14. Dalam rangka, sebuah pendekatan

2500 Kata
"Gimana, Kak? Bisa di ulang lagi?" Tanya Deema saat mendapat telpon dari pembeli.  "Oke ... Baik ... Iya, Kak. Sudah saya catat. Besok insyaallah di kirim jam satu siang ya. Baik, Kak ... Terimakasih ...." Deema menutup telponnya dan menyimpan buku pesanan di atas meja, ia melihat ada seorang wanita sudah berumur yang memakai jilbab tengah melihat-lihat kue di etalase.  "Permisi, Ibu ... Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Deema sambil tersenyum.  Ibu itu pun mengangguk sambil membalas senyuman Deema. "Saya mau ini, dan ini ..." Katanya sambil menunjuk kue yang ibu itu mau.  Deema pun mengambil kue itu dan menyimpannya di atas nampan. "Minumnya cokelat panas satu ya." Tambahnya lagi.  "Baik, Bu." Deema membuat minuman untuk ibu itu, dan langsung mengantarkannya ke meja yang sudah di duduki.  Deema terasa familiar melihat wajah ibu itu. Sepertinya umur beliau sudah di atas 40 tahun, namun masih terlihat sangat muda dan cantik. Deema tak asing dengan hidung mancung yang di miliki oleh ibu ini. Tapi siapa? "Selamat menikmati ...."  Deema pun undur diri, dan kembali ke kasir.  Siang hari ini, terasa begitu panas. Tadi pagi, pertama kalinya Deema berangkat kerja sendiri, tanpa Aiden mengantarkan. Semalam Aiden memberi pesan kepadanya jika pagi-pagi sekali, Aiden harus pergi ke luar kota karena pelatihannya di alihkan ke luar kota. Deema pun mengiyakan semua pesan dari Aiden.  Getaran di ponselnya terasa, ia mengambil ponsel itu dan membuka, ada gambar baju perempuan yang lucu menurut Deema. Ia mengerutkan dahinya, kenapa Aiden mengirim pesan seperti ini? Tak ingin membuang waktu karena hal yang tidak penting, Deema pun menyimpan ponselnya kembali di kantung celana. Tak lama, ponsel itu kembali bergetar sebanyak 3 kali.  Dalam isi pesan itu, Aiden protes mengapa Deema hanya membaca pesannya. Mengapa Deema tidak membalas pesannya, dan Deema sangat lama membalas pesan.  Deema pun mengetikan sesuatu di sana, untuk bertanya ia harus membalas apa jika Aiden hanya mengirimkan gambar seperti ini.                                                                                               Pak Aiden  Mau warna itu?                                                                                                                                                                              Warna apa? Warna bajunya suka itu atau ganti warna lain?                                                                                                                                                        Gimana maksudnya, Mas? Oke. "Kenapa ni orang gak jelas banget," gumam Deema yang kembali membaca pesan Aiden yang sangat aneh. "Kak, boleh fotoin saya gak?" Tanya ibu itu.  Deema mengangguk. "Bisa, Bu. Sebentar ..." Deema memasukkan ponselnya kedalam saku, ia pun menghampiri si ibu untuk memfoto.  "Sudah siap, Bu?" Tanya Deema. "Oke ...." Deema mengambil beberapa gambar ibu itu dengan sangat baik. Ia pun kembali menyerahkan ponsel si ibu yang sudah ia gunakan untuk memotret.  "Bunda? Kapan kesini?"  Hendak pergi menuju kasir, Deema dikejutkan dengan Kaila yang turun dari tangga, dan memanggil ibu tadi dengan sebutan Bunda.  Bunda? Pikir Deema? Ibu dari Kaila kah? Jika itu ibu Kaila ... Berarti ... Itu ibu Aiden! Pantas saja ia merasa sangat familiar dengan wajah ibu itu.  "Baru aja Bunda sampai di sini," katanya. Kaila duduk di hadapan sang Bunda, Deema yang melihat itu dari kasir pun memperhatikan keduanya.  "Deema?" Deema yang tengah memperhatikan keduanya pun cukup terkejut karena Kaila memanggil namanya.  "Aa--iya, Kak ...." "Sini ..." Kata Kaila.  Deema menghampiri Kaila, Bunda dari Kaila pun terus memperhatikan Deema sambil tersenyum. "Duduk," ucap Kaila.  "Aku? Enggak enak, Kak. Takut ganggu ..." Tolak Deema secara halus. "Duduk, Deema ..." Kata Kaila sekali lagi.  Deema pun mengangguk dan akhirnya duduk di tengah-tengah Kaila dan bundanya.  "Deema ... Kenalin ini Bunda aku ... Bunda, ini Deema. Pacarnya Aiden ..." Kata Kaila sambil berbisik di akhir kalimatnya, dan mereka berdua pun sedikit tertawa.  Deema yang tidak tahu apa-apa, hanya tersenyum kikuk.  "Senang bertemu dengan kamu, Deema ... Saya, Yara, Bundanya Kaila dan Aiden." Deema mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Ibu ... Senang bisa berkenalan." "Cantikkan, Bun? Baik, jago hias kue lagi ..." Kata Kaila yang masih saja memperkenalkan Deema kepada ibunya.  Yara tersenyum. "Iya, kamu cantik, dan baik juga. Makasih ya ... Sudah bantu anak saya di dalam usahanya." Deema yang merasa tidak membantu apapun, ia menggelengkan kepalanya. "Enggak, Bu. Saya tidak membantu apa-apa di sini. Saya yang harusnya berterima kasih karena sudah diberi kesempatan untuk bekerja di sini," kata Deema sambil melihat kearah Kaila.  "Iya, Deema ... Semenjak kamu ada di sini, bisnis saya Alhamdulillah sangat-sangat lancar dan terbantu." "Kamu pacarnya Aiden?" Tanya Yara.  Deema yang terkejut mendengar pertanyaan Yara, ia pun tertegun dan terdiam. "E--enggak, Bu. Saya enggak pacaran sama Pak Aiden. Pak Aiden guru saya, dan saya murid beliau," kata Deema berbicara sehalus mungkin.  "Kaila bilang kalian pacaran," ucap Yara yang merasa kecewa mendengar itu.  "Bunda, kaya yang enggak tau anak muda aja. Mereka malu tau mempublish hubungannya." Deema tak habis pikir. Kenapa dirinya terjebak di sini. Terkurung diantara dua orang yang sangat rumpi.  "Kalau kalian pacaran, Bunda setuju kok ... Besok weekend, kamu datang ke rumah ya buat makan malam ...." "T--tapi, Bu ...." "Besok toko libur, cuma ada beberapa pesanan aja, biar Riki yang keep. Kamu bisa libur di rumah, besok sore ke rumah ya, Aiden pasti jemput kamu kok." "Aduh ... Saya ngerasa gak enak, Bu, Kak ... Saya bukan siapa-siapa ..." Kata Deema. Udangan dari Yara membuat dirinya berpikir sangat keras. Ini baru pertama kalinya, ia diundang makan malam seperti ini.  Dan ia bingung harus menggunakan baju, tas, sepatu apa esok hari, karena ia tidak memiliki baju atau tas baru yang bisa ia gunakan untuk esok.  "Enggak apa-apa, Nak. Anggap saja silaturahmi ...." Lonceng pintu masuk pun berbunyi, Aiden datang membawa dua paperbag ukuran sedang yang langsung ia sembunyikan di balik badannya pada saat melihat kearah Deema, Kaila dan Yara.  "Aiden? Udah pulang jam segini?" Tanya Kaila.  Sebentar, Aiden terdiam di saat melihat Deema yang sudah duduk dengan ibu dan kakaknya. Aiden percaya, jika mereka sudah membicarakan hal-hal yang tidak-tidak.  Ia mundur dengan pelan, dan menyimpan paperbag yang ia bawa tadi, di bawah meja yang ada di ujung tempat ini. Aiden pun menghampiri ketiga perempuan yang sedang menatapnya aneh.  "Bunda," sapa Aiden sambil mencium tangan Bundanya itu.  Lalu duduk tepat di hadapan Deema, karena itu satu-satunya kursi yang tersisa. "Bunda tumben ke sini?" Tanya Aiden. "Bunda yang harusnya tanya gitu. Tumben kamu ke sini, biasanya langsung pulang ke rumah," kata Yara bermaksud ingin menggoda Aiden.  "Aku biasanya ke sini kok, Bund. Tanya aja Kakak," jawab Aiden.  "Oh ya?" "Bohong, dia ke sini cuma gara-gara ada Deema aja, kalau enggak ada, mana mau dia ke sini. Kecuali terpaksa, hahaha ..." Yara dan Kaila tertawa. Berbeda dengan Aiden dan Deema yang diam tidak mengerti. "Bawa apa kamu?" Tanya Yara yang melihat paperbag Aiden.  "A--it--" "Bunda jangan tanya-tanya, nanti dia malu duluan. Mending Bunda bantuin aku ke atas," ajak Kaila. Ia sudah tau, Aiden pasti akan memberi hadiah untuk Deema. Karena mereka sedang kumpul di sini, sepertinya, Aiden tidak berani memberikannya.  "Iya juga ya. Yauda, Bunda ke atas aja." Yara bangun dari duduknya, Kaila pun membawa makanan yang Yara pesan untuk di bawa ke atas. "Deema, besok harus datang ya. Bunda pengen banget kamu datang ke rumah. Bunda ke atas dulu ya, gak mau ganggu orang lagi pacaran."  Belum sempat Deema menjawab, Yara sudah digandeng oleh Kaila untuk cepat-cepat berjalan menuju lantai dua. Deema pun melihat anak dan ibu itu, sudah menghilang di balik tembok.  Ia pun kembali menengok kearah Aiden yang ternyata sedang melihatnya datar. Deema mengerutkan keningnya.  "Pak--" "Deem--" Mereka memanggil secara bersamaan. "Aku dulu," kata Deema terlebih dahulu.  "Kamu bilang apa sih ke mereka? Kok mereka bilang kalau aku pacaran sama kamu. Padahal, ketemu aja baru beberapa hari, dan aku pun juga gak mau jadi pacar kamu." Aiden mengangkat satu alisnya. "Saya juga gak mau." "Ya terus? Kenapa Bunda dan Kak Kaila ngomong kaya gitu? Gak mungkin mereka asal bicara, pasti kamu yang nyebarin berita yang enggak-enggak!" Kesal Deema.  "Saya?" "Yaiyalah, siapa lagi?" "Bunda bilang apa?" "Besok Bunda kamu ngajak aku buat makan malam di rumahnya. Kak Kaila pun ngajak aku. Aku gak tau harus seneng, bingung, sedih atau gimana." "Bagus dong." "B--bagusnya?" Tanya Deema.  Ia pun kesal dengan Aiden yang terus berbicara singkat-singkat. Padahal ia butuh informasi yang lebih, agar semua rasa penasaran di dalam dirinya terbayarkan.  "Ya bagus. Kamu di undang besok." "Tapi aku mau nolak dan bilang ke Kak Kaila." "Jangan. Besok saya jemput jam empat sore. Tidak ada penolakan." "Loh ... Loh ... Kok gitu, Pak?" "Pak, lagi ...." "Aku gak mau manggil itu lagi," kata Deema yang masih kesal.  "Terus mau panggil apa?"  "Gak tau. Aku mau, kamu lurusin berita kita di keluarga kamu, kalau kita gak pacaran ... Dan aku bakal nolak buat makan malam besok titik." Aiden tidak menjawab, ia menatap datar kearah Deema. "Udah?" Tanya Aiden.  Deema menggeleng. "Berarti mereka terima kamu." "Gimana sih, Pak maksudnya?" "Mereka terima kamu." "Ya, aku tau. Tapi ... Kitakan baru kenal, kita belum sedeket itu." "Terus kamu mau apa?" "Kamu bilang kalau kita gak ada hubungan apa-apa, dan aku gak bisa ikut makan malam itu. Aku bukan siapa-siapa kamu, Pak." Aiden mengangguk, dan pergi dari hadapan Deema. Ia pun mengambil paperbag yang ia simpan tadi di hadapan Deema, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia kembali pergi.  Deema menatap kosong kearah punggung Aiden yang sekarang berjalan kearah mobilnya, dan mobil itu pun melaju begitu saja.  Deema terkejut dengan sikap Aiden yang baru saja ia lihat. Ada rasa kosong dan hampa, serta sedikit rasa sakit di hatinya, disaat melihat Aiden pergi begitu saja.  Biasanya, jika Aiden hendak pergi, ia pasti akan mengucapkan sepatah dua patah kata. Tapi, ia tidak mengucapkan apapun. Apa ... Ucapannya tadi menyakiti hati Aiden?  Ah, ada-ada saja. Ia jadi tidak enak hati kepada Aiden. Melihat dua paperbag ini, ia pun mengintip isinya. Ada kotak di dalam paperbag itu, ia tidak akan membukanya, ia berniat akan mengembalikannya nanti kepada Aiden. .... Tanpa di rasa, malam sudah datang. Beberapa menit lalu. Yara sudah pulang dengan taksi. Katanya, Aiden tidak bisa di telpon untuk menjemput, dan akhirnya Yara pulang menggunakan taksi.  Tugasnya menghias kue sudah selesai beberapa jam lalu, saat ini ia tengah membersihkan toko agar terlihat tetap rapi. Kaila datang sambil membawa tas. "Deema, pulang saja, dari kemarin kamu pulang larut terus." "Sebentar, Kak. Aku pel lantai dulu."  Kaila mengambil sesuatu di dalam tasnya. "Ini, uang makan dan gaji selama seminggu. Semangat terus ya, kerjanya." Dengan senyum lebarnya, Deema menerima amplop putih itu. "Terimakasih, Kak ... Aku seneng banget kerja di sini. Maaf kalau seminggu ini aku masih banyak kekurangan. Tapi, aku masih boleh kerja di sinikan?" Tanya Deema.  "Iya, dong. Kamu harus tetep kerja di sini walaupun gajinya gak seberapa. Semoga kamu nyaman ya. Pulang saja, biar Riki yang membereskan." Deema mengangguk, ia memeluk amplop putih itu sambil menyimpan alat pel yang sedang ia pegang. Deema pun berjalan menuju lantai dua untuk menyimpan apronnya dan memakai jaket serta mengambil tasnya untuk pulang.  Dengan hati-hati, Deema membuka amplop itu. Dan betapa bahagianya ia ketika memegang uang lembaran berwarna merah itu. Deema langsung menyimpan uangnya di dalam dompet. Ia harus menabung agar bisa membayar semua hutang-hutangnya di sekolah.  Deema memakai jaketnya dan turun ke lantai satu untuk pulang. Tak lupa, ia pun membawa paperbag yang Aiden berikan kepada dirinya tadi siang. "Mbak, aku pulang ya ..." Pamit Deema kepada Nomi yang tengah menjaga kasir.  "Iya. Hati-hati Deema ...." Deema berjalan keluar dari toko. Ia belum pernah pulang malam bekerja seperti ini. Kemarin-kemarin Aiden masih mengantarkannya pulang. Dan saat ini, ia harus menaiki angkutan umum di ujung jalan sana. Karena di sini, hanya ada taksi yang lewat.  Deema berjalan sambil melihat-lihat banyak sekali toko-toko baju yang sangatlah cantik-cantik. Deema ingin sekali berbelanja, tapi ... Ia sangat sayang kepada uangnya. Lebih baik ia tabung. Ia masih punya baju yang masih ia bisa pakai.  Berjalan beberapa ratus meter, ternyata melelahkan juga. Jalur ini memang tidak ada angkutan umum, dan sangat menyebalkan harus terus berjalan seperti ini.  Hendak menyebrang, ada mobil putih yang tiba-tiba berhenti di hadapannya. Deema kenal mobil putih ini, ini adalah mobil Aiden.  Kaca mobil pun turun, Aiden dengan menggunakan kacamata hitamnya, melihat kearah Deema dan menyuruhnya untuk masuk.  "Masuk," kata Aiden.  Deema menunjuk dirinya sendiri, agar tidak salah. "Iya, masuk ..." Kata Aiden lagi.  Mau tak mau, Deema pun masuk kedalam mobil, karena di belakang mobil Aiden masih banyak kendaraan lain.  Atmosfer diantara mereka menjadi sangat canggung, Deema berpura-pura lebih memilih melihat kearah kiri, dimana ia bisa melihat lampu-lampu yang menyala. Padahal ia melihat pantulan bayangan Aiden di kaca mobil.  Ia tidak bisa berbohong, jika Aiden sangat tampan malam ini. Aiden sudah mengganti bajunya dengan pakaian casualnya, dan Deema tidak tahu apa tujuan Aiden memakai kacamata hitam di malam hari seperti ini.  "Ekhem ..." Aiden mengeluarkan suaranya. Deema tahu, jika Aiden sengaja mengeluarkan suara batuk itu. Ia ragu untuk bertanya atau mengobrol, sebab sepertinya ... Aiden marah kepadanya tentang kejadian tadi siang.  "Aku mau balikin ini, Pak ..." Kata Deema sambil memberikan dua paperbag itu.  Aiden tidak menjawab, bahkan melirik kearah Deema. Deema yang tangannya pegal karena terus memegang paperbag itu pun menyerah, dan kembali menyimpan diatas pangkuannya.  Deema memijat kepalanya karena merasakan pusing menyerang kepalanya.  Aiden yang melihat Deema memegang kepalanya pun cukup khawatir, tapi ia mencoba menjaga sikapnya untuk tetap santai.  "Buka," kata Aiden yang membuat Deema mengalihkan perhatiannya. "Buka? Apanya yang di buka?" Tanya Deema tidak mengerti. "Itu," tunjuk Aiden kearah paperbag yang ada di pangkuan Deema.  "Ini bukan punya aku," kata Deema. "Buka ..." Ucap Aiden satu kali lagi dengan suara yang lebih lembut.  Akhirnya, Deema mengikuti ucapan Aiden. Ia pun membuka satu kotak yang ada di dalam paperbag ini.  "Ini bukan bomkan?" Tanya Deema. "Ranjau," jawab Aiden seadanya. Deema memajukan bibirnya karena kesal dengan jawaban Aiden. Ketika membuka kotak itu, betapa terkejutnya Deema ketika melihat dua buah tas kecil berwarna putih dan biru muda. Tas ini sangat cantik dan sesuai dengan seleranya.  "I--ini punya siapa?" Tanya Deema yang tidak mau kegeeran. "Kamu." "Aku?" "Iya. Suka?" Deema hanya mengangguk karena tidak tahu harus menjawab apa. Matanya sudah merasakan panas, mengapa dirinya sangat mudah sekali menangis di dekat Aiden.  "Saya enggak tau harus pilih warna dan bentuk kaya gimana. Saya di pilihin mbak tokonya." "Terimakasih, Pak ...." "Panggil itu lagi ...." Deema mengusap air matanya yang sudah turun. "A--aku boleh panggil kamu Kakak aja enggak?" Tanya Deema.  "Kenapa?" "Geli, hiks ..." Kata Deema sambil mengusap air matanya yang turun.  Aiden yang baru sadar Deema menangis, ia pun cepat-cepat meminggirkan mobilnya. "Eh, kok kamu nangis. Kenapa?" Tanya Aiden sambil membuka kacamatanya. Deema sibuk mengusap air matanya tanpa menjawab pertanyaan Aiden.  Dengan refleks, Aiden memegang tangan kanan dan kiri Deema, agar Deema tidak terus mengusap air matanya. "Udah, ya ... Jangan nangis terus ... Katanya jagoan," ucap Aiden seperti sedang menasehati adiknya yang terjatuh dari sepeda. Deema mengangguk, dan seketika ia merasakan tangan hangat Aiden yang sedang memegang tangannya. Ia pun terdiam, sambil melihat tangannya. Aiden pun sama-sama melihat tangannya.  "Maaf." "Hiks ... Hiks ...." Tangis Deema kembali pecah disaat Aiden melepaskan genggamannya.  "Udah ya, saya minta maaf. Saya enggak sengaja pegang tangan kamu. Buka kotak satu laginya." Sambil menangis, Deema pun mengambil kotak satu lagi berwarna cokelat. Kali ini ia melihat ada dua dress simple berwarna putih dan cream. Serta satu lagi ada sebuah kameja santai dengan celananya.  Deema tidak tahu mengapa Aiden memberikannya benda-benda seperti ini. "Ini dalam rangka apa?" Tanya Deema. "Dalam rangka, sebuah pendekatan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN