5. Bertanggung Jawab

1520 Kata
Sungguh jodoh dan maut benar nyata rahasia Tuhan. Tidak ada yang tahu dengan siapa kita berjodoh atau kapan malaikat maut akan menjemput kita. Pacarmu sendiri bukan jaminan akan menjadi jodohmu. Dan orang lain yang bahkan baru kamu kenal bisa saja lagsung berjodoh denganmu. Sungguh, Tuhan selalu mempunyai rahasia-Nya sendiri. Tidak pernah terpikir dalam benak Jindan akan menikahi gadis yang tidak pernah dia kenal sebelumnya. Gadis yang baru dilihatnya semalam. Yang dia tolong secara cuma-cuma karena mendapat musibah. Mereka tidak berbincang sekali pun Jindan meminjamkan kamarnya. Dan satu jam dari sekarang mereka akan menikah!! Lalu bagaimana dia akan mengucapkan ijab kabul?? Bilqis, nama yang cantik. Jindan sudah menatap wajah gadis itu semalam. Memang sesuai dengan namanya. Dia juga sempat merasakan debaran untuk gadis itu. Namun setelah kejadian ini, Jindan tidak yakin kalau dia masih akan merasakan debaran di dadanya. Yang ada sekarang justru perasaan gugup, takut, kecewa, dan menyesal secara bersamaan. Dia gugup karena akan mengucapkan kalimat sakral yang hanya ingin dia ucapkan sekali untuk satu gadis dalam hidupnya. Dia takut karena tidak yakin bisa membawa rumah tangganya dan memimpin gadis yang sama sekali belum dia kenal. Dia kecewa kenapa Bilqis yang sudah dia tolong justru menjerumuskannya pada fitnah keji ini. Kenapa juga gadis itu membuka jendela lebar-lebar seperti itu? Dan itu membuatnya menyesal telah menolong gadis itu. Bilqis hanya bisa menangis dalam diam. Tidak ada suara isakan, tapi air matanya terus turun membasahi pipinya. Bu RT meninggalkan gadis itu di dalam kamar putrinya sendirian. Untung saja putrinya sedang kuliah di Malang. Jadi, kamar itu memang kosong. Bilqis ditinggalkan begitu saja dan tidak diizinkan keluar kamar. Ayahnya sudah dihubungi Pak RT tadi siang, memintanya datang untuk menikahkanya dengan pria yang tidak dia kenal. Entah bagaimana rupa ayahnya, Bilqis sungguh tidak bisa membayangkannya. Pria yang sangat dia hormati itu pasti sangat terkejut dan kecewa. Ya Allah,,, bagamana ini? Bilqis sungguh tidak pernah punya niat untuk mengecewakan ayah dan ibunya. Masjid baru saja sepi dari jamaah salat isya’. Pak RT dan beberapa perangkat warga kembali setia stand by di rumah Jindan. Mereka sedang menunggu kedatangan ayah Bilqis yang masih dalam perjalanan. Jindan sudah didudukkan di ruang tamu dikelilingi oleh Pak RT dan seluruh perangkat. Dia hanya mampu menundukkan wajahnya, menyiapkan fisik dan batin bertemu dengan ayah Bilqis. Entah apa yang nanti akan dilakukan padanya saat pria itu datang. Memukulnya? Menamparnya? Ah, Jindan benar-benar tidak bisa membayangkannya. Sekali lagi Jindan mengela nafasnya, berharap beban di pundaknya menghilang sedikit walau dia tahu itu akan sia-sia. Samar-samar, dia masih mendengar cibiran dan semua omongan pedas tetangganya. Hatinya semakin kebas dengan semua cacian dan cibiran itu. Sudah kenyang dia mendengarnya. Dia kini apa bingung harus menjelaskan apa dan dari mana jika ayah Bilqis menginterogasinya. “Sudah datang! Sudah datang!!” Seorang warga berlarian masuk memberi tahu semua orang bahwa ayah Bilqis sudah datang. Pak RT segera berdiri diikuti semua orang termasuk Jindan. Jantung Jindan langsung berdetak sangat kencang. Saking kencangnya hingga dia merasa dadanya sesak dan sakit. Kepalanya juga pening. Keringat dingin mengucur deras di kening dan tangannya. “Assalamu’alaikum!” Suara dalam dan serak menyapa pendengaran Jindan. Seorang pria yang rambutnya sudah memutih memasuki kontrakan Jindan. Tubuhnya kurus, tinggi, dan langkahnya masih begitu tegap seolah uban di kepalanya tidak nyata. Semua orang sontak menoleh dan menjawab salam itu. Pria yang diyakini sebagai ayah Bilqis itu masih setia berdiri di pintu. Pandangannya menyapu seisi rumah. Saat pandangannya bertemu dengan mata Jindan, Hasan, ayah Bilqis, seolah tahu kalau dialah penyebab semua kehebohan ini. “Apa dia orangnya?” tanyanya tanpa basa-basi. Matanya menatap tajam pada Jindan. “Benar, Pak.” Pak RT menjawab pertanyan itu. “Sebelum acara dimulai, boleh saya bicara bertiga dengan putri saya dan dia?” tanyanya lagi. Matanya kini berpindah menatap Pak RT. “Tentu saja, Pak. Asalkan Bapak tidak menghindar dan benar-benar menikahkan mereka. Maaf saja, Pak. Kami tidak ingin kampung kami terkena azab karena ada pasangan mesum.” Suara seorang warga yang diketahui Jindan sebagai bapak tukang gosip langsung membuat suasana yang awalnya hening sontak berdengung. Jindan melirik ayah Bilqis. Beliau tampak memejamkan matanya mencoba menahan amarahnya. Melihat itu semua membuat keringat dingin Jindan semakin mengucur. Dalam sekejap, punggungnya sudah basah. Mata Hasan kembali terbuka dan menatap pria tadi. “Tentu saja. Saya tidak akan ingkar janji.” Pak RT segera mengeluarkan ponsel dan menelepon istrinya. Tidak lama kemudian, rombongan ibu-ibuk datang dengan Bilqis berada di tengah-tengah mereka. Pak RT segera membawa Bilqis masuk. Hasan meminta bicara bertiga saja. Akhirnya Pak RT menyetujui mereka bertiga bicara di dalam kamar dengan catatan, pintu tidak boleh ditutup. Entah apa yang ada di dalam pikiran para warga. Bagaimana bisa mereka berpikir kalau Hasan justru akan membantu mereka melarikan diri. “Sebenarnya apa yang terjadi, Bilqis? Kenapa kamu justru berada di dalam rumah pria ini? Apa benar kalian berzina? Bukankah kemarin kamu bilang akan pulang untuk mengikuti pernikahan sepupumu? Lalu apa ini?? Hah?? Apa kau coba membohongi ayahmu??” Hasan langsung mencecar Bilqis dengan segala pertanyaan yang ada di dalam kepalanya. Dadanya kembang kempis menahan amarah yang siap diledakkan. Rasa kecewa menggantung dengan tebal di matanya. Bilqis tahu itu. Bahkan Jindan yang tidak pernah bertemu dengannya pun tahu akan hal itu. Air mata Bilqis yang sejak tadi ditahannya langsung meluncur dengan lancar di pipinya. Kakinya mendekati sang ayah dan langsung bersimpuh di hadapannya. Tangannya memeluk erat kaki sang ayah. Tangisnya pecah. Isakannya terdengar menyayat hati. Bahunya bergetar hebat karena tangisnya. “Ampun, Ayah. Kami tidak melakukan apa pun. Sumpah demi Allah, Ayah!! Ayah harus percaya!” Lalu mengalirlah apa yang sebenarnya terjadi. Dengan sesenggukan Bilqis mengatakan semuanya. Tidak ada satu pun yang dia sembunyikan. “Kau!! Aku sangat ingin menampar dan memukulmu. Tapi aku tidak akan membuat setan semakin bergembira karena amarahku. Sudah cukup setan itu menggodamu untuk memberikan kamar yang akhirnya membuat fitnah untukmu sendiri.” Hasan terlihat berkali-kali mengambil nafas dalam-dalam. Matanya beberapa kali terpejam. Rasanya dadanya mau meledak saat berbicara dengan pria yang telah membuat dia dan putrinya terjebak fitnah kejam ini. Kepalanya sesekali mendongak, menghalau air mata yang siap turun kapan saja. Hatinya hancur putrinya mendapat fitnah sedemikian keji. Dia tidak tahu mana yang harus dipercaya. Namun satu hal yang dia rasakan, kecewa. Kenapa putri yang dia jaga dan didik dengan baik justru bermalam di rumah seorang pria yang tidak dia kenal? Setelah ini, bagaimana dia akan menemui istrinya? Apa yang akan dikatakan oleh keluarga besarnya? Putrinya menikah karena digerebek warga Suarabaya? Ya Allah, membayangkannya saja sudah membuat dadanya semakin sesak dan lututnya melemas. -- “Saya terima nikah dan kawinnya Bilqis Rahmania binti Muhammad Hasan dengan mas kawin tersebut tunai!” Dengan satu tarikan nafas, Jindan mengucapkan ikrar ijab kabulnya. “Sah!” “Sah!” Selesai sudah acara pernikahan Jindan dan Bilqis. Tidak ada makan-makan apalagi pesta. Bahkan air mineral gelas pun tidak ada. Benar-benar bukan pernikahan impian. Kontrakan Jindan pun polos tanpa hiasan. Hanya ada karpet yang sedikit tebal milik Pak RT yang dipasang di ruang tamu untuk alas ikrar akad nikah tadi. Begitu para saksi menyatakan sah, para warga pun undur diri. “Jindan, jangan lupa karpetnya nanti dikembalikan.” Pak RT kembali mengingatkan Jindan. Sepertinya dia ingin karpetnya segera dikembalikan setelah acara akad nikahnya selesai. Jindan hanya mengangguk. Dia melirik gadis yang sudah menjadi istrinya beberapa menit yang lalu. Bilqis memilih duduk agak jauh darinya. Gadis itu bahkan tidak mau mendekat padanya sama sekali. Tiba-tiba saja Hasan, ayah Bilqis, berdiri. Bilqis pun langsung berdiri, kakinya mendekat pada ayahnya. Matanya menatap lekat pada pria yang terlihat mirip dengannya itu. Air matanya belum kering. Tangannya sibuk emnggosok pipinya hingga kulitnya memerah. “Ayah pamit. Maafkan ayah belum bisa menerima keadaan ini dengan baik. Ayah sungguh kecewa padamu. Ayah harap hanya sekali ini ayah menikahkanmu. Jangan lagi melakukan hal bodoh!” Suaranya bergetar saat mengatakan itu. Matanya memerah menatap putri satu-satunya yang begitu dia sayangi. Lalu Hasan membuang muka begtu saja. hatinya tidak kuat melihat Bilqis yang terus menangis sejak tadi. Ingin rasanya dia memeluk putrinya itu, tapi akalnya menolak. Dia masih merasakan kecewa yang amat dalam. “Kau!! Jindan!!” Suaranya begitu keras saat memanggil menantunya. Jindan langsung menoleh dan mendekat. Meski dia takut karena dipanggil begitu keras, tapi dia tetap harus bersikap sopan pada mertuanya. “Iya, ayah,” ucapnya sambil menunduk. “Aku tidak ingin apa pun darimu selain tanggung jawab. Kau harus bertanggung jawab pada keputusan bodohmu, bertanggung jawab pada dirimu, istrimu, dan yang terpenting pada Tuhan. Ingat itu!!! Satu lagi. Bertobatlah!!” Hasan pun melangkah keluar setelah mengatakan itu. “Ayah!!!” Bilqis meraih tangan ayahnya. Kepalanya menggeleng, memohon agar ayahnya bisa tinggal lebih lama. “Ayah pulang. Barang-barangmu di rumah akan ayah kirim ke sini. Kau masih bisa bekerja di sini.” Hasan melepas genggaman Bilqis. Lalu dengan langkah pasti, dia pergi meninggalkan putrinya di sini, di kontrakan suaminya. “Tidak!! Ayah!!! Jangan tinggalkan Bilqis, Ayah!!! Aku minta maaf, Ayah. Ampuni Bilqis, Ayah!!” Bilqis meraung-meraung di pintu, berharap ayahnya akan kasihan padanya dan akhirnya akan tinggal atau mungkin akan membawanya pergi dari kontrakan ini. Namun Hasan seolah menutup telinganya. Dia sama sekali tidak menoleh atau berhenti. Kakinya tetap melangkah keluar gang, menuju mobilnya yang terparkir di luar gang. “Maafkan ayah, Nak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN