8. Aiden si penyelamat

1841 Kata
"Guys pulang dari sini kita ngemall dulu yuk," ajak Celline si orang kaya. Mereka saat ini tengah membereskan tas mereka masing-masing, sebab bel pulang sudah berbunyi. "Ayo deh. Gue baru di transfer opah semalem," kata Lola yang bersemangat dengan ide Celline. "Ayo, Ay, Deem," ajak Celline kembali. Deema yang tengah menutup tasnya itu, pura-pura tidak dengar. Ia tidak tahu alasan apalagi yang ia ucapkan agar menolak ajakan dari teman-temannya itu. "Emmm ... Gue gak bisa deh kayanya. Mama Gue baru pulang dari luar kota, dan barusan ngasih kabar di suruh pulang cepet-cepet," kata Aya. Ada sedikit kelegaan di hati Deema, karena Aya tidak ikut pergi shopping bersama teman-temannya. "Ih, gak asik banget sih, masa cuma kita berdua aja?" Kata Celline dengan nada sedikit kesal. "Iya, nih. Masa Deema nolak terus kalau kita ajak. Atau ... Mending kita pergi ke rumahnya Deema aja?" Usul Lola yang membuat hati Deema sedikit memburu. Tidak ingin hal ini terus mengusik dirinya, Deema pun bangun dari duduknya. "Sorry, guys. Gue gak bisa ikut," kata Deema yang memilih langsung pergi keluar kelas. "Deema! Kok gitu sih? Kitakan belum pernah liat rumah Lo," kata Celline dengan suara yang cukup besar, membuat semua orang menatap aneh, baik kepada Deema ataupun Celline. "Deema kenapa sih kalau kita ajak kemana-mana dia suka nolak," kata Lola yang merasa aneh dengan sikap Deema yang selalu saja menghindar. "Gue juga gak tau, kita ajak ke kantin aja dia suka pergi tiba-tiba," tambah Aya yang juga merasa aneh. "Jangan-jangan dia memang orang gak punya lagi," kata Celline dengan sangat sadis. "Hahahaha ... anjir mana mungkinlah, omongannya gak sepadan banget sama keadaan dia. Harusnya dia malu lah," kata Lola. "Lo liat tadi, sandal yang dia pakai. Lo bisa liat kalau dia pake tas warnanya itu-itu aja. Dan ... Kita gak pernah liat kalau dia ngeluarin dompet di depan kita," kata Celline mengeluarkan semua unek-unek di dalam pikirannya tentang Deema. "Hey, udahlah ayo kita balik aja," ajak Aya yang sudah tidak ingin mendengar semua ucapan teman-temannya itu. Deema menggelengkan kepalanya, menghiraukan semua ucapan teman-temannya itu, yang mengusik hatinya. Deema sungguh tidak peduli akan hal itu, tapi mengapa kali ini ia sangat khawatir. Ia takut jika ada seseorang yang mengetahui tentang kondisi yang sebenarnya. Deema berjalan terburu-buru untuk menuju toilet. Inilah kegiatannya sepulang sekolah, selalu pergi menuju toilet. Karena apa? Deema perlu waktu untuk menunggu semua teman-temannya pergi dari sekolah ini. Ataupun biasanya, Deema akan pulang jika semua murid sudah tidak mengisi tempat ini. Deema sempat berpikir, sampai kapan dirinya harus begini. Sampai kapan ia harus menutupi semua tentang dirinya. Sebenarnya Deema ingin putus sekolah, tapi ia berpikir, jika ia keluar sekolah saat ini, Deema tidak bisa menjamin jika hidupnya akan lebih baik nanti. Deema masih punya hati dan pikiran jernih. Deema menatap kosong kakinya yang beralaskan sandal. Tadi, teman-temannya pun sempat bertanya, mengapa ia pergi ke sekolah hanya menggunakan sandal usang seperti ini. Deema hanya bisa menjawab jika ia hanya ingin memakai sandal seperti ini. Mengapa dirinya dilahirkan hanya untuk hal-hal seperti ini? Deema tidak meminta dilahirkan dan di besarkan seperti ini. Rasanya ia ingin menyerah dengan semua keadaan. Tak sadar, air matanya menetes begitu saja, dengan cepat Deema mengusap air matanya. "Ngapain sih Lo nangis. Percuma, Deem. Hidup Lo gak akan berubah kalau Lo cuma nangis kaya gini ...." Mencari pekerjaan ternyata sangat sulit. Apalagi ia tidak mempunyai kenalan atau teman yang sedang bekerja di suatu tempat. Ia membuka ikat rambutnya untuk bisa menggerai rambutnya. Agar tubuhnya terlihat lebih fresh dan wajahnya pun terlihat lebih baik. Deema memiliki kulit putih yang cantik, untung saja ia di lahirian seperti itu, kalau tidak Deema tidak tau bagaimana caranya mendapatkan uang untuk merawat tubuhnya. Tapi, kulit putih itu terlihat sedikit kusam karena tidak terawat. Setiap harinya Deema hanya memakai sabun mandi saja, tanpa memakai lotion, serum atau yang lainnya. Ia memiliki rambut cukup panjang, yang selalu ia ikat. Deema menyisir rambut menggunakan tangannya. Ia rasa, Deema sudah berlama-lama diam di sini, ia pun memutuskan untuk keluar dari kamar mandi dan pulang ke rumah. Kembali menyusuri jalan yang sangat sepi ini, tidak ada tanda-tanda hujan akan turun, tapi Deema masih sangat berharap hujan dapat mengguyur tubuhnya kali ini. Mencoba untuk membuang beban-beban kepalanya yang selalu ada saja masalah yang terjadi di sana. "Gue hidup sebenernya buat apa sih?" Gumam Deema, seperti inilah dia. Jika tidak memiliki teman, Deema pasti berbicara sendiri. "Kenapa Gue ngerasa, Gue hidup paling sengsara di sini?" Matanya melihat kearah langit yang cukup cerah di siang hari menuju sore ini. Di tengah perjalanan menuju pulang, Deema duduk di pinggir jalan. Jalanan di sekitar sekolahnya memang selalu sepi, karena di ujung jalan ini, hanya ada sekolahnya dan beberapa pabrik kecil. Deema tidak tahu harus berbuat apa ketika sampai di rumah dengan cepat. Bertemu dengan kedua orangtuanya hanya ada emosi di dalam dirinya. Bertemu dengan adiknya pun, bukanlah hal yang penting. Ia berpikir, tidak ada salahnya untuk mencari pekerjaan di tengah kota. Deema mengambil jaket yang ada di tasnya, untuk menutupi seragam sekolah yang ia pakai. Deema pun untungnya membawa sebuah celana jeans yang hanya ia miliki satu-satunya itu. Untung saja, tidak ada orang di sini, ia pun memakai celana jeans-nya sebelum membuka roknya. Setelah celana itu terpasang, Deema pun membuka roknya. Selesai, Deema pun berjalan untuk sampai menuju tempat yang lebih ramai dari pada di sini. Siapa tau, nanti ada pekerjaan yang memberikannya sumber penghasilan. Tidak seperti saat ini, ia tidak memiliki uang sepeser pun. Karena tidak memiliki uang sepeser pun, mau tak mau Deema harus berjalan menuju ujung jalan ini kurang lebih 2 kilo meter. Semoga saja, jika sampai di sana hari belum gelap. Deema berdoa didalam hatinya, semoga saja ada pekerjaan yang membutuhkan tenaganya. Berjalan cukup jauh, Deema merasakan haus di tenggorokannya, tapi Deema tahan. Ia sudah terbiasa menahan hal seperti ini. .... Setelah berjalan kaki, kurang lebih 2 kilo meter, akhirnya Deema bisa berada di tempat keramaian. Bisa dibilang, banyak sekali ruko, toko, restoran yang berjajar di sini. Deema melihat, ada rumah makan yang sangat ramai di sana, ketika melihat ada pegawai yang sedang keluar tempat itu, Deema pun berlari, menghampiri seseorang yang sepertinya pegawai tempat ini. "Permisi, Mas, Mbak. Boleh tanya?" "Iya, silahkan," jawab perempuan yang memakai pakaian bergambar merk toko ini. "Di sini ada lowongan pekerjaan untuk pelajar seperti saya?" Kata Deema, untung saja ia berbicara dengan lancar, dan tidak terbata-bata. Laki-laki dan perempuan itu saling tatap, dan memperhatikan Deema dari atas sampai bawah. "Emmm ... Sebentar saya tanya sama yang punyanya dulu ya." Deema mengangguk sambil tersenyum, dan tak lupa mengucapkan terima kasih. "Baik, terimakasih, Mbak." Tinggalah Deema seorang diri dengan laki-laki yang memakai baju sama seperti perempuan tadi. Laki-laki itu menatap tajam kearah Deema, sambil terus memperhatikan Deema dari atas hingga bawah. Deema yang sadar akan tatapan itu, hanya menunduk canggung dan tidak berani untuk melawan, sebab ia sedang mencari pekerjaan di sini, bukan mencari keributan. "Sini," ucap seseorang sambil menggandeng Deema dan menjauh dari laki-laki itu. "Hah? Eh-eh ... Kok ...." Berbarengan dengan Deema yang ditarik oleh seseorang, Mbak pegawai tempat makan itu keluar dan mencari Deema. "Dek? Kemana pelajar tadi?" "Ih, lepas! Lepas! Lepas!" Deema memukul tangan Aiden yang ternyata menariknya tadi. "Aish! Bapak! Ngapain sih tarik-tarik saya!" Kesal Deema sambil menatap sendu kearah Mbak pegawai tempat makan tadi, yang sekarang sudah menyebrang ke arah kiri jalan, dan menyatu berjalan bersama orang-orang. "Ngapain kamu di sini sore-sore? Kamu gak tau kalau ada tanda bahaya?" Sekarang, Deema menatap Aiden dengan datar. "Terus hubungannya sama Bapak apa? Saya-saya yang celaka, saya yang mati, saya yang sakit, kenapa jadi Bapak yang peduli sama saya!" Kesal Deema karena kehilangan kesempatan berharga dalam hidupnya. Deema tidak peduli dengan Aiden yang sedang menatapnya, ia mencoba pergi dari pandangan Aiden dan kabur untuk mencari pekerjaan lain lagi di tempat ini. Kekesalannya yang berada di puncak, tak sadar, Deema menonjok tembok yang tak rata dengan kencang, sehingga tangannya mengeluarkan darah yang cukup banyak. "Deema!" Panggil Aiden dengan nada khawatir. Untung saja Aiden membawa Deema ke sebuah tempat yang memiliki gang kecil. Sehingga tidak ada orang yang terlalu memperhatikannya di sini. "Diem, Pak!" Kata Deema yang masih memiliki rasa kesal yang mendalam di lubuk hatinya. Aiden mengangkat kedua tangannya. "Oke, oke ... Saya minta maaf. Saya bisa bantu kamu ...." Napas Deema yang memburu, perlahan tenang karena mendengar perkataan Aiden yang sangat menjanjikan dirinya. Deema tidak sadar jika darah yang keluar di tangannya menetes sampai ke lantai. Aiden yang melihat itu, sedikit meringis. "Pertama, obati luka kamu. Sebagai guru kamu, saya bertanggung jawab, karena kamu murid saya." Deema hanya melirik Aiden dengan sekilas, ia tidak peduli dengan ucapan Aiden itu. Ia berpikir bagaimana caranya ia bisa mencari pekerjaan di sini, dan membawa beberapa uang untuk pulang ke rumahnya. "Deema ... Bisa dengar saya? Ini sudah adzan Maghrib, ayo ikut saya." Deema tidak mendengarkan ucapan Aiden. Ia kembali diam, dan lebih memilih untuk melamun. "Ikut dengan saya, atau saya lapor ke wali kelas kamu, kalau kamu suka diem di pinggir ja--" "Oke-oke! Saya ikut Bapak. Puas!" Potong Deema dan sekarang berjalan terlebih dahulu. "Hei, bahasa kamu, tidak sopan," kata Aiden yang menghentikan langkah Deema. Deema pun membalikan tubuhnya, dan menatap Aiden dengan datar, karena Aiden masih saja diam di tempatnya. Tadi, mengajak Deema pergi, tapi malah diam di situ. "Bilang sekali lagi." "Huft ... Iya, Pak. Saya ikut Bapak," kata Deema dengan lembut, selembut mungkin. Tanpa di sadari, Aiden tersenyum mendengar suara Deema yang sangat menenangkan hatinya. Entah mengapa, Aiden merasa harinya terasa lebih ceria dan tertantang ketika bertemu dengan Deema pertama kali. Aiden mengajak Deema berjalan menuju sebuah tempat yang berada di antara rumah makan dan toko sepatu. Sebuah toko kue yang sangat cantik dan lucu terlihat di matanya. Aiden pun mengajak Deema masuk kedalam toko ini. "Silahkan masuk. Ikut saya," kata Aiden yang membawa Deema menuju lantai atas. Deema bisa melihat jika di lantai atas ini adalah dapur pembuatan kue dan office tempat ini. Untuk apa Aiden membawa dirinya ke sini. "P--pak ngapain ngajakin saya ke sini?" "Kamu lagi nyari pekerjaan?" "Kak," panggil Aiden kepada seorang perempuan cantik yang berjilbab tengah memakai arpon. "Iya, Dek," jawab perempuan cantik itu. Deema mengerutkan dahinya. Dek, Kak? Apakah mereka adik kakak? "Habis dari mana kamu keluar tiba-tiba," ucap perempuan itu. "Kak, ini kenalin, Deema. Deema, ini Kakak saya. Kak Kaila," kata Aiden yang mengenalkan keduanya. Deema menundukkan kepalanya untuk memberi salam. "Saya, Deema, Bu," kata Deema. "Hai, Deema. Bu? Saya bukan ibu guru. Panggil saja, Kak Kaila, sama seperti Aiden. Kalian pacaran? Tumben Aiden ngenalin cewek ke saya," kata Kaila sambil tersenyum. "Hah? Ini murid aku, Kak. Siapa tau dia bisa bantuin kamu di sini. Katanya kamu kekurangan pekerja di sini." "Masyaallah ... Kamu mau kerja di sini? Kalau Aiden yang bawa insyaallah ya, kamu bisa kerja di sini, enggak berat kok," kata Kaila yang membuat hati Deema lega dan sedikit terharu. "Mau, Kak. Saya mau kerja di sini," kata Deema sambil mengangguk dengan cepat. Kaila tersenyum dan memegang lengan Deema. "Sekarang mau saya ajarkan bagaimana kerjanya?" "Mau, Kak," kata Deema yang tidak tahu harus menjawab apa. "Yasudah, pakai ini dulu." Kalia memberikan Deema arpon untuk di gunakan membuat kue.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN