7. Don't care

1365 Kata
"Gimana bisa kamu dapat nilai matematika seperti ini? Cuma kamu di dalam angkatanmu yang nilai matematikanya di bawah rata-rata!" Bu Kiara sang guru matematika tengah memarahi Deema karena katanya, Deema adalah satu-satunya murid yang nilai matematikanya di bawah rata-rata.  Deema mendengarkan nasihat Bu Kiara yang sekaligus wali kelasnya itu sambil bersandar di dinding kantor, dengan memutar bola matanya malas.  "Deema, Kamu dengar Ibu tidak?" Kini suara Bu Kiara merendah karena menurutnya memarahi Deema sama saja bohong, percuma, Deema tidak akan mendengarkan ucapan sang guru itu.  "Iya. Bu," jawab Deema singkat. "Udah?" Tanya Deema bertanya sambil mengangkat alisnya.  Ibu guru yang terbilang cukup muda itu pun menghembuskan napasnya. Ia tidak bisa memarahi anak didiknya lebih dari ini, seharusnya dia yang harus memahami karakter anak didiknya. Banyak sekali laporan yang guru-guru berikan kepada dirinya, berkeluh soal Deema dan teman-temannya yang selalu membuat ulah, membuly dan sebagainya.  "Deema, mau kamu apa, Nak?" "Saya mau bahagia, Bu." "Dan ... Kenapa kamu masih pakai baju olahraga disaat pelajaran saya? Kamu tahu hari ini hari apa?" Kiara mengubah topik pembicaraannya, tapi Deema tetap tidak menjawab.  Kiara sedikit kurang tahu latar belakang dari Deema, lebih baik ia sedikit menggali dan mengobrol dengan Deema untuk lebih mencoba mengerti keadaan Deema.  "Kamu duduk sini," kata Kiara sambil memberikan Deema kursi untuk duduk, dengan malas, Deema pun duduk di kursi itu.  "Ibu dapet beberapa keluhan dari guru dan tata usaha tentang kamu. Ibu mengerti jika keluhan itu datangnya dari guru, berarti kamu tidak sungguh-sungguh dalam pembelajaran. Tapi, Ibu baru kali ini mendapat teguran dari tata usaha. Kamu sudah bayar biaya sekolah?" Tanya Kiara hati-hati.  Deema melipat bibirnya, tidak tahu harus menjawab apa. Deema bisa melihat Kiara mengeluarkan satu lembar HVS dan diperlihatkan kepadanya.  "Sekolah kita swasta, Deema. Sulit di masa SMA seperti ini mendapatkan beasiswa, apalagi kamu sudah mau lulus. Kalau di perguruan tinggi, kita masih bisa mendapatkan beasiswa dari mana pun, tapi kamu sekarang masih ada di SMA. Semoga orang tua kamu paham." Deema tidak fokus dengan catatan yang diberikan oleh Kiara, ia fokus dengan satu orang laki-laki yang tengah mengetikkan sesuatu di laptopnya, Deema bisa menebak jika itu adalah Aiden.  Tidak biasanya Aiden berada di kantor guru, ia lebih sering menghabiskan waktunya di dalam ruangannya. Lamunan Deema dipecahkan oleh Kiara.  "Deema? Bisa jawab Ibu?" Deema mengangguk. "Iya, Bu." "Kamu belum membayar bulanan selama dua puluh bulan. Satu bulan lima ratus ribu, kamu bisa jumlahkan sendiri?" Deema menggelengkan kepalanya. "Genap sepuluh juta sampai dengan bulan kemarin. Dan untuk bulan ini berbeda." Hatinya meringis mendengar nominal uang sebesar itu. Memegang uang satu juta rupiah pun, Deema belum pernah. Jangankan satu juta, Deema dalam setiap harinya memegang sepeser uang pun tidak. Deema menatap lurus namanya yang tertulis di kertas itu. Uang sepuluh juta, harus ia cari dimana?  "Ayah ibu kamu bekerja apa? Saya lihat di biodata kamu, ibu ayah kamu bekerja dengan layak. Semoga kalian bisa cepat-cepat membayar ya. Kami di upah pun dari pembayaran kalian. Harap mengerti Deema." Deema kembali mengangguk. "Sudah?" Tanya Deema. "Sebentar," Kiara mengambil satu kertas kecil seperti kwitansi. "Tata usaha memberikan ini buat kamu tandatangani, dan nanti kamu kasih ke ruangan tata usaha." Deema bisa melihat jika kertas seperti kwitansi itu berisi seperti perjanjian yang menyuruhnya untuk membayar uang itu tidak lebih dari dua bulan.  Deema sangat ragu untuk menandatangani kertas itu. "Silahkan tanda tangan," ingat Kiara satu kali lagi.  Ia terdiam tidak tahu harus melakukan apa. "Deema? Bisa kamu tanda tangan?" Ruangan guru yang luas ini kosong karena pembelajaran sedang berlangsung di kelas masing-masing. Hanya ada 3 guru di dalam sini, satu Bu Kiara, kedua satu guru perempuan yang duduk di ujung tempat ini, dan Aiden. Kalian bisa membayangkan jika suara Kiara bisa terdengar kemana saja. Deema meringis kecil karena melihat ada Aiden di sini.  Dengan tangan sedikit gemetar, Deema menandatangani kertas kecil itu. "Semoga kamu dimudahkan rezekinya. Silahkan kamu bawa ke ruangan tata usaha. Dan ini," Kiara kembali memberikan Deema dua lembar kertas yang besar. "Kamu isi untuk perbaikan nilai rapor kamu nanti." Deema tidak berbicara apapun. Ia hanya mengangguk dan pergi begitu saja. Moodnya untuk berbicara sudah tidak ada, otak dan hatinya saat ini hanya berpikir bagaimana caranya ia untuk mendapatkan uang 10 juta dalam satu bulan.  