21. Aiden serius

1493 Kata
Aiden memakai kembali sepatunya. Ia baru saja selesai bersembahyang. Tak lupa, ia pun mendoakan Deema yang belum tersadar.  Sebelum kembali menuju UGD, Aiden menyempatkan diri untuk menelpon Bu Kiara, wali kelas Deema. Siapa tahu ia bisa mendapatkan nomer telpon untuk menghubungi kedua orang tua Deema.  Ia sudah melihat isi ponsel Deema, tidak ada nomer lain selain nomernya dan Kaila. Jika ia tahu dengan pasti dimana rumah Deema berada, Aiden pasti sudah menjemput kedua orang tua Deema. Namun selama ini, Aiden hanya menjemput dan mengantar Deema di taman.  "Assalamualaikum, Bu ...." "Waalaikumsalam, Pak Aiden. Ada apa malam-malam seperti ini menelpon?" "Mohon maaf Ibu sebelumnya, saya sudah mengganggu waktunya malam-malam. Begini Bu, saya boleh minta kontak orang tua Deema? Anak murid ibu."  "Deema, Pak?" "Iya, Bu. Deema." Sambil bertelpon, Aiden berjalan terburu-buru untuk sampai menuju UGD. Siapa tahu Deema sudah sadar dan mencari dirinya. Karena jarak dari mushola ke UGD cukup jauh.  "Sebentar, saya cari dulu. Sebelumnya ... Ada apa ya, Pak? Apa Deema berbuat ulah?" "Em ... Tidak, Bu. Saya kemarin minta tolong dengan Deema, tapi saya tidak tahu kontaknya, makanya saya tanya ibu. Barangkali ibu punya kontak orang tua Deema." "Oh ... Seperti itu. Deema ... Deema ... Sebentar ...." Aiden bisa mendengar jika Kiara seperti sedang membuka kertas. "Deema tidak ada nomer telpon yang tertera, Pak. Tapi, di sini ada alamatnya. Bapak mau alamatnya?" Tanya Kiara.  "Boleh, Bu. Bisa kirim lewat w******p saja?" "Bisa, Pak, bisa. Saya akan kirimkan." "Baik, Bu. Terimakasih banyak. Maaf sudah mengganggu waktunya malam-malam. Assalamualaikum ...." Setelah mendapatkan jawaban salam, Aiden pun mematikan ponselnya. Tak lama, ia pun tiba di UGD dokter yang memeriksa Deema tadi, ternyata sedang menunggunya.  "Wali pasien?" Tanyanya.  Aiden pun mengangguk. "Iya, Dok." "Anda suaminya?" Dengan refleks Aiden menggaruk kepalanya yang tak gatal.  "A--i ...." Belum sempat Aiden menjawab, dokter itu sudah mengiyakan. "Istri Bapak mengalami dehidrasi yang berlebihan. Asupan gizi yang ada di tubuhnya pun sangat kurang. Sehingga bisa di bilang jika istri Bapak kekurangan gizi. Darahnya pun sangat rendah." Untuk kesekian kalinya, orang mengira jika Deema dan Aiden adalah suami istri. Ada sedikit rasa geli dan malu di sana, jika mendengar orang memanggilnya seperti itu.  Aiden terkejut mendengar masalah yang ada di dalam tubuh Deema. "Tapi jangan khawatir, Pak. Saya sudah berikan infusan dan vitamin untuk memperbaiki gizi yang ada di tubuhnya."  "Kapan akan sadar, Dok?" Tanya Aiden.  "Sebentar lagi akan sadar. Tidak perlu risau." "Tidak perlu di rawat inap?"  Dokter itu menggeleng. "Tidak perlu. Cukup habiskan infus saja. Nanti saya kasih resep obat. Dan tolong pola makannya diatur ya, Pak. Perempuan biasanya memang seperti itu." Dokter perempuan itu tersenyum dan pamit undur diri. Aiden pun menghampiri Deema yang masih berbaring dan menutup matanya.  Aiden tersenyum melihat Deema. Mengapa Deema bisa membuat dirinya sangat khawatir seperti ini. Ia duduk di samping brankar Deema, perlahan tapi pasti, ia mengusap tangan Deema yang bebas dari jarum infus.  Tangan Deema sangat lemah dan dingin, tidak hanya satu jarum yang masuk ke dalam tangannya, tapi di pertengahan lengan kanannya pun ada jarum infus yang menyalurkan vitamin.  "Cepet bangun ya. Kamu harus hidup sehat," kata Aiden. Ia masih menggenggam tangan Deema, untuk pertama kalinya.  "Maaf saya lancang, tapi saya tidak bisa menahannya ...." Sambil mengusap tangan Deema, Aiden membuka ponselnya. Membaca chat w******p yang dikirimkan oleh Kiara, tentang alamat rumah Deema. Tadinya ia akan menjemput orang tua Deema jika Deema di rawat inap. Tapi, sepertinya ia tidak perlu menjemput orang tua Deema. Biar ia saja yang menjaga Deema di sini seorang diri.  Tapi Aiden tidak menghapus alamat Deema yang dikirim oleh Kiara, ia simpan untuk jaga-jaga mengantar Deema malam ini.  "Hh--ngg ..." Aiden mendengar suara Deema, ia pun menyimpan ponselnya.  "Deema?" Panggil Aiden.  Aiden merasakan pergerakan tangan Deema di dalam genggamannya. Aiden pun memperhatikan wajah cantik yang tadi sedang tertidur damai, kini matanya perlahan membuka. Menyesuaikan cahaya yang baru saja ia lihat.  Dengan sigap, Aiden berdiri dan tersenyum di hadapan wajah Deema. "M--Maas?" "Iya, masih sakit?" Tanya Aiden.  "A--aku di rumah sakit?" Alih-alih menjawab, ia malah bertanya.  Aiden mengangguk. "Iya, kenapa kamu pingsan di pinggir jalan?" "Hm? Aku?" Tanya Deema.  "Hah? Ini apa? Kok banyak banget jarumnya ..." Kata Deema sambil meringis.  "Tahan ya, kamu pingsan tadi di pinggir jalan. Untung saja saya yang lihat kamu. Kalau bukan, kamu sudah di bawa pergi orang." Deema yang hendak bangun, di tahan oleh Aiden. "Jangan dulu bangun. Istirahat saja ...." Karena keadaannya yang masih sangat lelah. Ia pun lebih memilih berbaring. "Aku tadi gak tau apa-apa. Seinget aku, aku lagi nunggu angkot di halte." "Iya, saya liat kamu tidur sambil bersandar di sana." "Ya ampun ... Kok bisa gitu sih ...." Satu hal yang terlintas di dalam pikrian Deema, ketika ia terbangun dari pingsannya kali ini. Yaitu bagaimana caranya ia membayar biaya rumah sakit saat ini? Ingin rasanya Deema mengutuk dirinya sendiri karena pingsan tiba-tiba.  "Tunggu infusnya habis ya, kita pulang nanti ...." Deema bisa merasakan jika Aiden berbicara sangat lembut sekali kepadanya. Dan ... Dan ... Apa ini? Sesuatu yang hangat, menggenggam tangannya.  Ia pun bisa melihat, tangan kecilnya sedang di genggam oleh tangan besar Aiden. "Saya izin pegang," katanya dengan polos, membuat Deema ingin tertawa namun tidak memiliki tenaga, ia pun tersenyum dan mengangguk.  "Terimakasih ..." Tak lupa ia pun mengucapkan terimakasih, karena Aiden sudah menolongnya. Jika bukan Aiden yang menemukannya, hal terburuk yang terjadi, Deema pasti sudah di bawa lari oleh orang.  Aiden mengangguk. "Sepulang dari sini, jaga pola makannya yang teratur. Makan tiga kali sehari, ya ... Jangan makan sembarangan. Jangan makan telat. Saya bakal pantau kamu." "Aku makan terus kok ...." "Oh ya? Gizi kamu kurang kata dokter. Kamu dehidrasi, dan darah kamu sangat rendah. Minum yang teratur dan banyak ya ...." Deema pun mengangguk. "Kamu habis dari mana?" Tanya Deema tiba-tiba.  "Saya habis ke luar kota." "Hm ...." "Maaf tidak memberi kabar. Seinget saya, saya sudah memberi kamu kabar, tapi ternyata belum ya?"  "Emm ... Enggak apa-apa, kok ... Lagian aku bukan siapa-siapa kamu."  "Kata siapa kalau kamu bukan siapa-siapa saya?" 'Jangan ge'er ... Jangan ge'er .....' Deema yang tidak tahu harus menjawab apa, ia pun mengangkat alisnya.  "Kalau saya mau jadikan kamu seseorang spesial di dalam hidup saya gimana?" 'An-jir ... Kenapa Gue deg-degan kaya gini? Awas ae si Bambang PHP udah bikin Gue ge'er' "Emm ... Gimana maksudnya?"  "Tunggu nanti, sampai waktu yang tepat. Saya tidak main-main dengan kamu." Deema terdiam dengan jawaban dari Aiden. Ia sangat terkejut, mengapa Aiden bisa berbicara seserius ini dengannya? Padahal mereka baru saja bertemu satu Minggu yang lalu.  Ada satu pesan yang masuk kedalam ponselnya. "Kak Kaila minta maaf, gak bisa liat kamu. Ban mobilnya bocor." "Kak Kaila tau?" Aiden mengangguk. "Saya telpon dia tadi." "Emm ... Iya, Mas. Tidak apa-apa. Bilang aja, ini bukan masalah yang serius. Aku baik-baik aja." "Sudah makan?" Tanya Aiden.  Deema yang teringat tadi ia makan jam 10 pagi, ia pun mengangguk. "Tadi, jam sepuluh pagi." "Besok, kalau kamu jarang makan kaya gini. Saya teror kamu ya." "Kok gitu, Mas?" "Iya, kamu harus makan teratur mulai sekarang." Deema sekarang tahu sisi lain dari Aiden yang sangat perhatian dan bawel. Orang yang baru mengenal Aiden akan mengira jika Aiden memiliki sikap yang dingin, cuek dan sombong. Ternya setelah Deema kenali, justru Aiden berbanding terbalik dengan dugaan-dugaan orang.  "Saya sudah pesan bubur ayam, kamu makan sekarang ya?" Deema menggeleng. "Nanti saja, Mas. Saya takut keluar lagi kalau makan sekarang." "Satu suap saja ..." Bujuk Aiden.  Deema menggeleng. "Aku gak mau, Mas ...." "Makan satu suap, atau ...." "Iya, iya ... Aku makan ...." "Nah gitu, anak pinter." Dengan telaten, Aiden pun menyuapkan Deema bubur yang sudah diantarkan oleh suster tadi.  Sambil menahan sakit yang ada di kedua tangannya, Deema menerima suapan-suapan yang di berikan oleh Aiden. Deema merasa hati dan dirinya sangat nyaman berada di dekat Aiden.  "Katanya satu suap aja ...." "Emm ... Sepuluh suap, saya kasih hadiah." Deema mengangkat alisnya. "Bener, Mas?"  Aiden mengangguk. "Hadiah apa?" "Hadiah apapun yang kamu mau." "Bener ya ...." "Iya ... Makan dulu." .... Deema berada di rumah sakit sampai pukul 9 malam. Aiden sudah menyelesaikan administrasi, dan menebus obat, dan sekarang Aiden akan mengantarkan Deema pulang.  "Mas! Aku bocor!" Katanya terkejut. Ia melihat celananya di pantulan kaca, sudah ternodai oleh darah, "Hah? Bocor gimana?" Tanya Aiden yang tidak tahu apa-apa. Ia terkejut karena Deema memanggil sambil sedikit berteriak.  "Itu loh, Mas ..." Katanya sambil melihat pantulan dirinya di cermin.  Aiden bisa melihat celana abu-abu Deema tercetak jelas darah di sana. "Kamu dapet bulanan?" Tanya Aiden.  Dengan wajah yang tak enak, Deema pun mengangguk. Aiden melihat di sekelilingnya, tidak ada siapa-siapa di sini, ia pun merangkul bahu Deema. "Ayo masuk dulu mobil, kita langsung pulang." "T--tapi nanti mobil kamu?" "Tak masalah ...." Deema dan Aiden berjalan terburu-buru untuk masuk kedalam mobil. "Sebentar ..." Aiden mengambil jaketnya yang ada di jok belakang, dan ia lebarkan di atas jok mobilnya.  "Gini bakal tembus gak?" Tanya Aiden dengan sangat polos.  Deema sedikit tertawa sambil meringis. "Ini jaket kamu gak apa-apa?"  "Iya, gak apa-apa ... Ayo cepet naik."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN