20. Khawatir

1565 Kata
"Baik, Pak ... Terimakasih atas kunjungan dan partisipasinya." Aiden mengangguk sambil tersenyum, tak lupa ia berjabat tangan dengan laki-laki berumur di hadapannya. "Terimakasih kembali, Pak. Insyaallah saya kembali lagi ke sini Minggu depan. Saya pamit ...." Aiden diantarkan menuju mobil oleh laki-laki tua itu. "Hati-hati, Pak. Sampai jumpa." Aiden membunyikan klakson mobilnya, tanda ia pamit undur diri. Saat ini ia tengah berada di luar kota, mengunjungi panti asuhan yang akan ia sponsori semua pembiayaannya. Tak hanya seorang guru, Aiden pun pembisnis muda. Mengelola anak perusahaan yang didirikan oleh ayahnya.  Perusahaan yang ia kelola merupakan bisnis yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata. Dan Aiden memiliki rencana untuk membangun tempat pariwisata di dekat panti asuhan itu, dan untuk mendekati penduduk di sekitar, Aiden lebih memilih untuk memberikan donasi kepada panti asuhan yang ada di daerah tempat ia akan mendirikan sumber uang.  Sejak pagi, ia belum membuka ponselnya. Ia fokus dengan mengendarai mobilnya karena perjalanan yang jauh dan jalanan yang cukup menguji adrenalin. Aiden menyalakan ponselnya, ada beberapa notifikasi pesan yang muncul. Salah satu diantaranya, adalah pesan dari Deema.  Ia baru teringat jika sedari pagi, ia tidak memberi kabar kepada Deema. Aiden melihat jam menunjukkan pukul 5 sore, dan sepertinya Deema masih berada di toko.  "Dari sini biasanya satu jam sampai sana. Semoga sempet ngejar waktu." Aiden tidak membalas pesan Deema, lebih baik ia buru-buru mengendarai mobilnya untuk bisa sampai menuju toko The K agar bisa menjemput Deema dan mengantarkannya pulang. Untuk menebus kesalahannya hari ini.  "Semoga dia gak marah ..." gumamnya.  Sungguh, Aiden tidak ingat jika ia belum memberi kabar kepada Deema. Seingatnya ia sudah memberi kabar, tapi ternyata itu kemarin. Entah, mengingat akan hal ini, Aiden menjadi memiliki rasa sangat bersalah kepada Deema.  Dering telpon pun menyala di ponselnya. Nama Kaila muncul di sana. Untuk apa Kaila menelpon diirnya? Ia pun menerima panggilan itu.  "Iya, Kak ...." "Kamu dimana? Dari pagi gak ada di rumah. Aku lagi butuh bantuan, kamu malah pergi." "Bantuan apa?" Tanya Aiden.  "Sore ini aku ngisi seminar lagi jam lima sore. Kamu yang biasanya nyiapin seminar ... Kalau mau pergi itu coba bilang orang rumah. Aku baru tau kabar kamu dari sekretaris ayah, kalau katanya kamu keluar kota." "Hmm. Ngomong gak pake titik koma. Ini aku mau pulang." "Udah telat. Aku udah di bantu ayah." "Hmm ...." "Oh iya, Deema gak tau kalau kamu pergi kemana. Hati-hati berantem sama pacarnya. Udah ya, hati-hati di jalan. Byee ...." Belum sempat Aiden menjawab, Kaila sudah mematikan teleponnya. "Kakak yang aneh," kata Aiden sambil mengangkat bahunya.  Tak terasa, ia sudah berjalan memasuki jalan TOL. Semoga dengan cepat, ia bisa sampai dan menjemput Deema dengan tepat waktu.  Ada sedikit perasaan tidak enak di hatinya, ia takut jika Deema menolak jika ia menjemputnya. Atau bahkan, Aiden sedikit tidak percaya diri jika Deema tidak ingin bertemu dengannya lagi karena masalah hari ini.  "Semoga dia enggak marah." Entahlah, Aiden sudah bisa merasakan perasaan ini. Perasaan yang tak seharusnya ia rasakan. Merasa tidak percaya diri di hadapan perempuan jika ia memiliki rasa salah. Padahal, sebelumnya ia baik-baik saja, bahkan terkesan sangat cuek dengan makhluk yang bernama perempuan.  Aiden juga bisa merasakan jika hatinya sedikit berdebar jika dekat dengan Deema. Bukan hanya itu saja, hatinya pun akan berdetak lebih kencang jika melihat senyum atau tawa Deema yang sekarang, sangat candu untuknya.  Aiden sekarang tidak perlu menerka-nerka perasaannya lagi. Sekarang, ia berada di fase atau tahap pertama, untuk kembali membuka hatinya. Mencoba, memberikan rasa cintanya untuk Deema. Anak muridnya, dan seseorang yang baru saja ia temui tepat seminggu yang lalu.  "Semoga saja, Deema mau menerima ...." Aiden tersenyum kecil, sambil membayangkan wajah Deema yang sedang tersenyum kearahnya. Ia tidak pernah bermain-main dengan yang namanya cinta. Jika hatinya sudah merasa nyaman dengan orang itu, ia tidak akan pernah berpaling ataupun mengecewakan.  Aiden akan berusaha semaksimal mungkin, untuk membantu Deema menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Ia pun sudah bersedia menjadi pundak untuk Deema. Semoga Deema bisa menerima dirinya dengan baik.  .... Butuh waktu 30 menit untuk Aiden agar bisa sampai di kotanya ini. Sebelum ia memilih pergi ke toko The K, tempat dimana Deema berada, ia lebih baik pergi ke toko seragam terbesar yang akan ia lewati sebentar lagi.  Ia ingin membelikan Deema satu set seragam baru dengan rok panjang, serta tas dan keperluan Deema lainnya. Ia pun turun dari mobil, dan langsung masuk kedalam toko.  "Mbak, saya mau satu set baju SMA rok panjang ya. Ukuran bajunya paling kecil, dan untuk roknya ukuran umum siswa SMA saja." Penjaga toko itu pun mengangguk. "Baik, sebentar saya carikan." Sambil menunggu, di toko ini ternyata juga menjual lengkap keperluan sekolah. Aiden bisa membelikan tas dan sepatu Deema di sini.  Satu perhatiannya menuju tas berukuran cukup kecil berwarna biru muda, sangat lucu sepertinya jika di pakai oleh Deema. Aiden pun mengambil tas itu, dan mengambil tas berwarna hitam yang ada di sebelahnya. Ini semua untuk Deema.  "Sepatu perempuan dewasa hanya seperti ini ya?" Tanya Aiden yang sedikit kurang suka dengan model sepatu yang ia lihat.  "Iya, Pak. Stok sepatu baru datang esok hari." Aiden mengangguk. "Tolong di bungkus aja semuanya."  Selesai membayar semua keperluan untuk Deema. Ia pun kembali ke mobilnya dan memulai kembali perjalanan menuju toko The K. Aiden bisa mendengar suara adzan Maghrib berkumandang. "Alhamdulillah ..." Ia memutuskan untuk shalat Maghrib jika sudah sampai di toko.  Perjalanan tak lama lagi, ia akan masuk ke sebuah pengkolan yang akan membawanya menuju toko kue milik Kaila. Namun, pengelihatan Aiden teralihkan oleh seorang perempuan yang sepertinya tengah tertidur di halte bus. Dan Aiden kenal dengan perempuan itu.  Tanpa basa-basi, dengan perasaan yang sangat tidak enak, Aiden menghentikan mobilnya, dan langsung turun menghampiri perempuan yang sepertinya tengah tertidur ini.  "Deema!" Panggil Aiden. Bagaimana bisa Deema tertidur di tempat seperti ini? Dan apakah ia tidak tahu waktu jika ini adalah malam hari? Aiden menghampiri Deema, tapi Deema tidak menyahut panggilannya. "Deema?" Aiden berjongkok di hadapan Deema. Ia tak salah, ini benar-benar Deema.  Lama, Deema tidak bangun, akhirnya Aiden mengguncangkan pundak Deema. Bukan matanya yang terbuka, melainkan tubuh Deema jatuh tepat di pelukannya.  "Deema! Kamu kenapa?" Aiden sangat terkejut menemui Deema seperti ini.  Dengan cepat, ia membawa Deema menuju mobilnya dengan cara membopong tubuh Deema. Aiden bisa merasakan jika tubuh Deema sangatlah ringan sekali.  Ia tidak bisa lagi bersuara. Aiden lebih fokus dengan Deema kali ini. Selesai memasukan Deema ke dalam mobilnya, ia pun mengambil barang bawaan Deema yang tertinggal di halte bus tadi.  "Bertahan, Deem ..." Kata Aiden yang wajahnya sudah sangat khawatir.  Tidak ada tujuan lain kali ini, selain rumah sakit. Ia mengendarai mobilnya secepat yang ia bisa, namun masih memperhatikan keamanan agar semuanya baik-baik saja.  "Deema?" Dengan perasaan yang masih khawatir, Aiden terus memanggil nama Deema. Berharap Deema bisa merespon dan sadar. Aiden baru saja tahu, jika yang ia lihat tadi adalah Deema yang pingsan, bukan Deema tertidur.  Aiden tidak bisa membayangkan jika bukan dirinya yang menemui Deema. Dan Aiden tidak tahu bagaimana khawatirnya nanti jika Deema menghilang karena di rampok oleh orang lain.  Untung saja, Aiden masih bisa menemui Deema hari ini, walaupun dengan keadaan seperti ini. Setidaknya, ialah orang pertama yang menemukan Deema, dan yang akan selalu ada untuk Deema.  "Deema? Bangun ...."  Aiden bisa melihat jika wajah Deema sangatlah pucat. Kulit yang ada di wajah dan tangannya pun ikut pucat. Aiden tidak tahu apa penyebab Deema seperti ini.  "Mohon bertahan ...." Aiden membelokan mobilnya untuk bisa sampai di ruang UGD rumah sakit daerah uang ada di sini.  "Suster! Suster tolong bantu saya!" Dengan terburu-buru, Aiden keluar dari mobil sambil memanggil suster yang tengah berjaga.  Dengan sigap, suster itu pun mendorong brankar rumah sakit untuk sampai tepat di samping mobil Deema.  Satu orang suster itu, di bantu oleh dua orang laki-laki yang sepertinya juga seorang perawat. Aiden melihat jika kedua laki-laki itu akan memindahkan tubuh Deema, dengan cepat Aiden menahannya.  "Biar saya saja." Aiden mengambil alih posisi kedua perawat tadi. Ia pun mengangkat tubuh Deema dan ia pindahkan keatas brankar.  "Bapak tolong tunggu di ruang tunggu. Pasien akan segera di tangani."  Aiden tidak mau banyak berbicara. Ia pun mengangguk. Ia lebih baik mengikuti prosedur yang ada, karena jika ia melawan, proses pengobatan Deema pasti terhambat.  Aiden duduk dengan gusar di kursi ruang tunggu. Ia mengambil ponselnya yang ada di saku celana. Ia harus mengabari Kaila atau ibunya, jika ia akan pulang telat hari ini karena kejadian ini.  Panggilan pertama, Yara tidak menjawab. Aiden pun lebih memilih untuk menelpon Kaila. Tak menunggu lama, Kaila pun mengangkat telponnya.  "Kak ..." Panggil Aiden pertama kali.  "Aku baru beres shalat, ada apa? Kamu dimana? Kok belum pulang?" "Aku lagi di rumah sakit." "Hah! Di rumah sakit? Kamu kenapa?"  Aiden bisa mendengar kekhawatiran Kaila di sana. "Bukan, Kak. Aku tadi ketemu Deema pingsan di pinggir jalan." "Hah!" Suara Kaila kembali lebih tinggi.  Aiden menjauhkan ponselnya dari telinganya. Karena suara Kaila itu bisa merusak telinganya. "Terus gimana? Deema enggak apa-apa? Tadi aku dari toko dia baik-baik aja kok ...." "Aku baru sampai di UGD. Belum tau hasilnya." "Rumah sakit mana?" "RSUD Jendral." "Yasudah, sebentar aku ke sana. Kamu sudah shalat." Hampir saja Aiden lupa jika dirinya belum shalat Maghrib. "Belum." "Kamu pergi ke mushola dulu. Jangan di lewat shalatnya. Nanti aku ke sana." Aiden pun mematikan ponselnya. Ia bisa melihat kaki-kaki dokter dan suster di bawah tirai tempat brankar Deema berada. Mereka sepertinya sedang mengobati Deema yang tidak sadarkan diri itu.  Sebelum pergi ke mushola, ia berbicara kepada salah satu penjaga di sana, jika dirinya akan pergi sembahyang terlebih dahulu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN