28. Nyaris Saja!

1784 Kata

Jakarta. Akhirnya, ia kembali ke sini. Langit Jakarta yang berwarna abu-abu menyambutnya, menanggung beban polusi yang bercampur dengan panas terik matahari. Deru mesin kendaraan memenuhi udara, bersahutan dengan bunyi klakson tak sabar—seolah menjadi lagu wajib ibu kota. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, Dia tersenyum samar. Ada kehangatan yang tak pernah ia temukan di tempat lain. "Jakarta sudah sesumpek ini. Herannya, orang masih saja berlomba-lomba memenuhi ibu kota," ucap Bayu sambil berdecak, menggelengkan kepala. Padatnya kendaraan membuatnya harus menyetir dengan hati-hati. "Sumpek, tapi aku kangen," ucap Dia pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia teringat rutinitas paginya sebelum mengajar dulu—berlari kecil mengejar angkot ke sekolah, membeli nasi uduk di warung pinggir jalan

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN