SESUATU TENTANG DHITA: bagian 2

1542 Kata
Hari sudah mendekati pergantian, tapi matanya belum juga bisa terpejam. Percobaan perkosaan oleh Ervan dan sesuatu yang dikatakan Mama Adhit mengusik pikirannya. Shila berkali-kali merubah posisi tidur tapi tetap saja dia tak mengantuk. Akhirnya dia memutuskan bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar. Mengetuk pintu tertutup di seberang kamarnya.   "Masuk!" Sebuah suara menjawab ketukannya.   Dia ada di sana. Duduk selonjor sambil membaca buku. Sebuah kaca mata bertengger di hidungnya yang mancung. Senyumnya mengembang saat tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya.   "Tidak bisa tidur?" tanya Adhit sambil menurunkan buku dan melepas kaca matanya. Shila mengangguk.   "Kemarilah."   Shila menutup pintu dan berjalan ke arah Adhit.   "Ada yang mengganggu pikiranmu?"   Shila tidak menjawab. Dia duduk di sisi Adhit lalu membaringkan kepalanya di bahu Adhit. Dinaikkannya kakinya ke atas tempat tidur. Kini dia setengah berbaring memeluk Adhit.   "Shil? Kamu baik-baik saja?" tanya Adhit khawatir.   "Aku ingin seperti ini sebentar saja. Sebentar saja."   Lalu matanya terpejam dan membiarkan tubuhnya menyerap kebahagiaan di pelukan Adhit.   "Kamu mencintaiku." Ucapannya lebih mirip pernyataan untuk meyakinkan diri sendiri.   "Aku selalu mencintaimu." Adhit mencium ujung kepala Shila dan menariknya lebih erat ke dalam pelukan.   "Dan kamu tersiksa ketika tak ada aku." Geming beberapa saat sebelum akhirnya Adhit bersuara.   "Itu benar."   "Akan seperti apa kita nanti, Dhit?"   "Aku tidak tahu, Cil. Aku tidak tahu."   "Aku ingin seperti ini sampai pagi. Kamu keberatan?"   "Tidak. Tentu saja tidak. Tidurlah. Aku akan menjagamu."   "Aku mencintaimu, Dhit. Sangat mencintaimu. Sampai kapan pun." Suara Shila semakin lemah dan akhirnya dia tertidur di pelukan Adhit.   "Aku juga mencintaimu, Cila. Selalu."   ***   "Selamat pagi, Putri Tidur. Tidurmu nyenyak sekali semalam. Dan kamu ..., mendengkur!"   Tawa Adhit memulihkan kesadaran Shila. Dia sedikit bingung ketika disadarinya dia tidak terbangun di kamar penginapannya. Semalam dia tidak ingat kenapa bisa terlelap. Padahal dia sudah bertekad tidak akan tidur sampai pagi dan ingin menghabiskan waktu bercerita tentang apa pun dengan Adhit. Tapi aroma tubuh Adhit yang membuatnya nyaman dan dadanya yang hangat serta irama detak jantungnya seperti pendulum yang mengantarkan dia ke alam bawah sadar yang sangat dalam. Dalam, dalam sekali. Membuatnya tak ingin bangkit apalagi berjalan.   "Aromamu berbeda." Shila memeluk Adhit lebih erat. Menggerak-gerakkan pipinya di piyama Adhit.   "Kamu tidak suka? Aku mengganti parfumku."   "Aku suka. Lebih dewasa dan lebih enak."   "Tapi pagi ini mungkin sedikit tidak enak baunya."   Shila mengangkat kepalanya, "Kenapa?"   "Karena kamu ngiler di bajuku. Tuh, lihat," tunjuknya pada noda kecil di piyamanya.   "Ih, jahat!" Shila mencoba memukul Adhit dengan bantal. Adhit menghindar sambil tertawa-tawa. Pada pukulan yang ke sekian, tangannya menahan tangan Shila dan menariknya hingga Shila kembali jatuh ke pelukan Adhit.   "Aku tidak masalah kamu mau ngiler sebanyak apa pun di bajuku. Aku senang melihat kamu tidur di pelukanku malam ini." Shila bangkit dengan cepat dan duduk memandang Adhit.   "Kamu tidak tidur semalaman?" Diperhatikannya posisi Adhit yang masih sama seperti saat dia datang tadi malam. Adhit menggeleng.   "Kamu bisa sakit, Dhit." Tangannya terulur ke wajah Adhit, menyentuh bulu-bulu di wajahnya yang sedikit lebih panjang. Adhit memejamkan mata, merasakan sentuhan lembut Shila.   "Aku tidak mau kehilangan waktu sedetik pun untuk merasakan keberadaanmu." Shila menurunkan tangannya.   "Dhit, boleh tanya sesuatu?" Adhit membuka matanya.   "Kamu tidak menganggap aku sebagai pengganti Dhita, kan?"   Adhit memandang Shila cukup lama.   "Awalnya, ya. Aku mengira, Dhita hidup lagi dalam dirimu. Matamu, mengingatkan aku pada mata Dhita yang selalu berbinar. Selalu ceria." Adhit membelai pipi Shila.   "Tapi kamu berbeda dengan dia. Kamu itu susah diatur, gampang jatuh. Sampai aku sempat berpikir mungkin kakimu panjang sebelah. Dan kamu sangat menyenangkan. Berada di sisimu membuatku sangat nyaman. Apalagi kalau mendengar tawamu yang bisa membangunkan orang satu kampung, rasanya aku nggak pernah mau jauh darimu. Kamu itu menarik. Tidak heran Ervan juga terobsesi padamu." Adhit berhenti sejenak memandang, Shila lekat-lekat.   "Kamu tahu, Cila? Kamu itu heroin bagiku. Dan aku pecandu berat yang bisa gila jika kamu tak ada." Adhit meraih kepala Shila dan menariknya mendekat.   "Dhit ...," katanya saat jarak bibir mereka semakin dekat.   "Apa?"   "Aku belum gosok gigi." Adhit menarik wajahnya sedikit menjauh dan tersenyum.   "Aku juga," katanya sambil kembali mendekatkan wajah Shila pada wajahnya.   *** Wajah di cermin sudah tidak terlalu menyeramkan lagi dibanding kemarin. Bengkaknya sudah mengempis, tinggal warna biru dan keunguan di ujung bibir dan dekat mata. Dia merutuki nasib sial yang menimpanya. Setelah puluhan tahun, seharusnya dia bisa mendapatkan gadis pujaannya itu dengan cara instan. Kenapa juga Adhit harus muncul sebelum dia sempat melakukan apa-apa? Dia mendengus kesal dan melirik perempuan yang terbaring di kasurnya dengan napas putus-putus.   Kemarin, rahangnya masih terasa sakit jika digerakkan. Mungkin gusinya ada yang bengkak atau jangan-jangan giginya ada yang goyang. Yang dilihatnya di cermin saat itu, bibirnya sedikit sobek dan itu sakit sekali. Ujung matanya pun lebam dan mulai membiru. Pelipisnya berdenyut. Saat itu dia sudah minta dicarikan es batu dan kain, kepada pihak losmen. Dia membayangkan rasa yang lebih nyaman jika lukanya sudah di kompres dengan es batu. Luka di pelipisnya mulai berdenyut, dia menelan lagi satu butir paracetamol untuk mengurangi nyerinya. Diliriknya lagi perempuan yang masih tak sadarkan diri di kasurnya.   Hari masih terlalu pagi untuk keluar dari penginapan, tapi dia tidak mau menunggu hingga perempuan itu sadar. Lagi pula dia sudah membayar sewa kamar dan juga memberi tip kepada pemuda yang membantunya kemarin. Ervan menyandang tasnya dan meninggalkan kamarnya. Ini losmen kecil dengan pekerja sedikit yang merangkap beberapa tugas. Tak ada petugas keamanan. Hanya satu orang penjaga malam yang merangkap penerima tamu. Dia kini sedang tertidur di depan televisi yang masih menyala. Ervan keluar dari pintu depan losmen dengan diam-diam. Udara dingin menyergapnya, memberi rasa sejuk di wajah yang nyeri akibat pukulan-pukulan Adhit.   ***   Akhirnya Febi berdamai dengan Mama. Dia pulang ke rumah dan beraktivitas seperti biasa. Tapi Febi dan mama sama-sama menghindar jika tiba-tiba pembicaraan mengarah pada Ervan. Lagi-lagi nama itu dibekukan dalam permasalahan mereka. Berharap ditiup angin darat dan dibiarkan terombang-ambing di laut. Tak pernah pulang ke pantai yang sama.   Kemarin dia gagal menghubungi Shila. Kata resepsionis, Shila sudah check out. Akhirnya dia pulang ke rumah menjelang sore saat bensin mobilnya hampir habis dan perutnya tak bisa lagi menahan lapar.   Hari ini Shila berencana meninggalkan Cilacap dan pulang ke Jogja menemui orang tuanya. Sedikit sekali waktu mereka untuk saling bercerita dan melepas rindu. Setelah reuni, Adhit memonopoli Shila, dia pun sama. Lebih memilih Ervan dari pada menghabiskan waktu dengan sahabatnya. Ah, Ervan, bagaimana kabar dia sekarang? Dari kemarin dia susah dihubungi. Bahkan pesannya tak ada yang dijawab. Apa mungkin dia sakit karena kelelahan? Kasihan, sekarang tak ada lagi yang akan mengurus dan memperhatikan dirinya.   'Mungkin sebaiknya aku menelepon Ervan.'   Nada pertama, tak diangkat. Kedua, berlalu begitu saja. Ketiga, berakhir sampai putus dan menyambung pada nada keempat. Masih sama, tak ada yang menjawab hingga akhirnya ponselnya lelah terus memanggil. Dicobanya sekali lagi. Masih nada monoton yang sama.   'Ini masih terlalu pagi. Ervan mungkin belum bangun.'   Tapi dia tahu ini sudah siang untuk waktu Tangerang. Pikirannya tetap positif, mungkin Ervan sedang terjebak kemacetan sehingga tidak bisa menjawab ponselnya. Febi memutuskan untuk menghubungi Shila. Lagi-lagi teleponnya tak diangkat. Entah apa yang terjadi dengan orang-orang ini, tak satu pun yang menanggapi panggilannya. Akhirnya Febi memutuskan untuk mengirim pesan pada Shila.   'Hai Shil, jam berapa mau ke Jogja? Ketemuan dulu, yuk! Aku akan minta izin sebentar dari sekolah.'   Pesan terkirim. Febi pergi mandi sambil menunggu jawaban.   Selesai mandi, dua pesan WA menunggunya. Satu dari Ervan, 'Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah dan sakit kepala. Hari ini tidak masuk kantor, izin dulu.'   Febi mengirimkan balasan agar Ervan beristirahat dan memberitahunya jika terjadi apa-apa. Apa yang bisa dia lakukan jika benar terjadi sesuatu? Febi tidak tahu. Mungkin dia akan segera ke Tangerang untuk menemui Ervan.   Pesan kedua dari Shila.   'Belum tahu jam berapa. Nanti aku kasih tahu waktu pastinya jika sudah beres semua. Nanti kami mampir ke sekolah, ya! Kita keluar atau makan mi ayam depan sekolah. Aku kangen makan di situ.'   Kami? Febi tersenyum. Pasti Shila sedang bersama Adhit. Febi sedikit iba pada sahabatnya itu. Hubungannya dengan Adhit seperti fatamorgana. Terlihat bahagia dan membanggakan dari luar, kenyataannya begitu pedih dan menyakitkan. Mungkin sahabatnya itu sudah tahu cerita tentang Donna, istri Adhit. Ah, takdir memang tak bisa ditebak. Dalam hal ini dia jauh merasa lebih beruntung dibanding Shila. Jika Shila harus menelan pil pahit karena harus membuang jauh-jauh keinginannya untuk hidup bersama Adhit, dia sebaliknya. Sebentar lagi dia akan hidup bahagia bersama Ervan. Febi tersenyum bahagia.   Kegaduhan di luar kamar memancing rasa ingin tahu Febi. Dilihatnya Mama masuk ke dalam kamar dengan tergopoh-gopoh. Dia keluar lagi dari kamarnya setelah mengenakan sweater panjang untuk menutupi daster bututnya.   "Ada apa, Ma?"   Mama berhenti sebentar di depan Febi dan menatapnya khawatir.   "Tadi tukang sayur bilang kalau anak Bu Yahya ditemukan tak sadarkan diri di sebuah losmen. Mukanya babak-belur dan tubuhnya memar-memar seperti bekas dipukuli. Sampai sekarang dia masih belum sadar. Mama mau ke sana menanyakan kebenaran ceritanya."   "Kok, bisa anak Bu Yahya ada di losmen?"   "Anak itu, kan emang agak badung. Jarang pulang ke rumah. Katanya, sih, dia diperkosa rame-rame. Mama juga nggak tahu berita betulnya. Ini mau ke sana mau nanya langsung sama Bu Yahya."   Mama bergegas menuju pintu. Tapi langkahnya tertahan sebentar saat hampir tiba di muka pintu. Dia membalikkan badannya.   "Makanya, Mama khawatir kalau kamu pergi nggak bilang-bilang. Mama takut, bukan kamu yang pulang tapi berita buruk tentang kamu yang Mama terima," katanya sedih.   Febi termenung mendengar ucapan Mama. Hanya dia yang Mama miliki setelah kepergian Papa. Jika sesuatu menimpanya, Mama harus melewati sisa umurnya dalam kesepian dan kesedihan. Pasti itu menyakitkan buat Mama. Seharusnya dialah yang merawat dan menjaga Mama di masa tuanya. Membahagiakan Mama, bukan malah terus menyusahkan dan membuatnya bersedih.   'Apa aku harus memikirkan kembali rencana masa depanku dengan Ervan?' ©  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN