"Selamat pagi, Kak," sapa Deema kepada Kaila yang tengah melihat adonan kue yang ada di dalam mesin.
"Hai, Deema. Selamat pagi. Alhamdulillah ... Akhirnya sampai juga. Kamu sudah siap kerja?" Tanya Kaila dengan suara lembut andalannya.
Deema mengangguk dengan mantap. "Sudah siap, Kak."
"Ayo, semangat! Orderan kita banyak banget hari ini."
Deema memakai peralatan tempurnya untuk membuat kue. Memakai apron, sarung tangan, masker dan penutup rambut agar semuanya higenis.
Ada dua karyawan lainnya di sini yang Deema kenal dengan nama Mbak Nomi dan Mas Riki. Saat ini, Nomi tengah mengajarkan Deema bagaimana caranya menghias kue ulang tahun. Sambil Nomi mencontohkan, Deema pun langsung praktek dengan kue yang sedang ia tutupi dengan krim berwarna putih ini.
Karyawan laki-laki yang bernama Riki, ia memegang bagian adonan kue bersama Kaila. Pembuatan kue di sini ternyata sudah memakai mesin-mesin canggih yang Kaila miliki.
"Kamu cepat tanggap ya, enggak perlu aku ajarin lagi, tapi kamu udah bisa. Kamu suka buat kue ya?" Tanya Nomi sambil mengobrol.
"Makasih, Kak. Ini juga berkat Kak Nomi yang ngajarin aku. Aku dulu pernah buat kue seperti ini bareng nenek waktu SD, beberapa kali gitu."
"Pantes aja, biasanya kalau orang pertama kali yang bikin kaya gini, pasti dia gak langsung bisa kaya kamu."
Deema hanya tersenyum membalas ucapan Nomi, ia kembali fokus dengan kue yang sedang ia hias saat ini. Setelah meratakan krim yang sudah ia baluri di atas kue. Saat ini, Deema tengah menyusun irisan strawberry, kiwi, anggur, jeruk dan blueberry di atas kue ini dengan cantik.
"Sudah bisa, cantik?" Tanya Kaila sambil menghampiri keduanya yang tengah menghias kue-kue itu.
"Sudah, Kak. Deema cepet tanggap banget anaknya, baru aja di contohin udah langsung bisa," kata Nomi yang kagum dengan Deema.
"Oh ya? Kemarin yang hias cup cake juga dia loh, jadi kamu gak kecapean lagi ya ngehias kue seharian," ucap Kaila sambil tertawa.
"Hahaha ... Iya, Kak. Jadi aku bisa bantuin ngerjain yang lain."
Kaila memperhatikan cara kerja ketiga karyawannya itu. Ia harap usaha yang ia bangun dengan modal sendiri ini, bisa berjalan dengan lancar dan bermanfaat bagi semua orang.
"Cake cuma segini aja ya?" Tanya Kaila sambil melihat 7 cake yang sudah di hias.
"Iya, Kak," jawab Nomi.
"Yasudah, cookies udah dingin kayanya. Kamu bisa masukin ke tempatnya sekarang?" Kata Kaila kepada Nomi.
"Siap, Kak. Aku bereskan alat-alat ini dulu, nanti aku pack cookies-nya."
Kaila mengangguk sambil tersenyum. "Deema? Bisa ikut aku?"
Deema menyimpan kue yang sudah ia hias di tempatnya. "Iya, Kak." Kata Deema sambil mengikuti kemana Kaila pergi.
Kaila mengajaknya ke lantai bawah yang sudah di isi oleh banyak sekali kotak-kotak cup cake yang belum di hias.
"Ini pesanan, Kak? Yang semalam?"
"Iya, ini pesanan hari ini. Kalau yang kemarin kamu sore bikin itu, buat di toko."
"Banyak ya, Kak ...."
"Iya, Alhamdulillah berkat kamu juga yang udah hias cup cake-nya lucu-lucu."
Deema ikut tersenyum disaat Kaila tersenyum kearahnya. "Kamu bisa hias sekarang? Nanti jam sembilan semua cup cake ini bakalan di kirim."
"Bisa, Kak."
Deema mulai menggunting ujung plastik krim warna-warni yang sudah disiakan oleh Kaila. Dan sudah banyak sekali hiasan-hiasan cup cake yang sangat lucu-lucu itu di tempat masing-masing.
"Satu kotak ada enam cup cake, kamu hias berbeda-beda setiap satu cup cake-nya. Untuk kotak selanjutnya, samakan saja dengan kotak lain. Atau kamu punya ide sendiri itu boleh banget kamu tuangin di sana." Kaila tidak pernah memberi batasan kepada karyawannya untuk berkreativitas.
"Siap, Kak. Nanti aku lapor lagi kalau ada yang kurang aku paham," kata Deema dengan suara lembutnya.
Deema ini baik, sangat baik, ia juga penyayang. Namun semua sifat baiknya itu, selalu tertutupi oleh amarah yang ia punya.
"Okey ... Aku liat dulu kamu bikin satu kotak. Silahkan ...."
Deema mulai memberikan krim berwarna hijau diatas cup cake-nya yang sedang ia hias. Di dalam pikirannya, ia akan membuat batu karang yang terdapat mermaid, karena ia melihat ada patung karakter mermaid yang terbuat dari cokelat di sana.
"Wah, masyaallah ... Kamu jago banget ... Aku jadi gemes liatnya."
Deema tersenyum mendengar ucapan Kaila. Kaila ini adalah tipe orang yang sangat heboh dan baik hati. Jadi tak heran jika ia mendengar Kaila banyak sekali berbicara. Deema bisa menilai jika Kaila itu sangat cocok untuk menjadi guru taman kanak-kanak, karena sangat lembut, perhatian dan baik hati.
"Sebentar ... Aku kaya kenal jaket yang kamu pakai," ucap Kaila yang membuat Deema menghentikan kegiatannya.
"Kamu beli jaket ini dimana?" Tanya Kaila sambil memegang bahan sweater maroon yang sedang Deema pakai.
Di dalam hati Deema berbicara, jika ini adalah sweater dari Aiden yang menyuruhnya untuk dipakai. Deema pikir, Kaila tau jika ini adalah sweater dari Aiden.
"Ini dari Pak Aiden, Kak ..." Kata Deema dengan sedikit keraguan.
"K--kamu ke sini naik apa?" Tanya Kaila.
"D--dijemput Pak Aiden."
Sebentar, Kaila terdiam sebelum akhirnya tertawa sendiri. Deema yang kebingungan pun memilih tertawa kecil. "Aiden ngejemput kamu?"
Dengan ragu, Deema mengangguk. "I--iya. Bukannya Kak Kaila yang nyuruh ya? Semalam dia bilang gitu."
"Wah ... Ni anak mulai berani gombalin anak orang. Hahaha ...."
Deema menelan ludahnya karena tidak paham dengan apa yang Kaila ucapkan kepadanya. "Gak apa-apa deh, pake aja ya, Deem. Itu jaket aku. Kayanya dia ngambil deh. Hahaha ...."
Deema yang terkejut pun refleks membelalakkan matanya. "H--hah? Ini baju Kak Kaila? Aduh ... Aku gak tau, Kak. Tadi Pak Aiden cuma nyuruh aku pakai. Habisnya dia kalau ngancem aneh-aneh."
Kaila tidak berhenti tertawa karena menertawakan sikap adiknya yang sudah di luar batas terhadap wanita lain. Tidak biasanya, Aiden melakukan hal seperti itu, apalagi ke orang yang belum ia kenal. Kaila sekarang jadi tahu, jika Aiden menganggap Deema spesial.
"Deema ... Aku gak nyuruh Aiden buat jemput kamu. Tapi, enggak apa-apa ... Aku ikhlas kalau calon adik ipar aku kaya kamu. Udah baik, cantik, kreatif, sopan juga. Aku bakal restuin hubungan kalian. Gak perlu malu ya sama aku. Ya sudah, kamu selesaikan dulu semuanya ya, kalau suka boleh panggil aku di atas. Kamu duduk aja gak apa-apa, jangan diri kaya gitu, capek."
Deema hanya mengangguk sambil tersenyum canggung kearah Kaila. Setelah melihat Kaila pergi kelantai dua, Deema pun mengambil kursi dan duduk di sana. Bagaimana bisa ia terkejut hanya karena mendengar kebenaran dari Kaila. Aiden benar-benar, pulang dari sini, jika ia bertemu dengan Aiden ia akan sleding kaki gurunya itu.
....
"Terimakasih, selamat menikmati ..." Deema menaruh kedua tangannya di depan da-da, untuk memberikan salam kepada pelanggan toko ini.
Hujan sudah berhenti sejak pukul 9 pagi. Saat ini, siang hari datang, matahari akhirnya kembali menyinari kota ini. Deema beberapa waktu yang lalu, sudah diajarkan Nomi untuk berjaga di kasir. Jaga-jaga jika tidak ada orang di sini, Deema bisa menggantikan.
Nomi sedang beristirahat makan siang bersama Riki di lantai atas. Sedangkan Kaila sepertinya keluar toko untuk membeli keperluan yang sudah habis di dalam toko.
Deema membersihkan etalase kue menggunakan lap yang sudah di sediakan. Biar tempat ini lebih bersih dan rapi. Deema sangat suka bekerja di sini, ia harus lebih rajin lagi dan tekun agar bisa bekerja lama di sini.
Lonceng pintu toko berbunyi. Deema bangun dari jongkoknya. "Selamat datang di The K---"
Deema langsung menutup mulutnya karena bukan pelanggan yang datang, melainkan Aiden dengan wajah datarnya.
Deema lebih memilih untuk melanjutkan membersihkan tempat ini. Karena mereka semua tadi sibuk dengan membuat kue, jadi tidak sempat membereskan tempat ini.
"Nyapa pelanggan itu yang sopan, yang baik. Ketauan Kak Kaila di usir kamu."
Aiden saat ini duduk di dekat Deema yang sedang membersihkan etalase kue. Deema ingin sekali mencakar wajah Aiden yang sangat menjengkelkan itu. Tapi ia urungkan kembali, karena sepertinya perawatan wajah Aiden sangatlah mahal dibanding harga dirinya.
"Bisa diem, Pak? Saya lagi kerja."
"Kerja apaan? Sambut pelayan kok kaya gitu."
Deema menyimpan lapnya di pundak. "Bapak mau boxing apa sparing sama saya?" Tawar Deema dengan wajah yang ia buat ganas.
"Gak. Kamu kecil."
Adrenalinnya semakin tertantang karena Aiden berbicara seperti itu. Ia pun menyimpan kedua tangannya di pinggang. "Bapak jangan main-main ya sama saya. Gini-gini saya jago berantem."
Deema bisa melihat jika Aiden menahan tawanya. Dan di situ, Deema bisa melihat Aiden tersenyum kecil. Sedikit terhipnotis dengan senyum manis Aiden, Deema kembali menggelengkan kepalanya.
"Saya pesen cup cake hiasan kamu yang Kaila bangga-banggakan."
"Ambil sendiri. Saya lagi kerja."
"Hah? Apa Kak? Deema suruh pul--"
"Aish ... Iya-iya saya ambilin, Pak. Nyebelin banget sih jadi orang," kesal Deema sambil berjalan untuk mengambil kue pesanan Aiden.
Ia memberikan Aiden dua cup cake berwarna pink dan biru. Biar saja, ia ingin melihat Aiden akan memakannya atau tidak.
"Nih, delapan puluh empat ribu." Kata Deema sambil meletakkan telapak tangannya di hadapan Aiden.
"Lah, saya juga belum makan."
"Yaelah, Pak. Dimana-mana itu, pesen dulu, bayar, baru makan. Kalau makan dulu baru bayar, pembeli bisa kabur kali."
"Mahal banget delapan puluh empat ribu? Perasaan satunya tiga puluh ribu deh," kata Aiden sambil melihat cup cake besar itu di hadapannya.
"Sisanya. Pajak." Jawab Deema seadanya.
Aiden pun mengeluarkan dompetnya dan memberikan Deema uang satu lembar berwarna merah. Deema pun menerima dan membayar pesanan Aiden. Deema kembali lagi ke tempat Aiden berada untuk memberikan sisa kembalian yang Aiden berikan tadi, tak lupa beserta struknya.
"Selamat menikmati," kata Deema dengan wajah yang di buat sedemikian rupa, namun kembali berekspresi lebih datar.
Teringat akan sesuatu, Deema berjalan mundur untuk berbicara kepada Aiden. "Duduk, gak baik ngomong sambil berdiri."
"Enggak. Saya cuma mau tanya."
Aiden yang sedang memakan kue itu mengangkat alisnya untuk bertanya. "Bapak bohong sama saya?"
Aiden menyimpan sendok kecilnya. "Bohong?" Tanya Aiden.
"Bapak bilang semalem mau jemput saya, karena Kak Kaila yang suruh. Tapi ternya Kak Kaila gak nyuruh Bapak buat jemput saya," ucap Deema berbicara dengan panjang.
Aiden sedikit terkejut, tapi ia sembunyikan ekspresinya itu untuk menjadi lebih santai. "Hanya jaminan kalau kamu gak kabur untuk kerja."
Deema berekspresi seperti ingin merauk wajah Aiden. "Heuh ...."
"Kenapa sweaternya di buka? Kamu pakai baju seperti itu di depan laki-laki?"
Deema mengerutkan keningnya. Konsep Aiden mendekati dirinya itu seperti apa sih? Saat ini mereka mengobrol bukan seperti guru dan murid loh. Deema tidak mengerti.
"Saya sudah kasih sweaternya ke Kak Kaila. Lain kali gak usah sok perhatian ya, Pak. Saya mau lanjut kerja, permisi."
Aiden mengangkat bahunya. "Yasudah, lagian saya gak ganggu kamu kerja."
Asli, Deema ingin sekali mencakar wajah Aiden saat ini juga. Ia kesal dengan Aiden yang berbicara sangat menyebalkan.
"Lagian Bapak juga bukannya kerja, malah nongkrong di sini."
"Kerjaan saya sudah selesai beberapa jam lalu."
"Yaudah, terus ngapain Bapak di sini?"
"Toko-toko siapa?"
"Kak Kaila."
"Kaila, Kakak saya. Saya bebas ada di sini kapan aja."
Deema memutar bola matanya malas. "Serah Bapak aja, dah. Yang waras ngalah." Gumam Deema pelan agar tidak terdengar.
"Jangan langsung pulang. Tunggu saya," kata Aiden sambil berjalan menuju lantai dua.