33. Hubungan baru

2272 Kata
Aiden melajukan mobilnya pelan-pelan untuk mencari nama hotel yang sesuai dengan pesanan yang sudah di berikan oleh sekretarisnya. Lagipun hujan sangat deras, dan di daerah ini sangatlah rawan kecelakaan.  "Mas ... Beneran?" Tanya Deema masih dengan rasa ingin tahunya. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa Aiden memesan hanya satu kamar saja. Lalu dirinya bagaimana? Apa Deema harus tidur di luar? Atau bagaimana? "Apa?" Tanya Aiden yang masih fokus melihat denah lokasi dan jalanan di sekitar.  "Aku tidur dimana?" Deema masih saja penasaran, bagaimana ia malam nanti tidur. Apalagi hujan sangat deras dan petir bersahutan. Deema bukan takut dengan hujan, hanya saja ia takut dengan petir.  "Sekertaris saya tau kalau saya pergi sendiri. Kalau saya pesan dua kamar dia pasti curiga." "Ya udah pakai uang kamu aja pesannya." "Semua kamar penuh katanya." "Ya udah aku di penginapan lain aja." Tiba-tiba, Aiden menghentikan mobilnya dan melihat ke arah Deema, dengan tatapan cukup tajam. "Kk--kenapa, Mas?" Deema tahu Aiden yang sedang kecapean dan sangat tidak bersemangat itu, lebih baik ia diam dan menunduk. Takut jika Aiden akan marah kepadanya. "Iya, maaf, Mas ...." Aiden tak menjawab, ia kembali melajukan mobilnya. Sampai beberapa menit kemudian akhirnya ia menemukan nama hotel yang sesuai dengan gambar yang dikirim oleh sekertarisnya itu.  Untung saja, hotel ini terlihat besar walaupun tak terlalu mewah. Lagipun di tempat plosok seperti ini, tidak ada orang yang mengunjungi tempat penginapan seperti hotel ini.  "Ayo turun," ajak Aiden yang sudah menyiapkan payungnya, ia pun tak lupa membawa tas ransel berwarna hitam.  Deema yang tidak ingin tertinggal pun bersiap-siap. "Jangan dulu turun, saya buka payung dulu." Aiden sudah mematikan mesin mobilnya. Ia pun keluar dan membuka pintu mobil untuk Deema. Deema keluar dan mereka berjalan di bawah payung yang sama, di temani oleh hujan dan udara yang sangat dingin.  Tak lupa, Aiden mengunci mobilnya. Dan mereka berjalan masuk ke dalam. Pegawai hotel sudah menyambutnya, Aiden menunjukkan pesanannya dan check-in. Ia dan Deema diantar oleh seorang pegawai untuk menuju lantai tiga, dimana kamar VVIP berada.  "Silahkan, Pak, Bu. Jika butuh sesuatu mohon hubungi kami," ucap pelayan itu dan memberikan Aiden satu kunci kamar.  Aiden masuk ke dalam kamar yang cukup besar itu. Tapi, ia melihat Deema masih diam berdiri terpatung tak masuk ke dalam kamar.  "Ayo, masuk ... Saya gak marah sama kamu." Kata Aiden dengan lembut dan mempersilahkan Deema masuk ke dalam.  Aiden memiliki alasan tersendiri mengapa tidak memesan dua kamar. Ia rasa, satu kamar saja cukup karena ia akan tidur di sofa. Ia tidak ingin hal buruk terjadi kepada Deema jika ia memesan dua kamar. Aiden tidak mudah untuk melepaskan tanggung jawabnya.  Akhirnya Deema masuk ke dalam kamar yang cukup besar itu. Tapi, Deema terheran mengapa kamar ini di hias seperti pengantin baru? Ada dua buah handuk di atas kasur yang sudah di ubah menyerupai angsa dan ... Dua tangkai kelopak bunga.  "Kamu gak salah pesen kamar?" Tanya Deema yang hanya ingin memastikan. "Salahnya?" Tanya Aiden yang sekarang sudah duduk di atas sofa sambil membuka sepatu dan kaos kakinya.  Melihat hal itu, Deema pun mengambilkan Aiden sebuah sandal yang ada di atas sebuah meja. Dan menyimpannya di hadapan Aiden. "Pakai, Mas. Dingin." Aiden mengangguk dan memakainya. "Kamu atau saya dulu yang bersih-bersih ke toilet?" Tanya Aiden.  Deema tidak berani menatap Aiden penuh, ia hanya sedikit melirik-lirik. "Mas dulu aja. Keliatan capek." "Memangnya kamu bawa baju, Mas?" Tanya Deema.  Aiden berhenti di tengah jalan sebelum ia menuju toilet. "Saya bawa kaos dan celana pendek. Kamu?" "Justru itu, aku enggak bawa apa-apa. Hehehe ... Habisnya, aku gak tau kalau bakalan nginep," kata Deema yang tidak ingin di salahkan.  Aiden tidak sadar jika Deema hanya membawa tas kecil saja. "Yasudah, saya telpon pelayan di sini buat belikan kamu pakaian tidur. Sepertinya di depan hotel ini ada toko baju." "Oh ya?" Deema berjalan ke arah jendela besar yang sudah di tutupi oleh gorden besar. Ia membuka gorden itu dan melihat di sebrang jalan sana memang ada lampu yang menderang seperti sebuah toko. Tapi tak jelas itu toko apa, karena hujan yang deras membuat pemandangan Deema buram. "Aku aja yang beli ba--" "Jangan. Saya suruh orang saja." Aiden mengambil telpon genggam yang tersedia dan berbicara lewat telpon itu kalau ia meminta tolong untuk membelikan stelan baju panjang berukuran kecil, dan ia akan menggantikan biaya itu dua kali lipat.  Mendengar hal itu, Deema hanya bisa diam, dan duduk di atas kasur yang sudah di hias oleh beraneka ragam jenis benda-benda yang menggelikan. Dalam hati Deema berbicara, katanya Aiden memesan kamar ini hanya untuk satu orang, ternyata sepertinya Aiden sudah memesan ini untuk dua orang. Memang menyebalkan.  Ia tidak menyangka akan tidur satu ruangan seperti ini bersama Aiden, yang notabenenya adalah gurunya sendiri. Tapi, di luar sekolah kedekatan mereka memang bukan bisa di bilang hubungan antara guru dan murid. Hubungan mereka di luar sudah lebih dari itu.  "Jangan kemana-mana," kata Aiden yang sekarang masuk ke dalam toilet.  "Dikira Gue kemana-mana kali," gumam Deema yang masih sedikit kesal dengan Aiden.  Deema kembali melamun, memikirkan mengapa hidupnya menjadi seperti ini. Ia senang bertemu dengan Aiden, dan Aiden membawa keberuntungan untuknya. Tapi ... Deema tidak bisa terus bersama Aiden jika hubungan mereka tidak pasti. Kalian pun pasti merasakan hal yang sama dengan Deema, jika merasakan di posisi ini.  Ia kembali memikirkan kesehariannya yang selalu di isi oleh Aiden, dan Aiden pun mengklaim bahwa dirinya adalah 'calon istri' tapi sampai saat ini, Deema tidak pernah mendengar pernyataan serius dari Aiden tentang cintanya. Aiden hanya menyuruh Deema untuk sabar, dan menyuruh Deema untuk menunggu waktu yang pas.  Bukan hanya itu saja, Deema masih sadar, dan masih tahu diri jika derajatnya sangat jauh berbanding terbalik dengan Aiden yang memiliki segalanya. Deema takut, jika ia memang hidup bersama dengan Aiden nanti, keluarga Aiden tidak menerima dirinya karena hal ini. Deema bukan siapa-siapa, bahkan ia bisa di bilang orang miskin.  Menatap lurus ke arah cermin yang terpajang di atas meja, melihat dirinya yang kecil ini memakai baju mewah, sedikit miris. Deema bisa di bilang bergaya dari dompet orang lain, ia takut jika ada orang lain yang berbicara tidak-tidak kepadanya.  Lamunannya itu buyar ketika ada suara bel di pintu kamarnya. Ia pun membuka pintu, dan mendapati pegawai hotel yang membawa satu kotak kecil dan pegawai satu lagi membawa makan malam mereka. Deema pun menyuruh satu orang pelayan itu untuk menyimpan semua makanannya di atas meja. Tak lupa ia bilang berterima kasih kepada keduanya.  "Ini apa ya?" Tanya Deema ketika hendak membuka kotak itu.  Dengan penasaran, Deema membuka kotak itu dan melihat ternyata isinya adalah sebuah pakaian dan celana tidur. "Bikin kaget aja, Gue kira bom." "Kenapa?" Tanya Aiden yang keluar dari toilet dengan rambut yang masih basah. Air dari rambutnya mengalir dari atas ke lehernya, membuat Deema menelan ludahnya kasar.  "Ha? I--ini ada mas-mas ngasih kotak aku kira apa," mengapa Deema menjadi gugup seperti ini? Ah, lemah sekali.  Aiden mengangguk. "Sana bersihkan dulu tubuh kamu." Buru-buru Deema pergi ke toilet dengan membawa kotak itu. Otaknya bisa-bisa stress karena melihat Aiden yang sangat seksi itu.  Ia mulai membersihkan dirinya, tak perlu lama, buru-buru Deema memakai handuk untuk mengeringkan tubuhnya. Ia merasakan merinding di seluruh tubuhnya, entah mengapa. Suasana di sini menjadi sangat mencengkam. Deema benar-benar takut bahkan ia tidak berani melihat wajahnya sendiri di kaca yang cukup besar itu. Tanpa berpikir panjang, Deema buru-buru membuka pintu toilet dan mengambil kotak yang berisi baju itu, keluar dari tempat yang cukup menyeramkan ini.  "Aaaaa ...." Teriaknya. Bagian tubuhnya hanya tertutupi oleh handuk yang cukup pendek.  Aiden yang sedang duduk melihat ponselnya pun terkejut melihat Deema yang berlarian dari toilet dan hanya memakai sehelai handuk itu. Buru-buru ia mengalihkan pandangannya, bisa bahaya jika ia melihat hal seperti itu.  Tidak ingin diam saja, Aiden pun bertanya. "Kenapa lari-lari? Kenapa belum pakai baju?" Sepertinya Deema belum sadar dan rasa malunya belum terkumpul karena ketakutan. "Toiletnya serem banget. Badan aku merinding. Aku mau ganti baju di sini," katanya. Ia tidak memperdulikan wajah Aiden yang sekuat tenaga menahan hasratnya karena melihat Deema berdiri dihadapannya seperti itu.  "Yasudah, gak perlu berdiri di depan saja juga," katanya.  Deema yang sadar pun buru-buru mundur, dan menutupi bagian depan tubuhnya menggunakan bantal putih yang besar. "Mas ... Pergi ...." Saat ini ia sudah kesal karena Aiden.  "Cepat pakai," kata Aiden yang masih menghadap ke sebelah kanan. "Mas pergi dulu kek. Masa di situ?" Kata Deema yang protes. Mengapa Aiden tidak pernah peka. Terbesit di pikirannya untuk mengerjai Deema. Ia pun melihat ke arah Deema, Deema yang di lihat itu pun terus mendur sampai tubuhnya tertabrak tembok.  "Madep sana gak, Mas!" "Pakai, atau kita bikin baby aja?" Kata Aiden sambil berdiri "Saya siap kok tanggung jawab." Tanpa hitungan, Deema melempar wajah Aiden menggunakan handuk yang dibentuk angsa itu. "Tuh baby! Pergi, Mas!" Kesal Deema yang ingin menangis.  Puas dengan ekspresi Deema, Aiden pun tertawa dan memilih untuk pergi ke bilik lain di mana dapur berada. "Hahaha ... Masih untung saya lepasin." "Baby-baby. Gue jejelin duri mawar juga Lo!" Kesal Deema yang berbicara disaat Aiden sudah pergi dari hadapannya. Buru-buru ia memakai baju yang beserta pakaian dalam yang dibelikan oleh pegawai hotel itu.  Untung saja, semuanya pas, aman dan damai. Tidak ada pakaian yang aneh-aneh dan sebagainya. Deema yang takut kembali ke toilet, ia memilih menyimpan handuknya di lemari gantung. Dan ia terduduk di atas kasur untuk memainkan ponselnya.  Sepertinya besok Deema tidak pergi ke sekolah, ia pun mengirimkan pesan kepada teman-temannya jika ia sedang sakit, dan tolong beritahu guru dan sekertaris di kelas untuk mengizinkannya karena sakit.  "Sudah pakai bajunya?" Suara Aiden terdengar di dapur.  "Hm ..." Jawab Deema.  Tak lama Aiden datang dan duduk di meja makan, yang berada cukup jauh dari kasur berada, tapi dari ekor mata mereka, mereka bisa saling melihat satu sama lain.  "Makan malam, Deema. Kita belum makan," ingat Aiden. "Emm ... Mas aja, aku gak lapar." "Makan, Deema ...." "Ck!" Deema tidak bis menolak jika Aiden sudah berbicara ke dua kalinya. Mau tak mau, ia pun harus menghampiri Aiden dan duduk di sebelahnya, karena kursi di sini hanyalah dua. "Saya pesan nasi goreng. Kamu mau ini atau tidak?" Tanya Aiden dengan sangat lembut.  Deema yang tidak ingin menjawab itu lebih memilih langsung memakan nasi goreng yang sudah di sediakan itu. "Jangan seperti itu. Enggak baik. Kamu kenapa?" "Mas makan aja," jawab Deema singkat. Pikirannya yang berkecamuk membuat dirinya menjadi bt. "Kenapa? Cerita ..." Kata Aiden yang menatap Deema dengan dalam.  Deema meminum teh hangat yang sudah di sediakan oleh Aiden. Ia tidak bisa membiarkan pikirannya penuh begitu saja, ia harus bertanya dan menyelesaikan ini semua.  "Kamu kenapa sih, harus bersikap seperti ini ke aku, padahal aku bukan siapa-siapa kamu. Dan kenapa kamu ngenalin ke semua orang kalau aku calon istri kamu. Bahkan ... Orang bilang kalau kita suami istri kamu iyakan. Padahal kita gak punya hubungan apapun, Mas ...." Biarlah, keluh kesahnya terdengar oleh Aiden. Walaupun mereka baru bertemu beberapa Minggu belakangan ini, tapi Deema butuh kejelasan, karena Aiden sudah terlampau jauh masuk ke dalam hidupnya.  Deema bisa melihat jika Aiden menyimpan sendok dan garpunya, lalu menatap Deema dengan sangat lembut, tidak ada amarah di sana. "Kamu mikirin itu?"  "Kamu pikir gampang ada di posisi kaya gini? Aku gak tau harus berpura-pura atau aku harus acting. Aku gak tau harus tanggepin apa tentang semua ini." "Di umur saya seperti ini, sudah tidak pantas lagi untuk berpacaran." Deema memberanikan diri untuk melihat wajah Aiden yang sangat serius itu. "Maaf jika perilaku saya kurang sopan di depan kamu, dan selalu mengklaim hak yang memang bukan milik saya." Di sini pun terjadi keheningan. "Aku hanya takut kamu cuma bermain-main, di saat aku menganggap semua ini serius, Mas." "Selama ini keseriusan saya kurang di mata kamu?" "Bukan seperti itu. Kamu serius, tapi tak memberi hubungan yang pasti," kata Deema.  Semua perkataan yang ia lontarkan memang seharusnya Aiden dengar. Agar Aiden tahu bagaima isi hati yang sebenarnya. Deema sebagai perempuan, hanya membutuhkan sebuah kepastian.  Deema tak sadar, jika Aiden sudah menggenggam tangannya. "Kamu sudah mengenal saya?" Deema mengangguk. Selama seminggu belakangan ini, Deema bisa melihat sikap Aiden yang sebenarnya. Sikap yang tidak ingin dikalahkan dan sebagainya.  "Saya gak sesempurna yang kamu lihat. Saya masih memiliki banyak sekali kekurangan. Dan satu hal yang perlu kamu tahu, di umur saya sekarang ini, saya hanya butuh satu perempuan yang siap mendampingi saya." "M--mas ..." Deema tidak tahu ceritanya akan seserius ini, padahal ia hanya ingin mengobrol saja dan mencari jalan keluarnya.  "Kamu siap untuk dampingi saya? Umur saya tidak semuda teman laki-laki kamu." "Kamu serius?" "Pernah melihat saya tidak serius?" "Kamu jangan gini, aku takut ..." Tatapan Aiden sangat dalam sekali melihat Deema.  "Kamu mau menjadi pacar saya?" Jantungnya langsung berdetak sangat kencang, hatinya sudah meleleh mendengar keseriusan Aiden saat ini. Di tempat ini, Aiden menyatakan perasaannya kepada Deema, membuat Deema sedikit terkejut dan tidak tahu harus menjawab apa. Karena semuanya terasa tiba-tiba. "Kamu sudah tau semua kekurangan aku, Mas. Dan mulai kemarin, di saat pertemuan kita pertama kali, aku sudah menggantungkan hidup aku sama kamu, Mas." "Jadi?" Tanya Aiden yang tidak sabar menunggu jawaban dari Deema.  Deema tersenyum dan menahan air matanya. "Aku mau jadi pacar kamu."  Aiden ikut tersenyum dan mengusap tangan Deema dengan sangat lembut. "Hiks ... Maaf kalau aku masih kaya anak kecil suka marah-marah ..." Air matanya menetes juga karena menahan harunya.  Aiden mengusap air mata Deema. "Jangan nangis. Kamu wajar masih bersikap seperti anak kecil. Tapi, harus lebih dewasa perlahan." Deema mengangguk. "Iya, Mas ..." "Yasudah. Sekarang sudah lega? Kita sudah punya hubungan, dan saya minta tolong untuk saling jaga satu sama lain. Kamu siap?" Deema tidak bisa menjawab, ia hanya mengangguk, dan sibuk mengusap air matanya.  "Hehehe ... Di makan nasinya sudah dingin." Nasi goreng itu Deema makan, walaupun sudah dingin, nasi ini masih terasa hangat karena kehangatan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN