai begitu dalam olehnya? Kamu jangan ge-er, semua itu karena Dhita! Yang dicintai Adhit adalah DHITA bukan kamu. Haha. Kamu hanya pelampiasan! Aku tertawa senang saat mengetahui kenyataan ini. Ternyata sainganku bukan karena dia lebih cantik, lebih baik, atau lebih segalanya dariku. Tapi karena dia mirip dengan seseorang yang dicintai Adhit.   Aku yakin Adhit mencintai Dhita melebihi seorang Kakak mencintai adiknya. Dan pasti menyakitkan melihat Dhita meninggal di pangkuannya karena menjadi korban penusukan pelajar yang sedang tawuran.   Aku ingat cerita Mama Adhit. Di hari naas itu, Adhit bersikeras mengajak Dhita pulang sekolah naik bus. Tidak dijemput supir seperti biasanya. Entah bagaimana cerita lengkapnya, tiba-tiba mereka terjebak di antara pelajar tawuran. Adhit berusaha melindungi Dhita dan mencoba keluar dari arena tawuran. Sayangnya, pelajar tawuran sudah terlalu membabi buta. Mereka mengayunkan senjata tajam ke segala arah. Beberapa pelajar terjatuh bersimbah darah. Termasuk Dhita. Organ vitalnya terkena tusukan dan dia mengembuskan napas terakhirnya di pangkuan Adhit.   Kamu pasti sudah tahu ceritanya, kan? Adhit depresi berat karena kehilangan Dhita sampai-sampai dia harus di rawat di rumah sakit jiwa dan meninggalkan sekolahnya. Adhit gila! Dia orang gila! Aku menikahi orang gila! Anak-anakku adalah anak orang gila! Apa yang sudah aku lakukan?   Dia gila. Tapi aku mencintainya. Aku mencintainya! Dan sampai kapan pun nggak akan pernah merelakan dia untuk orang lain. Termasuk dirimu. Tapi kamu bukan lagi penghalang buatku. Kamu cuma bayangan masa lalu Adhit. Sekalipun aku mati, Adhit akan terus melihat diriku pada diri anak-anaknya.   Dan jangan pernah bermimpi untuk memiliki Adhit, Shila. Takdirmu bukan dengannya. Jika kamu berusaha untuk memilikinya, aku akan mengirim seseorang dari dalam kubur untuk membuatmu menderita!   Aku melipat surat ketiga dari Donna. Benar seperti yang dikhawatirkan Adhit dan mamanya. Isi surat Donna hanya toxic dan tidak seharusnya aku baca. Bahkan sampai mati pun kebenciannya padaku tak berkurang.   Kuusap cincin pemberian Mama Adhit. Perempuan cantik itu bilang, selama aku masih mencintai Adhit, sama artinya aku sudah membahagiakan Adhit. Aku memang selalu mencintainya. Meskipun dia pernah gila seperti kata Donna, tapi aku bisa memahaminya. Aku juga pernah merasakan kehilangan yang sangat besar. Hujan menolongku agar tetap waras. Adhit sedikit tidak beruntung. Dia terperangkap dalam rasa sakit dan membutuhkan orang lain untuk mengeluarkannya. Aku dan Adhit memiliki kesakitan yang sama. Karena itulah cinta kami begitu dalam.   Aku ingat cerita Mama Adhit. Di awal pernikahan mereka, Adhit merasakan lagi kehilangan itu. Dia kehilangan fokus dan kontrol akan dirinya beberapa kali. Tapi kali ini Adhit tidak tenggelam terlalu lama. Adhit menemukan cara untuk kembali waras.   Membangun taman itu.   Ya, Adhit hidup bersamaku di taman itu. Setidaknya aku tidak mati seperti Dhita. Dia percaya aku akan datang lagi suatu saat nanti. Aku memang datang. Aku hidup, berjalan dan bernapas. Dan aku harus menjaga diriku agar tetap hidup, supaya dia juga tetap hidup.   Kelak, jika takdir berbaik hati pada kami, pertemuan itu akan terjadi lagi. Dan mungkin saat itu terjadi, kami sedikit beruntung untuk merasakan kebahagiaan lebih lama.   Satu jam empat puluh lima menitku hampir habis. Pesawat sudah mulai memasuki perairan Batam dan mulai menurunkan ketinggian. Aku mengeluarkan cermin kecil dari Charles & Keith kesayanganku. Memeriksa wajahku yang sudah bersih dari memar dan melatih senyum rindu pada orang-orang yang menanti kedatanganku.   ***   Ponselku berdering saat aku berdiri menunggu bagasi. Aku menghela napas, berusaha mengatur nada suaraku agar terdengar lega dan juga rindu. Dia menanyakan posisiku. Aku jawab, sedang menunggu bagasi. Dia mengakhiri panggilannya dengan memberi tahu di mana tempatnya menunggu. Aku menjawab, ya aku tahu di mana itu.   Aku masih menatap layar ponselku meski layar itu sudah menghitam. Besar sekali keinginanku untuk mendengar suaranya dan memberitahukan keberadaanku.   Aku selamat tiba di Batam.   Aku baik-baik saja.   Tetaplah bahagia.   Tapi layar itu tetap hitam. Tidak berubah warna atau menjadi terang. Aku tidak bisa menghubunginya karena tidak tahu nomornya. Kami sama-sama sepakat untuk tidak saling menghubungi satu sama lain. Kami sepakat untuk melanjutkan hidup dan menghapus harapan untuk hidup bersama.   Satu jam empat puluh lima menit adalah tepian kenanganku bersama Adhit.   Kulangkahkan kaki keluar dari tempat kedatangan bagasi. Harus kuhadapi kenyataanku dan hidup dengannya dengan baik. Begitulah masa depan yang menantiku sekarang. Donna tidak perlu bangkit dari kubur, aku tidak akan pernah mengusik Adhit.   Kulihat dia berdiri menungguku di samping Avanza merah hati. Senyum terkembang dari bibirnya yang sedikit hitam karena tembakau. Matanya memancarkan rasa rindu dan lega karena belahan jiwanya sudah kembali. Dia berjalan cepat ke arahku dan merentangkan kedua tangannya. Aku sedikit terkejut saat berada dalam pelukannya. Rasanya seperti dipeluk orang asing. Aroma tubuhnya juga terasa asing. Pelukannya tidak kukenal. Dadanya tidak membuatku nyaman. Ada bagian dari tubuhku yang menolak tubuhnya. Namun aku kaitkan juga tanganku melingkari tubuh besarnya. Sedikir canggung dan terasa aneh. Aku merindukan pelukan yang lain.   Pelukan itu terlepas. Matanya mencari kerinduan di mataku. Cukup lama sampai akhirnya dia tersenyum puas dan menemukan apa yang dia cari. Saat itu aku mendengar bunyi 'klik' pelan dari lorong-lorong hatiku. Locker kenangan telah tertutup rapat kembali.   Kali ini untuk selamanya.   Selamanya ... ©  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN