13. Mas-mas Posesif

2081 Kata
Aiden memarkirkan mobilnya di garasi, setelah selesai, ia pun keluar dari mobilnya dan berjalan menuju pintu utama. Entah mengapa, perasaannya akhir-akhir ini sangatlah senang. Ia pun tidak merasakan lelah di tubuhnya, walaupun ia mengerjakan pekerjaan yang sangat berat sekalipun.  "Loh, pulang malem lagi, habis dari mana?" Tanya Yara yang sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Aiden pun melihat Kaila yang tengah mengetikan sesuatu di laptopnya.  "Habis nganterin pacarnya, Bun. Pacarnya kerja di toko aku, dia jago banget ngehias kue," kata Kaila yang membuat Aiden membelalakkan matanya.  Aiden tau siapa pacarnya yang dimaksud oleh Kaila, itu adalah Deema. "Apaan sih, Kak? Orang aku gak punya pacar. Katanya tadi mau ada seminar. Tapi malah duduk di sini," protes Aiden sambil memberikan kunci toko kepada Kaila dan duduk di sebelah Yara, sang bunda.  "Udah selesai kali seminarnya. Kamu tuh yang habis dari mana. Pasti habis nganterin Deema-kan?" "Aiden punya pacar? Kok gak ngenalin ke Bunda? Tanya Yara dengan senyumannya.  Aiden menggelengkan kepalanya. "Enggak, Bun. Aku belum punya pacar. Dia murid aku, Kaila suka ngarang," kata Aiden dengan nada kesalnya.  "Punya pacar juga enggak apa-apa kok ... Bunda makin seneng." "Tuh, denger!" "Orangnya baik kok, Bun. Sopan, ramah, pinter, cantik juga. Ternyata dia bisa milih cewek. Hahaha ...." Yara dan Kaila pun tertawa bersama. Aiden yang sedang dibicarakan oleh bunda dan kakaknya itu hanya diam dan menggaruk kepalanya. Boro-boro Deema baik, galak iya, dalam hati Aiden bergumam.  "Udah ... Kasian tuh Aiden mukanya merah," lerai sang bunda.  "Kamu sudah makan?" Tanya Yara.  Aiden mengangguk. "Sudah, Bun." "Sama Deema." Lanjut Kaila yang mendapatkan lemparan bantal dari Aiden.  "Bohong, Bun." Yara tersenyum, "beneran pun enggak apa-apa. Lain kali kenalin ya sama Bunda." "Bunda ke toko kue aja besok, sekalian bantuin aku, lagi banyak pesenan banget buat lusa." "Alhamdulillah pesanan di toko kamu semakin banyak ya?" "Iya, Bun. Alhamdulillah ... Ini juga berkat Deema, pacarnya Aiden yang bawa hoki ke toko aku." "Oh ya? Aduh ... Bunda harus ketemu sama pacarnya Aiden." "Bunda ... Kaila ... Itu bukan pacar aku. Itu murid aku." Aiden kembali menegaskan.  "Bohong, Bun. Liat aja besok sama Bunda. Habis dari masjid subuh-subuh, dia pasti langsung manasin mobil," kata Kaila yang membuat Aiden menghembuskan napasnya. "Bunda mau tau gak dia kemana?" Lanjut Kaila lagi.  "Kemana? Tadi juga dia pergi pagi-pagi banget," kata Yara.  "Dia jemput pacarnya, Bun. So sweet kan?" Yara dan Kaila kembali tertawa bersama. Aiden yang melihat itu memilih untuk bangun dan mengistirahatkan tubuhnya. Karena ini pun sudah malam. Besok ada kegiatan untuk guru-guru di sekolahnya, dan Aiden harus tidur dan beristirahat saat ini juga.  Ia berjalan menaiki tangga untuk sampai di kamarnya. Ketika masuk kedalam kamar yang bernuansa biru tua dan putih ini, Aiden duduk di kursi kerjanya. Melihat apakah ada email atau laporan yang masuk dari anak perusahaan ayahnya? Tapi ternyata tidak.  Aiden tidak berbohong jika saat ini isi kepalanya hanya ada nama Deema dan wajah Deema. Seketika, senyum kecilnya pun terbit di sana.  "Kenapa harus sama murid sendiri sih. Baru juga ketemu beberapa hari, Aiden ..." Gumamnya sambil membuka ponselnya.  "Kenapa Deema gak ngasih nomer telpon? Di grup kelas, nama Deema juga gak ada." Aiden kembali mencari urutan nomer-nomer dan nama-nama yang ada di ponselnya. Tapi, nama Deema tidak ada di sana. Aiden berpikir, jika Deema memang tidak memiliki ponsel.  "Kalau dia memang gak punya handphone, selama ini dia ngerjain tugas lewat apa?" Aiden tersenyum disaat melihat kearah lacinya. Setiap tahun, ia pasti mengganti ponselnya, dan baru saja bulan kemarin ia membeli ponsel baru yang sekarang ia pakai ini. Sepertinya, ia memiliki dua ponsel yang tak terpakai, tapi masih layak di gunakan.  "Deema tersinggung gak ya?" Tanya Aiden kepada dirinya sendiri. Ia tidak ingin menambah masalah di hidup Deema.  Ia membuka box kardus yang membungkus ponsel lamanya itu. Dan menyalakan ponselnya. "Masih bagus banget. Kayanya Deema suka." Aiden kembali mematikan ponsel itu, dan memasukannya kedalam kardus. Lalu ia simpan di dalam kotak untuk ia berikan besok kepada Deema.  Aiden pun berpikir, sejak kapan dirinya sepeduli ini dengan orang lain? Ini seperti bukan dirinya.  Aiden mengangkat bahunya. Biarlah, semua berjalan semestinya. Aiden tidak akan memaksa kehendak dirinya, ataupun ia tidak akan berleha-leha dengan dirinya. Biar saja waktu yang menjawab, kemana dirinya akan pergi. .... "Baik, dua puluh kotak macaron dan dua kue ulang tahun ukuran large akan segera di kirim ke tempat tujuan." "Baik, Bu. Baik ... Terimakasih ...." Deema membuka laptop Kaila yang memperlihatkan gambar dua kue ulang tahun ukuran besar itu, pesanan dari ibu yang baru saja ia telpon.  "Mas, Mas Riki ..." Panggil Deema sambil melambaikan tangannya, sebab Riki sedang ada di ujung tempat ini.  "Iya, kenapa Deem?" "Bisa antarkan dulu kue? Mas Riki sekarang bagiannya jugakan?" Tanya Deema.  "Aku bagian apa aja, Dem," kata Riki dengan senyumnya.  Dema mengangguk. "Sini, Mas." Di atas tangga, Aiden sudah melipat tangannya sambil menatap datar kearah Deema dan Riki, tanpa keduanya sadari.  "Ini, Mas. Udah aku masukin box semuanya, alamatnya juga udah ada di atas box ini. Aku antar ke mobil Kak Kaila ya," kata Deema sambil membawa satu kue ulang tahun yang berukuran besar itu.  "Ekhem ... Saya aja yang bawa. Kamu diem di sini." Aiden datang dan mengambil alih kue yang sedang Deema bawa.  Aiden pun berjalan terlebih dahulu ke luar toko, untuk menyimpan kue itu kedalam mobil Kaila.  Deema terpatung akibat ulah Aiden. Riki pun tersenyum malu-malu di sana. "Pfttt, yauda kamu tunggu di sini aja. Biar aku yang bawain kuenya. Dari pada pacar kamu marah. Aku anterin kue dulu ya, tolong lanjutin kerjaan aku." Dengan menahan tawanya, Riki pun membawa box-box yang berisi kue-kue pesanan tersebut.  "Iya, Mas. Hati-hati ...." Deema menatap geram Aiden yang sedang melintas di dekat jendela. Aiden selalu saja berulah, selalu saja membuat hal-hal aneh di depan matanya. Kaila datang dari arah tangga, ia sedang membuat adonan kue sendiri di atas.  "Pesanan udah diantar untuk jam empat? Hah? Kok Aiden yang bawain?" Tanya Kaila, berbarengan dengan Aiden yang datang.  "Hah? I--itu, Mas, eh ... Pak Aiden sendiri yang mau bawain." Aiden tidak memperdulikan Kaila yang menatap aneh dirinya. Ia pun kembali membawa barang-barang yang tersisa di sini. Dan keluar lagi untuk menyimpannya di mobil Kaila.  "Hahaha ... Kalian lucu banget sih. Kalau lagi pacaran gak usah di sembunyiin," kata Kaila sambil tertawa.  Ia sangat lucu melihat Deema yang terlihat polos itu, harus menghadapi sikap Aiden yang terlihat sangat posesif. Sungguh menggemaskan melihat kedua orang ini.  "Tumben banget mau bantuin aku," sindir Kaila disaat Aiden sudah kembali masuk kedalam toko. Aiden pun duduk di kursi yang bisa menghadap langsung ke arah Deema yang sedang berada di kasir.  "Enggak ada salahnya bantu bisnis sodara sendiri," kata Aiden santai.  Kaila meledek Aiden dengan menjulurkan lidahnya. "Kemarin-kemarin kemana aja? Di suruh anterin kue malah bilangnya ada urusan, ada urusan. Eh sekarang, tiap detik datang ke sini terus ...." "Rese!" Kesal Aiden sambil menatap tajam kakaknya.  "Hahaha ... Yauda deh. Aku kasih peraturan buat Deema di sini. Kalian boleh pacaran, tapi jangan kebablasan. Inget, kenalin ke Bunda."  Sambil tertawa karena melihat kelucuan Aiden, Kaila pun berjalan kembali menuju tangga untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.  Setelah melihat Kaila pergi, Deema menatap tajam Aiden dengan ekspresi yang sangat kesal. "Ngapain sih, ngerecokin aku terus?" Kesal Deema sambil mengetikan sesuatu di laptop Kaila, ia sedang membalas chat-chat orderan yang masuk.  "Kenapa? Masalah?" "Masalahlah. Bapak ngerecokin aku terus, nyebelin!" Kesal Deema lagi. Ia bekerja di sini, bukan was-was diawasi oleh sang bos. Melainkan was-was karena Aiden terus mengawasi dirinya.  "Bapak lagi, Bapak lagi. Saya hukum kamu kalau panggil saya gitu lagi ya," kata Aiden dengan nada santai namun serius.  Deema tak sengaja menatap mata Aiden yang damai itu. Ia pun meneguk ludahnya. Mengapa Aiden sangat membuat dirinya damai, dan ... Mengapa Aiden selalu membuat jantungnya berdebar.  Deema menggelengkan kepalanya, dan mencoba kembali fokus dengan pekerjaan yang sedang ia lakukan.  "Saya gak takut sama hukuman, kamu," kata Deema tanpa membawa embel-embel Mas atau Bapak. Deema kembali berpikir dengan ucapan yang ia panggil kepada Aiden, sanggat menggelikan.  "Gak takut?"  "Saya bisa, gak bikin kamu lulus dari sek--" "Iya-iya, Mas! Puas Mas?" Kata Deema sambil berjalan dan mendekatkan dirinya dengan Aiden.  Aiden tidak menghindar, melainkan semakin mendekatkan dirinya. "Sikapnya di jaga. Jangan sampai kamu kaya gini dengan laki-laki lain." Deema bisa melihat bibir Aiden yang sangat merah itu berucap di depan matanya.  Degup jantungnya kembali berdebar lebih-lebih kencang. Tadinya ia ingin mengerjai Aiden, tapi mengapa ia terjebak sendiri di sini? Deema perlahan memundurkan tubuhnya dari hadapan Aiden.  Tanpa melirik kearah Aiden, ia pun berjalan menuju meja yang ada di ujung tempat ini. Untuk menghias dan membungkus kue, melanjutkan pekerjaan Riki yang belum selesai.  Wajahnya memerah karena mengingat kejadian tadi. Keadaan mereka di sini pun hening, hanya terdengar suara musik yang di pasang di tempat ini.  Deema memakai sarung tangan, dan duduk di kursi yang tadi Riki duduki. Ia pun memulai memberikan krim-krim warna-warni kearah kue yang sedang ia hias.  Tidak biasanya tangannya Tremor seperti ini. Ah, Aiden menyebalkan, kesal Deema.  "Enggak usah grogi."  Deema menahan napasnya disaat Aiden duduk di hadapannya. Sambil memperhatikan dirinya yang sedang bekerja ini.  Deema meringis. "Mas ..." Rengek Deema yang kesal.  Aiden tak sadar tersenyum mendengar rengekan Deema. "Iya ... Iya ... Kamu lanjut aja kerjanya." Aiden pun keluar dari toko. Deema yang melihat itu pun menghembuskan napasnya lega. "Bisa-bisanya Gue alay banget di depan Pak Aiden." Deema diam-diam melihat Aiden yang berjalan kearah mobilnya yang terparkir di sisi bangunan ini. Untung saja, toko The K ini, banyak kaca-kaca dan jendela yang bisa melihat langsung kearah jalan.  Tak lama, Aiden pun kembali keluar dari mobilnya. Deema dengan cepat kembali fokus untuk menghias kue-kue ini.  Deema tidak boleh terlihat lemah, manja, atau apapun itu di depan Aiden. Ia akan meluruskan hubungannya dengan Aiden hanya sebatas guru dan murid ini. Ia harus bersikap profesional.  "Deema," panggil Aiden.  "Mas, kamu sekali lagi ganggu aku, aku laporin ke Kak Kaila. Baru tau rasa." Aiden pun memberikan dua kotak yang ia bawa dari mobil. "Buat kamu, pilih salah satu." Aiden tidak menghiraukan ucapan Deema. Ia memberikan dua kotak yang sudah ia bawa dari mobil di hadapan Deema.  Deema terdiam melihat dua box ponsel di hadapannya. Deema pun menatap Aiden sebentar. Ia merasakan ada sesuatu yang akan menetes di pelupuk matanya.  Deema membalikan tubuhnya untuk mengusap air matanya yang ternyata membasahi pipinya. Ia tidak tahu mengapa dirinya menangis seperti ini di hadapan Aiden. Ia tidak tahu mengapa ia terlihat sangat lemah sekali di hadapan Aiden.  "Deema? Kok nangis?" Deema membuka sarung tangannya, ia pun kembali mengusap air mata yang terus turun dari pelupuk matanya. Ia tidak tau bagaimana caranya menghentikan air matanya ini.  "Eng--enggak. Ak-aku enggak nangis kok ...." Deema pun kembali membalikan tubuhnya. Ia bisa melihat wajah Aiden yang khawatir di sana. Dan Aiden pun sudah berdiri dari duduknya tadi.  "Kamu sakit? Kok nangis?" "Eng--enggak, Mas ... I--ini beneran?" Tanya Deema yang kembali melihat dua box ponsel di hadapannya. "Iya, kamu bisa pilih. Saya baru pakai ponselnya beberapa minggu." Kata Aiden. "Dan ini," ia menunjuk kotak ponsel berwarna putih. "Ini baru aku pakai lima hari." Deema pun duduk di kursinya. "A--aku gak tau pilih yang mana ..." Air matanya sudah berhenti mengalir.  "Kamu suka warna gold?"  Deema mengangguk dengan antusias. "Warna apa aja aku suka." Aiden mengangguk, dan membukakan box ponsel yang katanya baru ia pakai lima hari itu di hadapan Deema. Ponsel itu ternyata masih tersegel. "Katanya sudah terpakai, tapi ... Kok masih di segel, Mas?" Tanya Deema yang tidak bodoh itu.  Aiden mengangguk. "Saya baru buka boxnya aja. Lima hari kemudian beli lagi karena ada keluaran terbaru." "Jadi, ini baru namanya. Bukan bekas." "K-kamu suka? Kalau gak suka saya beli sekarang yang baru." Aiden yang hendak berdiri pun, Deema tahan.  "Enggak ... Jangan. Ini aja udah sangat-sangat cukup ...." Aiden menatap Deema dengan sangat tulus. Hatinya tersentuh melihat Deema menangis sambil tersenyum di hadapannya. Ia pun ikut tersenyum kecil.  Aiden bangun dari duduknya, untuk berpindah posisi. Ia duduk di sebelah Deema. Menjelaskan bagaimana cara pakai ponsel yang sangat canggih ini. Bahkan, Deema rasa, teman-temannya itu belum memiliki ponsel sepertinya.  "Ini nomer saya," kata Aiden yang memperlihatkan nomer kontak ponselnya. Deema mengangguk. "Ini, nomer ponsel kamu." "Ini, nomer Kak Kaila. Jangan ada nomer lain." Deema mengerutkan keningnya. "Kok gitu?"  Tidak ingin Aiden kembali berbicara datar kepadanya. Deema pun menjawab pertanyaannya sendiri. "Iya, iya aku paham." "Bagus ... Ini ...." Aiden pun memberikan Deema ponselnya yang sudah ia setting. Deema tersenyum sangat bahagia. Baru pertama kali ia memegang ponsel miliknya sendiri. Deema sangat-sangat senang.  "Terimakasih banyak, Mas ...." Aiden mengangguk sambil ikut tersenyum. Hatinya sangat damai ketika Deema memanggil dirinya seperti itu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN