Sesampainya di depan ruangannya, Aiden pun masuk ke sana. Tapi sebelum itu, ia membalikan badan, dan memperhatikan Zaffran dari atas hingga bawah.
''Kenapa, Bos? Gitu banget ngeliatnya, '' kata Zaffran yang sedikit takut karena Aiden menatapnya seperti itu.
''Mau ikut masuk?'' tanya Aiden, yang langsung di beri gelengan oleh Zaffran.
''Enggak, Bos ... Silahkan masuk ....''
Aiden mengangguk dan mempersilahkan Zaffran untuk pergi kembali keruangan nya yang berada tak jauh dari sini. Setelah memastikan Zaffran masuk ke dalam ruangannya, Aiden pun masuk ke dalam ruangannya.
Satu pandangan yang Aiden lihat ketika masuk, matanya hanya bisa melihat ke arah wajah Deema yang tertidur pulas dengan sangat lucu.
Aiden rasa Deema menunggu dirinya terlalu lama. Sebelum Aiden menghampiri Deema, ia terlebih dahulu mengatur suhu AC agar tidak terlalu dingin. Apalagi di tambah, di luar hujan sangat deras, suhu hujan pun berpengaruh terhadap suhu ruangan saat ini.
Aiden membuka jasnya, lalu ia simpan di atas tubuh Deema yang sedang tertidur menghadap ke arah kiri.
''Kenapa harus tidur di sini?'' guman Aiden yang bertanya sendiri.
Selesai menyelimuti Deema, ia melihat meja tamunya kini terhias oleh piring makanan. Sebagian tempat makan itu sudah dibereskan, dan sebagian lagi makanan itu masih utuh dan tersisa. Aiden pun mengira jika Deema terlalu lelah karena terus makan.
Aiden tersenyum melihat wajah Deema yang tertidur dengan nyaman. Saat ini, ingin rasanya Aiden menggendong Deema dan membawanya ke dalam kamarnya. Tapi ... Merekakan belum menikah. Berpikiran tentang hal itu, Aiden langsung mengusap wajahnya dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
''Permisi, Pak ...'' seorang office girl yang tadi melayani Deema pun datang.
''Nona tidur, Pak?'' tanyanya sambil berbisik.
Aiden pun mengangguk sambil tersenyum. ''Saya sudah siapkan makanan tadi, pesanan dari Pak Zaffran. Sepertinya Nona tidak sanggup menghabiskannya, Pak.''
''Bereskan saja, Bu. Bawa pulang kalau memang makanannya masih bagus.''
Ibu itupun mengangguk. Ia merapihkan meja tamu Aiden dan membersihkannya sampai seperti semula. Tak butuh waktu lama, meja itu pun sudah terlihat bersih.
''Pak, sudah saya bersihkan. Saya permisi mau kembali bekerja ...'' ucapnya kepada Aiden yang tengah duduk di kursi kebesarannya.
''Iya, terimakasih, Bu.''
Aiden masih bisa menghargai semua karyawannya. Ia tidak pernah menindas, atau memanfaatkan karyawannya untuk bekerja lebih keras. Ia hanya ingin semua karyawannya bekerja dengan sungguh-sungguh, sopan, teratur dan disiplin. Hanya itu saja.
Mungkin bisa di bilang, hanya orang-orang yang beruntung dapat bekerja dengan Aiden. Orang-orang saja sangat beruntung, bisa berintegrasi dengan Aiden. Apalagi Deema ... Perempuan yang di sayangi Aiden, ia pasti sangat-sangat beruntung.
Jam masih menunjukkan pukul 4 sore, masih banyak sekali waktu untuk Aiden mengerjakan pekerjaannya sampai malam pukul 7 nanti.
''Hmm ... Mas udah selesai?'' tanya Deema yang saat ini sudah duduk dengan kedua matanya yang setengah tertutup.
''Iya. Kalau masih ngantuk, tidur lagi aja,'' ucap Aiden yang kini menghampiri Deema.
Deema pun menggeleng. ''Aku cuma ketiduran aja kok tadi ... Aku kira kamu belum selesai ....''
''Yakin cuma ketiduran? Itu rambut sampe kusut gitu, ilernya juga di lap dulu.''
Refleks Deema langsung memegang bibir bagian sampingnya. Ternyata tidak ada apa-apa di sana. ''Aish ... Aku kira beneran ....''
''Hahaha ... Ketiduran tapi satu jam?'' tanya Aiden yang tidak bisa berhenti menggoda Deema.
''Enggak, kok ... Beneran cuma ketiduran aja.''
Deema baru merasakan jika ada sesuatu yang berat di sisi tubuhnya, ternyata ini adalah jas mahalnya Aiden. ''Mas, ini jasnya kusut loh ....''
''Pakai saja. Di sini dingin, kamu pakai baju lengan pendek seperti itu.''
''Enggak, M--''
''Pakai, Deema ....''
Deema memajukan bibirnya, dan mau tak mau ia pun harus memakai jas Aiden, yang terlihat sangat mahal itu.
''Mau temani saya menandatangi berkas?'' tanya Aiden.
Deema yang nyawanya belum terkumpul semua itupun hanya melihat ke arah Aiden, lalu berucap. ''Memangnya bos kaya kamu harus kerja juga ya? Bukannya cuma pejabat yang tanda tangan berkas?''
Aiden menahan tawanya karena mendengar pertanyaan Deema yang sangat polos. ''Asal kamu tau, bos itu yang banyak bekerja. Kalau bos gak kerja bangkrut dong perusahaanya. Dan ... Semua orang bisa tanda tangan, bukan hanya pejabat saja.''
Deema pun mengangguk-anggukan kepalanya. ''Aahh ... Seperti itu. Yaudah, aku temenin kamu tanda tangan. Biar belajar jadi nyonya. Hahaha ...''
Aiden tersenyum, dan mengusap kepala Deema dengan lembut. ''Belajar yang pinter, biar bisa dapat nilai bagus.''
Aiden mempersilahkan Deema untuk duduk di kursi kebesarannya itu. ''Ha? Kamu aja duduk di situ,'' kata Deema yang kebingungan.
''Kamu yang duduk,'' jawab Aiden sambil membantu Deema untuk duduk di sana.
Deema pun duduk di kursi yang biasa Aiden duduki. Kursi mewah memang feel-nya terasa berbeda. Deema bisa berputar-putar di kursi ini dengan senang. ''Ah ... Aku mau jadi bos aja, Mas ....''
''Kalau mau jadi bos, ya berusaha dulu, sayang ....''
Aiden memindahkan berkasnya agar lebih mendekat ke arahnya. Saat ini ia duduk di sebuah kursi yang menghadap ke mejanya. Jadi posisi ini seperti Deema yang menjadi bosnya, dan Aiden seorang karyawan yang tengah mengerjakan sesuatu di hadapan bosnya.
Aiden sedari tadi tersenyum melihat kelakuan lucu Deema. Deema terus membenarkan posisi jasnya yang ia pakai, karena jas Aiden itu sangatlah kebesaran di badannya yang kecil. Walaupun begitu, Deema nyaman mengenakan jas ini, karena bahannya yang lembut dan ... Juga hangat.
''Mas? Ngapain ngeliatin aku?'' tanya Deema sambil mengangkat alisnya, sudah seperti seorang bu bos toko mas yang sangat galak. ''Lanjut kerja,'' ucapnya lagi.
''Baik, Bu bos ...''
''Hahaha ... Udah cocok belum aku jadi bos?''
''Emm ... Jangan deh, jadi ibu dari anak-anak saya saja, kamu cocok.''
Deema menatap geli ke arah Aiden. ''Aish ... Mas udah jago banget gombalnya. Tapi ... Receh banget. Hahaha ....''
Aiden hanya tersenyum membalas ucapan Deema. Saat ini ia mulai fokus melihat laporan-laporan yang ada.
''Emmm ... Mas, aku boleh tanya gak? Tapi kalau gak mau jawah juga gak apa-apa, kok ... Aku cuma penasaran aja.''
Aiden pun melihat ke arah Deema, dan kembali menuliskan sesuatu di atas kertas. ''Kalau gak ada kamu, ini siapa yang mengerjakan?''
''Zaffran. Kalau memang dia bisa handle. Kalau dia gak bisa handle, baru aku yang ambil.''
''Berarti ... Ini semua pilihan dari kerjaan yang gak bisa di handle sama pak Zaffran?''
Aiden menggeleng. ''Ini tidak di pilih. Kalau saya punya waktu luang, semuanya saya yang mengerjakan. Tapi ... Jika saya tidak punya waktu sama sekali baru Zaffran yang ambil alih.''
''Oh ... Seperti itu toh ....''
''Emmm ... Aku masih aneh banget sama kamu,'' kata Deema sambil bergaya dengan bingung dan memutar kursinya dengan lambat. Agar Aiden yang mendengar itu menjadi penasaran.
Seperti biasa, Aiden yang melihat tingkah Deema, hanya tersenyum. ''Kenapa lagi?''
''Aku aneh ... Mas Aiden udah jadi bos, kenapa harus jadi guru? Aku yakin gajinya beratus-ratus kali lipat dari pada gaji guru.''
''Perasaan saya sudah cerita.''
Deema mengangguk membenarkan ucapan Aiden. ''Iya ... Tapi menurut aku, itu gak masuk akal sama sekali.''
''Masuk akal, Deema. Jadi guru olahraga itu sudah jadi cita-cita saya. Saya menjadi guru bukan mencari gaji atau mencari materi. Saya, hanya ingin menggapai cita-cita saya.''
''Yasudah ... Mas jadi guru aja. Ini biar aku yang ambil alih.''
Aiden pun mengangguk. ''Boleh, nanti ya kalau kita sudah sah. Sebagain ini boleh untuk kamu.''
''Mas ... Nyebelin banget sih gombalan dari kamu. Hahaha ....''
Aiden dan Deema pun tertawa. ''Mas mau bikin kopi?''
Aiden mengangguk. ''Boleh, saya belum minum kopi. Di situ mesin kopinya,'' ucapnya menunjuk ke sebuah alat pembuat kopi. Deema sudah bisa membuat kopi di alat seperti itu, karena di tokonya pun ada alat seperti itu, dari Kaila untuk para pegawainya membuat kopi.
''Mau aku buatin?''
''Dengan senang hati,'' ucap Aiden.
Deema pun mengangguk dan berjalan menuju mesin kopi itu berada. ''Mas belum makan ya?''tanya Deema.
''Sudah, dengan para karyawan tadi di ruang rapat.''
''Bener? Gak bohong kan?''
''Enggak, Deema. Saya sudah makan.''
Hanya butuh waktu dua menit, kopi itu pun sudah tersaji di sebuah cangkir yang juga tak kalah mewah. Deema memberikan kopi itu sedikit jauh dari Aiden agar tidak tersenggol dan terkena berkas-berkas yang sedang Aiden kerjakan.
''Ini, kopinya.''
''Terimakasih ....''
''Sama-sama, Mas ganteng ....''
''Suka banget kamu sekarang panggil saya ganteng.''
Deema kembali duduk di hadapan Aiden. ''Emmm ... Aku baru sadar kamu ganteng. Hahaha ....''
Aiden sedikit kesal mendengar itu. Padahal orang lain pun tahu, jika sejak lahir, Aiden memang sudah tampan dan rupawan.
''Selesai ini, mau liat ruangan buat ibu kamu nanti?''
''Ruangan buat ibu? secepat itu, Mas? Ibu juga belum punya baju kantornya loh ....''
''Saya berbicara tidak main-main, Deema. Bilang ke ibumu, tentang pakaian, itu urusan kantor.''
''Ya ampun ... Aku jadi sedikit terharu ....''
''Kamu mau magang di sini?''
Deema menggeleng. ''Enggak. Kalau aku magang di sini, bisa-bisa semua kertas ini aku jadiin adonan kue.''
Aiden tertawa. Ia sudah tahu jika Deema lebih suka dengan dunia makanan dari pada harus bekerja di kantor.
''Yasudah ... Selesai ini kita liat ruangan ibu ya?''
''Emm ... Ibu pasti seneng banget, Mas.''