Chapter 4 : Bus

2575 Kata
    Tiffany menguap saat alarm ponselnya berdering membangunkan mimpi indahnya. Dengan malas dia meraih ponsel dan mematikan alarm. Dia hendak berdiri, namun kakinya terasa keram untuk berdiri. Disentuhnya kaki kiri itu dan  merangkak kekamar mandi. Sungguh, ini sakit sekali.     Menatap wajah di cermin kamar mandi sebelum mandi, itulah yang dilakukan Tiffany saat ini. Memegangi tangan yang semalam terluka. Perban putih masih terbalut acak-acakan disana. Senyumnya terulas kala mengingat bahwa yang mengobati luka itu adalah Raka. "Mas Raka..." Gumamnya dan menggeleng-gelengkan kepala lantas bergegas membersihkan tubuh.     Setelah mandi dan membuatkan sarapan, Tiffany masuk kekamar Raka untuk membangunkannya.     Tidur Raka semalam sangat nyenyak. Sampai sekarang pun dia masih tertidur, menikmati mimpi yang telah di siapkan oleh Tuhan.     "Mas.. bangun, udah pagi. Katanya ada meeting pagi?" Ucapnya.     Tiffany tahu bahwa pagi ini Raka ada meeting, dia tahu dari kalender di kamar Raka. Raka membulati tanggal itu dan dia menulis disitu dengan tulisan 'm.p'.     "Mas.. Mas Raka bangun..." Mencoba untuk bersabar membangunkan Raka. Walaupun tangannya tidak menyentuh, tapi suaranya sudah mampu membuat Raka membuka mata.     "Apa sih?!" Bentaknya sambil tangan meraih bantal guling untuk menutupi telinga.     "Udah pagi."     "Udah tau!" Sahut Raka.               "Ada meeting pagi."     "Sok tau." Sahut Raka masih dengan mata tertutup.     "Emang tau."     "Ssshh... keluar sana!" Teriak Raka dan Tiffany terkejut setengah mati.     Baru saja Raka menjawab pertanyaannya dengan nada rendah dan sekarang? Dia berteriak secara tiba-tiba.     Tiffany akhirnya keluar dan berakhir tidak berhasil membangunkan Raka. Lebih baik Tiffany langsung berangkat saja ke kampus daripada dia terkena sakit hati lagi karena ucapan Raka yang selalu mengusirnya jika akan makan bersama.     Baru saja Tiffany hendak menaiki mobil, tiba-tiba suara Raka terdengar lagi.     "Heh, siapa yang nyuruh kamu berangkat?" Teriak Raka, berdiri di depan pintu. Dia masih mengenakan celana boxer dan bertelanjang d**a.     Tiffany mengerutkan dahi, dia tidak jadi naik dan memilih untuk menghampiri Raka untuk bertanya. "Ada apa Mas? Kamu mau ngajak aku sarapan bareng?" Tanyanya ketika sudah di hadapan Raka.     Raka mendelik, "Siapa yang nyuruh kamu buat kesini?"     "Lhah? Tadi Mas manggil aku?"     "Kapan? Mulai sekarang dan seterusnya kamu nggak boleh diantar jemput lagi sama supir. Terserah kamu, mau naik apa." Tukas Raka.     "Tap-tapi Mas?"     "Apa? Uang?"     Tiffany menggeleng.     Raka menghela napas dan masuk kedalam rumah diakhiri menutup pintu keras-keras.     Tiffany memejamkan mata saat mendengar suara pintu itu dan berbalik badan.     "Non, kok nggak jadi masuk? Ayo Non, nanti terlambat." Kata Pak Budi yang baru saja selesai mengelap mobil.     Tiffany menggeleng, "Jalan kaki aja Pak. Biar sehat." Jawabnya dan tersenyum menutupi kesedihannya kepada orang lain.     Pak Budi hanya mengangguk patuh saja.     Kini Tiffany kembali berjalan. Dia tampak bingung akan menaiki apa untuk ke kampusnya, karena ini kali pertamanya dia tidak diantar oleh supir disaat berangkat ke kampus. "Naik bus aja kali yah? Iya deh, nunggu di halte." katanya sambil berjalan terus menuju halte.     Sampai di halte, pas sekali ada bus berhenti. Cepat-cepat Tiffany berlari agar tidak tertinggal bus.     Tiffany bisa bernapas lega. Dirinya sudah ada di dalam bus walau dia tidak duduk, melainkan berdiri berdesak-desakan dengan yang lain. Walau begitu, dia harus kuat.     "Auchh.." Merasa kakinya ada yang menginjak, refleks Tiffany mengeluarkan suara tingginya.     "Eh, maaf Mba.. maaf..." orang yang menginjak kaki Tiffany berusaha meminta maaf. Kebetulan dia berdiri di sebelah Tiffany.     Tiffany mengangkat kepalanya untuk melihat wajah orang itu. Dan ternyata,     DIKA.     Dosen baru Tiffany.     "Eh, bapak? Maaf Pak." Tiffany merasa tidak enak.     "Tiffany? Harusnya saya yang meminta maaf." Dika tersenyum. Tiffany mengangguk saja.     "Tumben, kamu naik bus. Supir kamu mana?" Dika bertanya.     "Mmm... mobilnya lagi di bengkel Pak." Jawabnya bohong.     "Oh.."     "Bapak sendiri kenapa naik bus?" Tiffany mencoba untuk mengakrabkan diri kepada dosennya yang selalu dia hindari.     "Tadi dijalan mogok. Jadi saya naik bus." Jawabnya masuk akal.     Tak terasa ternyata mereka sudah sampai di depan kampus. Dika mengajak Tiffany untuk turun bersama.     "Tunggu Pak. Saya belum bayar." Kata Tiffany.     "Sudah saya bayarkan sekaligus. Ayo turun." Ajak Dika dan Tiffany mengangguk.     "Makasih."     "Sama-sama. Kamu sudah makan?"     "Sudah Pak." Lagi-lagi Tiffany harus berbohong.     "Mmm.. saya boleh nagih jawaban yang kemarin nggak?" Tanya Dika di sela-sela mereka berjalan memasuki kampus.     Tiffany terkesiap. "Maaf Pak. Saya duluan." Tiffany berlari meninggalkan Dika.     Dika menghela napas gusar, memantau kepergian Tiffany yang tiba-tiba.     Di kantin. Eva dan Ofi sudah menanyakan banyak pertanyaan, tetapi Tiffany diam saja. Dia terlalu takut untuk jujur.     "Tiff, cerita dong... kenapa tadi lo bisa turun bareng sama Pak Dika dalam satu bus?" Rengek Eva.     "Va, gue juga suka sama Pak Dika, tapi nggak gitu-gitu juga. Sampe harus tau segitunya." Ofi yang notabene mahasiswi blo'on bisa mengerti.     "Udah, kalian nggak usah ribut. Gue tadi cuma kebetulan aja. Dia mobilnya mogok dan gue.... ahh.. supir gue lagi pulang kampung jadi nggak ada yang nganterin." Tiffany meluncurkan sebuah penjelasan yang singkat tapi cukup di mengerti.     "Biasanya kalo supir lo ke kampung, lo nyetir sendiri Tiff?" Komentar Eva.     "Nggak di bolehin sama suami." Tiffany harus berbohong lagi.    "Terus, kalo nggak di bolehin kenapa nggak suami lo aja yang nganterin. Jadi kan keselamatan lo terjamin." Kalau sudah berhubungan dengan Raka, Ofi pasti bersikap protektif.     "Hmm.. Ofi.. suamiku pas tadi pagi ada meeting."     "Oh.." Eva dan Ofi ber-oh.     Plak,     "Ngomong dong dari tadi.." Ofi menepuk lengan kiri Tiffany.     "Auchh.." Tiffany memekik kesakitan karena Ofi tak sengaja menyenggol lukanya.     "Hah? Kenapa Tiff? Maaf Tiff maaf..." Ofii bingung.     Tiffany tersenyum. "Refleks aja." Tiffany bohong lagi. Sudah berapa kali ia berbohong pagi ini?     Eva dengan sengaja memegang sikut Tiffany yang terbalut kemeja kotak-kotak. Terasa ada empuk-empuk disana.     "Tiff, ini apaan sih? Kok empuk?" Tanya Eva polos.     Ofi mengerutkan dahinya.     "Nggak kok. Udah deh Va nggak usah pegang-pengan. Ntar tangan gue ngarat." Canda Tiffany.     "Ya ampun.. tinggal buka aja..." Ofi langsung saja, menggulung kemeja Tiffany agar bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi.     "Tiff lo kenapa? Siapa yang nglakuin ini Tiff? Jangan bilang kalo.. kalo Raka yang ngelakuin ini." Tebak Ofi.     Eva mengangguk.     "Sekejam-kejamnya dia sama gue. Dia nggak pernah main tangan Fi. Jangan su'udzon deh." Sahut Tiffany. Dia membela suaminya, jelas.     "Terus, ini luka siapa yang buat?" Tanya Ofi lagi.     "Keserempet motor Fi.. waktu gue mau beli bubur ayam." Lagi dan lagi dia berbohong. Padahal tak ada salahnya jika ia menjelaskan bahwa luka itu didapatnya ketika hendak menjenguk Ayah mertuanya.     "Udah deh Fi, mending lo ambil tuh kotak P3k di UKS, jangan wawancarain Tiffany dulu. Kasihan tuh, perbannya udah kusut kayak muka lo." Celetuk Eva.     "Iya deh. Gue ambil dulu." Ofi berlari cepat menuju UKS, yang tak jauh dari kantin kampus.     "Tiff, gue bukain dulu yah perbannya?"     Tiffany hanya mengangguk.     Eva mulai membuka perban itu dengan langkah hati-hati, agar Tiffany tidak merasa sakit.     Tak lama, Ofi kembali ke kantin membawa kotak P3K. Dia meletakan kotak P3k dihadapan Eva dan dirinya duduk kembali. "Sakit nggak Tiff?" Tanya Ofi.     Tiffany menggeleng.     Eva mulai membalut perban baru di luka itu, tak lupa dia memberi Betadine di dalam perban itu agar meresap ke lukanya.     "Udah. Semoga cepet sembuh ya Tiff..." kata Eva.     Tiffany tersenyum menatap sikutnya. "Makasih ya... kalian tuh the best banget" katanya. "Oh, iya.. aku masuk kelas dulu ya?" Lanjutnya.     Keduanya mengangguk. Tiffany beranjak dari kantin menuju kelasnya.     Dua jam telah terlewat, bimbingan pun sudah selesai. Tiffany keluar dari kelas. Kali ini dia tidak akan pulang terlebih dahulu. Dia akan ke rumah ibunya untuk memberitahu kepada beliau bahwa Papa mertuanya di Rumah Sakit.     Tiffany berdiri di gerbang kampus. Entah, dia akan menunggu apa yang jelas berdiri disitu.     Sebuah mobil berhenti.     "Tiff...mau bareng sekalian?" Tanya si pengemudi yang tak lain adalah Eva dan disebelah Eva ada Ofi.     Tiffany menggeleng. "Aku mau kerumah Ibu."     "Sekalian aja."     "Nggak usah. Sana kalian pulang duluan, aku mau nunggu seseorang dulu." Tiffany bohong lagi.     "Yaudah. Gue sama Ofi duluan ya.. kalo ada apa-apa lo cepetan telepon kita. Ok?"     "Ok!"     Mobil pun melewati Tiffany seorang diri.     Ia mulai berjalan kaki menuju pangkalan ojek yang tak jauh dari kampur.     Rumah kecil, sederhana dan rapi. Itulah rumah Orangtua Tiffany. Dia melangkah memasuki rumah itu, dilihatnya ternyata ada Tomi—adiknya yang sedang bermain gadget di sofa sambil tiduran.     "Assalamu'alaikum.." Serunya antusias hingga Tomi terkejut.     "Waalaikumsalam." Sahut Tomi kesal, "Huh.. ngagetin aja." Tukasnya sambil berganti posisi menjadi duduk.     "Ibu mana?"     "Di dalam."     Tiffany langsung saja masuk ke dalam. Terlihat Ibunya tengah menjahit di depan jendela yang terbuka. "Bu..."     Tuti—Ibu Tiffany berhenti atas aktivitasnya dan menoleh. "Fany?" Beliau tak percaya.     Tiffany mengangguk. Dipeluknya tubuh mungil Ibunya dan dia berkata. "Fany kangen sama Ibu..."     Tuti melepas pelukannya. "Ibu juga kangen," Dan tersenyum. "Tumben kamu kesini?" Lanjutnya.     "Papa mertua sakit Bu.." jawabnya lesu.     "Sejak kapan?"     "Nggak tau. Aku mau ngajak Ibu kesana, Ibu mau?"     "Yasudah, Ibu ganti baju dulu. Kamu duduk dulu yah." Tiffany mengangguk. Dia menghampiri lagi adik satu-satunya itu. "Tom.. gimana sekolahnya?" Tanyanya seraya duduk di sebelah Tomi.     "Ancur.. aku di panggil terus sama wali kelas gara-gara tunggakan semester satu belum di bayar." Katanya. Tomi bersekolah di SMK dia kelas sepuluh.     "Berapa memangnya?"     "Dua ratus, belum lagi semester ini harus bayar lima ratus ribu Mba."     Tiffany menghela napas. "Mmm.. Tom, Mba boleh pinjam hapenya nggak?" Bisik Tiffany.     Tomi menoleh. "Hah? Buat apa?"     "Di jual. Nanti Mba belikan yang baru lagi."     "Ogah-ogah ah..." Tomi menggelengkan kepalanya.     "Tolonglah.. Tom, ini juga buat bayar sekolah kamu sama buat beli kebutuhan kamu dan Ibu."     "Mana cukup? Palingan lakunya dua ratus ribu doang."     "Nggak apa-apa.. ayolah Tom.. Mba lagi nggak punya uang. Nih ada, tapi cuma sepuluh ribu doang." Katanya memohon.     "Emang suami Mbak nggak nafkahin? Suami mba kan kaya. Dia CEO." Tukas Tomi.     Tiffany terdiam. Namun detik selanjutnya ia kembali membujuk adiknya. "Tom, ayolah.. kamu pake hape Mba dulu deh. Nih, ganti sim card." Tiffany menyerahkan ponselnya.     Tomi tak percaya. Dia memikirkan sejenak. "Yaudah deh.." Akhirnya Tomi mau tak mau harus mengambil ponsel Tiffany dan mengganti sim card.     "Jangan ngomong-ngomong sama Ibu yah?" Perintah Tiffany.     Tomi mengangguk saja, karena dia sibuk menyalin sim card. "Mba, pake hape apa?" Tanya tomi setelah selesai atas kegiatannya.     "Sementara nggak pake hape dulu. Kalo kamu ada perlu, SMS atau nelpon aja ke nomornya Mas Raka. Kamu punya nomernya kan?"     "Punya."     Tiffany mengambil ponsel Tomi dan menyimpannya di tas sebelum Ibunya melihat.     "Fany... ayok Ibu sudah siap." Tuti keluar dengan pakaian rapi dan berkerudung.     Tiffany berdiri dan menggandeng Tuti.     "Tom, kamu jangan main. Jaga rumah." Tuti memperingati anak bungsunya. Tomi hanya mengangguk.     Tiffany menggandeng tangan Ibunya mulai keluar rumah. "Bu, kita jalan kaki dulu yah.. sambil nanti beli buah di jalan." Katanya seraya terus berjalan.     Tuti mengangguk. "Fany kok jadi kurus sih?" Tanya wanita tua itu.     Tiffany menoleh. "Masa sih bu? Aku malah ngira badan aku kegendutan Bu."     "Beneran deh. Kamu nggak sakit kan, Nak?"     "Nggak Bu. Fany sehat wal'afiat. Ibu itu yang kurusan."     "Uhuk uhuk.. Ibu pengin langsing."     Tiffany terkekeh. "Ohiya.. Ibu tunggu disini dulu yah. Nunggu angkot lewat. Tiffany mau beli sesuatu." Pamitnya.     "iya. Jangan lama-lama, nanti Ibu tinggal."     "Iya." Tiffany berlari kearah selatan, disitu ada toko handpone.     "Bang, mau jual hape. Ini kira-kira harganya berapa ya?" Tanya Tiffany kepada si-penjual sambil memperlihatkan ponsel adiknya.     Pelayan tersebut meraih ponsel ditangan Tiffany. "Ini mah... seratus lima puluh ribuan, Mba." Katanya meremehkan.     "Murah banget Bang."     "Iya... sekarang udah jamannya hape canggih Mba."     "Yaudah nggak apa-apa." Tiffany mengambil uang itu dan berterimakasih.     Kakinya kembali melangkah menghampiri Ibunya yang kini sedang menunggu angkot tapi angkotnya tak kunjung datang.     "Bu, kita ke toko buah itu dulu yuk? Sambil nunggu angkot lewat." Katanya setelah sampai disamping Tuti.     Tuti menghapus peluh dan mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan menuju toko buah segar itu. "Ibu mau beli buah apa? Apel? Semangka? Jeruk?" Tiffany menunjuk ke asal buah.     "Ibu nggak kuat kalo makan apel. Ibu nggak pengin beli buah. Yang pengin buah itu Tomi, dia pengin buah Naga." Jawab Tuti, tangannya menunjuk ke buah naga yang terletak di sebelah apel.     Tiffany tersenyum dan berjalan mengambil buah aneh itu. "Beli berapa Bu?"     Tuti menghampiri Tiffany. "Satu aja. Buat coba-coba, biar Tomi nggak penasaran." Katanya. Tiffany membeli satu kilo buah naga dan satu kilo buah apel.     Si penjual membungkuskan apa yang Tiffany beli.     "Fany, Ibu pengin beli beras buat makan." Kata Tuti lantang, sampai sipenjual buah yang tadinya sedang mengemas apel jadi menoleh ke Tuti.     "Eh, maaf Mba. Hehehe." Maklum Tiffany.     Penjual itu tersenyum, "Ini Mba, semuanya lima puluh ribu." Katanya sambil menyerahkan kantong plastik.     Sebelum mengambil kantong plastik itu, terlebih dahulu Tiffany mengambil uang dan membayarnya.     "Makasih Mba.." Tiffany mengambil plastik putih itu dan berjalan keluar di buntuti oleh sang Ibu, Tuti.     "Bu, tadi Ibu mau beli apa?" Tanya tiffany sambil berjalan beriringan dengan Tuti.     "Beli beras sama telor sekalian. Ibu di rumah nggak ada apa-apa, beras tinggal beberapa takar." Sahut Tuti.     Andai... saja, Ayah masih hidup. Pasti Ibu bisa mengatur kebutuhan sehari-hari.  Tiffany membatin. Mengenang sosok sang Ayah yang sudah meninggal lima tahun lalu.     "Yaudah. Pulang dari Rumah Sakit kita beli beras sama telur."     Tuti terkekeh. Tiba-tiba ada sebuah angkot. "Fan fan.. itu ada angkot."     Tiffany melongok dan benar. Ada angkot. Ia memberhentikam angkot itu dan mereka masuk. "Turun di Rumah Sakit Mitra Siaga ya Bang. Depan." Kata Tiffany dan supir itu mengangguk.     Tiba di Rumah Sakit, Tiffany masuk dengan tangan kanan menggandeng Ibunya dan tangan kiri untuk menenteng dua plastik berisi buah-buahan.     "Dimana Fan kamarnya?" Tanya Tuti.     "Kamar nomor dua belas Bu. Ah iya, itu." Katanya, menunjuk ke kamar dua belas.     "Assalamualaikum..." salam keduanya.     Riyan dan Rahma menoleh kearah pintu. Rahma langsung tersenyum hangat dan berdiri untuk menjawab sapaan.     "Wa'alaikumsalam. Ehh, ada mantu sama mertua." Katanya ramah.     Tuti terkekeh dan berjabat tangan dengan Rahma.     Sesang Tiffany, dia meletakan plastiknya di nakas. "Gimana Pa, udah mendingan?" Tanya tiffany.     Riyan mengangguk. "Alhamdulilah. Besok Papa udah di bolehin pulang."     "Tiffany, kamu mau minum apa?" Tanya Rahma.     Tiffany menggeleng. "Nggak usah Ma." Dan tersenyum.     Tiba tiba pintu terbuka lebar. Tampak sosok Raka berdiri diambang pintu.     RAKA?     Tiffany mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang. Senyumnya mengembang saat melihat Raka berdiri di pintu.     Cepat-cepat Raka menutup kembali pintu ruangan rawat Papanya dan menghampiri mereka.     Sialan, ada mertua. Batin Raka.     "Raka, pas banget kamu kesini... nih ada Ibu mertua. Katanya kamu nggak pernah main kesana, sini dong." Ujar Rahma.     Mau tak mau Rama harus berjabat tangan dengan Tuti.     "Nak Raka, sehat Nak?" Tanya Tuti setelah bersalaman.     "Sehat Bu." Sahut Raka dan tersenyum kikuk.     Raka melirik Tiffany. Tiffany yang melihat itu tersenyum namun Raka malah melototkan mata. "Ehm, kita keluar dulu. Ada yang mau di bicarakan." Ucap Raka dan langsung saja menarik tangan Tiffany untuk ikut keluar.     "Mas, jangan kasar-kasar.. luka aku masih sakit." Tiffany menggerutu tapi Raka tetap saja menariknya dengan kasar. Sampai di taman Rumah Sakit, Raka menghempaskan tangan istrinya. Sebenarnya tidak sudi, jika harus memegang tangan istrinya, tapi mau tak mau dia harus melakukannya. "Kenapa hapenya nggak aktif?!" Bentak Raka. Tiffany mengangkat kepala. "Hapeku dipakai sama Tomi." "Terus, aku percaya gitu aja?" "Hape aku memang di pake sama Tomi, kita tukeran hape tapi hape Tomi aku jual." Raka melotot. "Licik." "Itu karena aku nggak punya uang." "Kamu nyindir aku karena aku nggak pernah ngasih uang? Iya?" Raka tersenyum meremehkan. "Cukup waktu semalam saja, aku ngasih uang ke kamu." Lanjutnya mengingat semalam waktu dia melayangkan uang dua ratus ribu kepada Tiffany. "Kenapa sih, Mas selalu ngrendahin diri aku. Aku bukan wanita seperti itu." "Kamu memang rendah." Sakit. Tapi tidak berdarah. Tiffany harus tegar dan sabar. Bukan Tiffany namanya kalau dia menyerah. Tiffany adalah wanita kuat, bukan kuat fisik, melainkan kuat hati. "Mas kesini mau ngomong apa sama aku?" Tanyanya berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Raka berbalik badan dan berjalan meninggalkan Tiffany. Raka memang aneh. "Mas... mau kemana?" Teriak Tiffany. Tidak ada jawaban. Tiffany mengeleng-gelengkan kepala, melihat kepergian Raka. "Kamu membuatku mengerti apa arti dari kata sabar." Katanya dan berjalan masuk ke kamar mertuanya lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN