Hastuti mengemasi barang-barangnya. Hari ini dia akan pindah hotel lagi. Dia juga menonaktifkan nomor yang baru dibelinya menjelang pergi ke Cilacap. Misinya di Cilacap sudah selesai, dia tidak merasa perlu datang atau mengunjungi kota ini lagi. Selamanya. Semua yang dia ingin lakukan sudah dilakukan. Hanya perlu sentuhan akhir untuk membuat semuanya terlihat sempurna. Hastuti memasukkan barang terakhirnya ke dalam tas.
Dia sudah meminta kepada pihak hotel untuk menukar mobilnya dengan jenis lain. Hastuti ingin mengurangi resiko ketahuan atau kepergok korban-korbannya. Masih ada yang harus dilakukannya di Kota Bercahaya ini, tapi dia sudah tidak ingin bertemu atau melayani korban-korbannya. Jadi mulai hari ini, Hastuti pindah hotel, menyewa kendaraan jenis lain dan juga mengubah penampilannya.
Biasanya dia selalu berpenampilan modis dan sensual. Kali ini dia berpakaian lebih sporty, santai dan tidak terlalu mencolok. Hastuti juga mengubah penampilan rambutnya. Sebuah wig model bob pendek di bawah telinga menutupi kepalanya. Dia juga mengenakan topi dan kacamata berlensa bening. Casual, manis, dan sederhana.
Dipandanginya tumpukan barang di dekat pintu masuk. Dia sudah memanggil karyawan hotel agar membantu membawakan barang-barangnya hingga ke bawah. Namun sebelum pergi, dia akan mengunjungi ibunya untuk yamg terakhir kali. Bukan untuk benar-benar bertemu, dia hanya akan menyelipkan amplop yang berisi sejumlah uang untuk ibunya. Sejelek apa pun perbuatan ibunya di masa lalu, dia tetap ibunya.
Ketika sedang berjalan menuju rumah ibunya, Hastuti merasakan ada suasana yang berbeda. Pintu yang biasanya selalu terbuka, kini tertutup rapat. Sepi. Seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Jendela-jendelanya pun tertutup rapat. Tirai diturunkan. Sepertinya penghuninya telah meninggalkan rumah ini untuk waktu yang lama. Saat ayah tirinya kemarin datang lagi untuk minta jatah, ayah tirinya itu tidak menceritakan apa-apa. Dia hanya bilang, ibunya lebih pendiam dan menjaga jarak dengannya. Tapi dia yakin, suatu saat ibunya akan kembali seperti sebelum ada kejadian itu. Lihat saja nanti, pikir Hastuti.
Akhirnya Hastuti memutuskan untuk menyelipkan amplop cokelat di bawah celah pintu. Dia tahu pasti, ibunya yang selalu membawa kunci rumah dan dia juga yang akan membuka pintu rumah pertama kali sepulang dari bepergian. Ibunya pasti akan menemukan amplop itu sebelum ayah tirinya. Saat dia selesai menyelipkan amplop di bawah pintu, Hastuti merasakan langkah seseorang berjalan mendekatinya.
"Sing duwe omah lagi lunga meng Banyumas. Ngesuk nembe bali, Mbak."
Hastuti mengenal suara itu. Suara rendah dan sedikit serak. Hastuti menoleh dan mendapati laki-laki tersebut menatap kaget padanya. Sekaligus senang.
"Kowe Hastuti? Saiki ayu banget, koh? Kemutan ora karo inyong?"
Hastuti tersenyum. Bagaimana mungkin dia bisa lupa mencantumkan laki-laki ini di dalam daftarnya?
"Darmo? Piye kabare? Sehat?"
"Aku sehat. Hayuk mampir ke rumahku!" Darmo menunjuk ke arah rumah kecil yang tidak begitu jauh dari rumah ibunya.
"Ojo kuwatir! Omahku sepi. Aku ora mbojo."
Hastuti hapal isyarat itu. Dia tersenyum dimanis-maniskan.
"Nanti malam Tutik ke rumah ya, Mo."
Dia melihat kilatan senang di mata Darmo.
"Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya," pinta Hastuti pada Darmo yang dibalas dengan anggukan cepat-cepat.
Hastuti pun pergi meninggalkan Darmo, berjalan dengan pinggul yang sengaja dilenggok-lenggokkan. Dia tahu Darmo sedang menatapnya sambil menelan ludah. Sepertinya, kepulangannya sedikit terhambat.
***
Lelah sekali, hampir semalaman Deira tidak tidur. Padahal hari ini dia punya rencana untuk menyeleksi para perawat yang akan merawat suaminya di rumah. Semalam dia terbangun karena anak tirinya yang beranjak dewasa ingin menidurinya. Anak muda hormonnya memang luar biasa. Salah dia juga, sih yang mengajarinya. Namun Deira pikir, lebih baik anak tirinya itu bermain cinta dengannya dari pada dengan sembarang perempuan di luar sana.
Deira teringat saat pertama kali memergokinya sedang m********i di kamar sambil nonton video porno. Suaranya berisik sekali, mengalahkan suara berisik dari DVD yang diputar. Deira gemas melihat kejantanan yang tegak teracung siap bertempur. Dirinya yang saat itu baru selesai mandi dan hanya berlilitkan handuk saja, langsung melepas handuknya dan memberikan pelajaran bercinta secara langsung pada bujangnya yang berumur 17 tahun. Setelah kejadian itu rupanya bujangnya itu ketagihan. Diam-diam dia suka masuk ke kamar Deira dan menidurinya sepuasnya. Deira,sih senang-senang saja. Dia tidak akan merasa kesepian lagi di rumah. Hanya bercinta yang membuat kekosongan-kekosongan di hatinya terisi penuh. Hanya dengan bercinta dia merasa dicintai dan benar-benar diinginkan.
Meski lelah, dia harus turun juga dari tempat tidur. Dia harus mengecek kamar tamu di lantai bawah yang dipersiapkan untuk ditempati suaminya agar tidak kelelahan naik ke lantai atas. Rencananya dia akan menyewa satu perawat untuk suaminya. Tapi sepertinya, suaminya akan menolak perawat pilihannya. Bagaimana tidak? Perawat pilihannya adalah laki-laki. Suaminya tidak suka jika ada pekerja laki-laki di rumahnya. Dia curiga Deira akan melakukan hal-hal yang menurutnya buruk dengan mereka.
Dan kecurigaan suaminya itu benar. Dulu ada supir pribadi untuk Deira dan anak-anak. Tapi dipecat suaminya tiba-tiba. Deira tidak tahu pasti alasan pemecatan itu, menurut dugaannya itu karena dia lebih sering menghabiskan waktu di jalan dengan supirnya dibanding dengan suaminya. Padahal Deira masih sanggup melayani suaminya. Di rumah mereka ada tukang kebun laki-laki. Suaminya sengaja memilih yang sudah tua dan tidak menarik. Dan aturan terpenting untuk tukang kebun adalah tidak boleh masuk ke rumah, meski Deira yang meminta. Deira juga tidak mau mengambil resiko dan bermain-main dengan tukang kebun tua sementara dia bisa mendapatkan yang lebih muda.
Tak terasa jam cepat sekali berlalu bagi Deira. Baru saja dia selesai mandi setelah mengecek kamar bawah, sekarang para perawat yang melamar sudah berkumpul di ruang tamunya. Dia menyeleksi satu per satu perawat laki-laki itu di ruang kerja suaminya. Dan Deira punya cara sendiri untuk menyeleksi. Perawat yang sanggup bertahan lebih lama memuaskan keinginannya, dialah yang akan lulus seleksi. Ada 4 perawat yang melamar, Deira sudah menjajal tiga.
Deira mengatur napas. Perawat ketiga baru saja bangkit dari tubuhnya. Bajunya sudah tak beraturan. Rambutnya sudah acak-acakan. Tiga orang sudah mencoba memuaskannya tapi dia masih merasa kurang. Perawat ketiga mengumpulkan bajunya yang berserakan di lantai dan mengenakannya dengan santai.
"Jadi, saya diterima, Nyonya?" tanyanya sambil menaikkan kancing tarik celana jeansnya.
Deira memandang pemuda yang berumur setengah kali dari umurnya. Tampangnya lumayan. Wajahnya bersih dan tidak berminyak. k*********a besar, sayangnya dia kurang pengalaman sehingga tidak cukup lama bisa menahan serangan-serangan Deira. Dan tubuhnya juga kurus, tidak tegap. Bukan selera Deira. Jika dia cukup berlatih, Deira yakin dia bisa menjadi pejantan yang tangguh.
"Kamu tunggu saja telepon dari saya," jawab Deira sambil mengancingkan blusnya.
Pemuda dihadapannya mengembuskan napas melalui mulut. Matanya memandangi p****g Deira yang menonjol di balik blusnya yang transparan. Deira tidak mengenakan pakaian dalam dibalik blus dan roknya. Pemuda itu menyesal tidak bermain-main cukup lama dengan d**a Deira. Dia membayangkan seandainya dia terpilih, dia akan punya waktu sangat banyak untuk menikmati kemewahan dari tubuh calon majikannya.
Sepeninggal perawat ketiga, masuklah perawat yang keempat. Deira berbaring di sofa yang terdapat di kamar suaminya dengan pose yang menantang. Pemuda keempat tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya pada tubuh Deira. Matanya mengerjap-kerjap, napasnya berebut keluar masuk lubang hidungnya yang mancung. Tingkahnya kikuk sekali. Dia berusaha mencari posisi yang nyaman sehingga tubuhnya tak berhenti bergerak.
"Suamiku punya penyakit jantung. Napasnya bisa berhenti tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Kamu bisa melakukan resusitasi jantung paru-paru?"
Deira menaikkan sebelah kakinya ke sandaran sofa. Membuat selangkangannya yang tanpa pakaian dalam terbuka sebebasnya. Perawat keempat menelan ludah. Deira menggerakkan kepalanya sedikit, tanda dia masih menunggu jawaban.
"CPR? Bi-bisa, Nyonya!"
"Bisa praktekkan padaku?" Deira mensejajarkan kedua kakinya dan mulai berbaring lurus di sofa.
Dia mengendurkan beberapa kancing bajunya.
Perawat keempat berjalan dengan d**a yang berdetak tak beraturan ke arah Deira. Saat dia berdiri di hadapan tubuh Deira, mata Deira menutup seolah pingsan.
"Lakukanlah." Bibir Deira membuka sedikit. Perawat itu pun mulai melakukan CPR dengan caranya sendiri. ©