RIBUAN TAHUN LAGI

1295 Kata
Deira membuka mata. Barusan dia bermimpi menikah dengan Banyu. Setelah apa yang dilakukan Banyu terhadapnya, dia masih saja memimpikan laki-laki itu. Sial! Ini pasti gara-gara dia tidak o*****e saat bercinta tadi. Membuatnya berfantasi dan bermimpi tentang Banyu.  Sayang dimimpinya itu dia gagal menikahi Banyu karena orang-orang suruhan suaminya menusukkan sebilah pisau ke d**a Banyu. Ah, bahkan di dalam mimpi sekalipun dia tidak bisa bersatu dengan Banyu.   Ah, Deira mendesah. Sungguh kenikmatan tiada tara menggelitiki selangkangannya. Dia memejamkan mata dan menunggu sensasi yang mungkin akan meledak. Deira menyukai hal ini, ketika seseorang menjilati k*********a. Tapi ..., siapa seseorang itu? Yang melakukannya saat ini, di kamarnya? Mata Deira menjadi awas kembali. Dia tidak sedang bermimpi. Rasa geli dan nikmat ini kenyataan.   Sesuatu terjadi di bawah sana! Sesuatu bergerak-gerak di balik selimutnya! Sesuatu ..., atau seseorang? Deira menyibakkan selimutnya pelan-pelan. Berusaha menahan suara-suara yang ingin dia keluarkan. Desahan-desahan yang mungkin membuat sesuatu atau seseorang itu berhenti melakukan apa pun di bawah sana. Deira tidak ingin sesuatu itu berhenti.   Deira menyingkap selimutnya semakin lebar. Sepasang mata mendongak kepadanya. Mata polos dan bening yang penuh rasa ingin tahu dan napsu menggebu-gebu. Mata itu memandangnya nakal. Setelah aksinya ketahuan, dia tidak berkeinginan untuk menghentikan perbuatannya. Dia malah semakin liar menjelajahi ketabuan di bawah sana.   Tangan Deira mencakari seprai. Tubuhnya terangkat sedikit. Membentuk lengkungan dengan tumpuan di pinggul dan kepalanya. Apa yang dinantinya hari ini terlepas sudah. Tapi ini masih belum selesai. Seseorang sedang bergerak naik.   Deira bersumpah akan membuat malam ini tak akan pernah berakhir.   ***   Apa yang akan dikatakan hujan jika melihat Shila tersenyum bahagia?   Hujan tak berkata-kata. Dia mengirimkan pelangi untuk melukiskan perasaannya.   Febi melihat senyum bahagia tak pernah meninggalkan wajah Shila. Sejak dia memasuki warung mi ayam di depan SMU Harapan Bangsa, dia melihat tangan keduanya tak pernah terlepas. Tak ada kecanggungan yang disembunyikan. Juga perasaan-perasaan yang ditahan. Sepertinya keadaan menjadi lebih baik di antara mereka. Atau sebaliknya? Ini adalah awal sebuah kehancuran bagi salah satunya. Febi menyembunyikan senyum. Dia senang Shila bahagia. Seperti dirinya saat ini. Ingin rasanya dia berbagi kebahagiaan dengan Shila. Tapi dengan Adhit yang ada di sisi Shila, menempel seperti lintah, hal itu tidak mungkin dilakukan.   Adhit orang baik. Dia tidak akan menghalang-halangi hubungannya dengan Ervan. Sama sekali bukan sifatnya untuk mencampuri urusan orang lain. Tapi tetap saja Febi merasa segan menceritakan masalah perempuan kepada laki-laki.   “Jadi apa yang akan terjadi pada kalian selanjutnya?” tanya Febi akhirnya. Shila dan Adhit saling memandang.   “Kami akan baik-baik saja,” jawab Adhit.   “Ya. Kami akan baik-baik saja.” Shila menggenggam erat tangan Adhit.   Seharusnya ini tidak boleh terjadi. Memiliki perasaan yang lain saat dia masih terikat dengan perasaan yang satunya. Apakah dia sudah berkhianat? Tentu saja. Dia sudah mengkhianati suaminya. Tapi Shila memutuskan untuk menikmati pengkhianatan ini. Pengkhianatan yang tidak kekal. Kebersamaan ini hanya sementara. Saat dirinya meninggalkan Adhit dan kota ini, semuanya akan kembali seperti sedia kala.   Pagi tadi, saat ciuman basah itu terjadi, Shila sudah memutuskan untuk membuka hatinya lebar-lebar untuk Adhit. Sudah cukup dia terlalu menahan dan menekan semua perasaannya. Dia merasa berhak untuk bahagia. Jika kebahagiaan itu bernama Adhit, dia akan mengambil resiko untuk meraihnya. Toh, hanya sebentar. Selalu itu yang digaung-gaungkan di kepalanya. Hanya sebentar. Hanya sementara.   “Bagiku, Shila sudah tahu kebenarannya, itu sudah cukup. Selama ini, hal itu yang terus menghantuiku, Feb. Tidak seharusnya aku menyembunyikan apa-apa darinya. Sesakit apa pun itu. Seharusnya aku percaya, jika Shila bisa menerima keadaan waktu itu dan mungkin kami bisa berpisah baik-baik. Tapi saat itu aku hanya berpikir, jika aku menyakitinya, dan itu telah kulakukan, dia pasti akan meninggalkanku, melupakanku dan mencari penggantiku untuk bahagia. Tidak masalah jika nantinya dia membenci aku. Asalkan dia bahagia, aku baik-baik saja.”   “Tapi aku tidak bahagia.” Shila memandang Adhit. Pandangan seribu lilin yang terperangkap di matanya.   “Parahnya, kamu malah berpikir aku membuangmu dan membencimu. Padahal bukan itu yang kumaksudkan. Aku ingin kamu membenciku.”   “Aku egois, ya? Seolah-olah aku memaksa dirimu mencintaiku. Saat aku merasa bahwa kamu tidak mencintaiku, aku menjadi terluka dan menyiksa diri. Terdengar egois, ya? Bahkan aku tidak berusaha mencari kebenaran ceritanya. Malah menjauhi segala sesuatu tentang kamu. Menyedihkan!”   “Tidak. Justru aku yang saat ini merasa egois. Aku memaksakan perasaanku padamu beberapa hari ini. Kamu pasti bimbang sekali dengan perasaanmu, ya, kan? Tapi percayalah, setelah hari ini, aku tidak akan mengganggumu lagi.” Mereka berpandangan cukup lama.   “Kalian melakukannya lagi.” Suara Febi terdengar sedih. Shila terkejut dan menoleh padanya.   “Melakukan apa?”   “Mengabaikan aku. Seperti biasanya. Seolah di dunia ini hanya ada kalian berdua.”   Suara tawa berderai di antara mereka.   “Maafkan aku, Feb. Aku jahat sekali padamu selama ini. Kamu selalu mendengarkan aku, tapi aku tidak pernah mendengarmu,” ujar Shila sedih. Sebelah tangannya terulur pada Febi dan menggenggamnya erat.   “Kamu mau cerita sesuatu? Abaikan Adhit, dia tidak akan mendengar apa-apa!” Shila mencondongkan badannya ke arah Febi, seolah takut Adhit akan mendengar perkataannya.   Adhit mengangkat kedua tangannya, pandangannya menunjuk pada mie ayam yang belum tersentuh. “Aku akan menghabiskan mi ayamku.”   “Bagaimana hubunganmu dengan Ervan?” Shila menelan ludah saat mengucap nama Ervan. Bayangan kemarin sore berkelebat di kepalanya.   Febi terlihat terkejut mendengar Shila bertanya tentang Ervan.   “Maaf, aku tidak cerita, Feb. Tapi aku sempat melihat kebersamaan kalian di sebuah kafe. Tadinya aku bermaksud menegur tapi aku tidak ingin mengganggu keintiman kalian.” Shila menjelaskan bagaimana dia bisa mengambil kesimpulan tentang hubungan Febi dengan Ervan   “Kami baik-baik saja. Dan sepertinya, kami akan segera menikah tidak lama lagi.”   