Bagi perempuan normal, yang terjadi di ruang kerja suami Deira sudah cukup membuat tubuhnya lemas karena kelelahan. Tapi tidak dengan Deira. Dia masih sanggup jika harus melakukannya lagi. Dari keempat perawat yang dia seleksi, belum ada yang benar-benar sesuai dengan kriteria yang dia inginkan. Mungkin dia harus mengubah kriteria yang dicari. Dan setelah apa yang dia lakukan pada keempat pelamar, bukan tidak mungkin akan tersebar berita yang membuat perawat-perawat muda antre di rumahnya. Mungkin juga ada yang berpura-pura menjadi calon perawat dan ikut melamar demi mendapatkan kenikmatan sesaat darinya. Hati Deira sedikit girang ketika membayangkan dia bisa bercinta berjam-jam tanpa putus. Tidak seperti yang selama ini terjadi, satu orang saja sudah menyerah disaat dia masih ingin berlanjut. Dan bila dia memaksa, mereka akan memandangnya seolah dia seorang perempuan yang memiliki penyakit kulit dengan bulatan-bulatan nanah yang berbau busuk bila pecah.
Tapi saat ini dia harus mengurungkan dulu rencananya memasang iklan di koran untuk mencari perawat yang sesuai kriterianya. Dia punya janji dengan Dokter Arya dan juga dengan temannya yang bekerja di kantor pengacara. Deira teringat dengan ajakan Dokter Arya untuk membicarakan kondisi suaminya di luar jam kerja dan di tempat lain yang lebih nyaman. Cukup menarik tawaran itu, tapi dia lebih tertarik dengan ruang kerja Dokter Arya yang tertutup, kecil, dan lebih pribadi.
"Siang, Dok!" Deira menyalami Dokter Arya saat tiba di kantornya. Jam 12 tepat, waktunya istirahat bekerja.
"Ada perkembangan lebih lanjut tentang suami saya?" tanya Deira. Dia masih berdiri, Dokter Arya belum mempersilakan duduk.
Dokter Arya malah berjalan ke arah pintu dan menguncinya. Lalu dia berbalik cepat dan menghampiri Deira dengan langkah besar-besar. Dokter Arya langsung meraih kepala Deira dan mengulum bibirnya kuat-kuat. Dia tidak memberi waktu bagi Deira untuk bernapas apalagi untuk bertanya. Dengan kasar dan terburu-buru, Dokter Arya mendorong Deira hingga ke meja kerja dan membaringkannya di sana. Dia melakukan segala yang ingin dilakukan sejak pertama kali mengenal Deira. Dia melampiaskan segala yang ingin dilampiaskan sejak bertemu Deira. Dokter Arya melakukannya dengan kasar. Dia menggigiti beberapa bagian di tubuh Deira hingga terlihat gumpalan-gumpalan darah terperangkap pada kulit mulus Deira. Dokter Arya menekan Deira terlalu kuat, memeluk Deira terlalu kuat dan menembusi Deira terlalu cepat, terlalu kuat, sedikit menyakitkan. Dia juga mengakhiri terlalu cepat.
Sedangkan Deira, dia hanya menjadi seonggok manekin yang membiarkan perbuatan Dokter Arya. Dia sudah tahu ini akan terjadi, tapi secepat ini? Ah, lebih asyik lagi bermain dengan jarinya, gerutu Deira dalam hati. Namun dia hanya diam, Deira harus menghargai perasaan Dokter Arya.
"Ternyata Anda, tepat seperti yang dibilang oleh mereka." Dokter Arya mengancingkan kemeja dan mengenakan kembali celana panjangnya.
Deira memasang pendengarannya, tubuhnya sedikit menegak. "Mereka? Mereka siapa?"
"Pria-pria di klub. Semacam perkumpulan arisan bagi kaum kalian. Anda tidak tahu, ya jika Anda itu sangat terkenal dan mereka membicarakan tentang Anda sepanjang waktu. Membuat iri beberapa pria yang tidak sempat mengenal Anda. Tapi saya beruntung, karena siang ini saya sempat mengenal Anda." Dokter Arya mendekati Deira dan membantunya merapikan pakaian Deira.
"Jadi undangan hari ini, sebenarnya hanya alasan untuk melakukan semua ini? Tidak ada sesuatu yang terjadi pada suami saya?"
Dokter Arya tersenyum. "Suami Anda baik-baik saja, Nyonya. Kami berencana memindahkannya ke ruang VVIP sore ini, sesuai permintaan Anda agar memberikan yang terbaik. Tapi mungkin dia akan dirawat lebih lama dari seharusnya. Anda tahu kenapa? Karena saya ingin mengulangi kejadian hari ini." Dokter Arya mencium pipi Deira lembut.
"Saya tidak keberatan. Tapi lain kali kita lakukan dengan cara saya. Tidak terburu-buru dan menyakitkan. Sekarang, izinkan saya menemui suami saya."
Deira berjalan menuju pintu. Sebelum dia memutar gagang pintu, Dokter Arya buru-buru menghalanginya.
"Tu-tunggu dulu! Saya punya satu permintaan jika Anda mau mendengarkan sebentar."
Deira berdiri tegak dengan sikap anggun. Kedua tangannya terlipat di depan dan memegang dompet. Matanya menatap Dokter Arya penuh perhatian.
"Barangkali saja ..., suatu saat nanti ..., yah, mungkin saja ..., nanti Anda merasa bosan atau ingin meninggalkan suami Anda, tolong beri tahu saya segera. Tolong jangan tersinggung, tapi saya sangat tertarik pada Anda dan siap melakukan apa saja untuk Anda."
Deira memandang penuh rasa haru. Bibirnya menyunggingkan senyum. "Anda baik sekali, Dokter. Terima kasih atas perhatiannya. Akan saya pertimbangkan tawaran Anda. Selamat siang."
Dokter Arya bukan lelaki pertama yang menawarinya hal seperti itu. Tapi bagi Deira sama saja seperti keluar dari satu kurungan masuk ke sangkar yang lain. Saat ini dia ingin bebas, agar bisa mengejar Banyu ke Bandung dan melakukan sesuatu pada lelaki itu.
***
Rencana Deira selanjutnya adalah bertemu Galang, temannya yang bekerja di kantor pengacara. Sama seperti Dokter Arya, pertemuan itu juga diawali dengan sesuatu yang basah dan lengket. Mereka menyewa satu kamar hotel untuk melakukan hubungan singkat yang lebih bebas. Tidak dibatasi kemeja, blus, atau rok yang dinaikkan dan celana yang tersangkut di pergelangan kaki. Setelahnya mereka masih bisa membilas diri dan melakukannya sekali lagi di kamar mandi, sebelum akhirnya membicarakan beberapa hal yang lebih serius.
"Aku ingin membeli rumah di daerah Ungaran." Deira mengawali pembicaraan mereka.
"Gila! Itu mahal sekali!"
"Aku punya uang. Hasil mengumpulkan bertahun-tahun."
"Kamu, kan bisa minta dibelikan sama suamimu kalau hanya rumah."
"Dia tidak akan memberikannya. Dia takut aku kabur jika sudah punya harta sendiri. Jangan salah, dia juga hapal setiap perhiasan yang dia berikan padaku. Jadi aku tidak bisa menjualnya."
"Aku pikir suamimu sangat mencintaimu dan kulihat dia mengurusmu dengan baik."
"Dia baik. Sangat baik. Aku tidak pernah dibiarkan kekurangan. Tapi sebenarnya dia seorang pencemburu. Hanya saja, sejak dia sakit, dia tidak lagi terlalu mengekangku. Aku diperbolehkan bekerja di salah satu perusahaan temannya. Sebagai marketing freelance. Tentu saja dia punya mata-mata untuk mengawasi aku. Bukan tidak mungkin dia tahu tentang hubungan kita. Aku ingin bebas dari dia. Tapi aku juga butuh semacam pesangon untuk diriku."
"Kalau begitu, minta cerai saja. Selesai!" Galang berjalan ke arah jendela, membukanya dan menyalakan rokok kretek.
"Kalau aku minta cerai, aku terancam kehilangan anak-anakku dan tidak mendapat tunjangan apa pun. Kalau aku menjadi janda yang ditinggal mati, aku hanya mendapat tunjangan bulanan yang ditentukan besarnya. Tunjangan itu hangus jika aku terbukti menelantarkan anak-anakku atau aku menikah lagi. Hanya tunjangan! Tidak ada rumah atau harta apa pun atas namaku. Aku bisa tinggal di rumahnya dan menikmati semua fasilitas yang tersedia selama aku mengurus anak-anaknya. Bukankah sudah sering aku ceritakan hal ini padamu?"
"Aku hanya ingin benar-benar pasti bahwa memang tidak ada peluang selain mencuri darinya diam-diam."
"Itu pun terancam tak bisa lama. Kalau dia meninggal seluruh asetnya diatur oleh kuasa hukumnya. Aku benar-benar akan gigit jari."
Deira membaringkan tubuhnya di atas kasur. Dia terlihat lelah dan menderita. "Ternyata kamu pernah tidak bahagia juga, ya? Kupikir hidupmu hanya penuh dengan fantasi seks dan kesenangan-kesenangan pribadi."
"Kamu salah. Sudah sangat lama aku tidak bahagia. Hingga aku hampir lupa bagaimana rasanya. Jika saja aku tidak hadir di reuni bodoh itu, aku tidak lagi punya keinginan untuk bahagia."
Galang mendekati Deira dan berbaring di sisinya. "Apa aku bisa memberimu kebahagiaan sesaat?" Tangannya mulai membelai wajah ayu Deira. Lalu turun ke leher, d**a, dan berputar-putar di sana. Tubuh Deira merespon gerakan Galang dengan geliat-geliat kecil kegelian. Tangan Galang terus turun ke bawah dan mulai menyingkap roknya.
"Kamu tidak lelah?" tanya Deira sambil memiringkan kepalanya. Jarak wajah mereka hanya beberapa cm. Udara panas menerpa kulit muka masing-masing.
"Bagi sebagian laki-laki, kamu mengerikan! Bagiku, kamu tantangan!"
Deira memajukan wajahnya. Hidung menyentuh hidung. Bibir menyentuh bibir. Hasrat menemukan gairahnya.
***
Febi merindukan Ervan.
Bukan hanya hatinya, tubuhnya juga merindukan Ervan. Saat sendirian, dia memutar seluruh ingatan tentang Ervan di kepalanya. Berulang-ulang, hingga dia hapal setiap detailnya. Hingga dia merasa, dialah Ervan. Ervan ada di dalam dirinya.
Sehari setelah mengantar Shila ke Jogja, Adhit mengajaknya bertemu. Dia ingin berbicara tentang laporan pertanggung jawaban panitia reuni. Juga rencana membentuk dana sosial angkatan, mengingat masih ada dana mengendap di rekening bersama. Untuk ke depannya, Adhit mengusulkan agar ada semacam iuran dari para alumni yang berkenan, sehingga dana yang tersedia pun bertambah dan bisa digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan.
"Ada kabar dari Ervan?" tanya Adhit tiba-tiba di sela-sela perbincangan mereka.
"Ervan baik-baik saja. Kami masih terus berkomunikasi. Saat ini dia sudah di Tangerang dan kembali bekerja," terang Febi. Adhit mengangguk-angguk.
"Kalian serius untuk melanjutkan hubungan hingga menikah?"
Febi memandang Adhit heran. Dia tidak tahu jika hubungannya dengan Ervan menarik perhatian Adhit.
"Tentu saja kami serius. Aku sudah menunggu ini cukup lama, Dhit. Tumben kamu perhatian banget soal ini, Dhit?"
"Shila mengkhawatirkan kamu. Dia merasa tidak enak karena baru tahu tentang hubunganmu dengan Ervan. Dia ingin agar aku memastikan bahwa kamu sungguh-sungguh bahagia dan menolongmu jika berada dalam kesulitan."
Febi tersenyum penuh pengertian. Dia paham apa yang dikhawatirkan sahabatnya itu. Dia akan membuktikan kalau Ervan tidak seburuk sangkaan Shila.
"Kekhawatiran Shila berlebihan, Dhit. Mungkin Ervan sedikit flamboyan dan suka menggoda tapi sesungguhnya dia sangat baik. Tidak semua orang bisa memahami dia sebaik aku. Seandainya Shila tahu, kalau Ervan itu sangat perhatian padanya, dia pasti akan menyesal telah berburuk sangka."
"Maksudnya Ervan sangat perhatian, itu gimana Feb?" Tanpa sadar suara Adhit sedikit meninggi saat menanyakan hal itu.
"Nggak perlu cemburu, Dhit. Ervan nggak ada niat buruk, kok sama Shila. Dia hanya sering mengingatkan aku agar selalu membesarkan hati Shila. Dulu, sewaktu kalian masih pacaran, Ervan bilang Shila sebenarnya tertekan harus menjalin hubungan denganmu. Seperti tidak menjadi dirinya sendiri. O, ya, dia juga tahu, kok siapa-siapa saja yang selalu berusaha mencelakai Shila waktu itu. Salah satunya, istrimu. Pasti kamu sudah tahu, kan?"
Adhit mengangguk. Terang saja dia tahu siapa-siapa saja yang berusaha mencelakai Shila, karena dia adalah dalangnya. Adhit kesal membayangkannya.
"Apa Ervan masih perhatian juga pada Shila akhir-akhir ini?"
"Dia baik dan perhatian pada semua orang. Shila, kamu, Mama, semuanya. Sayang kalian semua malah berpikiran sebaliknya. Kamu kenapa, sih nanya-nanya terus? Kamu cemburu sama Ervan? Ngapain? Malahan Ervan merasa iba pada Shila karena dia pasti bingung saat bersamamu. Antara perasaannya padamu dan keluarganya. Lucunya, kami sempat bergurau tentang hal itu. Berandai-andai apakah mungkin Shila meninggalkan suaminya demi kamu? Andai itu terjadi, seperti apa ceritanya?" Febi tergelak sesaat.
"Jangan marah, Dhit. Kami hanya bercanda." Febi memandang Adhit takut-takut. Muka Adhit sangat serius hingga dahinya berkerut. Febi tidak mengira jika Adhit menanggapi ceritanya terlalu serius.
"Lalu kamu bilang apa sama Ervan. Seandainya Shila meninggalkan suaminya, apa kemungkinan yang akan terjadi?"
"Ya, aku bilang saja, kalau itu terjadi aku pasti jadi orang pertama yang akan tahu dan Ervan akan aku beritahu cerita lengkapnya. Selama ini selalu begitu, kok. Aku selalu bercerita apa saja pada Ervan. Lagipula cerita tentang kalian sudah menjadi rahasia umum."
Febi mengedikkan bahu dan tersenyum polos pada Adhit. Seolah baru selesai bercerita tentang rutinitas mengajarnya yang biasa-biasa saja dan cenderung membosankan.
Adhit mengambil napas panjang dan mengembuskan napas panjang juga. Dia seolah bisa membaca rencana-rencana yang akan dilakukan Ervan. Setelah perpisahan mereka yang terakhir, dia dan Shila berjanji untuk tidak saling menghubungi dalam bentuk apa pun. Tapi kali ini perjanjian itu harus dilanggar. Shila harus tahu kemungkinan rencana-rencana Ervan. ©