Bab. 1
Jakarta, pada Minggu sore.
Ben kembali kedatangan tamu tak diundang, seorang pria berpakaian necis bertampang menyebalkan. Pria tersebut memiliki postur tubuh tinggi kurus, berahang keras dan bertulang pipi sedikit menonjol. Tampak aneh bagi Ben, tapi ia paham seperti apa karakter tamunya itu dimulai dari awal ia bicara.
"Gua pengen lo habisi cewek ini!" perintahnya tanpa basa-basi, sedikit menaikkan sudut bibirnya yang tebal sembari menyodorkan selembar foto di atas meja, tepat di hadapan Ben.
Ben menghisap rokok yang terselip di jarinya dalam-dalam dan mengepulkan asap dari mulut membentuk gulungan panjang. Kemudian tatapan tajamnya menghujam wajah si pria necis. "Cewek? Siapa dia?" tanya Ben dengan suara baritonnya.
"Cewek itu ... bisa dibilang ancaman bagi gua," jawab pria necis itu agak gugup.
Mudah saja bagi Ben menebak apa yang terjadi setelah melihat foto yang ada di hadapannya. Seorang gadis bermata sendu, tersenyum tipis tampak dipaksakan. Ben bisa melihat, ada banyak tekanan dalam garis wajah gadis itu.
"Apa dia kekasihmu?" tebak Ben, satu alis tebalnya terangkat.
Benar saja, ekspresi wajah tamunya itu langsung berubah. Ben tersenyum sinis, ia sudah tidak terkejut lagi soal ini. Seorang pria datang dan memerintahnya untuk menghabisi seorang gadis, pasti masalahnya tidak jauh-jauh dari perihal percintaan, perselingkuhan, dan semacamnya. Ben mengira-ngira, mungkin saja pria necis bertopi ini tengah putus asa menghadapi kekasihnya.
"Dia mantan," ketus si necis, lalu memutar bola matanya, jengah. "Lo ini pembunuh bayaran apa tukang interview calon karyawan, sih?"
Ben menyeringai tipis. Bukannya kesal, ia justru kembali bertanya, "Siapa namamu?"
"Gua Aris."
"Nama yang keren," puji Ben, "usiamu?"
"29 tahun."
"Saya rasa usiamu dan usia gadis dalam foto itu nyaris sama. Hanya saja, kau terlihat tampak lebih tua." Ben memegang dagunya, menatap pria necis dengan saksama. Masih dengan sikap dinginnya.
"Apa peduli lo, huh?" Aris kesal. Diam-diam ia mulai membenci si pembunuh bayaran yang tampak angkuh di hadapannya.
Ben memang dikenal seorang pembunuh bayaran yang dingin, kaku, dan angkuh. Namun sebenarnya, ia memiliki kepekaan rasa cukup sensitif. Dari pengalamannya yang sudah puluhan tahun terjun dalam misi pembunuhan, banyak bertemu bermacam ragam orang dari berbagai daerah, kota dan bahkan negara, Ben cukup ahli menilai sifat, dan karakter setiap orang.
Tak ada yang tidak mengenal nama Ben, sebagai pembunuh bayaran profesional dari kalangan para pembunuh. Hal paling gila, Ben mampu melenyapkan target tanpa meninggalkan jejak apapun. Ia lenyap bagai asap. Canggihnya lagi, Ben tidak sembarang menerima perintah meski bayarannya berlipat ganda.
"Baiklah, coba kau informasikan mengenai gadis yang kau inginkan kematiannya itu. Saya perlu data agar mempermudah pekerjaan saya." Ben mematikan puntung rokok di tangannya dengan menekannya kuat-kuat dalam asbak. Sebelum kepulan asap rokok benar-benar lenyap berbaur dengan angin, Ben sudah menyiapkan catatan kecil untuk menampung informasi penting dari Aris. Ia sedikit repot karena pria itu menolak mengirim data via email.
Aris mulai mengeluarkan ponselnya dan melihat data yang sudah dia tuliskan tentang gadis yang ingin dia lenyapkan melalui Ben. Mulai dari nama, alamat, kegiatan, nama beserta alamat rumah beberapa sahabat dekatnya. Tidak lupa Aris memberikan nomor kontak gadis tersebut tersebut diikuti lincah tangan Ben mencatat semua informasi.
"Kalau berhasil, gua janji bakal bayar tiga kali lipat dari tarif yang sudah lo tentuin."
Ucapan Aris tampak konyol dinilai Ben. Ia menganggap, Aris masih bocah ingusan yang masih dikuasai oleh nafsu dan ego yang tinggi.
"Saya tidak menyukai janji palsu. Siapkan saja semuanya sesuai perjanjian. Jangan coba lari setelah misi selesai, jika tidak ingin kepalamu akan saya penggal," tegas Ben sungguh-sungguh. Melihat dari sikap Aris yang dinilai kurang meyakinkan baginya, Ben perlu menanamkan rasa tanggung jawab penuh pada si necis itu.
"Jangan khawatir, Bos. Aman. Gua gak bakal kabur," sinis Aris. Ia agak tersinggung dengan ucapan Ben barusan. "Kira-kira, lo berapa lama matiin orang?" lanjutnya penasaran.
"Satu detik," sahut Ben mantap.
Alis Aris bertaut, ia menatap Ben tak percaya.
"Gila juga lo." Aris tampak bersemangat. "Tapi hati-hati, Bos. Itu cewek lagi hamil."
Ben yang baru saja menenggak botol minumannya tiba-tiba tersendak.
"Sorry, Bos." Aris menyadari kesalahannya.
Kedua mata Ben tajam menguliti wajah Aris. Pria necis itu membasahi bibirnya dengan sapuan lidah berulang kali. Ben tahu, mulut dan tenggorokannya mulai terasa kering.
"Kau ingin menghabisi wanita hamil?" Ben bertanya serius setelah mengelap mulutnya.
Udara dalam ruangan terasa pengap dan sesak. Aris sudah mengacaukan mood-nya dengan memintanya menghabisi seorang wanita hamil. Sejarah baru bagi Ben jika ia mampu melenyapkan gadis itu. Sayangnya, nurani Ben menolak. Seberapapun jumlah yang ditawarkan padanya.
Kepala Aris tertunduk, jari jemari tangannya saling mengunci. Ia kesulitan mencari alasan yang tepat di hadapan Ben.
"Saya menolak tawaran ini." Ben segera mengambil alih. "Saya bisa saja membunuh orang begitu brutalnya, saya rasa kaupun sudah banyak tahu tentang saya akan hal itu. Tapi percayalah, tangan saya bersih dari membunuh anak-anak dan wanita berperut besar."
"Kenapa? Bajingan tetap aja bajingan!" Wajah Aris terangkat. Dia tak dapat menyembunyikan kekesalannya setelah mendengar penolakan Ben.
"Jangan bersikap bodoh, Aris. Kau memiliki alasan untuk melenyapkan gadis itu, dan sayapun memiliki alasan untuk menolaknya." Ben menyilangkan kedua tangan di dada dengan punggung bersandar di kursi.
Melihat Aris tampak kebingungan, Ben menambahkan, "Kalau kau mau, tunggulah sampai bayinya lahir."
"Halah! Kelamaan!"
***
Sepeninggal Aris dari markasnya beserta umpatan kekecewaan pemuda itu, Ben merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Bukan karena sikap Aris yang menyebalkan dan perilakunya yang jauh dari kata pria dewasa, tetapi gadis yang hampir saja ia bunuh itu menyisakan banyak pertanyaan dalam pikirannya.
"Siapa gadis itu sebenarnya?" gumam Ben, manik matanya terus menatap foto gadis yang ada di tangannya.
Ben terus memikirkannya, apakah bayi yang dikandung adalah anak Aris? Atau anak pria lain sampai Aris murka dan menginginkan kematiannya?
"Ah, sial!" runtuk Ben memukul meja keras-keras.
Ben menyukai tantangan, ia nyaris tak pernah melewatkan kesempatan untuk membunuh siapapun yang dianggapnya pantas. Maka dari itu ia kerap menanyakan banyak hal tentang mengapa target harus dilenyapkan. Apa hubungan di antara keduanya dan banyak hal lain yang harus Ben pertimbangan sebelum memutuskan menerima tawaran. Perihal menjalani misi bukan sesuatu yang sulit, Ben tak diragukan dalam hal ini. Namun, ada beberapa jadi catatan penting, ia tidak menyukai perintah asal semacam Aris atau pria lainnya untuk menginginkan kematian seorang wanita. Ben lebih menyukai membunuh pria brengsek, bajingan, atau semacamnya yang memang berhak mendapatkan hukuman. Sudah ratusan pria berakhir di tangan Ben dengan tingkat kematian yang sama mengerikannya.
Ben kembali terpengkur di atas kursinya, sudah dua botol minuman ia habiskan sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menyelidiki gadis tersebut.
"Nayla Putri," sebut Ben mematuk-matuk foto gadis itu dengan telunjuknya. "Kita bertemu besok." Ben segera memasukkan foto gadis itu dalam dompetnya beserta catatan yang sudah ia dapatkan dari Aris.
Malam ini, ia harus menyusun strategi. Entah gadis itu pantas ia bunuh atau tidak!