Febi sangat bersemangat saat mengatakan rencana itu. Shila memandang Adhit sekilas. Dia melihat Adhit menggelengkan kepalanya samar-samar. ‘Jangan katakan apa pun tentang percobaan perkosaan itu.’ Kira-kira itu yang ingin disampaikan Adhit. Tidak akan ada gunanya jika Shila mencoba menceritakan berita itu padanya. Febi akan mengingkarinya, bahkan mungkin dia akan menuduh yang tidak-tidak pada Shila. Dia dan Adhit sudah bersepakat, jika Febi terlihat sulit diberi tahu, maka akan menjadi tugas Adhit untuk memberi tahunya pelan-pelan.   “Bagaimana mamamu? Apa dia setuju?”   Shila ingat jika Febi pernah bilang mamanya kurang suka jika Febi berhubungan dengan orang beda pulau. Alasan mamanya waktu itu, selain karena beda budaya juga akan sulit bagi Febi untuk pulang menjenguk orang tuanya jika ternyata nanti Febi memilih tinggal di daerah suaminya. Itu wajar, mereka pasti khawatir, karena Febi anak satu-satunya.   “Kamu tahu mama, Shil. Dia belum setuju sampai sekarang. Aku sempat bersitegang dengan mama kemarin.”   “Alasannya tetap sama, ya, Feb?” Febi mengangguk   “Aku juga bingung, sih kalau ada di tempatmu. Di satu sisi, kamu mencintai Ervan dari dulu dan menunggunya. Tapi kamu juga harus menjaga perasaan mamamu dan membahagiakannya.”   “Ya. Aku tahu mama sangat mengkhawatirkan aku. Tapi aku tidak akan menyerah, Shil! Aku akan memperjuangkan agar Ervan bisa diterima mama. Aku telah menunggu saat ini puluhan tahun lamanya. Dan aku tak keberatan jika harus menunggu lagi.”   Ah, hati Shila mencelos. Dia tidak tega merusak semangat sahabatnya.   Seperti Febi yang akan tetap mencintai Ervan sampai kapan pun, meskipun itu artinya harus kehilangan kesempatannya untuk berumah tangga, seperti itulah pilihan yang akan dijalani Shila. Waktunya bersama Adhit hampir habis. Adhit saja sanggup menjalani puluhan tahun untuk tetap mencintainya, maka dia pun akan melakukan hal yang sama. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan rasa cinta pada Adhit. Tapi kali ini, dia tidak akan lupa untuk merasa bahagia. Dia bisa mencintai suaminya, sekaligus mencintai Adhit. Tidak masalah. Mereka hidup di hatinya. Mereka akan membuatnya kuat. Meski perasaannya kepada Adhit tidak sama seperti perasaannya kepada suaminya, itu bukan masalah lagi. Dia akan berdamai dengan rasa itu.   ***   Sepanjang perjalanan Cilacap-Jogja, Shila mencoba menyerap sebanyak-banyaknya kebersamaannya bersama Adhit. Dia memotret setiap detik waktunya bersama Adhit. Menyimpannya baik-baik, hingga nanti dia akan mengenangnya pada waktu yang tepat. Mungkin bersama hujan. Mungkin bersama matahari. Shila memandang wajah lelah yang memaksa mengantarnya ke Jogja.   “Aku akan mengantarmu, Cil. Sampai pesawatmu hilang di balik awan. Suatu hari nanti, aku akan  memandang langit dan berkata, Kamu menyembunyikan kekasihku, jagalah dia sampai saatnya tiba. Saat aku menemuinya di balik awan.”   And all along I believed I would find you Time has brought your heart to me I have loved you for a thousand years I’ll love you for a thousand years (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN