Hari sudah mulai malam. Azan isya’ sudah terdengar satu jam yang lalu. Mata Bilqis masih saja memerah. Sesekali tangannya mengusap air matanya yang menuruni pipi. Dia hanya berdiam diri di kamar setelah salat isya’ tadi.
Perutnya lapar, tapi dia terlalu sedih untuk beranjak dari kasur. Selain itu, di kontrakan ini juga tidak ada makanan apa pun. Mau beli makanan, dia tidak tahu tempatnya. Mau tanya pada Jindan, dia malas. Lebih baik dia tidur saja. dan besok pagi dia akan sarapan di tempatnya bekerja.
“Huh, seandainya saja kemarin aku menolak bantuannya, mungkin sekarang aku di rumah bersama ayah. Bukannya terjebak di sini dengan suami yang dari tadi hanya mendiamkan aku!” pekik Bilqis dalam hati. Dia menghidupkan kipas angin dan kembali berbaring.
Jindan memilih tiduran di depan televisi. Dia tidak berani memasuki kamar. Atau dia tidak berani karena ada istrinya? Entahlah, yang jelas dia tidak akan memasuki kamarnya. Dia biarkan saja Bilqis melakukan apa yang dia mau. Dia tidak mau tahu lagi apa yang terjadi pada gadis itu. Gara-gara menolong gadis itu, dia justru mendapat fitnah kejam dan berakhir menjadi seorang suami.
Jindan menata bantalnya, menepuknya sebentar. Melirik jam di dinding, pukul setengah sembilan. Dia belum mengantuk dan perutnya lapar. Sehari ini dia hanya mengisi perutya dengan sedikit makanan. Dari tadi lidahnya tidak sanggup menelan apa pun. Dan kini, setelah kontrakannya sepi, rasa laparnya muncul dengan hebat.
Jindan segera meraih dompet dan ponselnya. Matanya melirik pintu kamar yang masih tertutup lalu melangkah keluar. Tujuannya adalah warung Abah Rukhin. Lidahnya ingin merasakan pedasnya pecel lele. Siapa tahu bisa mengurangi sedikit sakit kepala dan sakit hatinya.
Bilqis belum tidur. Dia mendengar dengan jelas suara motor menjauh. Seketika itu juga hatinya menciut. Apa mungkin suaminya itu pergi? Ke mana?
Dia segera keluar dari kamar. Dan benar saja, Jindan sudah pergi. Amarah langsung membakar hatinya. Dia tidak menyangka kalau suaminya ini benar-benar tidak bertanggung jawab. Bagaimana bisa dia meninggalkannya sendirian di kontrakan yang baru semalam dia tinggali?? Jindan bahkan tidak menawarinya makanan atau roti. Apa pria itu amnesia kalau semenjak subuh mereka sudah digerebek hingga tidak sempat makan???
“Arrghh!!” Bilqis menjerit. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas karpet tipis di ruang tamu, meraih remot televisi, dan mulai menikmati tayangan yang ada.
“Baik, jika kamu memutuskan untuk pergi malam ini, aku akan menguasai rumahmu ini! Aku akan menguncinya dan tidak akan membiarkanmu masuk. Awas saja!!”
Bilqis memulai aksinya menguasai rumah Jindan. Dia sedikit mengeraskan volume televisi. Dia juga membongkar dapur. Siapa tahu dia menemukan mi instan dan telur. Namun Bilqis cukup tekejut dengan apa yang ada di dapur –atau lebih tepatnya terkejut dengan keadaan dapur yang kosong. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada kopi, teh, dan gula. Rice cooker kecil, dan tempat beras yang hampir kosong.
“Dia bahkan tidak punya lemari es. Kenapa kemarin aku tidak menyadarinya?” ucap Bilqis pada dirinya sendiri. Entah bagaimana hidupnya di masa depan.
Tiba-tiba saja Bilqis mendengar suara pintu terbuka. Dia sangat terkejut. Suaminya pulang!! Kenapa dia tidak mendengar suara motornya?? Dia harus cepat kembali ke kamar. Namun sayang, saat berbalik, suaminya sudah berdiri di depannya dengan membawa satu kresek.
Bilqis sontak mematung. Kakinya seakan terpaku. Dia merasa malu dan takut, seperti seorang pencuri yang terpergok. Yang bisa dia lakukan hanya mematung dan berkedip menatap suaminya.
Jindan mengela nafasnya. Sepertinya dia tahu alasan Bilqis membongkar dapurnya yang tidak berisi. Jindan tidak berkomentar apa pun. Memangnya apa yang mau dikomentari? Dia istrinya. Dia juga perlu tahu keadaan kontrakan ini yang sebenarnya.
“Makan.” Hanya itu yang keluar dari mulut Jindan.
Ingin sekali Bilqis cuek, tapi perutnya tidak kuasa menolak. Dia pun mengekori suaminya. Mereka berdua duduk di atas karpet di ruang tamu itu. Jindan mengeluarkan dua bungkus nasi. Dan mereka berdua mulai makan dalam diam.
Dalam hati, Bilqis berterima kasih pada Jindan. Ternyata suaminya masih saja eka seperti pertama kali mereka bertemu kemarin. Meski tetap saja, dia masih merasa kecewa pada takdirnya dengan Jindan.
Selesai makan, Bilqis membereskan segala sampah dan membuangnya langsung di tempat sampah luar. Dia tidak ingin kontrakan yang kecil ini menjadi semakin tidak nyaman karena bau makanan yang busuk.
--
Pagi ini, mereka sedang menikmati teh yang dibuatkan Bilqis tadi setelah salat subuh. Sedangkan Jindan hanya membeli gorengan dan dua nasi bungkus seharga sepuluh ribu yang dijual di ujung gang.
“Aku akan mengantarmu bekerja.” Jindan mengucapkannya dengan tenang tapi tegas. Seolah dia tidak ingin dibantah.
“Oke,” jawab Bilqis. “Tapi tempat kerjaku lumayan jauh. Apa tidak apa-apa?”
“Kalau begitu kita berangkat sekarang.” Jindan dengan cepat mengabiskan sarapan super hematnya lalu berdiri. Bilqis memilih memakan sarapannya di tempat kerja. Dia tidak ingin membuat Jindan menunggunya lama.
Mereka berangkat tidak lama kemudian. Apa mereka tidak memikirkan cuti atau sekedar bersenang-senang setelah menikah? Tentu saja tidak! Tidak ada satu pun dari keduanya yang menginginkan pernikahan ini. Jadi kebali bekerja adaah pilihan yang sangta tepat.
Jindan sebenarnya enggan mengantar Bilqis, tapi dia tidak bisa melepasnya begitu saja. bagaimana pun juga, gadis yang sedang duduk di belakangnya kini sudah menjadi tanggung jawabnya. Dia tidak mungkin membiarkan Bilqis berangkat sendirian. Lagi pula, dia tidak mengenal daerah sini.
Setelah mendapat beberapa arahan dari Bilqis, mereka pun sampai di depan restoran Nusantara, tempat Bilqis bekerja.
“Ingat-ingat jalannya! Agar kau bisa berangkat sendiri dan tidak merepotkan aku!” Jindan mengucapkannya dengan tenang. Namun mampu memberikan efek panas yang luar biasa dalam hati Bilqis.
Bilqis tidak menjawab. Hatiya terlalu sakit. Kenapa mengantarnya jika hanya untuk mencelanya? Kenapa Jindan bersusah-susah melakukan itu?
“Aku tahu!” serunya sambil melotot. Sungguh!! Pria di depannya ini tidak pantas disebut sebagai suami.
Bilqis segera berbalik dan memasuki restoran lantai dua, tempatnya bekerja. Dalam hati, dia berjanji tidak akan lagi mau diantar bekerja. Ah, lebih baik dia pulang ke kos saja. Hidup sendiri seperti biasa. Bukankah di kos ada motornya?
“Ciee, berangkat kerja sekarang ada yang ngantar,” goda Cindy. Wajahnya penuh semangat menggoda Bilqis.
“Dari mana kamu tahu?” tanya Bilqis menelisik.
“Tahu dong. Aku lihat dari jendela tadi.” Cindy mengeser tubuhnya mendekati Bilqis. “Siapa sih? Kasih tahu dong.”
“Bukan siapa-siapa,” jawabnya ketus.
“Eh, eh. Kenapa kamu jadi jutek gitu? Kenapa? Tadi bertengkar sama pacarmu?”
“Siapa yang punya pacar?” Tiba-tiba saja suara manajer Royyan terdengar dekat.
Cindy dan Bilqis terkejut bukan main. Sontak mereka menoleh dan mendapati duda itu berdiri menjulang di belakang mereka.
“Eh, bukan apa-apa, Pak. Cuma bercanda aja kok. Iya ‘kan, Cin?” ucap Bilqis sambil cengengesan. Dia tidak ingin dicap buruk saat bekerja.
Cindy hanya menjawab dengan senyuman tipis di bibirnya. Seperti senyum tidak ikhlas. Kenapa duda satu ini muncul tiba-tiba? Mengganggu saja!
“Saya dengar Pak Hasan akan ke Surabaya. Ada kemungkinan beliau akan mampir ke mari. Jadi persiapkan diri kalian.” Royyan segera masuk ke ruangannya setelah mengatakan itu.
Bilqis pun duduk di mejanya. Pandangannya kosong. Ayahnya masih di Surabaya? Benarkah? Dan ayahnya dengan sengaja meninggalkannya bersama Jindan di kontrakan? Lalu tanpa aba-aba satu air mata menetes di pipinya. Biqis segera menghapusnya. Dia tidak ingin Cindy tahu dia menangis.
Ya, Bilqis adalah putri Pak Hasan, pemilik restoran Nusantara ini. Dia sengaja meminta ayahnya utuk merahasiakan identitas aslinya karena dia tidak ingin teman kerjanya memberikan perlakuan khusus padanya. Bilqis benar-benar ingin belajar mengembangkan usaha kuliner ayahnya ini. Dan Hasan mengabulkan permintaan putrtinya itu. Dia bahkan sangat jarang mengunjungi cabang Surabayanya. Dan kini, dengan kasus yang baru saja terjadi, Bilqis semakin tidak ingin dikenal sebagai putri Hasan, pemilik restoran besar di Surabaya.
Dengan berbagai pikiran yang berkecamuk, Bilqis pun melanjutkan tugasnya. Hingga tidak terasa sudah sudah pukul dua siang.
“Cin, kamu sudah salat?” tanya Bilqis.
“Udah tadi sekalian makan. Kamu aku panggil Cuma diam aja. Ya udah, aku tinggal.”
“Oh, terus Pak Hasan tadi jadi ke sini? Maaf ya. Kerjaanku banyak banget.”
“Udah tadi waktu makan siang. Tapi nggak ke atas. Cuma di private room bawah sama Pak Royyan.”
“Ya udah. Aku salat dulu ya,” pamit Bilqis.
Tidak bisa dipungkiri, dadanya terasa sesak. Ayahnya benar-benar menghindarinya. Biasanya, ayahnya akan masuk ke ruangan Pak Royyan di atas. Meski mereka tidak saling sapa, tapi Bilqis dan ayahnya masih bisa bertemu. Dan sekarang? Bilqis menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengurai dadanya yang sesak.
--
Bilqis sdah dalam perjalanan pulang ke kos. Dia yakin dan mantap tidak kembali ke kontrakan itu. Dia tidak yakin bisa hidup dengan manusia macam Jindan itu.
“Bilqis?” Bu Lastri menyapa Bilqis yang baru saja melewati pagar.
Bilqis pun mendekat dan menampilkan senyum. “Ada apa, Bu?”
“Tadi ayahmu ke sini. Dia sudah membayar kosmu bulan ini. Tapi katanya bulan ini adalah bulan terakhir kamu ngekos. Dia bilang kamu sudah izin mau ngontrak saja.”
“Hah?? Ayah tadi ke sini??”
“Iya. Jadi bulan ini kamu sudah tidak usah bayar. Tapi ibu harap sebelum tanggal dua puluh lima kamu sudah pindah ke kontrakan ya. Biar kamarmu diisi yang lain.”
Kaki Bilqis langsung melemas. Apa tadi ayahnya bilang? Kontrak? Bilqis jelas tahu kontrakan siapa yang dimaksud. Dia tidak menyangka rencananya untuk hidup jauh dari Jindan harus musnah. Dan dua minggu lagi dia harus pindah ke kontrakan! Kenapa ayahnya justru mendorongnya untuk dekat dengan Jindan???