Ia menghembuskan napasnya pelan. Deema berjalan menuju ruangan tata usaha dengan tatapan kosong. Pikirannya sudah berkaburan kemana-mana. Ketika ingin menaiki tangga untuk menuju ruangan tata usaha, ada satu tangan yang memegang bahunya. "Diem, Gue gak lagi bercanda," kata Deema yang malas untuk berbicara apalagi berdebat.  Deema bisa merasakan tangan yang menyentuh bahunya itu cukup besar. Tidak mungkin jika itu adalah Celline, Aya ataupun Lola.  Deema pun berpikir jika itu adalah Avyan. "Gue bilang lepas, ya lep---" Ketika berbalik, Deema bisa melihat jika ternyata itu adalah Aiden yang memegang bahunya. Deema hanya menatap datar Aiden yang ada di hadapannya itu.  Deema yang kesal dan tidak ingin berdebat itu, lebih memilih untuk melanjutkan perjalanannya. Baru saja menaiki beberapa langkah anak tangga, kini tangan Deema yang di tahan oleh Aiden.  "Lepas! Bapak gak sopan banget sih jadi guru," kesal Deema yang merasa amarahnya akan meledak. Pikirannya sudah kacau, mengapa Aiden terus saja datang dan mengganggunya.  Deema baru sadar ketika ia melihat kearah kakinya. Oh, ini sepatu Aiden, barangkali Aiden menghampiri dirinya untuk mengembalikan sepatunya itu. Deema pun berjongkok dan duduk di anak tangga atasnya, untuk membuka sepatu mahal yang membungkus kakinya itu.  "Maaf, saya lupa," kata Deema sambil membuka tali sepatu yang ia pakai.  Tanpa berbicara, Aiden menahan Deema untuk membuka sepatunya dengan menyimpan telapak tangannya di sepatu yang sedang dipakai oleh Deema itu.  "Ikut ke ruangan saya," kata Aiden yang berbalik untuk berjalan turun tangga.  Deema menatap datar punggung Aiden. Ia tidak memperdulikan ucapan Aiden, ia lebih memilih untuk pergi ke ruangan tata usaha dan memberikan kertas ini.  "Satu ..." Suara Aiden kembali terdengar. "Dua ..."  Deema menarik napasnya, dan mencoba untuk menghiraukannya.  "Tig--" Dengan gerak refleksnya, Deema memilih untuk membalikan badannya dan berjalan turun tangga untuk mengikuti kemana Aiden pergi.  Deema sedikit kesal dengan dirinya sendiri, mengapa ia sangat sulit sekali untuk bekerja sama dengan gerak tubuhnya sendiri. Deema sedikit kesal, tapi mengapa tubuhnya masih bergerak mengikuti kemana Aiden pergi.  Aiden membuka pintu ruangannya. Dan Deema pun ikut masuk kedalam ruangan Aiden itu.  "Duduk," kata Aiden yang menyuruh Deema untuk duduk di sofa.  Deema duduk di dekat sandalnya berada. Ia hendak membuka sepatunya untuk menggantinya dengan sandal yang tadi pagi ia bawa.  "Gak perlu di ganti. Kamu pakai saja," kata Aiden.  Dan kini Deema lebih memilih menyandarkan tubuhnya di sofa, lalu menutup matanya. Berharap kehidupannya yang sangat sulit ini perlahan membaik dan terus membaik. Deema harap semua yang ia lakukan selama ini hanyalah mimpi belaka. "Gak usah tidur." Hayalannya kini buyar karena suara datar Aiden terdengar di telinganya. "Apasih, Pak? Rewel banget deh. Gini salah, gitu salah. Bapak siapa? Intel apa polisi? Saya gak punya tindak kriminal kok, kenapa harus ngikutin saya terus?" Aiden kini yang bergantian menatap datar kearah Deema. Sambil mengangkat alisnya sebelah, Aiden pun berbicara. "Kalau saya polisi terus bawa kamu ke penjara gimana?"  "Ya mana saya tau lah, saya aja gak pernah bikin kejahatan." "Gak nyambung," kata Aiden yang kini malah bersandar di dekat meja dan melipat kakinya. Lalu tatapannya melihat lurus kearah Deema.  "Kertas apa itu?" Tanya Aiden yang melihat kertas-kertas di sebelah Deema.  "Ini?" Kata Deema sambil mengangkat kertas itu.  "Ini, tugas dari Bu Kiara," jawab Deema seadanya.  "Kamu mau ngapain ke atas tadi? Mau kabur?" Deema memutar bola matanya malas, ia pun mengikuti Aiden dengan cara melipat tangannya dida-da. "Bapak gak usah sok gak tau deh. Saya tau, Bapak denger semua apa yang Bu Kiara katakan ke saya." Seketika Aiden terdiam. "Enggak, saya gak denger." Deema mengambil kertasnya untuk pergi dari ruangan ini. "Terserah Bapak deh, ngapain juga saya kesini, gak ada kerjaan!" Dengan cepat Deema membuka sepatu Aiden dan ia simpan di samping lemari, lalu ia kembali memakai sandal yang ia pakai dari rumahnya.  "Dengarkan saya, Deema." Deema hanya melirik sekilas kearah Aiden. "Gak perlu sok peduli jadi manusia, Pak. Gak baik." Berjalan dengan cepat, Deema pun pergi dari ruangan Aiden. Aiden menatap kepergian Deema dengan rasa sangat bersalah. Tujuannya memanggil Deema kesini, ia berniat untuk membantu Deema jika memang keperluan ekonominya kurang. Tapi, sepertinya dirinya sendiri yang salah berbicara mengakibatkan Deema seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN