'Cause I-I-I'm in the stars tonight
So watch me bring the fire and set the night alight
Shoes on, get up in the morn'
Cup of milk, let's rock and roll
King Kong, kick the drum, rolling on like a Rolling Stone
Sing song when I'm walking home
Jump up to the top, LeBron
Ding dong, call me on my phone
Ice tea and a game of ping pong, huh
This is getting heavy
Can you hear the bass boom? I'm ready (woo hoo)
Life is sweet as honey
Yeah, this beat cha-ching like money, huh
Disco overload, I'm into that, I'm good to go
I'm diamond, you know I glow up
Hey, so let's go
Aku terus bernyanyi seraya menyedot minuman.
"Rose lagi ngapain berisik banget ini, ih!"
Gerutuan Mami tiba-tiba menyetopku yang sedang asyik berkaraoke dengan sapu.
"Mami ganggu aja," sungutku seraya mengecilkan volume musik yang lagi berdentam.
Sepi.
"Kamu lupa Mami lagi sakit?" tanya Si Mami.
"Enggak lupa, cuma lagi BT aja, Mami Sayang!"
"BT gegara seharian beres-beres terus, ya?"
Bukan cuma itu sebenarnya, walau di hati enggak bisa menolak juga karena benar.
"Mami suka sensian, deh," kilahku tak enak.
Aku bukan ingin berbohong, hanya di saat ini mana mungkin harus sejujur itu?
"Anak Mami ternyata sekarang sudah berubah."
"Berubah?"
Ya kali aku jadi Sailor Moon, gitu? Di dunia ini memang enak kalau punya kekuatan kayak Sailor Moon, tapi aku bukan berarti pengen berubah seperti dia juga. Cukup jadi secantik Jisoo saja sudah sangat cukup.
"Berubah jadi Cinderella tanpa ibu tiri jahat."
"Memang bukan ibu tiri yang jahat di sini."
Aku melirik Mami, berharap dia tidak marah.
"Jadi maksud kamu Mami adalah ibu jahat?"
Bukan aku yang bilang, kan? Merasa sendiri sepertinya. Baguslah kalau dia merasa.
Siapa tahu setelah ini Mami lebih baik kepadaku.
Walau rasanya itu akan menjadi satu keajaiban.
Keajaiban yang mungkin hanya akan terjadi saat komet Harley kembali di pandangan.
***
"Mami kamu sakit apa?" tanya Leong perhatian.
Sumpah anak satu ini bikin hidupku semrawut.
"Mami kecapean aja mungkin, Leong Sayang."
"Kamu mungkin harus lebih menjaga Mami!"
"Menurut kamu, selama ini aku kagak jagain?"
Demi apa dia ngomong seperti itu dan santai?
Dia pikir aku selama ini ngapain? Aku gini-gini perhatian sama Mami. Sedih juga kalau Mami sakit. Seenaknya dia bilang begitu.
"Bukan begitu, tapi harus lebih sering jagain!"
"Sering yang kamu maksud itu kayak gimana?"
"Ya kamu sering-sering bantuin Mami kerja."
Sumpah demi apa pun, aku sedikit tak suka.
Mana berhak dia bilang begitu ke aku seenaknya?
"Memangnya kamu siapa bisa bilang begitu?"
Memangnya aku harus lapor saat ada pekerjaan Mami yang kukerjakan? Di mana rasa empatinya ke aku? Malah dia terkesan mau bilang aku pemalas.
Dengan kesal aku meraih bantal sofa dan melemparkannya ke arah Leong keras-keras.
Aku tahu dia gelagapan karena tidak siap.
Rasakan kekuatan bulan Sailor Moon marah!
"Pergi dan jangan pernah datang lagi, Leong!"
Tak peduli jika nanti Mami marah ke aku.
"Kamu jangan marah gitu, Rose!" kata Leong.
"Marah atau enggak itu urusanku dan bye!"
Aku berlari ke kamar untuk menjauhi Leong.
"Rose!"
Buset dah dua orang ini kompak amat manggilnya!
"Jangan banyak tanya, Mam!" ujarku kesal.
Bosan sekali rasanya aku harus terus menurut.
"Biar aja dulu, Tan!" kata Leong tanpa ekspresi.
"Bilang sama dia, Mam, jangan datang lagi!"
Aku sudah benar-benar muak dengan Leong.
***
"Rose pagi banget bangunnya?" tanya Mami.
"Kalau siang-siang nanti Mami marah lagi."
Aku menenggak segelas air dingin di dapur.
"Mami sebenarnya cuma mau kamu mandiri!"
"Memangnya Rose selama ini kurang mandiri?"
"Menurut kamu sendiri gimana, Rose Sayang?"
"Rose rasanya enggak manja dan agak mandiri."
"Agak?"
"Agak mandiri karena seringkali Rose dilayanin."
"Berarti memang bukan 'agak'," jawab Mami.
"Terserah Mami aja mau anggap Rose gimana!"
"Jangan sensi-sensi, masih pagi, Rose Sayang!"
"Abis Mami kan mana mau ngalah ke Rose!"
"Sebelah mana yang bikin Rose bilang begitu?"
Sebelah mana? Sebelah semuanya. Ya semuanya!
Entah ada sisi mengalah dalam diri Si Mami atau enggak. Kayaknya enggak ada seingatku. Semua kemauan Mami harus dituruti.
"Pagi-pagi bisa enggak ngobrolin yang santai?"
Aku bangun bukan untuk debat sama Mami.
"Mami santai, kenapa Rose ngegas ke Mami?"
Aku ngegas kata Mami? Gimana mau santai kalau Mami pagi-pagi mancing keributan sama anak semata sapinya. Jangan salahin aku yang jadi ngegas!
"Jangan ngomongin hal yang sensitif, Mam!"
"Maafin Mami kalau Rose tersinggung karena—"
"Jangan minta maaf juga, Mam, biasa aja!"
"Ya harus minta maaf donk," jawab Si Mami.
Rasanya aneh mendengar permintaan maafnya.
"Mami apaan, sih?" tanyaku bergetar, gelisah.
Entah mengapa rasanya Mami enggak kayak biasanya. Dengar Mami minta maaf itu rasanya baru kali ini. Sudah seharusnya aku merasa aneh, kan?
"Pesan Mami, jadilah Rose yang kuat, ya!"
Sumpah demi apa pun, aku sedih dan bergetar.
Rasanya Mami kayak lagi berpidato di perpisahan.
"Mami jangan bikin mewek Rose gini napa?"
"Jangan mewek, nanti cantiknya ilang loh!"
Mami membuatku benar-benar tidak terkendali.
Kupeluk Mami yang sedang sibuk di dapur.
Kentang dan pisau yang dipegangnya diletakkan.
"Mami jangan bikin Rose sedih begini donk!"
Mami membalikkan badan dan mulai memelukku.
Aku merasakan pelukan hangat dari Mami.
Pelukan yang entah berapa lama aku kehilangan.
"Mami cuma mau Rose bahagia," ujar Mami.
Aku merasakan pelukan Mami makin erat.
Aku pun melakukan hal yang sama ke Mami.
Kami saling memeluk dan mungkin di hati ini masing-masing sedang sibuk menikmatinya.
"Maafin Rose yang manja," bisikku ke Mami.
Mami mengangguk seraya bertambah erat pelukannya di tubuhku. Rasanya sampai sesak dan susah bernapas. Ya mungkin karena Mami begitu terharu mendengarnya.
"Maafin Mami yang suka ngatur," ujar Mami.
"Jangan banyak ngatur Rose lagi abis ini!"
"Mami janji, Sayang!" bisik Mami dari posisinya.
Sepertinya penderitaanku yang harus terus dekat-dekat Leong akan segera berakhir.
"Terima kasih banyak, Mam," ujarku cepat.
"Cuma untuk urusan Leong, mending pikirin—"
"No!"
Rasanya sudah saatnya aku menolak Leong.
Kalau kemarin sempat takut, kali ini enggak.
"Kalau memang Rose sudah memutus, silakan—"
"Mami jangan khawatir, Rose bukan bocil!"
"Percaya."
Kami saling melepas pelukan. Sedikit canggung karena jarang sekali terjadi hal semacam ini. Akan tetapi, semua kecanggungan berakhir, saat sebuah suara membuyarkan konsentrasi dua wanita ini.