(Shila POV)
Adhit membawaku ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, mulutnya mengunci. Tak ada senyum apalagi kata-kata. Dia terus memandang lurus ke depan. Aku juga sedang tak berminat mengusik apalagi mengajaknya mengobrol.
Setibanya di rumah, dia memanggil ARTnya dan memintanya untuk menurunkan barang-barang dari dalam mobil. Dia sendiri merangkul dan membawaku masuk ke dalam rumah. Adhit membimbingku duduk di salah satu sofa nyaman di ruang keluarga dan menghilang sebentar ke bagian lain rumah.
"Apa yang terjadi?" Mama Adhit berseru kaget melihat keadaanku yang berantakan.
"Ervan berusaha memperkosanya!"
“Bagaimana kejadiannya?” Mama mendekatiku dan mengelus wajahku.
Adhit muncul tiba-tiba membawa segelas teh dengan daun mint. Dia memberikan gelas teh padaku dan meraba pipiku yang merah. Bekas tamparan Ervan.
“Adhit menelepon Shila tapi tidak diangkat lalu tiba-tiba hujan turun. Perasaan Adhit langsung nggak enak, Adhit minta pegawai hotel menemani Adhit ke kamar Shila dan dari luar terdengar suara-suara aneh jadi Adhit minta pegawai hotel untuk membuka kamar Shila,” jelasnya sambil terus memandangku. “Sakit?" tanyanya lembut. Aku menggeleng. Menghirup tehnya sedikit dan meletakkannya di meja kecil yang ada di sampingku.
Pipiku sakit. Tapi tidak sesakit perasaan dan harga diri yang tercabik. Aku mulai terisak.
"Sudahlah. Kamu aman sekarang."
Dia duduk di sampingku dan menarik tubuhku masuk ke dalam pelukannya. Rasanya sungguh nyaman. Hangat tubuhnya mengeringkan sisa air mataku. Detak jantungnya yang teratur merambat melalui nadi dan menenangkan jantungku yang sedari tadi berdetak terlalu cepat. Aku menarik napas panjang, dan mengembuskannya. Merasakan pipinya di kepalaku, napas panasnya mengembus-embus rambutku. Bolehkah aku meminta waktu membeku saat ini? Aku ikhlas jika tsunami menerjang kami sekarang. Setidaknya, kami akan tenggelam dalam keadaan berpelukan. Aku juga tak mengapa jika pesawat airbus tiba-tiba jatuh menimpa rumah Adhit saat ini. Setidaknya kami akan tertimbun dengan saling memeluk. Apakah itu aib? Bagiku itu anugerah.
“Apa yang terjadi di kamar Shila?” tanya Mama yang terlihat tak sabar ingin tahu kelanjutan cerita Adhit.
Aku membayangkan apa yang dilihat Adhit saat itu. Ervan di atas tubuhku, napasnya yang penuh napsu dan cengkeraman tangannya yang begitu kuat dan menyakitkan. Aku semakin lesak ke dalam pelukan Adhit.
"Ervan, Ervan menindih tubuh Shila dan sedang menciuminya." Suara Adhit dingin dan penuh penekanan, membuatku sedikit merinding. Kurasakan tangannya mengepal di bahuku. Mama Adhit memekik tertahan.
"Ervan juga memukulnya, Ma. Pipinya sedikit memar." Adhit memperlihatkan bekas tamparan Ervan di pipiku.
"Oh! Pasti tamparannya keras sekali. Bekasnya mulai biru. Mama punya obat bengkak. Tunggu, ya, Mama ambilkan."
Mama Adhit meninggalkan kami berdua. Sebenarnya, perasaanku sudah lebih baik dan lebih tenang. Tapi berada di pelukan Adhit rasanya sangat nyaman. Apa aku bisa dibilang mengambil kesempatan? Mungkin ya. Tapi ..., jika bukan karena musibah, apa mungkin kesempatan ini bisa tercipta?
"Maafkan aku."
Sepertinya aku mendengar ada sesuatu yang salah di sini. Adhit minta maaf? Untuk apa? Tidak mungkin dia mewakili kesalahan yang diperbuat Ervan. Seingatku mereka bukan teman. Hanya sama-sama pengurus OSIS. Aku bangkit dari pelukan Adhit dan menatapnya pertama kali sejak kejadian di mana Ervan berusaha memperkosaku. Dan, oh!, matanya sedih sekali. Seperti awan hujan yang terlalu berat menampung titik-titik air.
"Untuk apa kamu minta maaf? Jangan bilang untuk Ervan! Aku tidak mau memaafkan dia!"
"Tidak! Tentu saja bukan. Mana mungkin aku minta maaf untuk dia. Kalau bisa, aku ingin mencarinya saat ini juga dan menghajarnya lagi. Kalau bukan karena kamu, rasanya ingin kuhabisi Ervan."
"Aku tidak mengizinkan kamu melakukan itu." Aku meraih tangan Adhit dan menaruhnya di pipiku. Menciuminya dan merasakan kulitnya menyentuh kulitku.
"Aku tidak akan memaafkan diriku kalau sampai terjadi sesuatu padamu gara-gara aku."
Adhit tersenyum dan mengusap bibirku dengan telunjuknya.
"Memangnya apa yang mungkin terjadi padaku?"
"Kamu di penjara misalnya, karena membunuh Ervan." Aku mengecup jarinya. Adhit tertawa. Syukurlah, awan mendung itu akhirnya menghilang dari matanya.
"Aku tidak akan sebodoh itu Cila. Entahlah. Aku belum memikirkan apa-apa saat ini. Tapi pasti akan aku lakukan sesuatu untuk menghukum Ervan. Itu pun jika kamu mengizinkan."
Aku menggeleng cepat-cepat. "Aku tidak mau memperpanjang masalahnya. Saat ini, aku lebih mengkhawatirkan keadaan Febi. Bagaimana caranya memberi tahu dia tentang Ervan? Di hotel, Ervan mengakui jika dia sedang menjalin hubungan dengan Febi. Apa yang akan terjadi pada Febi nanti?"
Adhit mendesah panjang. "Kamu malah mengkhawatirkan orang lain dibanding keadaanmu saat ini. O, ya, aku, kok tidak tahu, ya kalau Ervan punya minat sama kamu. Ternyata kamu punya secret admirer juga, ya? Lebih berbahaya dari ADL."
Mau tidak mau aku tersenyum mendengar gurauannya. "Jadi kamu pikir, aku ini tidak laku? Dan cuma kamu yang mau sama aku, gitu?" Aku bersungut dan mengarahkan tanganku pada pinggangnya. Ingin mencubitnya. Tapi Adhit malah menarik tanganku hingga tubuhku jatuh ke pelukannya.
"Karena seharusnya, cuma aku yang bisa melihat betapa kamu itu menakjubkan. Dan ..., maafkan aku karena tadi datang terlambat." Dia mengeratkan pelukan saat mengatakan 'terlambat'.
"Terima kasih sudah datang. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang."
Kali ini, aku melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Membiarkan tubuhku menyatu dengan tubuhnya. Jantung kami bertemu. Berdetak seirama bersama-sama. d**a kami bertemu. Bergerak naik turun bersama-sama.
"Maaf Mama lama. Mama lupa di mana menyimpan obatnya. Untunglah ..., akhirnya ketemu juga. Nih, Dhit, coba kamu oleskan tipis-tipis di memar Shila."
Mama memberikan obat dalam wadah kaleng kecil berwarna hijau kepada Adhit. Dia mengoleskan tipis-tipis di memarku.
"Sakit?" tanyanya, saat pipiku mengernyit.
"Sedikit."
"Besok memar dan bengkaknya pasti sudah hilang. Kamu tidak mungkin ketemu keluargamu dalam kondisi seperti ini," kata Mama Adhit mengingatkan.
Keluargaku? Astaga! Aku lupa kalau harus memberi kabar pada mereka. Di mana ponselku?
"Kamu nyari apa?"
"Tasku. Ponselku pasti mati karena dari tadi tidak ada bunyi-bunyian."
"Tas dan barang-barangmu yang lain sudah diletakkan di kamar. Ayok! Kuantar kamu ke sana." Adhit berdiri dan mengulurkan tangan padaku.
Aku memang perlu me time sejenak. Menyegarkan badan dan berganti baju yang lebih layak. Bajuku masih baju yang sama saat Ervan menindihku dan menyobeknya. Aku hanya melapisinya dengan sweater untuk menyembunyikan sobekannya.
***
Sepertinya aku tidak ingin pergi dari guyuran shower yang membasuh kepala dan tubuhku. Kubiarkan air mataku mengalir bersama air yang jatuh di kakiku dan memasuki lubang pembuangan. Berkali-kali kugosok tubuhku dengan sabun tapi panas kulit Ervan masih terasa di kulit. Dan napasnya, napasnya yang memburu masih terdengar di telingaku. Terengah, penuh napsu, seperti napas anjing yang mengunci buruannya. Aku berjongkok dan menutup telingaku dengan kedua tangan. Berharap bisa menghilangkan suara-suara menjijikkan yang keluar dari mulut Ervan yang terus bergaung di kepala. Membiarkan air shower berjatuhan di kepala juga punggungku. Saat gigil mulai terasa, aku baru sadar, jari-jari tanganku sudah keriput dan hidungku sudah sakit karena kedinginan.
Puluhan panggilan terabaikan, pesan singkat dan juga WA bernada khawatir dan marah aku terima dari papa dan suamiku. Rasa bersalah sempat mengabaikan mereka menyelusup di hatiku. Saat sendirian di kamar ini, aku seperti diingatkan kembali tentang siapa aku bagi orang-orang yang aku sayangi. Ibu bagi dua ratuku dan istri bagi suamiku yang murah hati.
Jika aku terjebak pada situasi yang tak menguntungkan, akan lebih mudah mencari alasan untuk melakukan pengkhianatan. Tapi suamiku orang baik, tak ada alasan yang dibenarkan untuk melukainya. Kesalahan sekecil apa pun yang kulakukan bisa menjadi cacat untuk menuduhku sebagai seorang pengkhianat. Tapi seperti kata Adhit, tidak mungkin kita bisa bahagia dengan mengambil kebahagiaan orang lain, kecuali kita memang tidak punya nurani.
Aku menelepon mereka, orang tua dan suamiku, untuk memberitahu kondisinya mengapa telepon dan pesan mereka diabaikan. Tentu saja aku tidak memberi tahu kondisi yang sebenarnya. Itu akan membuatku kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Papa dan Mama bisa kuyakinkan dengan alasanku. Mereka khawatir karena tak ada kabar kapan aku akan ke Jogja. Suamiku, sedikit sulit. Dia curiga. Bagaimana pun dia suamiku, belasan tahun hidup bersama membuat kami memiliki insting untuk merasakan ada sesuatu yang berbeda dari kebiasaan kami. Suamiku pun begitu. Meski aku mencoba menjelaskan situasinya, dia seperti tak percaya dan menceramahiku soal kepercayaan dan tanggung jawab. Bahkan dia sudah memutuskan untuk tidak memberi izin padaku pergi sendirian lagi. Setelah semua ini berakhir, aku memang tak berniat kemana-mana. Aku akan seperti Adhit, menghabiskan sisa umurku untuk hidup bersama kenangan-kenangan tentangnya.
Pintu kamarku diketuk. Mama Adhit membawakan semangkuk sup hangat dan buah-buahan segar untukku. Dia berpikir aku tak akan punya selera makan setelah semua yang terjadi. Tapi perutku harus diisi. Begitu menurutnya. Aku berterima kasih atas perhatiannya. Saat tubuhnya hendak berbalik pergi, aku teringat sesuatu.
"Tante, boleh Shila bertanya sesuatu?" Mama Adhit terlihat heran tapi dia mengangguk mengiyakan.
"Surat-surat Donna. Dia menulis tentang Dhita. Menurutnya, Shila harus bertanya kepada Tante atau Adhit. Kalau Tante tak keberatan, Shila ingin tahu tentang Dhita."
Mama Adhit mendesah. Lagi-lagi aura kesedihan menguar di udara. Entah bagaimana perempuan satu ini meredam segala kesedihan di sekitarnya dan meramunya menjadi senyuman tanpa beban.
"Duduklah. Tante akan menjelaskan semuanya. Tentang Dhita, Adhit dan juga tentangmu, Shila."
Tentangku? Bagaimana bisa diriku dimasukkan dalam lingkaran cerita mereka? Aku duduk di pinggir tempat tidur, Mama Adhit duduk di sampingku. Wajah kami saling berhadapan.
"Dhita itu adik angkat Adhit. Tante mengadopsinya dari sebuah panti asuhan setelah dokter mengangkat rahim Tante. Dia berumur 5 bulan saat dibawa ke rumah Tante dan diperkenalkan pada Adhit. Umur Adhit 2 tahun lebih waktu itu. Tante pikir Adhit akan menolak adik barunya, ternyata sebaliknya. Dia sangat menyayangi Dhita dan menjadi kakak yang sangat baik baginya. Mereka tumbuh bersama. Saling menjaga, saling berbagi, saling menyayangi. Kadang-kadang Tante merasa hubungan mereka lebih dari sekadar kakak adik. Tapi mungkin itu cuma perasaan Tante saja."
Mama Adhit tersenyum dan menunduk. Tangannya memilin-milin ujung tuniknya, seperti seseorang yang sedang mencari pengalihan karena gelisah.
"Apa yang terjadi dengan Dhita?"
Akhirnya aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan itu. Dan jawaban yang kuterima sungguh mengejutkan. Aku seperti kembali di renggut pada hari di mana tubuh kakakku terbaring kaku di ruang tamu kami. Rasa tak percaya, rasa kehilangan, rasa ingin marah dan protes kepada seseorang tapi tak tahu siapa. Rasa nyeri berlapis-lapis yang tak hilang meski aku sudah berteriak kuat-kuat. Aku tidak tahan dengan sakitnya. Tidak pernah tahan. Aku tidak tahu kekuatan apa yang akhirnya menguatkanku. Tapi aku beruntung bisa bertahan, sedang Adhit ..., dia terjatuh.
Aku masih terduduk di tempatku saat pintu kamar diketuk lagi. Mama Adhit sudah lama pergi. Kali ini, wajah Adhit yang muncul di balik pintu, ketika aku bilang 'masuk!'. Aku ingin menghambur ke pelukannya saat itu juga, tapi sayangnya keberanianku tak cukup banyak.
"Aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Kamarku di seberang jika kamu perlu sesuatu."
"Kamu tidak berniat terjaga semalaman, kan?"
"Jika perlu, akan kulakukan,” jawabnya mantap. Sungguh, dia membuat hatiku meleleh. ©