Rehan duduk di depan meja bar, memandangi sebuah foto yang baru saja ia terima dari salah satu bartender di sebuah klub malam langganannya. Tempat di mana ia selalu menghabiskan waktu malamnya, melepas penat setelah seharian bekerja dan menjalani rutinitas yang membosankan.
"Berapa?" tanya Rehan setelah puas mengamati wajah cantik wanita di dalam foto yang ia pegang.
"Setengah milyar," jawab si bartender wanita yang memiliki tato mawar di tangannya.
"Seriously?" Rehan mendengkus geli mendengar harga yang ditawarkan oleh bartender itu. "Kau bisa dapat rumah mewah untuk harga segitu," ucapnya kemudian, kembali memandang foto itu lagi sambil mengamati apa yang istimewa dari wanita di foto tersebut sampai berani mematok harga di luar nalar.
"Dia sangat istimewa," kata bartender yang biasa dipanggil Rose oleh pengunjung klub.
"Istimewa?" Rehan menaikkan sebelah alisnya, mengalihkan pandangan pada Rose. "Keistimewaan apa yang membuatnya sampai memasang harga setinggi itu?"
"Dia masih virgin," jawab Rose.
Mendengar jawaban Rose, sontak Rehan mendengkus geli. Ia tak bisa membendung hasrat untuk tertawa, lebih tepatnya menertawakan jawaban Rose. Meski Rehan menganggap jawaban itu menggelikan di telinganya, tapi nyatanya raut wajah Rose sama sekali tak berubah. Tetap terlihat tenang, auranya yang dingin memperjelas raut wajahnya yang begitu datar.
Rehan menghentikan tawanya, kembali bersikap elegan seperti sebelumnya. Ia meminum minumannya sampai habis, kemudian memfokuskan pandangannya pada Rose dengan sedikit mencondongkan tubuhnya.
"Rose, kau tahu?" Rose tak merespon, menunggu sampai Rehan melanjutkan ucapannya. "Uang setengah milyar bisa untuk membeli puluhan wanita yang masih bersegel. Jadi apa kau tak terlalu tinggi mematok harga, hanya karena satu keistimewaan yang wanita-wanita di sini pun sebagian punya pastinya. Bahkan akan sangat mudah mendapatkannya, kau tahu seperti apa tempat ini dan orang-orang macam apa yang datang kemari setiap harinya."
"Karena menurutku kau berbeda, itu sebabnya aku menawarimu, Bos," ucap Rose, menghentikan aktivitasnya dari mengelap gelas. Kini matanya berpusat sepenuhnya pada Rehan dan keduanya saling beradu pandang. Seolah dari kedua sorot mata mereka tengah saling menyelami satu sama lain.
Namun, tak berselang lama Rose mengalihkan pandangannya, memutus sepihak kontak mata itu. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, sambil berkata pada Rehan. "Tapi kalau Anda merasa harga segitu kemahalan, maka aku tak akan memaksa. Aku akan mencari pembeli yang lain."
Rehan tak langsung merespon perkataan Rose, ia malah sibuk memandangi wanita di dalam foto. Matanya seperti terhipnotis oleh senyum manis yang terukir indah di wajah wanita tersebut. Seakan menggetarkan hatinya, Rehan kembali memikirkan seseorang, seseorang yang begitu mirip seperti wanita di foto.
"Apa dia begitu istimewa untukmu?" tanya Rehan kemudian.
Rose mengangguk. "Itu sebabnya aku tak menawarkan pada sembarangan orang. Karena ini momen pertama baginya dan aku tidak ingin dia sampai trauma."
Rehan tersenyum miring. "Lalu kau pikir dia tak akan trauma jika bersama denganku, begitu?"
Rose kembali mengangguk, memandang Rehan dengan ekspresi datar. "Bukankah aku sudah bilang, menurutku Anda orang yang berbeda dan aku harap Anda tak akan mengecewakan asumsiku tentang Anda."
Rehan manggut-manggut. "Kalau begitu beri aku satu alasan kenapa aku harus mengambil tawaran ini?"
Rose mencondongkan setengah tubuhnya ke depan Rehan, mengunci mata lelaki itu dengan sorot matanya yang kuat. Lalu ia berkata dengan nada rendah, tapi tidak menghilangkan kesan tegas dari suaranya. "Aku tahu Anda, Bos. Dan aku rasa ini tidak akan mengecewakanmu. Dia bukan hanya virgin, tapi lebih dari itu. Bahkan dia belum pernah melakukan kissing. Tak perlu aku jelaskan, kau pasti lebih tahu apa yang aku maksud." Rose tersenyum penuh arti, setelah itu kembali ke posisi semula melanjutkan pekerjaannya yang terhambat.
Rehan terdiam sesaat, mencerna dengan baik kata demi kata yang Rose ucapkan barusan. Hingga sebuah keputusan bulat ia ambil dengan mantap. "Baiklah, aku akan mengambilnya. Suruh wanita itu datang besok ke ruangan biasa."
"Anda serius?" Binar-binar di mata Rose seketika terpancar, walau ekspresi wanita itu tak banyak berubah. Tapi satu hal yang jelas tampak di raut wajahnya, kelegaan. Seolah wanita itu benar-benar merasa lega karena akhirnya Rehan mau mengambil tawarannya setelah diskusi alot barusan.
"Apa aku pernah main-main?" Rehan beranjak dari tempat duduknya, saat sahabatnya menghampirinya. "Kau atur saja semuanya, pastikan wanita itu datang tepat waktu. Aku tidak suka menunggu, kau tahu itu.
"Siap Bos," seru Rose, sedikit memberikan senyuman saat bos pemilik klub juga berada di depan meja bar.
Rehan menoleh pada lelaki yang baru saja datang dan berdiri di sebelahnya. Lelaki yang merupakan sahabat sekaligus pemilik klub malam ini, Sean Pradipta. Dan kini lelaki itu tengah memandanginya dengan sorot mata penuh curiga.
Rehan menaikkan sebelah alisnya, heran akan tatapan Sean padanya. "Why?"
"Ikut aku." Sean menarik lengan Rehan, menjauh dari meja bar.
Sedangkan Rose hanya memandangi gerak-gerik keduanya yang kemudian menghilang di balik keramaian orang-orang yang berjoget di lantai dansa. Rose mengembuskan napas kasar, kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
Sementara Rehan tengah mencoba melepaskan diri dari cengkraman Sean yang begitu erat di pergelangan tangannya. Bahkan lelaki itu menyeretnya seperti kambing.
"Apa yang salah denganmu?" Berkali-kali Rehan bertanya, tapi tak satu pun mendapat jawaban dari Sean yang terus menyeretnya pergi. "Sean!" hardik Rehan, mengerahkan seluruh tenaganya untuk melepaskan diri. Dan usahanya tak sia-sia, ia berhasil menarik tangannya dari cengkraman Sean, berhenti melangkah di tengah-tengah keramaian orang-orang yang sedang berjoget di lantai dansa. "Ada apa?" Suara Rehan yang keras bersaing dengan suara musik kencang yang memekakkan telinga dan teriakan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Sean mengembuskan napas kasar, menatap lelah Rehan yang berdiri di hadapannya. "Ikut aku, Bara dan Leon sudah menunggu di tempat biasa. Kita bahas di sana saja." Setelah itu Sean berjalan lebih dulu, meninggalkan Rehan yang masih terpaku di tempatnya berdiri.
Senggolan dari segala sisi membuat Rehan tersadar, ia mengembuskan napas kasar lalu berjalan menyusul Sean yang sudah jauh melangkah di depan sana. Sepanjang perjalanan, Rehan terus memikirkan, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi sampai sahabatnya bertindak seperti itu. Rehan tahu kalau akhir-akhir ini Sean memang sedang sensitif, apalagi setelah rumor tak sedap menimpa karirnya. Namun, bukan berarti lelaki itu bisa melampiaskan kemarahannya bukan?
Rehan mempercepat langkahnya, memasuki sebuah ruangan VIP yang memang diperuntukkan untuk dirinya dan teman-temannya berkumpul. Sean mendedikasikan ruangan khusus ini hanya untuk mereka berempat berkumpul. Mengingat mereka sekarang yang jarang berkumpul karena kedua sahabatnya, Bara dan Leon tengah fokus dengan kehamilan istri-istri mereka dan Sean yang sibuk berkarir. Sedangkan Rehan sendiri hanya bisa menyibukkan diri dengan segudang pekerjaan dan juga sedikit waktu untuk bersenang-senang.
"Hei, mabrow!" seru Leon, beranjak dari duduknya untuk menyambut Rehan.
Rehan terkekeh, menyambut pelukan hangat sahabatnya yang cukup lama tak berjumpa. Karena Leon selama hampir tiga bulan terakhir menghabiskan waktunya untuk honeymoon keliling Indonesia.
"Kapan kau pulang?" tanya Rehan, menyudahi aksi pelukan teletubbies.
"Tadi pagi, makanya aku ajak kalian berkumpul di sini. Tapi kau malah terlambat. Untung saja Sean menemukanmu, nggak tahunya sedang godain bartender cantik." Leon terkekeh karena Rehan merespon dengan cebikkan bibir. "Why? Apa aku salah? Aku tahu kau Rehan, mana mungkin kau bisa tahan berlama-lama melajang, atau setidaknya untuk satu malam." Leon tergelak, diikuti Bara yang mendengkus geli. Tapi berbeda dengan Sean yang sama sekali tak terpengaruh oleh ucapan Leon barusan.
"Kau kenapa?" Hingga Bara yang menyadari keterdiaman Sean pun bertanya langsung pada lelaki itu. Namun, Sean hanya mengedikkan bahu, terlihat acuh tak acuh. Lantas, Bara pun mengalihkan pandangan pada Rehan yang baru saja mendaratkan bokongnya di ujung sofa. "Kalian bertengkar?" tanyanya, merujuk pada Rehan dan juga Sean. Secara keduanya datang terpisah, ditambah Sean yang tampak tidak mood.
"Apa?" Rehan malah balik bertanya, raut wajahnya kebingungan. "Memangnya kita kenapa?" Rehan pun menatap Sean penuh tanya. "Sebenarnya ada apa? Kau bilang akan membahasnya di sini, bahas apa?"
Kini justru Bara dan Leon yang tampak kebingungan, keduanya saling berpandangan sebelum akhirnya memusatkan pandangan pada Sean dan juga Rehan yang memang duduk di sofa yang sama.
"Hei, apa terjadi sesuatu selama aku honeymoon?" Leon yang sedari tadi tak paham arah pembicaraan pun ikut bertanya. Ia heran akan situasi tegang yang begitu kerasa dalam ruangan. "Ayolah, kita bukan lagi anak kecil. Kalau memang ada sesuatu kita bahas bersama, cari solusinya———" Leon refleks mengatupkan bibir, ketika Sean tiba-tiba memutar tubuhnya menghadap Rehan.
"Kau serius akan membelinya?" todong Sean tiba-tiba pada Rehan.
"Apa?" Rehan tampaknya belum mengerti apa yang dimaksud oleh Sean. "Beli apa?"
Sean mengembuskan napas kasar, menyorot serius pada Rehan. "Wanita itu. Apa kau gila? Kau berniat membelinya dengan harga setengah milyar?"
Belum sempat Rehan menjawab cecaran Sean, Leon lebih dulu menyela. "Tunggu-tunggu, ada apa ini sebenarnya? Sepertinya aku ketinggalan berita?"
"Aku juga," sahut Bara. "Apa ada yang kalian sembunyikan dari kami?"
Sean dan Rehan sama-sama bungkam. Tentu saja hal tersebut membuat tanda tanya besar pada Leon dan Bara yang memang penasaran akan pembicaraan Sean barusan.
"Sean, Rehan." Bara menatap kedua sahabatnya. "Kita masih sahabatan kan?"
Rehan menghela napas panjang, lalu buka suara. "Apa yang kau maksud, wanita yang ditawarkan oleh Rose?" Ia melirik Sean yang juga melakukan hal yang sama. "Kalau iya, harusnya itu bukan jadi masalah. Lagipula itu urusan pribadiku."
"Memang itu urusan pribadimu. Tapi aku sahabatmu, aku tahu kondisimu sekarang. Apa kau sudah gila? Kau membelinya dengan harga setengah milyar Rehan. Setengah milyar mungkin sedikit bagimu, tapi terlalu banyak kalau kau pergunakan hanya untuk bermain-main dengan wanita. Apa kau belum juga sadar, apa kasus kemarin masih belum membuatmu jera? Aku hanya berusaha peduli, sebagai sahabatmu, itu pun jika kau masih menganggap kita sahabat!" Sean mendengkus kesal, memalingkan mukanya ke arah lain.
"Jadi ini soal wanita?" Leon berkomentar, menatap keduanya. "Aku pikir ada masalah serius. Tapi aku setuju dengan Sean. Terlalu berlebihan kalau kau harus mengeluarkan uang setengah milyar hanya untuk satu wanita, Rehan."
"Benar, Rehan. Sebaiknya kau tak gegabah. Mengingat kejadian yang sudah berlalu. Aku paham maksud Sean, dia bukan bermaksud mencampuri urusan pribadimu, dia hanya peduli padamu. Pastinya baik Sean maupun aku dan Leon, tidak ingin kau mengalami kejadian itu lagi. Kau pasti paham apa yang aku maksud. Cukup Karin———"
"Jangan sebut nama wanita itu lagi!" tukas Rehan, raut wajahnya berubah tegang kala mendengar nama seorang wanita yang tak ingin ia dengar lagi.
"Maaf." Bara meminta maaf atas keteledorannya menyebut nama keramat yang tak seharusnya ia sebutkan di depan Rehan.
"Sudah-sudah, aku mengajak kalian berkumpul di sini bukan untuk bersitegang. Kita sudah lama tak berkumpul, mari kita senang-senang———" Leon tercekat karena suara Bara.
"Rehan," panggil Bara saat Rehan tiba-tiba beranjak dari duduknya. "Mau ke mana?"
"Iya, Rehan, kau mau ke mana? Kau baru saja datang dan sekarang kau mau pergi lagi?" Leon berdecak, kecewa. "Bahkan kita belum sempat bersenang-senang dan nostalgia."
Sean berdecak. "Selalu melarikan diri."
Bara dan Leon langsung melotot, sepertinya keduanya tak tahu kalau hubungan Sean dan Rehan tengah renggang.
"Urus urusanmu sendiri. Kau dan aku tak ada bedanya," ucap Rehan, ditujukan pada Sean pastinya. "Besok aku harus ke kantor cabang. Jadi sorry, kayaknya malam ini aku nggak bisa ikut kalian senang-senang." Setelah itu Rehan pun pergi meninggalkan ruangan itu.
Bara hendak mengejar, tapi Leon mencegahnya. "Biar aku saja," katanya, kemudian berlari menyusul Rehan.
Sementara Bara kembali duduk dan berfokus pada Sean yang tampak tak peduli dengan kepergian Rehan.
"Sean," panggil Bara, tapi lelaki itu tak bergeming. Bara mengembuskan napas kasar, mencoba tetap sabar menghadapi Sean. "Ada apa sebenarnya? Ada apa dengan kalian berdua?"
Sean memandang Bara dengan ekspresi dingin. "Kau terlalu sibuk dengan istrimu, Bar. Jadi kau tak tahu kalau sahabatmu itu tengah menggila setiap harinya."
"Apa maksudmu, jangan bawa-bawa Gita———"
Sean memotong ucapan Bara. "Apa kau tahu apa yang terjadi pada Rehan?" Sean beranjak dari tempat duduknya, berdecak kesal setiap kali mengingatnya. "Dia seperti orang gila, setiap malam menghabiskan waktunya untuk menenggak minuman laknat. Menghambur-hamburkan uang untuk mencari pelampiasan. Tapi apakah kau tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Bara terdiam, tak tahu dan menunggu Sean memberitahu. Walau dalam benaknya terus bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Jujur, Bara akhir-akhir ini memang sibuk dengan kehamilan Gita yang sudah memasuki bulan kesembilan dan mendekati waktu lahiran. Ia memang tak pernah ada waktu untuk berkumpul atau sekadar menanyakan kabar sahabatnya. Apalagi Rehan juga akhir-akhir ini sibuk mengurusi perusahaan papanya, setelah perusahaannya diambil alih oleh papanya paska kejadian waktu itu.
Sean menghela napas panjang, mengusap kasar wajahnya. Ia tampak frustrasi, karena memang hanya dirinya yang tahu betul kondisi Rehan sekarang. "Rehan kehilangan kemampuannya, Bar. Dia sekarang lemah, itu sebabnya dia terus menggila mencari wanita setiap malamnya. Dan malam ini yang lebih gilanya dia sampai mengeluarkan uang sebanyak satu milyar hanya untuk mendapatkan satu wanita."
Bara mengernyit, mencoba menepis apa yang muncul dalam pikirannya. "Apa maksudmu? Jangan bilang kalau Rehan ...."
"Ya, Rehan impoten, Bar," ucap Sean, dengan berat hati memberitahu Bara apa yang terjadi pada Rehan menurut rumor yang beredar di klubnya. Walau Sean sendiri tak juga mengklarifikasi pada Rehan dan hanya berasumsi rumor itu benar.