8. Tekad Jindan

1289 Kata
Lelah menunggu istrinya, Jindan akhirnya memutuskan untuk tidur terlebih dulu. Seperti kemarin, dia tidur di depan televisi. Stelah menutup jendela, dia pun menutup pintunya. Tangannya sudah memegang kunci, hendak memutarnya. Namun dia berhenti. Setelah beberapa detik, dia memutuskan untuk membiarkan saja hanya pintunya tertutup tanpa terkunci. Jindan sudah berbaring dan memejamkan matanya selama beberapa waktu, tapi kenapa dia masih bisa mendengar suara tukang nasi goreng yang lewat? Jindan memiringkan tubuhnya. Dia kembali membaca doa sebelum tidur dan ayat kursi, berharap mimpi segera menjemputnya. Pikirannya kembali mengingat istrinya. “Apa dia baik-baik saja?” pikirnya. Bagaimana pun juga, gadis itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Apa pun yang terjadi padanya, kelak akan dia pertanggungjawabkan pada Tuhan. Jindan mengela nafasnya. Dia tidak berniat mengusir Bilqis. Bukan salah ia kalau istrinya tidak pulang, ‘kan? Dia juga sudah memberinya uang yang sangat cukup untuk makan dan pulang. meski pernikahan mereka karena paksaan, tapi Jindan sudah bertekad dia akan menjaga janjinya pada Tuhan. Dan akan menikahinya dengan benar satu saat nanti. Jindan melirik jam di dinding. Pukul setengah sebelas malam. Hatinya tidak tenang. Mulutnya komat-kamit membaca solawat sambil mendoakan yang terbaik untuk istrinya. Tangannya bergerak seiring dengan hitungan salawat yang dia baca. Saat sudah mencapai angka tiga ratus, mimpi benar-benar menjemputnya. Mata Jindan perlahan terbuka saat dia mendengar suara azan subuh. Sedetik kemudian, dia tersentak dan bangkit. Kepalanya melongok ke dalam kamar. Kosong. Istrinya benar-benar tidak pulang. Bahunya langsung melorot. Akhirnya dia memilih untuk mandi dan bersiap ke masjid untuk salat subuh. Pagi ini, Jindan hanya membeli satu bungkus nasi. Jika kemarin di atas meja istrinya sudah menyiapkan teh untuknya, maka sekarang dia menyiapkan sendiri tehnya. Ada sedikit rasa aneh yang merambat di hatinya. Baru juga kemarin ada yang membuatkan teh, sekarang dia membuatnya sendiri. Plis, Jindan. Jangan lebay! Bukan salahmu dia tidak pulang. Selesai dengan sarapannya, Jindan berangkat ke pabrik. Hari ini dia masih akan mengambil lembur. Lumayan untuk ditabung. Sekarang dia sudah tidak hidup sendiri. Ada Bilqis yang menjadi tanggung jawabnya. Dia tidak tahu bagaimana nasib rumah tangganya kelak. Namun satu yang pasti, dia akan memegang teguh kalimat yang sudah dia ucapkan di depan ayah Bilqis. Selain itu, Jindan sangat berharap tidak akan ada perceraian. Pukul tujuh malam lebih dua puluh menit, Jindan berjalan ke arah parkiran bersama Hendra dan Aziz. Yap! Akhirnya Hendra diizinkan untuk lembur oleh istrinya. “Percuma juga sekarang lembur. Besok udah libur. Aku nggak bisa lembur lagi. Istriku itu memang....” Hendra tidak melanjutkan kalimatnya. Dia tampak sangat kesal. “Hust! Itu istrimu sendiri lho. Jangan bayak mengeluh. Bagaimana pun juga, dia yang sudah membuatmu terlepas dari dosa zina. Dia juga yang merawat anakmu,memasak untukmu, mencuci dan menyeterika bajumu.. Apa salahnya membahagiakan dia? Ingat, Hen! Wanita itu punya cara sendiri-sendiri untuk bahagia. Kebetulan saja istrimu tipe wanita yang lebih suka ditemani daripada dibelikan baju mahal.” Aziz memberi banyak petuah untuk temannya itu. “Etdahh!! Sejak kapan kamu jadi bijak kayak gini? Jindan auto berasa punya kembaran.” Hendra tertawa terbahak-bahak. Dalam hati, dia setuju dengan kalimat Aziz. Jindan hanya tersenyum mendengar kalimat temannya. Memang yang dikatakan Aziz betul sekali. Dan lagi-lagi bayangan Bilqis menyeruak karena topik istri yang sedang dibahas kedua temannya. “Kamu kenapa, Ndan? Kayak lagi banyak pikiran gitu?” tanya Aziz penasaran. “Udah, nggak usah sok mikir Indonesia. Udah ada Pak Walikota dan Pak Jokowi. Kamu mikir jodoh aja yang nggak datang-datang,” sambungnya disambut tawa Hendra. Jindan hanya bisa ikut tertawa mendengarnya. Seandainya saja temannya tahu kalau dia juga sudah menikah. Entah bagaimana reaksi mereka nantinya. “Jindan!” Suara wanita yang sangat dihindarinya membuyarkan lamunan Jindan tentang siang tadi. Jindan mendengus kesal. kenapa wanita itu sudah nangkring di atas motornya? “Jindan, motorku mogok. Aku nggak bisa pulang. Antar aku pulang ya?” Desi dengan manja berkata pada Jindan. Tangannya bahkan menyentuh lengan Jindan, menggodanya. Jindan langsung menyentak tangan Desi. “Lepas!!” Wajah Desi langsung muram. Lagi-lagi pria ini menolaknya. “Jindan, kamu nggak kasihan sama aku? Nanti kalau ada yang berniat jahat sama aku gimana? Antar aku ya?” “Nggak! Apa gunanya ponsel dan saldo e-wallet-mu?” ucapnya dingin dan tajam. Lalu tanpa aba-aba, Jindan melajukan motornya keluar pabrik. Desi mengentakkan kakinya. Dia sangat kesal. Sudah berbulan-bulan dia mendekati Jindan, tapi pria itu masih saja menolaknya. Harus dengan cara apalagi dia menggodanya? Pertama kali melihat Jindan, Desi sudah tertarik. Dia memang bukan pria paling tampan di pabrik, tapi Jindan seperti punya karisma tersendiri. Desi betah memandangnya tanpa kedip. Setelah beberapa kali memerhatikannya, Desi menarik beberapa kesimpulan. Pria itu begitu cuek dan pendiam, terutama pada wanita. Itu membuat Desi yakin kalau dia masih perjaka. Hati Desi menjadi tertantang untuk menaklukkannya. -- Jindan memutuskan untuk mampir pasar yang buka 24 jam untuk membeli beras, beberapa sayur, dan telor. Dia juga membeli bumbu-bumbu memasak dan mi instan. Dia belum punya lemari es. Jadi dia hanya bisa belanja itu. Sekarang dia sudah tidak sendiri, ada satu lagi perut yang harus dia perhatikan. Setelah dirasa cukup, Jindan pulang. Jindan mengembuskan nafasnya. Dia berharap malam ini istrinya pulang. Meski dia belum mencintainya, tapi Jindan tidak bisa menutup mata akan fakta dan statusnya. Lagi-lagi, Jindan mendapati rumahnya gelap dan kosong. Apa istrinya tidak akan pulang lagi? Jindan berdecak. Dia merasa, entahlah, kecewa?? “Sudahlah! Terserah dia saja! Mau pulang atau tidak, aku tidak peduli. Toh, dia sudah tahu alamat rumah ini. Dia juga sudah hafal jalan yang harus dia lewati. Lebih baik aku segera masuk sebelum aku masuk angin.” Jindan pun memasukkan motornya. Sengaja dia membuka jendelanya lebar-lebar agar udara di dalam tidak pengap. Setidaknya, itu yang dia kira. Padahal jauh di dalam hatinya, dia masih berharap Bilqis pulang malam ini. Jindan ke dapur menatap semua belanjaannya. Akhirnya setelah berminggu-minggu dapurnya kosong tanpa ada apa pun, kini ruangan itu lumayan terisi. Jindan tersenyum dalam hari. Gajinya bulan depa sepertinya cukup untuk membeli kulkas satu pintu. Bilqis pasti butuh itu untuk menyimpan bahan makan. Jindan jadi membayangkan dia berbelanja ikan atau ayam dan menyimpannya di kulkas. Bilqis juga pasti senang jika dia punya kulkas. Lalu pada Minggu pagi, dia akan mencuci pakaian dan Bilqis akan memasak. Sepertinya tidak buruk. Bibirnya sedikit terangkat membayangkan adegan itu. Sudah seperti pernikahan sungguhan. Namun sedetik kemudian, senyumnya menghilang. Sekarang saja istrinya tidak pulang. Bagaimana bisa dia membayangkan adegan seperti itu. Sepertinya dia akan butuh waktu yang sangat lama untuk mewujudkan pernikahan yang sesungguhnya dengan Bilqis. Jindan tidak ingin lagi memikirkan Bilqis. Terserah! Dia pun segera ke kamar mandi dan melaksanakan salat. Setelah itu, dia membuka nasi bungkus yang tadi dibelinya di pasar. Dia tahu perutnya tidak akan bisa menunggu untuk dimasakkan. Televisi di dinding sedang menampilkan info-info tentang film terromantis sepanjang masa versi mereka. Jindan menontonnya sambil menikmati makan malamnya sendiri. Entah bagaimana, dia terlarut dalam cerita dalam film tentang seorang istri yang mengalami amnesia karena kecelakaan. Suaminya tampak sangat terpukul dengan kenyataan itu. Edngan gamblang, istrinya mengatakan kalau dia lupa dengan suaminya. Dan itu juga berarti dia lupa dengan perasaannya. Dengan kata lain, istrinya tidak lagi mencintanya. Namun sang suami tetap setia menunggu istrinya sembuh. Namun bukannya mengingat suaminya, dia justru teringat dengan mantan tunangannya. Suami sahnya begitu tegar mencoba memahami keadaan istrinya. Hingga istrinya berada di satu titik rendah karena pria lain itu. Sang suami, lagi-lagi, dengan tegar mencoba membangkitkan semangat istrinya. Hingga akhirnya sang istri kembali mencintainya dan kembali menikah. Menikah kembali dengan suami terdahulunya dengan cinta yang baru karena dia tetap tidak mengingat apa pun. Jindan meneguk ludahnya. Entah bagaimana Jindan merasa takut kalau Bilqis mengalami kecelakaan dan amnesia seperti wanita dalam film itu. Amnesia dan melupakannya begitu saja. “Apa sebaiknya besok aku pergi ke tempatnya bekerja saja? Sepertinya bukan ide yang buruk. Besok aku juga libur dan lusa aku sudah shift malam. Aku tidak akan bisa menjemputnya,” tekad Jindan dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN