15. Berbuat baik

1615 Kata
Hari Sabtu yang damai. Deema baru terbangun dari tidurnya pukul 10 pagi. Ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa harus bangun pagi-pagi dan tanpa harus melakukan kegiatan apapun. Ia tidak melihat Ratu di sampingnya, mungkin Ratu pergi ke sekolah, karena seingatnya jika hari Sabtu seperti ini, Ratu mengikuti ekskul di sekolahnya.  Ada satu hal yang terlintas di benaknya. Ratu bawa uang tidak ya? Ratu sudah makan belum ya? Entah mengapa otak Deema terpikir dengan hal-hal seperti itu. Biasanya ia cuek dan bahkan tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tapi mengapa ia menjadi seperti ini, sekarang?  Deema harus menghampiri ke sekolah Ratu dan memberikan uang saku, walaupun tidak banyak. Deema bangun dari tidurnya, ia tersenyum tatkala melihat baju baru pemberian Aiden tergantung di hadapannya.  Ia tidak sabar sore hari nanti untuk pergi ke rumah Aiden. Deema bisa menyimpulkan saat ini, jika ia sudah nyaman dengan kehadiran Aiden dalam hidupnya. Padahal, mereka baru saja berjumpa dalam Minggu ini.  Deema mengambil tasnya, ia membuka dompetnya mengambil satu lembar uang. Ia harus memberikan uang ini kepada ibunya, agar bisa memasak dan makan dengan baik. Semalam, ketika ia diantar pulang ke sini, Deema menyempatkan diri untuk membeli beras beberapa liter untuk makan mereka beberapa hari kedepan.  Ia membuka gorden kamarnya, tidak ada siapa-siapa di sini. Deema tidak mengerti kemana ayahnya sering pergi, beberapa hari ini ia tidak pernah berjumpa dengan ayahnya itu. Deema berjalan kearah dapur untuk mencari ibunya, Kinanti.  "Ibu?" Panggil Deema. Kinanti ternyata tengah mencuci beras di dalam kamar mandi. "Ibu lagi apa?" Tanya Deema dengan suara lembutnya. Ia nyaman bersikap seperti ini.  "Lagi nyuci beras. Kamu yang beli?" Tanya Kinanti. "Ibu bisa masak nasi goreng pake garem." Lanjutnya dengan senang.  Deema menatap sendu sang ibu. Tubuhnya kurus kering tak terurus. Bagaimana mau mengurus dirinya sendiri, untuk makan pun, Kinanti harus berpikir dua kali.  "Ibu, sini deh ...." "Sebentar ya ... Kamu punya uang dari mana bisa beli beras?" Tanyanya dengan senang.  Kinanti menyalakan kompor dan menyimpan panci berisi beras yang sudah di cuci itu, untuk di masak. "Deema kerja di toko kue, Bu."  "Oh ya? Ibu bisa kerja juga gak di sana?" Katanya. Deema menggeleng. "Ibu diem aja di rumah, biar sembuh dulu penyakitnya ..." Deema tahu jika Kinanti menyembunyikan penyakitnya.  "Ini," Deema memberikan uang hasil kerja kerasnya kepada sang ibu. "Ibu beli daging ayam buat makan Ibu, Ratu dan ayah ya ...." Kinanti menyambutnya dengan senang hati. "Ibu beli sayuran yang banyak. Makan yang banyak. Biar aku yang kerja ...." Kinanti menatap sendu anak sulungnya itu. "Kamu capek?" Tanya Kinanti sambil mengusap tangan Deema.  Deema menggeleng. "Enggak, Bu. Deema kuat," katanya.  Kinanti pun tersenyum. "Terimakasih ya, Nak. Kamu bisa bertahan hidup dengan orang tua seperti ibu." "Ibu ...." "Sepertinya kalau kamu gak di lahirin sama Ibu, kamu pasti bahagia." Deema menggeleng. "Deema sayang sama Ibu. Deema bersyukur bisa hidup seperti ini." Kinanti memeluk Deema dengan lembut. "Ayah kamu enggak pulang beberapa hari ini. Kamu jangan cari kemana ya, Ibu sudah capek ...." Deema terdiam mendengar ucapan Kinanti. Pertanyaan beberapa hari ini akhirnya terjawab sudah. Jika ayahnya tidak pulang beberapa hari ini, lalu ... Kemana perginya laki-laki tak bertanggung jawab itu? Ada rasa kesal, kasihan dan kesedihan mendengar ayahnya yang tidak pulang beberapa hari ini. Deema tidak mengerti mengapa Yoseph bisa seperti itu.  "Deema mau mandi dulu, Bu. Masih ada yang harus di urus. Ibu mending belanja, hati-hati di jalan ...." Deema pun mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.  ..... Angin menyapa Deema dengan hangat di saat berjalan diatas jalan setapak ini. Deema bisa merasakan jika Ratu setiap harinya harus berjalan kaki melewati jalanan ini.  Ratu bersekolah di SMP negeri, sekolah memang gratis. Tapi, semenjak masuk ke kelas 9, iuran bulanan sekolah kembali di berlakukan sebab ujian-ujian yang akan datang, butuh modal yang besar.  Deema ingin menghampiri Ratu di siang hari ini, ibunya menitipkan bekal untuk Ratu, karena ia tahu jika Ratu belum makan sejak kemarin.  Sampailah ia di sebuah gerbang sekolah berwarna biru, dari arah kejauhan Deema bisa melihat Ratu yang tengah terduduk seorang diri di bawah pohon, dan matanya melihat kearah orang-orang yang tengah bermain basket.  Deema menatap sendu adiknya, ia tidak ingin Ratu merasakan apa yang ia rasakan. Deema ingin Ratu hidup bahagia, tidak seperti dirinya.  "Hey, lagi apa, Lo?" Tanya Deema dan duduk di sebelah Ratu. "Kak Deema!" Katanya dengan berbinar.  "Ngapain ngelamun sendirian? Temen-temennya kemana?" "Itu ... Temen-temen aku lagi di kantin," katanya.  Deema mengangguk. Ia memberikan wadah bekal yang ia bawa tadi. "Ibu masakin buat Lo. Di makan."  Dengan senang hati, Ratu membuka bungkusan plastik itu, ada satu potong daging ayam dan tumis wortel dan sawi putih. Deema bisa melihat jika Ratu tersenyum sangat lebar.  "Kak Deema sudah makan?" Tanyanya.  Deema tidak bisa berkata apa-apa, ia hanya mengangguk. Jika ia berbicara, ia takut air matanya akan terjatuh.  Ratu makan dengan lahap, perutnya yang kosong akhirnya bisa terisi juga. "Kak ... Aku belum bilang sama kamu." "Kenapa?" Tanya Deema tanpa melihat kearah Ratu.  "Aku sudah bayaran kemarin, dan aku bilang sejujur-jujurnya sama pihak tata usaha kemarin, kalau aku orang gak punya." "Lo bilang sendiri?" Ratu mengangguk. "Kata Bapak tata usahanya, bulan depan aku gak perlu bayaran lagi. Karena ini sifatnya iyuran, bukan bayaran wajib." Ada sedikit kelegaan mendengar hal seperti itu. "Serius?" Ratu mengangguk sambil tersenyum. "Walaupun aku dimarahin karena enggak bilang dari awal. Tapi akhirnya aku dibebasin buat gak bayar sekolah beberapa bulan ke depan." Deema ingin memeluk adiknya, tapi ia sangat gengsi. Deema pun memilih untuk mengusap lengan bagian atas adiknya. "Sabar ya, Gue bakal berjuang buat hidup kita." Ratu mengangguk dengan antusias. "Terimakasih, Kak ...." Deema pun mengangguk sambil tersenyum. "Terimakasih juga sudah bertahan ...." Deema kembali mengalihkan pandangannya. Air matanya jatuh begitu saja. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata Ratu. Ia ingin menunjukkan kepada Ratu bahwa ia kuat, bahwa ia baik-baik saja.  Deema pun membuka dompetnya, mengambil beberapa uang pecahan 10 ribu untuk ia berikan kepada Ratu. Agar Ratu bisa memegang uang, dan meringankan beban pikirannya.  "Ini buat jajan, jangan dihabisin. Kalau mau pulang, naik angkutan umum aja, jangan jalan, capek. Kalau uangnya habis, minta lagi ke Gue. Walaupun Gue gak ngasih Lo uang yang gede." Ratu terdiam menerima uang dari Deema. "K--kak ...." "Buat jajan. Lo juga pasti mau jajan kaya orang lainkan?" Ratu mengangguk dengan lemah.  "Kalau mau jajan, jajan aja. Jangan nahan diri Lo."  "Terimakasih, Kak ...." Ratu menyimpan uang pemberian Deema di saku seragamnya. Ia kembali melanjutkan makannya yang tertunda tadi.  Deema melihat jam dinding yang sangat besar di tembok sekolah ini. Jam menunjukkan pukul 2 siang. Pukul 3 nanti, Aiden akan menjemputnya.  Deema sudah berencana dari sini ia akan kembali pulang dan menunggu ditaman agar Aiden bisa menjemputnya.  "Kakak mau berangkat?"  Deema mengangguk. "Masih ada kerjaan di toko. Gue berangkat dulu ya. Lo habisin semua makanannya, minum yang banyak. Pulang sekolah naik angkutan umum ya, jangan jalan. Gue pergi, Ratu ...." Ratu mengangguk sambil tersenyum dan melihat kakaknya pergi dari area sekolahnya.  Sekarang jantung Deema berdebar karena waktunya tak lama lagi ia akan bertemu dengan Aiden dan pergi menuju rumahnya. Deema sungguh nervous. Ia sudah memakai baju pemberian dari Aiden.  Memakai dress simple yang Aiden berikan kemarin, serta ia padukan dengan sweater Cardigan yang ia miliki.  Deema membuka ponselnya, ia belum membuka ponselnya itu sejak pagi. Menurutnya untuk apa ia membuka ponsel jika tidak ada notif apa-apa.  Deema harus kembali berjalan di jalanan yang panjang ini. Ia sudah bisa menikmati setiap langkahnya yang berjalan diatas aspal. Ia sudah terbiasa, bahkan sudah tak terasa ketika ia terus berjalan seperti ini.  Deema membuka ponselnya dan mencoba untuk memotret dirinya sendiri di sini. Sambil tersenyum, akhirnya Deema bisa memiliki fotonya sendiri.  .... "Aiden? Lagi apa?" Tanya Yara yang berjalan ke arah kamar Aiden.  Aiden bisa mendengar suara Yara, padahal ia sedang berada di ruang olahraga. "Ada apa, Bund? Aku di sini ..." Kata Aiden. Aiden pun mendengar suara orang yang berjalan mendekat. Yara datang sambil tersenyum. "Lagi olahraga?" Tanya Yara yang melihat Aiden sedang berada diatas treadmill.  "Kapan mau jemput Deema? Bunda gak sabar ..." Katanya dengan antusias.  "Bunda ... Nanti bentaran. Lagian kok Bunda yang antusias?" "Bunda seneng, akhirnya kamu bawa cewek ke rumah ... Kalau sama yang ini Bunda setuju, kalau yang kemarin Bunda gak setuju." Aiden tersenyum ia pun mematikan treadmill-nya, dan mengusap keringat yang ada di wajah dan kepalanya. "Bunda ... Aiden enggak pacaran ... Dia murid Aiden." "Oh ya? Yauda enggak apa-apa ... Kalau belum pacaran. Cepet-cepet pacaran ya. Hahaha ...." Aiden ikut tertawa bersama Yara. "Bunda tau, kamu nyaman sama Deema-kan? Bunda enggak biasanya ngeliat kamu semangat akhir-akhir ini ... Bunda juga jadi ikutan semangat pas liat anaknya kemarin." "Bunda suka?" Tanya Aiden.  Yara mengangguk. "Suka dong. Bunda pengen cepet-cepet punya cucu." Aiden menepuk jidatnya sendiri. "Bunda ...." "Hehehe ... Iya, sayang. Cepetan kamu mandi, jemput pacar kamu jangan lupa ya. Bunda mau lanjutin bikin cookies lagi." Yara pun keluar dari ruangan olahraga, dan berjalan menuruni tangga untuk bisa sampai di dapur.  Aiden tersenyum melihat bundanya yang sangat ceria itu. Aiden menyimpan handuknya dan meminum air, lalu membuka ponselnya.  Tidak ada notif apapun. Iseng-iseng, ia membuka galeri di ponselnya, Aiden terkejut karena ada foto selfie dari Deema yang sedang tersenyum. Tanpa sadar Aiden ikut tersenyum. Tapi, mengapa ada foto Deema di sini? Aiden keluar dari galeri dan melihat w******p serta SMS-nya, tidak ada pesan apapun dari Deema. Lalu, dari mana datangnya foto ini. "Email ..." Gumam Aiden sambil tersenyum. Ia teringat akan email cadangannya yang ia simpan di ponsel lamanya itu. Dan emailnya itu juga masih aktif di dalam ponselnya ini, otomatis sepertinya semua gambar yang ada di dalam ponsel Deema akan masuk kedalam ponsel Aiden.  Aiden jadi ingin cepat-cepat menjemput Deema, dan mengajaknya ke sini. Agar ia lebih yakin dengan semua perasaan yang ia punya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN