Yang Pertama

2200 Kata
Leon terpaku memandangi layar ponselnya yang masih menyala. Satu pesan masuk dari Bara yang baru saja ia baca. Leon menelan ludah, tangannya yang sedang membawa cup holder berisikan dua cup kopi panas yang baru saja ia beli dari coffee shop di seberang jalan, tak jauh dari tempat klub malam milik Sean, seketika gemetaran. Leon mengembuskan napas kasar. Walau benaknya sempat terguncang, tapi dengan cepat ia berusaha kembali tenang. Ekspresinya yang sempat tegang pun berangsur kembali seperti semula. Meyakinkan diri semua akan baik-baik saja, lantas Leon memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan kemudian berjalan menghampiri Rehan yang sedang duduk di bangku trotoar dekat taman. "Kopi?" Leon memberikan satu cup kopi hitam pada Rehan, setelah itu duduk di sampingnya. Mengikuti yang dilakukan oleh Rehan, Leon memandangi jalanan di depannya yang cukup lenggang, hanya ada satu dua kendaraan yang melintas. Mengingat sekarang sudah memasuki jam malam, di mana waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tak heran jika jalanan terpantau sepi. Leon melirik Rehan, memperhatikan dengan seksama sahabatnya itu. Tak ada satu jengkal pun yang dilewatkan oleh mata Leon, menyusuri ekspresi sampai sorot mata lelah yang terpancar jelas dari mata Rehan. Seolah lelaki itu memiliki beban berat yang sedang dipikul, memperkuat spekulasinya atas apa yang Bara sampaikan di pesan tadi. "Why? Ada masalah?" tanya Leon, tak tahan lagi hanya membisu sambil memperhatikan Rehan yang tetap memilih bungkam sejak tadi. Suara Leon menarik atensi Rehan, mengalihkan perhatiannya dari sorot lampu jalanan yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya. Walau dengan pikiran yang melayang entah ke mana. Rehan memandangi Leon sejenak, sebelum akhirnya memberikan gelengan dan sedikit senyum hambar. Setelahnya ia kembali memperhatikan lampu-lampu jalanan di depannya. Leon mengembuskan napas kasar, kesal mendapati respon Rehan yang justru membuatnya semakin penasaran dan ingin memastikannya langsung pada Rehan. Namun, ia juga ragu, mengingat hal yang ingin ia pastikan adalah hal yang sangat sensitif. "Bagaimana pekerjaanmu?" Lantas Leon pun mencoba untuk berbasa-basi terlebih dahulu, sebelum melanjutkan ke sesi interogasi untuk mengkorek kebenarannya soal Rehan yang dirumorkan impoten. "Yah, begitulah. Membosankan," komentar Rehan, lanjut menyeruput kopi hitam yang sekarang menjadi kopi favoritnya. Padahal sebelumnya Rehan paling tidak bisa minum kopi tanpa gula. Namun, setelah kejadian tragis yang menimpa dirinya, ia lebih suka menikmati kopi hitam yang pahit. Seolah kopi itu mencitrakan kehidupannya yang pahit dan kelam. "Kau sendiri, bagaimana honeymoon-nya? Bukannya kau berencana menetap di Lombok?" Rehan balik bertanya, walau matanya masih tetap fokus pada lampu-lampu terang yang berdiri kokoh di setiap sisi jalan. "Niatnya begitu, tapi aku berubah pikiran. Kau tahu sendiri kalau sekarang Sandra sedang hamil muda, aku tak ingin terjadi apa-apa sama Sandra dan calon buah hatiku. Karena akses kesehatan jauh lebih mudah di Jakarta, jadi akan lebih baik kalau kami kembali tinggal di sini sampai Sandra melahirkan. Lagipula aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaanku terlalu lama, ataupun harus LDR dengan Sandra nantinya," Leon mendengkus geli, membayangkan dirinya harus berhubungan jarak jauh dengan istrinya. "aku nggak sanggup, aku nggak bisa jauh-jauh dari Sandra." Rehan berdecak, mencibir kata-kata Leon yang terakhir. "Dasar bucin." Leon tergelak menanggapi komentar sahabatnya itu, ia sampai refleks menepuk bahu Rehan. "Apa bedanya denganmu, kau juga pernah mengalaminya dan sebentar lagi akan mengalaminya lagi. Buktinya kau rela mengeluarkan uang sebanyak itu." Leon memutar tubuhnya menghadap Rehan, menarik bahu lelaki itu agar mau menghadap dirinya. "Apa dia begitu istimewa, sampai kau berani mempertaruhkan nyawamu. Aku yakin papamu akan marah besar kalau tahu kau mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk bersenang-senang dengan wanita. Kecuali dia benar-benar istimewa sampai kau senekat itu." Rehan kembali tersenyum hambar. "Apa kau sangat ingin tahu? Aku harap kau tak akan bertindak seperti Sean." Rehan memalingkan wajahnya, tapi dengan cepat Leon menarik bahunya. Mau tidak mau Rehan kembali menghadap sahabatnya itu. "Rehan!" Leon menghardik Rehan, tak bisa sabar lagi menghadapi kebungkaman Rehan. Walau sebenarnya Leon tak bermaksud, ia hanya ingin mendengar secara langsung dari sudut pandang lelaki itu bukan sekadar mendengar dari rumor yang beredar. "Apa kau akan terus menutup-nutupinya? Sampai kapan kau akan terus bungkam dan tidak memberitahu kami? Kau masih menganggap kami sahabat 'kan?" Rehan mengernyit, heran sekaligus bingung mendengar berbagai pertanyaan yang dicecarkan oleh Leon terhadap dirinya. "Apa maksudmu? Bicaramu ngelantur, Leon. Kau mungkin kelelahan, harusnya kau istirahat di rumah, pulanglah." Rehan menyuruh Leon pulang, sambil mengeluarkan satu puntung rokok dari bungkusnya. Namun, sekali lagi Leon merampasnya dengan kasar dan memaksa dirinya tetap menghadap lelaki itu. "Apa kau bodoh? Atau kau pura-pura tidak tahu dengan rumor yang beredar? Apa kau akan terus diam saja, membiarkan semua orang berasumsi negatif tentangmu?" Napas Leon menggebu-gebu, matanya berkilat marah karena reaksi Rehan yang menurutnya tidak peduli dengan kondisinya sendiri. Bahkan ketika semua orang tahu apa yang tengah terjadi, dia seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Rehan terdiam. Menyadari keadaan yang tidak sekondusif bayangannya. Kini ia menyadari kalau kemarahan Leon merupakan reaksi atas keadaan yang cukup atau malah sangat serius dan dirinya telah abai. Tapi apa? Soal apa? Rehan sendiri tidak tahu, tapi juga enggan mencari tahu. Hingga kalimat yang tercetus dari mulut Leon, membuatnya tahu apa yang membuat sahabat-sahabatnya sampai bertindak seperti itu. "Aku punya kenalan dokter yang bisa menyelesaikan permasalahanmu. Aku akan meneleponnya dan membuat janji temu, kalau bisa besok kita langsung ke sana. Kau tak perlu khawatir lagi, aku yakin milikmu pasti bisa disembuhkan." Leon sibuk mencari kontak nomor dokter yang dimaksud, sambil memberitahu Rehan agar tak perlu merisaukan masalahnya lagi. Baru saja Leon akan menekan ikon telepon di layar ponselnya, tiba-tiba saja Rehan menahan pergelangan tangannya. Sontak Leon mengangkat pandangannya, sorot mata mereka saling bertemu untuk sepersekian detik. "Nggak perlu." Rehan menurunkan tangan Leon yang memegang ponsel, mengurungkan niat sahabatnya itu untuk menelepon dokter. "Aku baik-baik saja, aku sehat, bahkan milikku masih bisa berdiri tegak di pagi hari. Kalau itu yang kau khawatirkan, kau tak perlu cemas lagi, karena semua rumor itu tak benar." Leon terdiam beberapa saat, mencerna dengan baik kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Rehan. "Tunggu ..." Leon menatap tak percaya pada Rehan, "jadi, kau tahu soal rumor itu? Dan kau diam saja?" Rehan tersenyum miring, menandakan kalau tebakan Leon benar. "Memangnya apa yang harus aku lakukan. Marah-marah? Buat apa? Toh rumor itu tidak benar. Kalau aku marah-marah, bukankah itu cuma akan memperparah asumsi orang-orang, bahkan mungkin mereka akan semakin yakin kalau aku memang benar impoten." Rehan terkekeh geli, entah apa yang lucu sampai ia tak bisa menahan diri untuk menertawakan hal tersebut. Leon masih belum mengerti, ia juga tak habis pikir dengan sikap yang diambil Rehan. Jelas berbanding terbalik dengan Rehan yang ia kenal sebelumnya. "Han, aku serius. Kalau kau mau, aku bisa tangani ini. Akan aku cari siapa yang menyebarkan rumor ini dan menjebloskannya ke penjara---" "Sudahlah Leon," potong Rehan. "Tak perlu buang-buang waktu untuk mengadili wanita-wanita itu. Mereka hanya wanita-wanita sakit hati karena tak berhasil mendapatkan apa yang mereka mau dariku." Leon menaikkan sebelah alisnya. "Apa maksudmu? Memangnya apa yang mereka mau?" "Apa lagi." Rehan memberikan senyum penuh arti. "Semenjak kasus itu, aku memang punya sedikit masalah terhadap wanita. Bukan aku tak punya kemampuan, tapi aku kehilangan gairah setiap kali ingin bermain dengan mereka. Tapi aku sangat yakin, ini bukan impoten seperti yang kalian takutkan. Aku juga sudah memeriksakannya ke dokter dan aku baik-baik saja. Hanya saja ...." "Hanya saja apa?" Leon tak sabaran ingin mendengar alasan Rehan yang sebenarnya. "Hanya saja ...." Rehan terdiam cukup lama, menimang-nimang apakah ia harus memberitahu Leon. Tapi melihat bagaimana Leon dan sahabat-sahabatnya yang begitu mengkhawatirkan kondisinya, lantas Rehan pun memantapkan hati untuk memberitahu mereka apa yang sebenarnya terjadi. "Hanya saja aku tidak bisa melakukannya, karena setiap kali aku ingin melakukannya aku seperti melihat wajah wanita itu. Bayangan wanita itu terus mengikutiku dan membuatku selalu ingin membunuhnya." Leon speechless, tak menyangka akan apa yang Rehan katakan barusan. Matanya yang melebar, dengan cepat beralih menatap tangan Rehan yang mencengkram erat cup kopi di tangannya sampai tak berbentuk lagi. "Leon, apa yang harus aku lakukan untuk menyingkirkan bayangan wanita itu? Haruskah aku membunuhnya?" ungkap Rehan dengan wajah putus asa. ---- Embusan angin kencang menerjang, memporak-porandakan keteguhan batin. Diiringi beribu kesakitan yang menghantam keras sampai dasar sanubari, sampai- sampai membuat Rehan semakin jatuh tak berdaya. Larut dalam kenangan pahit yang menyakitkan, terkubur oleh masa lalu yang kelam dan ingatan buruk tentang seseorang. "Rehan, kamu pikir bisa melupakan aku?" Suara-suara liar itu kembali berdengung di dalam kepala Rehan. Saling menerjang dari segala sisi, seolah setiap kata yang terlontar seakan menggerogoti kewarasannya secara perlahan. "Tidak akan, Rehan. Tidak akan pernah!" "Mau kau melampiaskannya dengan seribu wanita pun, kau tak akan pernah bisa melupakan rasa yang pernah aku berikan untukmu. Hahahaha!" Tawa menggelegar itu meledak di dalam kepala Rehan, memekakkan telinganya, membuat setiap saraf dalam kepalanya tak lagi berfungsi. Seolah tawa itu telah mematikan seluruh indera dalam diri Rehan dan membunuhnya secara dramatis. "Sampai kapan pun, kau tak akan bisa menggantikan aku dengan yang lain, Rehan. Tak akan pernah bisa!" "TIDAK!!!" Rehan seketika terlonjak bangun dari tidurnya. Deru napasnya memburu, wajahnya pucat pasif dipenuhi keringat dingin yang membanjiri dari dahi. Mimpi itu lagi! Rehan mengembuskan napas kasar, mengatur napasnya agar kembali normal. Ia mengambil segelas air putih yang ada di atas nakas, langsung meminumnya untuk melegakan tenggorokannya yang kering. Setelah selesai, ia mengembalikan gelas itu ke tempat semula. Bersamaan dengan suara dering ponselnya yang berada di atas nakas. Lantas, Rehan dengan cepat meraihnya dan segera mengangkat panggilan tersebut saat tahu panggilan itu dari papanya. "Halo." Rehan membuka suara saat panggilan terhubung dengan orang di seberang sana yang langsung menyambutnya dengan suara berat. "Sudah pa, ini baru bangun. Papa tenang saja, aku enggak lupa kok kalau hari ini aku mulai meng-handle kantor cabang." Orang di seberang sana yang tak lain papa Rehan, terus berbicara sampai tak memberikan kesempatan bagi Rehan untuk membantah. Rehan pun hanya bisa menghela napas panjang, berusaha sabar mendengarkan apa yang dikatakan papanya. Lelaki paruh baya itu tengah memberikan nasihat dan juga peringatan agar Rehan bekerja dengan baik dan tidak main-main lagi. Apalagi sang papa juga menyinggung tentang perusahaan rintisannya yang beberapa bulan lalu jatuh bangkrut. Karena hal tersebut juga yang membuat Rehan terpaksa bekerja di bawah kendali papanya untuk mengambil alih beberapa bisnis keluarga. "Iya pa, iya. Rehan ingat semuanya. Papa nggak perlu khawatir. Pokoknya papa duduk manis saja dan terima laporan bagus nanti dari Rehan. Oke, dah pa. Rehan mau siap-siap biar enggak telat buat hari perdana di kantor cabang. Bye papa, titip salam buat mama." Rehan buru-buru mematikan sambungan telepon setelah berpamitan. Ia sudah muak mendengarkan omelan papanya, apalagi jika menyangkut kesalahannya di masa lalu sampai membuat ia kehilangan perusahaan yang susah payah dirintis dari nol. Dan juga membuatnya terjebak dalam pekerjaan membosankan di perusahaan papanya. "Dasar aki-aki bawel!" Kalimat yang selalu Rehan lontarkan setiap kali selesai mendapat ceramah panjang dari papanya. Rehan menaruh kembali ponselnya di atas nakas, bergegas bangun untuk membersihkan diri. Namun, sorot matanya tiba-tiba terhenti pada sebuah foto yang tak sengaja dilihatnya di atas nakas. Foto yang semalam ia dapatkan dari salah satu bartender di klub malam Sean. Rehan mengambil foto itu dan memandanginya sejenak, tersenyum simpul setelahnya. "Sebentar lagi kita akan bertemu, cantik." Rehan mengakhiri sesi memandangi foto itu lebih cepat dari keinginannya. Ketika ia tanpa sengaja melihat jam di atas nakas, di mana jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Itu artinya ia harus bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Apalagi ini hari perdana di kantor baru, ia tak boleh sampai telat atau dirinya akan mendapat komplenan dari sang papa. Namun, kenyataannya Rehan datang lebih lama dari waktu yang sudah dijadwalkan. Alhasil, di sepanjang jalan menuju ke kantor cabang, Rehan harus menelan bulat-bulat semua omelan sang papa lewat telepon. Walau hal tersebut berlalu dengan cepat dan tergantikan oleh sambutan ramah dari manager HRD dari kantor barunya, sekaligus orang yang dipercaya oleh papanya. Namanya bu Vela, orang itu juga membawa Rehan untuk melihat-lihat kantor barunya dan juga memperkenalkan Rehan dengan para karyawan yang sebagian merupakan kandidat untuk dijadikan sekretarisnya. Namun, siapa sangka jika momen tersebut justru jadi momen paling tak disangka-sangka oleh Rehan. Pasalnya ia malah melihat seorang wanita yang ada di foto, saat ini tengah duduk di salah satu kubikel di depannya. Wanita yang akan ia beli dengan harga satu milyar. Ternyata kita bertemu lebih cepat dari yang semestinya. Batin Rehan menahan senyum, sambil memandangi wajah cantik si wanita itu. Dan malam ini, Rehan dipertemukan langsung dengan wanita itu di tempat yang sudah disepakati sebelumnya dengan Rose, selaku perantara di antara mereka. Rehan tak bisa berkedip memandangi wanita bernama Rania itu. Terlebih dengan penampilan Rania yang sangat berbeda dari di foto maupun waktu di kantor, saat ini Rania terlihat sangat cantik dan seksi. Bahkan Rehan sampai kesulitan bernapas saat Rania perlahan mendaratkan bokongnya di atas pangkuannya. "Haruskah kita memulainya sekarang Rania?" bisik Rehan, sembari mencium bahu mulus Rania dan tangannya menurunkan perlahan tali gaunnya yang tipis. Rania tak menjawab dan Rehan menganggap itu sebagai persetujuan karena memang sebelumnya mereka sudah melakukan kesepakatan terlebih dahulu, hitam di atas putih dan Rania tentunya tak bisa mengelak lagi. "Aku tahu ini yang pertama untukmu, jadi akan kuusahakan untuk bermain lembut dan akan kupastikan ini jadi momen paling berkesan dalam hidupmu, Rania." Rehan tak sabar untuk memulai, ia memutar tubuh Rania agar menghadapnya dan mengawalinya dengan ciuman penuh hasrat menggebu. Aku suka rasa bibirmu, Rania. Batin Rehan sebelum memperdalam ciumannya, sampai-sampai Rania dibuat kewalahan dan berujung tak berdaya di bawah kendalinya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN