Suaminya membuka mata saat Deira menyentuh tangannya. Dia segera datang ke RS begitu Dokter Arya meneleponnya. Hari ini suaminya bisa ditemui.
"Hai, Pa."
Tangan dengan kulit yang semakin mengendur itu terangkat perlahan. Mengelus wajah perempuan cantik yang duduk di kursi di samping tempat tidur. Deira mengambil tangan suaminya dan menciuminya. Air mata meleleh di pipi Deira. Dia tak tahu kenapa dirinya menangis.
"Ja-ngan se-dih. Nan-ti ma-ma ja-di je-lek." Deira tersenyum.
"Papa membuat Mama khawatir. Mama menyesal meninggalkan Papa."
Yang sesungguhnya terjadi, Deira menyesal telah datang ke reuni dan bertemu Banyu Arya. Seharusnya dia tetap di Semarang dan tetap pada kehidupannya yang tak biasa. Mencintai suami sekaligus mengkhianatinya.
"Pa-pa hanya le-lah." Suara suaminya lirih terdengar.
Dia tahu seperti apa sifat istrinya. Dia hanya menutup mata dan telinga dari berita-berita yang dia dengar di luar. Berita-berita yang membuat jantungnya memacu terlalu cepat. Hingga akhirnya jantungnya protes dan dia tak sadarkan diri.
'Bagaimana pun juga, Deira adalah ibu dari dua putraku. Dia ibu yang baik. Sangat baik. Seandainya kelainan itu bisa dihilangkan.'
"Papa harus cepat sembuh. Nanti di rumah, Mama yang akan merawat Papa." Deira tersenyum padanya. Mencium bibir dan kening suaminya. Lalu pergi meninggalkan ruang ICU.
Dokter Arya sudah berdiri di depan ruangannya saat Deira keluar dari ruangan tempat suaminya dirawat. Senyum malu-malu Dokter Arya membuat Deira gemas. Sepertinya dia sengaja memancing Deira agar membuka peluang. Di mana? Di sini? Dia belum pernah bercinta short time di ruangan dokter. Sepertinya asyik jika benar bisa melakukan. Membayangkannya membuat gairah Deira naik.
"Dokter mau bicara dengan saya?"
Dokter Arya mengangguk dan mempersilahkan Deira masuk.
"Silahkan duduk," tunjuknya pada kursi di depan mejanya.
Penataan ruangan ini sedikit berubah dari ketika pertama kali dia datang. Meja yang kemarin penuh kertas dan buku-buku, kini tampak bersih tanpa ada selembar kertas atau sebatang pena. Deira membayangkan dirinya terbaring di sana. Tanpa busana dan terengah. Di sisi kanan Deira, di atas lemari kabinet, ada rangkaian bunga segar yang mengeluarkan aroma sedikit menusuk. Terlalu wangi, membuat hidung Deira sedikit berair.
"Apakah suami saya baik-baik saja?" Deira memundurkan kursinya lalu menyilangkan kaki. Paha mulusnya terlihat leluasa untuk dipandangi. Deira melihat, Dokter Arya menelan ludah beberapa kali.
"Jika ..., suami ibu bertahan seperti ini terus kondisinya, dalam beberapa hari kami akan memindahkannya ke ruang perawatan reguler."
"Oh, itu bagus. Tolong berikan yang terbaik untuknya. Saya akan membangun sebuah kamar di lantai bawah sehingga dia tidak perlu lagi naik tangga."
"Itu juga yang ingin saya sampaikan. Usahakan agar bapak tidak terlalu sering naik-turun tangga."
Deira mengangguk-angguk. Setelah kejadian siang ini dengan anak lelakinya, dia tidak bisa menjamin ini akan menjadi yang terakhir. Jika dia bisa menahan diri, belum tentu pemuda bau kencur itu bisa menahan napsunya. Tapi Deira suka. Perasaan menggebu dan terburu-buru, gugup karena tidak berpengalaman dan terlalu senang karena menemukan subyek untuk mempraktekkan segala teori yang dipelajari dari video-video c***l. Terlihat lucu dan menyenangkan bagi Deira. Seperti menemukan angin segar dari kebosanan-kebosanannya. Pemuda lugu itu, sedikit mengingatkan dia pada Banyu. Sedikit, hanya sedikit. Karena tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan Banyu.
"Ini rahasia kita berdua. Ingat, ya? Kalau kamu bisa jaga rahasia ini, Mama akan ajarkan yang lainnya," bisik Deira saat dia meninggalkan pemuda itu dalam kelelahan.
"Masih ada yang ingin Dokter sampaikan?" Deira ingin segera pulang.
"Emmm, tidak ada. Hanya saja, mmm ...."
Dokter Arya sedikit bingung. Dia tidak tahu bagaimana mengungkapkan keinginannya. Berita-berita yang dia dengar di club house tadi malam, sedikit mengusiknya. Benarkah Deira Wongso di hadapannya ini yang dimaksud mereka? Atau ada Deira yang lain? Misalkan benar Deira ini yang dimaksud, bagaimana cara untuk memikatnya? Dari bisik-bisik yang dia dengar, Deira sangat memilih pasangan tidurnya. Jika tidak memuaskan baginya, jangan harap ada kesempatan kedua. Jika menurutnya memuaskan, Deira akan mengencani mereka secara rutin sampai dia bosan dan mencari yang lain. Dari bisik-bisik yang dia dengar juga, Deira punya lebih dari satu teman kencan dalam satu waktu. Benar-benar perempuan luar biasa! Dokter Arya ingin menjadi salah satu teman kencannya. Dan jika mungkin ingin menjadikan Deira miliknya, selamanya.
"Apa, Dok?" Deira menelengkan wajahnya. Menunggu Dokter Arya mengutarakan maksudnya.
"Tidak ada. Lain kali saja. Tadinya saya ingin tahu apa bisa mengajak Anda untuk makan malam. Nanti malam. Besok. Atau ... kapan-kapan."
Deira pura-pura tidak paham apa maksudnya. Dia mengernyitkan dahi.
"Ja-jangan salah paham. Hanya makan malam seorang dokter dengan keluarga pasien. Saya melihat Anda sedikit tegang dengan kondisi suami Anda. Mungkin kita bisa membicarakan tentang kondisi beliau lebih lanjut. Dalam suasana yang lebih nyaman. Anda tahu? Terkadang berada di rumah sakit, membicarakan orang yang sedang sakit, membuat kita ikut-ikutan sakit. Semacam sugesti."
Dokter Arya memandangnya dengan membulatkan mata. Berusaha meyakinkan Deira bahwa maksudnya baik.
"Yah, Anda benar. Akhir-akhir ini saya memang sedikit tertekan. Terima kasih atas tawarannya. Akan saya pertimbangkan. Saya akan hubungi lagi nanti." Deira tersenyum padanya. Bangkit dari duduk dan menjabat tangannya. Dia merasa, bunga di atas kabinet sedikit layu karena kecewa.
'Belum waktunya, Dok. Belum. Tunggu saja saatnya nanti.'
***
Seperti burung merak yang turun ke bumi bersama para iblis. Terusir karena kesombongannya. Meski sudah dibuang ke bumi, merak tetap sombong. Hingga dia akan mengembangkan sayap ketika mendengar ada yang memujinya. Luar biasa bukan? Ibarat merak, Deira tahu jika orang lain mengaguminya. Mengamatinya. Juga membayangkan berimajinasi dengannya.
Dia menjaga setiap lakunya di muka umum. Bahasa tubuhnya. Pakaiannya. Juga caranya berjalan dan berbicara. Dia suka diperhatikan dan disanjung. Membuatnya merasa dibutuhkan. Merasa dicintai.
Seorang laki-laki mendekatinya di kafe bernuansa western di Jl. S. Parman. Deira menyesap sedikit capucinno carmelitto miliknya. Meletakannya kembali di tatakan dengan gaya yg anggun. Melipat kedua tangannya di meja dan memandang lelaki yang telah duduk di hadapannya dan sedang membuka kancing jasnya.
"Sudah kamu terima pesanku? Jadi gimana?" tanya Deira tak sabaran.
Laki-laki di hadapannya mendesah. Dia memanggil seorang pelayan dan memesan minuman.
"Susah. Tidak ada celah. Satu-satunya cara, kamu harus menipunya pelan-pelan."
Deira menyandarkan diri. Tangannya terlipat di depan d**a, bibirnya sedikit mengerucut.
"Aku tidak punya waktu lama. Dia bisa meninggal sewaktu-waktu. Dan jika itu terjadi mungkin aku tidak akan dapat apa-apa."
"Kamu, kan dapat tunjangan istri dan juga ada dana perwalian kedua anakmu. Itu nilainya banyak, Ra!"
"Tapi tidak cukup! Hartanya itu akan terbagi kepada empat anaknya. Semua dikelola oleh kantor pengacara. Mereka hanya akan memberiku sejumlah uang setiap bulan. Memangnya aku babu? Pengasuh anak-anaknya? Aku sudah cukup setia bertahun-tahun hidup dengannya. Aku berhak mendapatkan pensiunku!"
Deira mencondongkan tubuh ke arah laki-laki di hadapannya. Mata cantiknya terlihat berapi-api.
"Pelankan suaramu. Kamu membuat kita jadi pusat perhatian." Laki-laki itu berusaha menenangkan dirinya.
"Aku kekurangan waktu."
"Lakukan semampumu. Kamu tahu aku akan lakukan apa pun untuk membantumu."
Laki-laki itu mengelus punggung tangan Deira. Membuat bulu-bulu halus Deira berdiri.
"Bagaimana jika dia mati sekarang?"
"Jangan bertindak bodoh, Ra! Kamu harus bisa mengulur kematiannya. Ambil lebih banyak dari dia secara perlahan. Dia sangat menyayangimu. Kamu tahu itu."
Deira mengangguk.
"Sayangnya ..., dia tidak cukup percaya padaku."
Itu wajar. Dia tahu seperti apa Deira dulu. Pasti dia punya rasa khawatir Deira akan meninggalkannya. Sebenarnya bukan hal sulit jika Deira pergi dari suaminya. Banyak laki-laki yang bersedia menampung dirinya dan membiayai hidupnya. Tapi suaminya mengancam, jika dia melakukan itu, Deira tidak boleh bertemu lagi dengan kedua anaknya. Selamanya.
Seburuk-buruknya perilaku Deira, dia adalah seorang ibu. Dan seorang ibu tidak bisa dijauhkan dari anak-anaknya. Kelak, Deira akan menua dan lemah. Dia ingin seseorang yang dia percaya, merawatnya. Dia tidak ingin mati sendirian. Dia ingin menggenggam tangan seseorang saat arwahnya melayang.
"Ra, apa kamu tidak rindu padaku?" Lelaki di hadapannya mengelus-elus tangan Deira. Kembali bulu-bulu halus di tangan Deira berdiri.
"Aku mau pulang."
"Sebentar saja. Aku tahu tempat yang bagus."
***
Lelaki di kafe tadi mengguncang tubuhnya sedemikian hebat. Tapi dia tidak merasakan apa-apa. Pun ketika lelaki itu membalikkan tubuhnya, menembusinya dengan kasar, dia belum juga bereaksi. Dia butuh waktu lebih lama dari biasanya jika sedang banyak pikiran. Ketika lelaki itu memeluk tubuhnya dari belakang dan menangkupkan kedua tangan di dadanya yang penuh, dia tahu saatnya sudah tiba. Namun sekeras apa pun dia berusaha berkonsentrasi, dia tidak mendapatkan titik yang tepat untuk meledakkan emosinya. Dia hanya diam, saat lelaki tersebut menekan tubuhnya agar berhenti bergerak.
Permainan sudah selesai. Dia harus bersiap untuk pulang.
Deira membuka pintu mobil dengan kesal. Malam telah turun ke bumi saat dirinya pulang. Dua jam yang seharusnya berakhir memuaskan, malah membuatnya menggantung kesal. Deira bersumpah tak akan menghubungi laki-laki yang telah mengecewakannya tadi untuk waktu yang lama. Kini tubuhnya dipenuhi dengan feromon tanda dirinya siap diledakkan.
"Mamaaa!"
Dua anak laki-laki menghambur ke pelukan saat melihatnya.
"Mama kemana saja? Kok, baru kelihatan?" Restu, menarik-narik bajunya. Deira menggendong putranya yang baru masuk TK.
"Mama habis nengok papa di rumah sakit. Kalian sudah makan?" Restu dan Rama mengangguk.
“Mana Mbak Rastri sama Mas Raka?” Deira melempar tasnya ke sofa panjang di ruang keluarga dan mengempaskan tubuh ke atasnya.
“Mbak sama Mas di atas. Di kamarnya.” Deira mengangguk dan menurunkan Restu dari pangkuannya. Untuk beberapa waktu, dia menemani kedua buah hatinya bermain dan belajar. Bagaimana pun juga, dia seorang ibu, kan?
Rastri dan Raka sudah lebih besar. Mereka lebih suka menghabiskan waktu luangnya di kamar ketimbang berkumpul di ruang keluarga. Sibuk dengan gadget yang dibelikan papa mereka.
“Sudah malam. Sudah waktunya tidur. Ayo, kita masuk kamar!”
Deira mengajak kedua anaknya naik ke atas. Seorang asisten rumah tangga mengikutinya dari belakang. Deira memeluk dan mengecup kening Rama saat dia sudah di tempat tidur. Menyalakan lampu tidur dan menutup pintu. Di kamar si bungsu, Deira membantu ART-nya membujuk Restu agar segera masuk ke dalam selimut. Setelah berhasil dibujuk, Deira mencium kedua pipi Restu dan meninggalkannya bersama ART-nya yang setia menunggui Restu sampai tertidur.
Tubuhnya sangat lelah tapi gairahnya yang meluap membuat kepalanya pening. Deira minum sebutir obat sakit kepala dan segera merebahkan diri di atas kasur. Tengah malam, dia terbangun saat sesuatu merayapi kakinya. ©