(Febi POV)
Apa, sih maunya Mama?
Apa Mama mau aku melajang terus sampai tua? Seharusnya Mama mendengar gosip-gosip yang beredar di sekitaran rumah atau melihat pandangan mengasihani rekan sejawat. Mereka bilang, aku perawan tua yang tak laku. Terlalu tinggi memasang standar. Atau yang lebih menyakitkan, pengharap suami orang. Aku yakin kalimat-kalimat miring itu pernah sampai ke telinga Mama. Hanya saja dia terlalu menulikan telinganya dan mematikan perasaannya.
Laki-laki mana yang mau mengawini perawan tua seperti aku? Jika ada, dia pasti sama tuanya denganku. Sama tak lakunya seperti anggapan orang-orang. Tapi Mama tahu aku bukan tak laku. Sampai kapan, sih Mama mau bersikeras menolak Ervan?
Seseorang menyeberang jalan terlalu cepat. Hampir saja aku terlambat mengerem. Dia berteriak-teriak marah dan mengacungkan satu jari tengahnya padaku.
"Maaf!" kataku. Tapi rasanya dia tidak bisa mendengar suaraku dari dalam mobil.
Dia masih mengomel dan tak mau menyingkir dari depan mobilku. Padahal sedikit pun ujung mobilku tidak menyentuh motornya. Apa sekarang ada aturan harus memberi ganti rugi bagi orang yang terkejut karena hampir ditabrak? Aku mulai kesal. Tapi menolak turun dari mobil karena akan membuat masalah makin panjang. Mobil-mobil yang lewat mulai mencari tahu apa yang membuat mobilku berhenti di tengah jalan. Mereka melihat seorang pemuda sedang berteriak-teriak ke arahku.
"Dasar gemblung!"
Aku mulai kesal dan memundurkan mobil. Memilih berjalan melewatinya dan pergi meninggalkannya. Kuharap dia tidak menyusulku.
Benar-benar hari buruk! Setelah pertengkaran dengan Mama, pemuda gila tadi, entah apa lagi setelah ini. Padahal seharusnya ini hari yang indah. Kenangan semalam masih melekat di ingatanku. Ervan lebih agresif dibanding saat pertama kali kita berhubungan intim. Dia menekanku kuat-kuat, mengintimidasiku bahkan sekali dia mencekik hingga aku hampir kehabisan napas. Tapi aku bisa paham. Dia melakukan itu karena perasaannya yang begitu kuat padaku. Puluhan tahun dia menahan diri, hingga ketika kesempatan itu datang, dia melampiaskannya penuh hasrat. Mungkin jika aku diumpamakan sepotong kue yang begitu diinginkan, Ervan akan menghabiskannya dalam satu suapan.
Tanpa sadar aku telah berada di parkiran hotel tempat Ervan menginap. Sebenarnya tak ada gunanya. Aku tahu dia telah pergi. Hanya saja aku tak tahu kemana lagi tempat yang nyaman untukku melepas kekesalan ini. Aku terlalu marah tadi pada Mama, hingga pergi begitu saja meninggalkan rumah, tanpa membawa dompet dan ponsel. Aku tidak bisa menghubungi Ervan. Aku juga tidak bisa nongkrong di kafe-kafe. Aku sekarang, hanya terpekur menatapi burung gereja yang terbang dari ranting satu ke ranting yang lain.
Mungkin aku bisa pergi ke penginapan Shila. Dia baru akan pergi besok. Tapi bisa jadi dia sedang pergi bersama Adhit. Ah, kenapa ponselku harus ketinggalan, sih? Aku kesal! Benar-benar kesal! Dan aku lapar. Aku meninggalkan rumah tanpa sarapan. Tadi sewaktu mengantar Ervan, aku juga tidak sempat membeli sarapan. Terlalu pagi saat kami keluar rumah. Belum ada satu pun penjual makanan yang menjajakan dagangannya. Baiklah, tidak ada salahnya aku mencoba. Jika Shila tak ada, aku akan menunggu sebentar.
***
(Shila POV)
Senyumnya mengembang di muka pintu. Masih senyum menyebalkan yang sama. Seperti senyum saat kami tak sengaja bertemu di depan sebuah toko jam di Pasar Gede. Dia menunggu mamanya berbelanja, aku juga menunggu mamaku yang sedang masuk ke pasar lagi karena ada barang yang lupa dibeli. Dia menyapaku dan mencoba mengajakku mengobrol. Setiap selesai berbicara, dia selalu tersenyum. Senyum yang dimanis-maniskan.
Sebenarnya aku tak terlalu suka dengan keberadaannya. Tapi Mama menyuruhku menjaga dua keranjang belanjaannya yang sarat isi dan sangat berat. Mobil Papa tak terlihat di manapun. Jika saja Papa dan mobilnya terlihat, aku pasti memilih menunggu di mobil. Biar saja Papa yang menunggu Mama di depan toko.
Dia menyentuh lenganku saat kucoba mengalihkan pandang dari wajahnya yang berkilat karena kelebihan minyak. Bergeser hingga tepat di sampingku. Aku pun bergeser menjauh darinya. Dia heran kenapa aku mencoba menghindarinya. Bukankah aku terbiasa berdekatan dengan Adhit, jadi seharusnya aku juga terbiasa berdekatan dengan laki-laki lain seperti dia. Pikiran macam apa itu? Justru karena dia tahu aku adalah pacar Adhit, jadi sebaiknya dia menjaga jarak. Bisa saja ada anak HB yang melihat ketika dia begitu menempel padaku dan menyebarkan gosip yang tidak-tidak di sekolah. Aku tahu Adhit tidak akan termakan gosip. Dia percaya padaku seperti aku percaya padanya. Tapi tetap saja aku tak enak jika sampai ada hal buruk tentangku yang sampai ke telinga Adhit.
Dia terus mencoba berdekatan denganku bahkan merayuku. Dia bilang sekali-sekali aku harus jalan dengannya, jangan hanya dengan Adhit saja. Aku juga harus sesekali main ke rumahnya karena kita tinggal satu komplek. Dia meyakinkan aku, bahwa akan ada banyak hal yang bisa aku dan dia lakukan bersama. Saat itu, aku memandangi wajahnya lekat-lekat. Mungkin dia sedang bercanda, pikirku. Tapi wajah berminyak itu terlihat serius. Dan tidak ada senyum di sana. Jadi aku memutuskan untuk benar-benar menjaga jarak dengannya di mana saja kita berada. Termasuk saat ini, saat dia berdiri memandangku dan tersenyum dengan senyum yang dimanis-maniskan.
"Kamu sama siapa ke sini? Mana Febi?” Pasti Febi yang memberi tahu di mana aku menginap. Dan pasti dia datang ke sini bersama Febi. aku mencoba berpikiran positif.
"Febi tidak tahu aku ke sini. Dia bahkan tidak tahu aku masih di Cilacap."
Aku memandangnya waspada, pikiran buruk langsung timbul apa lagi setelah membaca surat dari Donna.
"Shila, aku ingin kamu tau, bahwa selama ini ..., selama ini aku ..., aku ..., "
Dia sulit sekali mengatakan sesuatu. Dan itu membuat perasaanku tidak enak. Aku berharap Adhit cepat datang.
"Selama ini kamu kenapa, Van?"
Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Membuat perasaanku semakin tak enak.
"Aku ..., aku ..., suka ..., kamu, Shila."
Dia mengembuskan napas lega setelah mengatakannya. Gantian aku yang tak bisa bernapas. Apa maksudnya? Dia menyukaiku? Jadi semua sikap menyebalkan dia itu karena dia suka padaku?
"Kamu sedang bercanda, kan, Van? Bukannya kamu sedang sama Febi sekarang?"
"Febi? Ya, aku memang dekat. Tapi itu karena aku ingin mencari cara supaya bisa dekat denganmu!"
Jadi inilah alasan kenapa dulu Ervan tidak mau terang-terangan menunjukkan hubungannya kepada Febi.
"Te-terima kasih untuk perasaanmu, Van. Tapi kamu sendiri tahu, itu tidak bisa mengubah apa-apa di antara kita. Aku masih terikat tali perkawinan. Dan ..., meskipun misalnya aku tidak punya suami, aku tidak akan menerima perasaanmu. Aku tidak akan mengkhianati sahabatku sendiri."
"Ya, aku tahu. Aku tahu, kamu masih menikah. Tapi ..., ciuman kalian di belakang perpustakaan, bisa menjadi alasan awal akan adanya perpisahan."
Tubuhku menegang. Dia tahu tentang ciuman itu!
"Kamu mengintip kami?"
"Aku tidak mengintip. Aku kebetulan melintas di sana. Tempat itu selalu menjadi favoritmu kalau menangis, ya? Eh, aku penasaran. Apa mungkin kamu bisa memanggil hujan jika sedang menangis? Atau itu cuma kebetulan?"
"Kamu memata-matai aku?" Aku sungguh tak percaya dengan apa yang kudengar.
"Sudah kubilang aku mencintaimu, Shil. Aku berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi tentangmu!"
Aku memandang dia jijik. Aku tidak mau berbicara dengannya lebih lama lagi.
"Sebaiknya kamu pergi, Van. Mood-ku sedang buruk," kataku sambil mendorongnya menjauh dari pintu masuk.
Entah kapan dia bergerak, tapi saat aku hendak menutup pintu, tangan dan kakinya sudah menahan pintu.
"Aku tidak menunggu puluhan tahun hanya untuk mendapat pandangan hina darimu, Shil."
"Ap-apa maumu, Van? Sebaiknya kamu jangan macam-macam atau aku akan berteriak."
"Coba saja kalau berani!"
Dia mendorongku masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan kakinya. Lalu dia mendekatiku dan mendorong bahuku cukup keras hingga aku terhuyung dan jatuh ke lantai. Lalu dengan sekali tarik, dia meraih tanganku dan mengempaskan tubuhku ke atas kasur.
"To! To ...,"
Belum sempat aku berteriak, tangannya sudah membekap mulutku, tubuhnya menindihku. Aku tahu apa yang berusaha dia lakukan. Aku pun berusaha lebih keras untuk melepaskan diri. Mulutku mengeluarkan bunyi-bunyi yang berisik. Tubuhku meronta-ronta. Muka Ervan terlihat kesal. Dia pun melepas tangan yang membekap mulutku. Baru saja aku mengambil napas, belum sempat mengatakan sepatah kata pun, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Meninggalkan rasa panas dan membuat pandanganku mengabur.
Ervan merobek bajuku saat aku masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Membekap mulutku lagi dan menindihku lebih kuat hingga napasku sesak. Bibirnya menjelajahiku leherku. Tangan kanannya menahan tangan kiriku. Bahu kirinya mengunci bahuku. Tangan kananku yang sedikit bebas berusaha memukul dan mencakar punggungnya. Tapi itu tidak berarti apa-apa. Bibirnya masih terus menggerayangiku dan kini mulai turun ke d**a.
Aku mulai menangis. Tidak saja berharap hujan turun, tapi aku ingin sesuatu menghantam Ervan begitu keras hingga tubuhnya pergi dari tubuhku. Aku berharap Adhit segera datang! Aku berharap pintu terbuka! Aku berharap sesuatu menyakiti Ervan! Aku berharap semua ini tidak terjadi!
'Bug!!!'
Tubuh Ervan benar-benar pergi dari tubuhku. Disusul bunyi pukulan bertubi-tubi. Aku berusaha menguasai diri dan melihat apa yang terjadi.
"Adhit! Sudah, Dhit! Cukup! Kamu akan membunuh dia!"
"Biar saja aku bunuh dia! Kurang ajar!"
Ervan terlentang di lantai. Kedua tangannya berusaha menutupi wajah. Adhit menghimpitnya sehingga dia tidak bisa bergerak. Tinju Adhit berusaha menyasar bagian-bagian tubuh Ervan yang bebas.
"Sudah, Dhit! Sudah!"
Aku memeluk punggung Adhit dan menangis. Pegawai hotel yang ikut bersama Adhit dan hanya diam sedari tadi melihat Adhit memukuli Ervan, mulai memisahkan mereka dan membantu Ervan berdiri. Adhit tersadar bahwa aku lebih membutuhkan dirinya, dia pun menghentikan amukannya pada Ervan dan membimbingku berdiri. Memelukku erat, membiarkanku tersedu.
"Cepat pergi dari sini sebelum aku panggil polisi!" Adhit berkata galak pada Ervan. Membuat Ervan bangkit dan cepat-cepat melarikan diri. Pegawai hotel yang melihat insiden kami pun mohon diri dan mengatakan akan menunggu kami di bawah untuk menyelesaikan masalah ini.
Adhit mendudukkan aku di tepi tempat tidur, memberi segelas air padaku dan membungkus tubuhku dengan selimut. Kemudian dia bergegas mengumpulkan barang-barangku.
"Ap-apa yang kamu lakukan?"
"Kamu menginap di rumahku malam ini! Dan aku tidak ingin dibantah!"
Aku sedang tidak ingin membantahnya dan aku juga tidak ingin berada di sini lebih lama. Sambil terus terisak, aku membantu Adhit mengumpulkan barang-barangku. ©