DI RUMAH SAKIT

1261 Kata
“Turunkan barang bawaan saya,” perintah Deira pada ART yang menyambutnya di pintu masuk. Dia melepas sepatunya sembarangan dan menggantinya dengan sandal rumah. Dengan cepat dia menuju ke lantai atas, tempat kamarnya berada.   Sesampainya di kamar dia langsung menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Segar. Perjalanan Cilacap-Semarang sangat membuatnya kelelahan. Dia berhenti beberapa kali di jalan. Jika pada hari biasa mungkin dia akan menginap di hotel yang dia temui di jalan. Namun karena perasaannya tak karuan, dia memilih istirahat di dalam mobil, menangis, lalu mencari tempat makan, menangis lagi, menyetir lagi. Begitu terus sampai tiba di Semarang.   Setelah selesai mandi, ada ART yang menunggunya di kamar. Deira heran karena tidak merasa memanggilnya.   “Ada apa?” tanyanya pada bibik tua yang sudah ikut keluarga suaminya sejak lama.   “Kalau Nyonya sudah merasa baikan, sebaiknya Nyonya ke rumah sakit,” kata Bibik itu.   “Kenapa? Ada sesuatu terjadi sama Bapak?” tanya Deira khawatir. Dia menghentikan aktivitasnya mengeringkan rambut.   “Bapak masuk ICU sejak kemarin. Jantungnya kumat.”   “Apa? Kok nggak ada yang ngasih kabar ke saya, sih?” tanyanya kesal sambil buru-buru memilih pakaian dari lemari.   “Bapak yang melarang. Katanya kasihan Nyonya sudah lama nggak ketemu sama keluarganya.”   Ah, suaminya memang selalu begitu. selalu berusaha menyenangkannya. Dia tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar hubungan suami istri,  maka dia menggantinya dengan memenuhi kebutuhan Deira yang lain. Suaminya sedang berusaha membuatnya tidak enak hati. Deira meringis dan mulai merias wajahnya tipis-tipis. Guratan lelah masih terlihat, tapi dia tidak bisa memberi kesan buruk pada keluarga suaminya dan membiarkan mereka menyingkirkannya dengan mudah dari keluarga besar suaminya.   “Tolong suruh supir menyiapkan mobil saya,” perintah Deira pada Bibik.   “Nyonya mau nyetir sendiri? Tapi Nyonya baru sampai.”   “Saya sedang tidak ingin disupiri,” jawabnya singkat.   ***   Deira berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Dia hapal betul di mana letaknya. Sudah beberapa kali suaminya terkena serangan jantung dan di rawat di sini.   Di depan meja perawat, dia bertanya informasi tentang suaminya. Saat di tanya ada hubungan apa dia dengan Pak Suyudi? Deira mantap menjawab, "Istrinya."   Dia bisa melihat rasa tidak percaya yang terpancar dari mata perawat itu walau hanya sekilas. Segera setelah dia pergi, perawat itu akan memberitahu temannya dan mereka mulai berbisik-bisik. Dia sudah terbiasa dengan semuanya. Bisik-bisik, tatapan kagum, tatapan nakal, melecehkan, atau sekedar ingin tahu. Dia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Jika langkahnya tak tersandung beberapa tahun yang lalu, Deira pasti sudah menjadi model yang terkenal. Dia tidak bisa berakting jadi tidak mungkin menjadi bintang layar lebar atau artis sinetron. Suaranya tidak merdu bahkan mendekati sumbang, tidak akan lolos audisi pencarian bakat suara emas. Tapi dia cantik, seksi, dan sangat menggoda. Dia memilih jalur model sebagai jalan hidupnya.   Deira mengawali karir modelnya di Jogja dan Semarang. Perlahan dia melebarkan sayap ke Surabaya, sesekali ke Jakarta. Dia cukup menikmati dunianya. Dia bisa melupakan Banyu dan berkencan dengan laki-laki pilihannya. Deira tidak pernah kekurangan job modelling. Dengan parasnya yang rupawan dan tubuhnya yang molek, Deira bisa mendapatkan job dengan cepat, bahkan untuk job yang bagi model lain tidak mungkin karena tingginya standar. Deira juga tidak pernah menggunakan jasa manajer untuk mengatur pekerjaannya. Dia bekerja sendiri. Bukan karena dia terlalu rakus akan pendapatan, tapi dia tak ingin kehidupan kotornya diketahui orang. Deira tahu ada yang salah dengan tubuhnya. Ada yang salah dengan hormonnya sejak Banyu tak lagi mencumbu dirinya. Tapi Deira enggan mencari tahu. Dia memilih jalan memenuhi napsu yang berlebihan pada dirinya daripada diobati. Untuk apa? Selama dia menikmati dan tidak kesulitan mendapat teman kencan, tidak perlu ada yang ditahan-tahan.   "Dokter ingin bertemu Ibu di kantor."   Seorang perawat menepuk pundak Deira yang sedari tadi hanya bisa melihat suaminya dari balik jendela kecil. Napasnya lemah sekali. Jika tanpa oksigen pasti napasnya terputus dengan cepat. Selang infus dan alat pendeteksi detak jantung terpasang di lengan dan tubuhnya. Jantungnya stabil berdetak tapi sedikit lemah dan seperti akan hilang. Deira menyayangi suaminya meski sering berkhianat. Dia tak ingin hal-hal buruk terjadi padanya.   "Siang, Dok."   Deira membuka pintu ruang dokter spesialis jantung. Sepasang mata membulat saat dia memasuki ruangan dan duduk di hadapan dokter itu. Ah, pandangan yang biasa.   "Saya ingin berbicara tentang kondisi suami Ibu."   Dokter itu sedikit tidak nyaman. Sedikit-sedikit membetulkan letak duduknya. Sebentar-sebentar mengusap hidung atau menggaruk dahi.   Dia gugup, pikir Deira.   Deira hanya tersenyum memperhatikan tingkah dokter di hadapannya. Penjelasannya yang penuh istilah-istilah tidak masuk ke dalam otaknya. Dia tidak sepenuhnya memahami dan mencerna perkataan dokter. Deira sibuk berpikir, berapa umur dokter ini? Sepertinya lebih muda atau seumuran Deira. Apakah dia masih sendiri? Tidak ada cincin yang melingkar di jarinya. Tapi laki-laki sekarang tidak banyak yang mau mengenakan cincin sebagai tanda kepemilikan seseorang.   "Jadi menurut dokter..."   "Arya. Nama saya Arya."   Deira terkesiap.   "Me-menurut dokter Ar-ya, suami saya kelelahan. Begitu?   Dokter Arya. Seperti Banyu Arya, Deira mendesah. Mengapa ada saja hal kecil yang mengingatkannya  pada Banyu?   Dokter Arya memandanginya prihatin. Dia pasti mengira Deira bersedih atas kondisi suaminya.   ‘Wanita ini begitu mencintai suaminya. Sayang sekali. Padahal dia lebih cocok menjadi istriku.’   "Jika kondisinya sudah pulih, Pak Suyudi harus benar-benar diperhatikan aktifitasnya. Sedikit saja guncangan bisa berakibat fatal. Dan saya tidak yakin yang selanjutnya bisa pulih. Mengingat dia sudah berkali-kali mengalami kondisi ini."   Itu benar, pikir Deira. Suaminya sudah beberapa kali terkena serangan jantung. Deira belum siap jika harus kehilangan dia secepat ini. Suaminya tidak boleh meninggal. Tidak boleh, sebelum rencananya selesai dijalankan.   "Lakukan yang terbaik, Dok. Jika sudah di rumah, saya akan merawatnya dengan baik."   Dokter Arya menatap kagum pada Deira. Matanya menelusuri setiap lekuk wajah Deira yang sempurna. Mata, alis, hidung, pipi dan bibir. Dokter Arya menelan ludah.   'Sungguh mulia dia sebagai seorang istri. Cantik, baik, penyayang dan setia. Sungguh beruntung suaminya. Seandainya saja suaminya meninggal..., dia bisa meninggal kapan saja, kan? Seandainya saja ..., apa dia bisa kudekati, ya?'   "Masih ada yang mau dibicarakan lagi, Dok?" Deira mengejutkannya.   Dokter Arya terlihat kikuk dan bingung. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja tanpa sadar. Dia masih ingin berlama-lama berhadapan dengan Deira, tapi kata-kata yang harus diucapkan sudah habis.   "Jika tidak ada, saya mau minta izin untuk masuk menengok suami saya. Sebentarrr ..., saja."   Dokter Arya berpikir sejenak. Sebenarnya tak akan ada gunanya Nyonya Suyudi menengok suaminya. Kondisinya belum stabil.   "Saya belum bisa memberi izin. Biarkan saja Bapak berada dalam pengawasan kami hingga kondisinya benar-benar siap untuk bertemu siapa pun. "   Deira terlihat kesal. Tapi dia tahu prosedurnya. Dia tak ingin memaksa. Dia juga butuh ketenangan setelah perjalanan jauh hari ini.   "Ini kartu nama saya, hubungi saya jika ada apa-apa."   Deira melihat kilat dalam mata Dokter Arya. Dia mempertimbangkan, kemungkinan memanfaatkan Dokter Arya untuk kepentingannya. Sepertinya Dokter Arya lebih bersahabat ketimbang dokter tua itu, ah, siapa namanya?   "Terima kasih juga Dokter berkenan menemui saya pada hari libur. Seharusnya saat ini Dokter berkumpul bersama keluarga dan ..., "   "Saya belum menikah!" Dokter Arya memutus perkataan Deira cepat-cepat. "Belum. Masih ... sen-diri," dia melanjutkan gugup. Entah mengapa begitu penting baginya agar Deira tahu dia belum menikah   "Oh." Deira mengangguk dan tersenyum penuh pengertian.   "Ke mana Dokter yang biasa merawat suami saya? Maaf, seharusnya saya bertanya dari tadi. Tapi pikiran saya kacau, saya juga baru tiba dari luar kota. Jadi ... yah, saya ..., " Deira mengangkat bahu. Dokter Arya tersenyum memahami.   "Dokter Bambang sedang cuti. Mungkin besok baru kembali."   Dokter Arya teringat waktu rekan sejawatnya itu menemuinya saat dia akan mengajukan cuti. Dia bilang tentang seorang pasien bernama Suyudi.   "Berhati-hatilah untuk tidak jatuh hati pada istrinya," pesan Dokter Bambang.   Saat itu Dokter Arya tidak tahu apa maksud perkataan Dokter Bambang. Dan pada saat pasien Suyudi mengalami serangan, dia penasaran ingin menemui istrinya. Kini dia tahu arti peringatan Dokter Bambang. Berhati-hatilah untuk tidak jatuh hati. Sekali jatuh hati, akan timbul keinginan untuk memiliki. Dokter Arya merasakan keinginan yang meluap untuk memiliki Deira. Menikmati kecantikannya dan merasakan kemolekan tubuhnya. Apalagi saat tangan halus Deira menjabat tangannya, bagai ribuan lebah mendengung dan menyengatnya. Dia masih tetap diam mematung meski Deira sudah tak lagi ada di hadapannya. ©  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN