Seminggu setelah percakapan tak terduga itu telah berlalu, Bagas sudah mulai sibuk seperti biasa, bekerja dan pulang adalah rutinitas nya.
Sore itu Bagas sudah pulang ke rumah, sengaja ingin memberikan Fina kejutan dengan membawakan makanan kesukaan Putrinya. Tapi yang ia lihat Fina sedang melamun sendirian, Bagas meneguk ludah berat, melangkah hati-hati mendekati anaknya.
"Fina."
Fina menoleh, hanya melemparkan senyuman sabit yang jelas itu cuma senyuman paksa, wajah Fina tidak menunjukkan ekspresi bahagia sedikitpun. Bagas mengambil posisi duduk disebelah Fina.
"Papah bawain makanan kesukaan kamu."
"Makasih Pah." Jawab Fina hampir tanpa riak.
Bagas menghela napas berat. "Kenapa sih? Kamu jangan begini Fin, Papah sedih lihatnya."
Fina jadi makin menunduk, tanpa diduga gadis itu menangis sesenggukan. Bagas yang terkejut langsung mendekapnya. "Kenapa hm? Cerita sama Papah." Bisik Bagas lembut.
Fina makin kencang menangis. "S-semuanya ... pergi dari aku, aku sendirian."
"Loh siapa yang pergi? Dara?"
"S-semuanya Pah, hiks ... Mamah, D-dara, dan Riki. Semu-anya pergi, Fina sendirian." Curhatnya dengan d**a sesak.
Bagas mendongak mencoba menahan panas di mata. "Kan masih ada Papah, Papah bakal temenin Fina sampai kapanpun." Bagas memegang pipi anaknya lembut.
Fina dengan hidung memerah membuat Bagas tertawa kecil. Teringat masa kecil anaknya ini. "Lebih baik kita makan dulu oke? Nanti Papah bacain dongeng sebelum tidur."
Fina meninju pelan lengan Papahnya. "Ish ... A-aku kan udah gede Pah." Ujarnya sudah bisa terkekeh.
Bagas tersenyum samar, merapikan anak rambut Fina yang berantakan. "Makanya jangan sedih, udah ayo kita makan." Ajak Bagas, dan merekapun pergi ke meja makan.
***
Ternyata gadis petakilan itu benar-benar sudah pindah, bahkan dari yang Bagas dengar dari cerita Fina tadi, Riki teman lelaki Fina dan Dara itu juga ikut pindah sekolah entah kenapa.
Bagas menghembuskan napas panjang, menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya sambil memutar bolpoin di ujung jarinya. Bagas memejamkan mata menikmati keadaan tenang yang ada ini.
"Biasanya jam segini gadis itu sedang heboh nonton Drakor di kamar Fina." Gumam Bagas tanpa sadar. "Lalu suka nyelinap ngintipin aku kerja di ruang kerja." Bagas terkekeh geli. Tapi selanjutnya Bagas jadi tersentak, membuka matanya lebar.
Shitt! Apa yang telah dipikirkan nya?!
Bagas meminum air di depannya dengan cepat, sungguh jujur perasaan antara lelaki dan wanita tidak ada diantara ia dan Dara, Bagas sangat yakin, mungkin ia cuma terbiasa saja dengan gadis petakilan yang sudah menggodanya sejak kecil itu. Tapi entah kenapa setelah melihat wajah terluka Dara akibat penolakan cintanya beberapa waktu lalu, Bagas benar-benar merasa tidak enak. Ia sungguh tak menyangka gadis itu benar-benar menyukainya, bukankah itu sangat konyol?
Bagas meraup wajahnya lelah, perlahan ia menggapai figura poto mendiang istrinya yang ada di atas meja. Bagas menatap sendu Safira.
"Sayang, apa kamu sudah tenang disana?"
***
"Sayaaaang kamu bantuin apa kek, jangan bengong mulu!!!" Omelan galak khas Emak-emak itu membuyarkan lamunan Dara, gadis yang sedang bertopang dagu sambil melongo itu mau tidak mau menoleh.
"Banyak pembantu kali Mah, gunanya jadi orang kaya tuh apa?"
Bela menggeleng tak habis pikir, tanpa pikir panjang langsung menjewer telinga Dara membuat gadis itu memekik cempreng.
"Siapa yang ngajarin kamu sombong begitu? Kalau gak mau bantu-bantu beresin rumah sekarang pergi ke Alpa beli bahan makanan!"
Aiiih ... Dara makin melenguh, panas-panas begini tuh paling enak ngadem di AC, eh ini Mamahnya malah nyuruh ia pergi ke Alpa.
"Mau berangkat sekarang atau kaset-kaset ini Mamah buang ke tong sampah?!" Ancam Bela galak menunjuk tumpukan album Blackpink yang sudah Dara koleksi sejak lama.
"JANGAAAN!"
"Makanya cepet pergi!" Sentak Bela dan kali ini langsung dipatuhi Dara tanpa cincong.
Album itu sudah seperti separuh jiwanya!
***
Dara mendorong troli dengan tak bersemangat, saking malas nya Dara rasanya ingin ikut nyebur ke dalam troli sekalian.
"Dorong yang bener!"
"Ck, siapa sih rese-- RIKI?!" Dara memekik.
Pemuda berkaos putih polos dengan balutan jaket boomber itu tampak biasa saja, membantu mendorong troli milik Dara. Dara masih memicing-micingkan matanya takut mulai halu.
"Iya ini gue." Ujar Riki seolah ingin membenarkan kebingungan Dara.
"L-loo ... n-ngapain??!" Gagap Dara.
"Gue juga pindah ke sini."
"WHAT?!" Dara memekik lebay, Riki terlihat masih tenang. Tidak mengindahkan tatapan tercengang Dara. "Lo pindah? Sumpah?"
"Ngapain sih gue bohong." Balas Riki tenang.
"Kok tiba-tiba? Kenapa gak ngasih tau gue dulu? Trus sekolah lo gimana? Dan juga—"
"Kalo lo tanyanya ngerentet kayak kereta gini gue malah lupa sama pertanyaan lo Dar." Potong Riki mendengus, Dara malah merenges. "Intinya gue pindah kesini, untuk sekolah gue juga pindah." Jelas Riki singkat.
"Kenapa sih? Ada masalah?" Selidik Dara, Riki menggeleng. "Trus kenapa lo pindah?" Pepet Dara masih tak mau diam.
"Biar gue bisa deket sama lo."
Dara makin tercengang, tak tau harus merespon bagaimana. Namun karena dasarnya gadis ini tak peka ia malah memukul bahu Riki sambil merenges geli.
"Ih geli woy!"
Riki cuma bisa tersenyum kecut.
Dara mengulurkan tangan, memasukkannya ke saku jaket Riki untuk mencari permen karet seperti biasa, tapi gak nemu apa-apa.
"Yah ... kok gak ada permen." Ujar Dara kecewa.
"Ya lo kira kantong gue ini kantongnya Doraemon apa?" Dengus Riki tapi menarik lengan Dara membawanya ke rak permen. "Pilih gih mau yang mana!" Titahnya menunjuk dengan dagu.
Dara seketika bersorak, dengan maruknya gadis itu mengambil banyaaaak sekali aneka jenis permen-permenan. Riki yang melihatnya terkekeh geli.
"Sakit gigi tau rasa lo."
"Gigi gue gak kenal penyakit."
"Pfft.." Riki makin merasa geli, tanpa sadar tangannya sudah mengacak gemas rambut Dara. "Kalo lo selucu ini gimana caranya gue gak suka sama lo sih, Dar?" Gumam Riki sangat pelan.
Tanpa tau kalau Dara sebenarnya bisa mendengarnya.
***
Bagas terlihat sedang mengetik di komputer kerjanya, tak lama suara ketukan pintu terdengar menarik atensinya.
"Masuk!"
Terlihat sekretaris nya itu masuk, Bagas mengernyit bingung karena merasa tidak memanggilnya.
"Ada perempuan yang cari Bapak."
"Saya gak punya janji temu, usir saja."
"Tapi katanya dia kenal Bapak, dia tetap ngotot ingin ketemu Bapak." Jelas sekretaris nya itu sepertinya juga sudah lelah dipaksa perempuan tadi.
Bagas makin mengernyit, siapa?
Dara?
Bagas langsung tersentak, kenapa malah mikirin bocah itu lagi sih! Bagas menggelengkan kepalanya cepat sebelum akhirnya menatap wajah menunggu sekretaris nya.
"Yaudah suruh masuk."
"Baik Pak." Lalu sekretaris nya itu sudah melenggang pergi keluar ruangan.
Bagas kembali mengerjakan berkas-berkas kerjanya selagi menunggu kedatangan tamunya, namun saat suara derit pintu terdengar tanpa ketukan terlebih dahulu Bagas menggeram hendak memarahi si pelaku.
"Kam— ... Siska?!"
"Bagaaas! Nice to meet you!" Siska berhambur ke pelukan Bagas.
"Lepas!" Sentak Bagas dingin. "Kamu tau kalau memeluk orang tanpa ijin itu sudah merupakan tindakan pelecehan?" Tanya Bagas dengan wajah mengeras.
Siska malah tertawa geli mendengarnya. "Oh ayolah Gas, jangan serius-serius amat. Ngomong-ngomong istri kamu beneran sudah meninggal?"
Bagas membanting berkas di tangannya ke atas meja sedikit keras, perempuan ini memang perlu diajari apa itu yang namanya attitude.
"Melihat keterdiaman kamu kayaknya aku bener." Ujar Siska makin tak tau diri.
"Kamu jauh-jauh pulang ke Indonesia dari Sydney bukan cuma untuk nanyain hal ini kan Sis." Ujar Bagas datar. Siska adalah teman SMA nya dulu.
"Aish kamu masih tetap Bagas yang dulu ya, yang jutek dan nyebelin."
"Kamu lebih nyebelin ketimbang aku Sis." Balas Bagas membuat Siska malah menyemburkan tawanya.
"Kamu free dong Gas berarti?"
"Maksud mu?"
Siska terlihat menyunggingkan senyuman aneh. "Kamu single?"
"Yes, aku duda."
"Aku ada kesempatan buat jadi istri kamu dong Gas?" Tanya Siska berbinar.
Bagas hampir tersedak, "Sis!" Desisnya menggeram.
"Aku serius Gas, really-really seriously!"
"Nggak ada."
"Gak mau dipikirin dulu Gas?"
"Nggak!"
"Kenapa sih? Aku cantik, kaya, berpendidik—"
"You're not my type!" Tandas Bagas menusuk tepat.
Bibir Siska hampir terjatuh dari tempatnya. What??! Bagas sepertinya harus dirukyah dulu biar sadar seberapa perfect nya dia.
"Udah kan, sekarang kamu bisa keluar." Usir Bagas terang-terangan.
"Gas—"
"Atau kamu lebih suka pakai kekerasan?" Bagas ingin menghubungi satpam kantornya.
Siska terlihat luar biasa jengkel, dengan kaki beralas high heels 7 cm itu, ia menendang meja kerja Bagas lalu berbalik keluar ruangan. Bagas hampir tenang sesaat sebelum mendengar ucapan Siska dari luar pintu.
"Kamu lihat aja aku gak bakalan nyerah sebelum kamu terima aku!!" Teriak Siska cempreng lalu baru benar-benar pergi.
Bagas memijit pangkal hidungnya yang berdenyut.
Baru juga Dara pergi dan bisa membuat hidupnya tenang, tapi kenapa malah datang perempuan modelan begini lagi Tuhan???
***
TBC.