"A-apa Dar?" Riki tercengang.
Dara menatap mata Riki lurus. "Aku mau kita putus, kita temenan aja ya." Dara dengan tanpa dosa malah ngajak temenan Riki.
Riki melotot lebar, raut wajahnya terlihat sangat seram karena pertama kali ia melihat Riki seperti ini. "Putus? Segampang itu Dar lo mutusin gue? Apa alasannya?!" Tuntut Riki tak terima.
Dara meneguk ludah susah payah. "Maaf banget Rik, jujur ... gue gak pernah suka sama lo." Dara menunduk takut.
Riki hampir terhuyung jatuh, pemuda tampan itu terlihat luar biasa syok. "J-jadi hubungan kita selama ini cuma .. main-main?" Riki terkekeh miris.
Dara membuang muka, benar-benar tak tega melihat wajah Riki sekarang, ia sadar kalau sudah sangat jahat pada Riki, tapi Dara justru akan lebih jahat kalau terus-terusan membohongi Riki perihal perasaannya sendiri.
Kalau tau akan begini pasti Dara tidak akan bermain perasaan dengan Riki. Dara sangat menyesal.
"D-dar ... kita bicarakan baik-baik ya, gak perlu putus, ok?" Riki memegang erat telapak tangan Dara, menatapnya penuh permohonan. Kedua mata lelaki itu terlihat berkaca-kaca.
Dara menggigit lidahnya kelu. "Jangan begini Rik, lo pantes dapetin perempuan lain yang lebih baik daripada gue."
"Gak bisa Dar! Gue cuma cinta lo!!" Suara Riki naik satu oktaf. "Cuma lo ... cuma lo yang gue suka, jadi pliss jangan begini." Lirihnya bergetar.
Fina yang masih mengumpat dari posisinya ikut menangis karena melihat betapa besarnya rasa suka Riki kepada Dara. Padahal Dara telah menyakitinya, kenapa Tuhan tidak memberikan kesempatan untuknya berada di posisi Dara.
"Rik ... ada orang lain yang gue suka." Jujur Dara seperti pukulan telak untuk Riki, Riki merasakan nyeri yang teramat di dadanya.
"Lo ..... selingkuh Dar?"
Dara terdiam, benar-benar tak tau harus menjawab apa. Mau mengelakpun tak mungkin karena memang nyatanya ia yang bermain api. Dara bersumpah ini pertama dan terakhir kali untuk nya melakukan hal sehina ini.
"Oh ternyata begitu Dar." Riki terkekeh serak, menahan emosi yang hampir ke ubun-ubun. "Gue gak nyangka lo bakal giniin gue Dar."
Dara memilin-milin ujung kaosnya, perasaan bersalah yang teramat dalam entah kenapa membuatnya sangat ketakutan, Dara berjongkok, memukul dadanya karena detak jantungnya tiba-tiba berdegup menggila.
"Padahal gue kira lo itu cewek yang sempurna, ternyata lo lebih b******k ketimbang cewek lain Dar!" Riki sudah kepalang emosi, ucapannya terlontar begitu saja. "Gue doain lo nanti bakal ngerasain apa yang gue rasain sekarang Dar, biar lo tau gimana rasa sakitnya." Riki mengakhiri ucapannya, menunduk dengan senyuman miring melihat Dara yang wajahnya terlihat makin pucat.
"R-rik ... " Dara berusaha menggapai tangan lelaki itu, tapi Riki langsung menepisnya. "Tolong maafin gue, gue akan berlutut kalo lo mau." Dara yang sedang berjongkok sambil menekan dadanya dengan kesusahan berlutut, bukan harga diri lagi yang kini ia pikirkan karena Dara merasa sangat berdosa.
"Gue gak perduli lo mau berlutut atau mati sekalipun Dar!" Itu adalah ucapan terakhir Riki sebelum pergi meninggalkan Dara dengan kekecewaan yang teramat.
Dara menangis terisak-isak, sekujur tubuhnya gemetaran hebat tapi Dara sudah tidak peduli karena yang ia pikirkan cuma rasa bersalahnya.
Tap.
Dara sedikit tersentak saat melihat Fina yang tiba-tiba berdiri di hadapannya, dari mana munculnya Fina?
"F-fin .. "
"Gue gak tau kalo lo bisa berbuat semenjijikkan ini Dar." Dara tertegun, Fina menatap datar Dara. "Lo tau gak Dar? Gue sebenarnya suka sama Riki tapi mati-matian gue pendem rasa suka gue karena tau kalau kalian pacaran. Tapi barusan ... lo ternyata selingkuhi Riki? Kurang apa Dar lelaki sebaik Riki?!" Pekik Fina entah kenapa jadi ikut menghakimi Dara, sejujurnya Fina merasa sedikit tak adil karena Dara bisa membuang sesuatu yang mati-matian diinginkan Fina.
Dara luar biasa terkejut mendengar pengakuan Fina, membuat napasnya terdengar makin terputus-putus, "Fin ... g-gue gak tau kalau lo—"
"Lo gak tau karena memang gue sengaja jaga perasaan lo Dar, kalau tau akhirnya bakal begini pasti gue udah rebut Riki tanpa ragu!" Fina menatap rendah Dara. "Gue muak sama lo!" Kemudian berlalu pergi.
Lagi, Dara ditinggal. Namun kali ini Dara terlihat sudah diujung batasnya, keringat sudah membasahi sekujur tubuhnya, Dara menunduk merasakan ketakutan yang seperti perlahan membunuhnya.
Dara terkekeh miris melihat keadaannya sendiri.
Gue emang pantes dapet ini semua.
Dan tak lama tubuh ringkih gadis itu menghantam kerasnya ubin lantai.
***
Semua gelap, hanya tercium bau obat dan suara mesin yang asing di telinga Dara. Gadis itu dengan kepayahan membuka kelopak matanya, mengelilingkan tatapannya ke seluruh penjuru ruangan.
"Sayang."
Suara lembut yang memanggilnya membuat Dara menoleh, terlihat Ibunya mendekat kearahnya dengan tatapan syukur.
"Mah."
"Ada yang sakit?"
Dara menggeleng kecil, Mamahnya langsung mengambilkan air minum dan membantu Dara untuk duduk, dengan lembut wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mengusap wajah Dara lembut.
"Kenapa 'sakit' kamu bisa kambuh, hm?" Tanya Mamah nya pelan, tak ingin terlihat seperti sedang menginterogasi.
Dara menatap kosong kearah Mamahnya. "Mah, aku seburuk itu ya?"
"Sshhh siapa yang ngomong begitu? Kamu itu Putri Mamah yang paling sempurna." Tegasnya mutlak.
Dara tersenyum kecut, memilih memejamkan matanya. "Aku capek Mah, capek." Lirihnya.
Bela menatap Putrinya ini sendu, Dara yang dikenalnya tidak mungkin seperti ini, apa yang membuat Dara terlihat sangat tertekan?
"Gimana Pah?" Tanya Bela menghadap suaminya yang baru masuk.
Lelaki paruh baya bertubuh atletis itu memijit ujung hidungnya, perwatakan humoris yang biasanya ia tampilnya lenyap begitu saja, kali ini Heri terlihat sangat khawatir.
"Sakit Dara kambuh Mah, padahal sudah belasan tahun Dara sembuh, tapi kenapa bisa tiba-tiba seperti ini?" Lirihnya pelan.
Takut kalau gangguan kecemasan Dara berakibat lebih fatal nantinya.
***
Beberapa hari semenjak pertengkaran hebat tersebut keadaan terlihat tenang-tenang saja, tapi siapa yang tau isi hati seseorang kan?
Riki dan Fina diam-diam merasa cemas karena hampir 1 minggu Dara hilang bagai angin, bahkan pihak kampus terlihat seperti menutupi, sebenarnya ada apa ini?
"Fin lo tau Dara kemana?" Riki sudah tak sanggup menahan lagi, hanya berlandaskan gengsi dan ego tidak akan memperbaiki apapun.
"Gue gak tau Rik, bahkan rumah Dara sudah sepi beberapa hari ini."
Riki terkesiap, apa mungkin ... Dara pergi meninggalkannya? Riki mengusap wajahnya frustasi, sebenarnya ucapannya kemarin hanya sebatas luapan emosinya sesaat, jujur Riki masih sayang pada Dara meskipun sudah tidak sebesar rasa sukanya dulu.
"Lo punya nomer orang tuanya Dara?"
Fina menggeleng. "Semenjak keluarga Dara pindah ke Sulawesi dulu, aku udah lost contact dan belum sempet minta nomernya lagi."
Sekarang mereka berdua terlihat sangat kebingungan, masalahnya entah kenapa w******p Dara offline terus, bahkan HP nya pun juga mati.
Sebenarnya ke mana perginya Dara???
Di lain tempat ada seorang lelaki yang juga ikut kebingungan perihal hilangnya Dara secara dadakan. Bagas melirik dari jandela rumahnya ke rumah Dara yang ada di seberang, tetap saja rumah tersebut sepi seperti tidak ada penghuni.
"Kamu kemana Dar?" Lirih Bagas kembali menelepon Dara. Sepertinya sudah tak terhitung banyaknya miscall yang ia lakukan tapi jawaban operator tetap sama.
HP Dara tidak aktif.
Bagas mengacak rambutnya frustasi, terlihat memejamkan matanya berat. Dengan cepat ia keluar rumah, kali ini Bagas akan nekad pergi ke rumah Dara.
"Jangan harap kamu bisa ninggalin aku Dar, karena kamu sudah berani masuk ke hati aku." Bagas sudah tak peduli kalau nantinya akan di tatap aneh oleh penghuni rumah Dara, yang ia pikirkan sekarang hanya Dara.
Kekasih kecilnya.
"Loh Pak Bagas? Ada apa ya Pak?"
Bagas tersenyum ramah kearah satpam penjaga rumah Dara yang membukakannya pintu. "Ehm, saya cuma ingin tanya keluarga Pak Heri kemana ya Pak? Saya amati kok beberapa hari ini terlihat sepi." Bagas mencoba terlihat senatural mungkin.
Satpam rumah tersebut tersentak, lalu terlihat seperti ingin menutupi sesuatu membuat Bagas mengernyit makin curiga.
"Ada apa Pak?"
"I-itu Pak Bagas ... eung, s-saya gak berani ngomong apapun sekarang. Lebih baik Bapak nunggu sampai Non Dara sekeluarga balik saja." Satpam tersebut seperti ingin mencari jalan aman.
Bagas memicing, kali ini tatapannya berubah datar dan tajam. "Kasih tau saya, sebenarnya apa yang terjadi!" Tuntut Bagas dengan nada memaksa.
Satpam tersebut makin ketar-ketir sendiri. "T-tapi Pak, itu ... saya gak ada hak buat menjelaskan masalah keluarga Non Dara."
"Sebenarnya ada apa sih? Jangan bikin saya emosi, cepat jawab jujur Pak!" Ekspresi garang Bagas membuat satpam tersebut makin terpepet, kenapa tetangga satu ini ngebet banget coba ingin tau urusan keluarga Non Dara, batin satpam tersebut sambil mengusap keringat di pelipisnya.
"Pak saya juga gak mungkin berbuat jahat, Bapak kan tau saya tetangganya." Bagas masih negosiasi, kali ini tak mau mundur begitu saja.
"Ini masalahnya menyangkut penyakit Non Dara, Pak. Saya gak berani beberin apapun."
Bagas melotot lebar. "Penyakit? Dara sakit apa Pak?!" Pekik Bagas hampir membentak.
Satpam tersebut langsung tepok jidat, yassalam kenapa dirinya malah keceplosan.
"Jawab saya, Dara sakit apa?!!!" Bagas sudah hampir menggila. Karena Dara yang dikenalnya tidak memiliki penyakit apapun, apalagi ia sudah mengenal Dara sejak kecil.
"T-tapi Pak ... "
"Saya mohon kasih tau saya, saya mohon." Bagas tanpa diduga mengatupkan tangannya di depan d**a, membuat satpam tersebut jadi tak tega.
"Penyakit Non Dara ini ... eung," Satpam tersebut melirik kanan kiri kebingungan bagaimana akan menjelaskan nya. "Bukan penyakit semacam kanker, tumor, atau sebagainya." Bagas mengernyit mendengar penjelasan bertele-tele satpam tersebut. "Tapi ini lebih ke penyakit ...... mental." Diakhiri cicitan pelan.
Bagas membatu, apa katanya? Mental? Setahunya Dara tidak pernah aneh, Dara bahkan cenderung normal-normal saja? Bagas makin pusing sendiri karena memikirkan hal yang tidak diketahuinya.
"B-begini Pak, sebenarnya gangguan kecemasan Non Dara sudah sembuh sejak Non Dara berusia 9 tahunan, tapi gak tau kenapa tiba-tiba kambuh begini."
Bagas seperti tersengat.
Apa? G-gangguan kecemasan?
"Dimana Dara sekarang?" Tanya Bagas menatap satpam di depannya tanpa ekspresi.
"Itu .. "
"Tolong kasih tau saya, dimana Dara sekarang!"
Satpam tersebut menghela napas panjang, sebelum akhirnya pasrah memberitahukan lokasi keluarga Dara. Bagas selanjutnya membalik badan dan berlari menuju mobilnya.
Bagas meninju stir kemudi, kenapa ... Dara menyembunyikan hal sebesar ini darinya?
***
Bagas berjalan cepat setelah mendapat nomor kamar Dara, raut wajah pias nya sudah tidak dapat disembunyikan lagi. Di sana terlihat Heri yang sedang menenangkan Bela, Bagas meneguk ludah, mulai merasa ketakutan.
"Pak Heri." Panggilnya membuat Heri menoleh.
Pasangan paruh baya tersebut terlihat kaget melihat kedatangan Bagas. "Loh Gas? Kamu kok disini?" Tanya Heri, karena umur Bagas yang masih cukup muda Heri pun selalu bicara santai pada tetangganya ini.
"Saya mau jenguk Dara."
Heri dan Bela spontan saling lirik penuh arti. "Kamu tau darimana Dara ada disini?" Tanya Heri terdengar tak enak.
"Maaf kalau saya kesannya lancang, tapi saya memaksa satpam Bapak buat kasih tau tempat Dara." Jujurnya tak mau menutupi apapun.
Heri terlihat menghela napas panjang. "Yasudah lah, orang udah terlanjur juga, kalau begitu saya titip Dara sebentar bisa?" Karena ia ingin mengajak istrinya makan, sejak Dara di rawat di rumah sakit Bela selalu makan tidak teratur.
Bagas mengangguk cepat. "Baik, lama juga saya gak masalah!" Serunya terlampau semangat membuat Heri mengernyit aneh. Seolah sadar Bagas langsung sok-sokan mengalihkan pandangan. "Yaudah kalau begitu saya masuk dulu." Pamitnya cepat sebelum melenggang buru-buru masuk ke kamar inap Dara.
Heri dan Bela diam-diam menatap tak terbaca kearah Bagas.
Di dalam ruangan terlihat Dara sedang membaca buku dengan tenang, mendengar langkah kaki mendekat membuat Dara reflek menoleh.
Dan buku yang dipegangnya seketika jatuh. "Om Bagas." Dara mengatupkan bibirnya syok.
Bagas mendekat dengan ekspresi datar nya membuat Dara menggigit bibirnya sedikit ciut. "O-om .. "
Grep.
Bagas memeluk tubuh Dara erat, sangat erat. "Aku sudah tau semuanya." Bisik lelaki itu lirih.
Dara membatu, terkejut bukan main. "Om bakal ninggalin aku?!"
Bagas spontan memegang pipi Dara dan menatap wajahnya lekat. "Nggak."
"Om bohong, pasti Om jadi ilfil kan sama aku karena aku punya penyakit mental!"
"Dar please..." Bagas mengusapkan ibu jarinya ke pipi mulus Dara lembut. "Aku gak akan ninggalin kamu, tapi aku mohon lain kali kamu harus jujur sama aku. Kamu gak tau kan betapa paniknya aku cariin kamu?" Bagas menyendukan matanya.
Dara mulai berkaca-kaca, langsung berhambur memeluk Bagas erat. "Aku gak tau kalau penyakit sialan ini akan balik lagi, aku dulu udah sembuh Gas." Dara merekas punggung Bagas menumpahkan keluh kesahnya.
"Sssh, iya aku tau, kali ini kamu juga pasti akan sembuh lagi, percaya sama aku." Bagas mengecup tengkuk Dara sayang.
Dara menyandarkan kepalanya ke d**a bidang Bagas, keduanya berpelukan dalam waktu cukup lama. Bagas perlahan memiringkan wajahnya mendekat, kode yang sangat Dara paham.
Namun tiba-tiba kilat ingatan soal kejadian dengan Riki dan Fina berputar membuat Dara reflek membuang muka.
"Mph, a-aku gak yakin soal ini."
Bagas mengerjap, "maksud kamu?"
Dara memilin ujung bajunya pelan. "Fina pasti gak akan restuin hubungan kita Gas."
Bagas menatap Dara kaget. "Kenapa kamu berpikiran seperti itu?"
Dara menoleh kembali kearah Bagas, menatap sedih. "Fina udah benci sama aku Gas." Lirihnya.
Bagas makin kaget, "sebenarnya ada apa? Cerita sama aku?" Bagas menatap Dara serius.
Dara menelan ludah untuk membasahi kerongkongan nya yang kering, dengan ekspresi muram nya ia terlihat sangat tertekan.
"Ternyata selama ini Fina suka sama Riki."
Dan seketika Bagas melotot lebar-lebar. "HAH?!"
***
TBC.