7. Kenyataan Pahit.

1091 Kata
"Saya... saya..." Kencana tidak menemukan bahasa yang tepat untuk membalas Dia. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ia harus meredam emosinya agar Bayu tidak mencapnya sebagai perempuan yang berangasan. Bayu tidak boleh melihat hal-hal yang buruk darinya. Bayu belum menentukan pilihan antara dirinya dan Dahayu. "Cana, kamu keluar dulu. Ayah ingin berbicara berdua saja dengan tetehmu," tukas Pak Suhardi tegas. "Tidak bisa, Yah. Nanti Ayah akan semakin diporoti oleh Teh Dia. Beri saja Teh Dia gaji lima juta sebulan. Itu sudah lebih dari cukup," usul Kencana. Ia tidak rela Dia terus memeras ayahnya. "Jangan mengajari Ayah, Cana. Ayah tahu apa yang Ayah lakukan. Keluarlah dari sini. Bawa Bayu bersamamu." Pak Suhardi memberi tatapan tidak ingin dibantah pada Kencana. Tanpa ba bi bu lagi, Kencana pun berlalu. Untuk pertama kalinya ayahnya marah padanya. Ini semua gara-gara Dia. Kencana semakin membenci kakak tirinya ini. Setelah Kencana dan Bayu pergi, suasana di ruangan itu kembali sunyi. Pak Suhardi dan Dia sama-sama terdiam. Keduanya tenggelam dengan pikiran masing-masing, menimbang-nimbang baik dan buruk keputusan yang akan mereka ambil. "Oke, Ayah setuju untuk memberimu gaji dua puluh juta sebulan. Tapi ingat, kamu harus bekerja dengan profesional. Satu hal lagi, jangan sedikit-sedikit membicarakan soal warisan. Harta Ayah adalah milik Ayah sendiri, hasil kerja keras Ayah selama bertahun-tahun. Kalau kamu ingin kaya, maka bekerja keraslah. Lahir sebagai anak Ayah tidak otomatis membuatmu berhak atas sesuatu yang tidak kamu perjuangkan sendiri. Mengerti, Dia?" Pak Suhardi menasihati putrinya dengan tegas. Ia sadar bahwa sikap putrinya tidak sepenuhnya salah; ini juga akibat dari Sahila yang terlalu memanjakan Dia. "Baik, Yah. Kalau sudah tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, Dia ingin berjalan-jalan di sekitar rumah sebentar." "Baiklah. Kamu akan tinggal lama di sini. Kenalilah seluk-beluk rumah ini. Jangan lupa, kenakan jaket kalau kamu ingin berjalan-jalan di kebun belakang atau taman. Angin malam tidak baik untuk kesehatan." "Baik, Yah." Dia beringsut dari kursi. Ia butuh ketenangan setelah dengan gagah berani berakting sebagai seorang perempuan mata duitan yang menyebalkan. Ternyata dirinya tidak sedikit pun menulari bakat akting ibunya. Ia lelah memerankan seseorang yang bukan dirinya sendiri. Dia urung melanjutkan langkah ke taman belakang tatkala mendengar suara orang-orang yang sedang bercengkerama. Ke taman depan pun sepertinya tidak nyaman. Ada Bayu dan kembarannya yang tampak sedang berbincang-bincang dengan kedua adik tirinya. Dia melanjutkan langkah ke kolam renang, karena di sana suasananya sepi. Sesampai di kolam renang, Dia duduk santai di kursi berjemur. Ia memandangi air kolam yang tenang dengan pantulan cahaya lampu-lampu kecil di sekitarnya. Hawa pegunungan yang dingin membuat Dia memeluk dirinya sendiri. Ayahnya benar, angin malam memang dingin menusuk tulang. Sekonyong-konyong terdengar suara tepuk tangan dari arah belakangnya. "Hebat kamu ya? Belum juga sehari, tapi kamu berhasil menguras rekening ayahmu. Salut." Bayu bertepuk tangan dengan ekspresi mengejek yang kental. Tarik napas, buang napas. Saatnya kembali berakting. "Terima kasih atas pujiannya. Namun sesungguhnya saya tidak begitu terkesan dengan kata-kata pujian. Saya itu lebih suka dengan uang." Dia menggesek-gesek jari telunjuk dan jempolnya. Bisa Dia tebak, air muka Bayu berubah geram seketika. Bayu tidak berusaha menyembunyikan rasa muaknya. "Mengapa ada manusia sejahat dirimu di dunia ini? Ayahmu sungguh sial memiliki anak kandung sepertimu!" Secepat kilat, Bayu mendekati Dia. Ia kemudian mengguncang-guncang bahu Dia dengan geram. "Lepaskan!" Dia menepis kasar tangan Bayu. "Sedari bertemu pertama kali, kamu terus menghakimi saya. Memangnya kamu siapa? Ayah bukan, abang juga bukan," ejek Dia sinis. "Saya adalah..." "Saksi hidup bagaimana ayah saya jatuh bangun dalam merintis bisnis," potong Dia dengan air muka bosan. "Dengar, Bayu. Saya tidak peduli soal hubungan baikmu dengan ayah atau apa pun. Yang saya pinta darimu hanya satu, jangan mencampuri urusan saya." Dia memenggal kalimatnya tiap suku kata sambil menusuk-nusuk d**a Bayu dengan jari telunjuknya. "Oh ya, kalau bisa percepat saja pernikahanmu dengan Kencana. Dengan demikian kalian berdua akan lebih cepat enyah dari rumah ini." "Pernikahan? Enyah? Jangan mimpi di siang bolong. Justru saya yang akan mengirimkan kamu kembali ke Jakarta secepatnya. Dan kali ini tanpa uang bulanan lagi dari ayahmu. Kamu sudah cukup dewasa untuk membiayai hidupmu sendiri." Bayu gantian menghempaskan tangan Dia. Sebagai gantinya, ia menunjuk-nunjuk wajah Dia penuh kebencian. "Uang bulanan dari Ayah? Apa maksudmu? Kapan Ayah pernah mengirim uang pada saya?" tukas Dia heran. "Sejak kapan? Ya, sejak ibumu membawamu ke Jakarta tentu saja. Ayahmu memang tidak mengirim uang langsung padamu, karena kamu belum mempunyai rekening bank. Ayahmu mengirimnya melalui rekening ibumu. Kata Ayah saya, ibumu itu terus meminta biaya ini dan itu pada ayahmu, hingga ayahmu kelimpungan mencari uang. Alhasil, ayahmu menggadaikan surat tanahnya pada ayah saya demi memenuhi segala kebutuhan tidak masuk akalmu!" bentak Bayu gemas. Gadis ini pandai sekali bersandiwara. "Bohong! Sejak kami pergi, Ayah tidak mempedulikan saya lagi. Boro-boro mengirim uang, menelepon saya saja tidak pernah!" Dia balas membentak. "Ck... ck... ck... Tidak hanya serakah, tetapi kamu rupanya juga seorang pembohong ulung," Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Coba kamu pikir, kalau tidak pernah, dari mana uang untuk membiayai sekolah internasionalmu? Juga les piano, les modeling, les memasak, les bahasa asing, les kepribadian, dan les-les private mahal lain yang saya lupa saking banyaknya? Gaya hidup glamourmu membuat ayahmu jatuh bangun mencari uang!" "Sekolah internasional? Les modeling, les kepribadian?" Dia kebingungan. Ia tidak merasa pernah melakukan itu semua. "Sudahlah, jangan berakting lagi. Yang jelas, ayahmu terus mengirimimu uang melalui rekening bank ibumu setiap bulan sejak tahun 2009 hingga bulan September 2024—alias bulan lalu." "Bohong! Ibu tidak pernah menerima sepeser pun uang dari Ayah." Dia menggeleng keras. Ia masih ingat bagaimana ibunya bekerja siang malam untuk biaya hidup mereka berdua waktu itu. "Bohong kamu bilang? Slip setoran ini bisa kamu sebut bohong, tidak?" Bayu tiba-tiba saja mengeluarkan beberapa kertas dari sakunya. "Lihat baik-baik. Ini adalah beberapa slip setoran dari tahun 2009, bulan Mei, Juni, dan Juli." Bayu memutar-mutar slip setoran di tangannya. Bayu puas sekali melihat wajah Dia berubah pias. Pasti gadis itu tidak menyangka kalau ia sudah memegang kartu as-nya. "Sini, berikan slip setoran itu pada saya!" Dia bermaksud merebut slip setoran dari tangan Bayu. Sayangnya, Bayu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dia hanya meraih angin. "Lima belas tahun lalu, ayahmu masih gaptek. Ia belum mahir menggunakan mobile banking. Saya kebetulan menemukan slip setoran ini di tempat sampah ruang kerja ayahmu bertahun-tahun lalu. Kalau kamu mau, kamu bisa meminta sisanya pada ayahmu. Nih, lihat sendiri dengan dua biji matamu, agar kamu tidak menyebut saya pembohong!" Bayu menempelkan slip-slip potongan itu ke dahi Dia. Slip-slip itu pun berjatuhan ke lantai. Ketika Dia berlutut dan memunguti slip-slip itu, ia mendadak gemetar. Di slip-slip setoran yang sudah divalidasi itu tertulis nama Sahila Rahman. Bayu tidak bohong. Ternyata yang selama ini berbohong adalah ibunya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN