Bab 15: Tersihir

2183 Kata
Aku masih berkutat dengan lembaran kuisioner. Mulai menyalin dan memasukkan ke bagan. Lagu A Thousand Years mengalun di kamarku. Tiba-tiba bayangan kejadian di mobil muncul. Rasanya detak jantungku mulai tidak terkendali. Aku memejam, berusaha melupakan itu. "Kenapa aku kayak orang bego begini, sih?" Lembar-lembar kertas yang tadi rapi, kini berantakan karena tubuhku yang berguling-guling. "Anak Mami kesambet?" tanya Mami sembarangan. "Enak aja kesambet!" ketusku seraya duduk. Ternyata Mami yang kuanggap orang menyebalkan karena suka memaksa membawakanku segelas besar s**u di tangan lembutnya itu. Dia menyodorkan s**u hangat tanpa basa-basi. "Harus banyak minum s**u biar sehat terus." "Mami tumben perhatian banget ama Rose!" Mami hanya tersenyum. Menyuruhku bangun dan segera meminum s**u itu agar tidak keburu dingin. Tak lupa dia juga berpesan agar aku semangat. Mendengar Mami yang perhatian itu, hati ini terasa menghangat. Aku jadi tidak lagi merasa menjadi Cinderella. Kayak dunia ini berbalik 180 derajat. "Biar kamu enggak curiga kalau anak pungut!" "Jahat banget, ih, Mami!" teriakku ke Mami. Susu hangat sudah tandas. Gelas aku kembalikan lagi ke Mami. Biar saja Si Mami yang mencucinya seperti biasa. Mami langsung pergi setelah gelas itu kembali. Entah mengapa aku merasa Mami itu berbeda. Biasanya wajah Mami terlihat berseri-seri. Namun, beberapa hari ini Mami agak murung. Aku juga merasa Mami agak pendiam dan cenderung menjaga jarak. Entah benar atau hanya perasaanku saja. Itu menurutku agak aneh. Memiliki Mami yang ceria dan sering mengomel tidak selalu membuat aku bahagia. "Aaahhh!" Aku mendengar teriakan dari bawah sana. Jangan-jangan itu suara Mami. Cuma kenapa Mami teriak begitu? Suaranya mirip orang terkejut sekaligus sakit di lantai satu. "Mami kenapa teriak?" tanyaku agak kebingungan. "Tolong Mami, Rose!" rintih Mami tak kencang. "Mami di mana?" tanyaku lagi sambil mencarinya. "Dapur." Aku segera mencari Mami ke sana. Di dapur itu, Mami sedang menunduk ke wastafel yang terlihat masih ada gelas dan piring. Mungkin Mami baru saja bisa untuk melakukannya. Maklum Si Mami memang lumayan berumur. Aku membantu Mami. Kupapah pelan Mami menuju bangku di ruangan itu agar bisa duduk. Setidaknya supaya di sana dia bisa sedikit mendapat ruang gerak. Aku bisa melihat Mami seperti sangat kesakitan. "Minum air putih dulu, Mam," ujarku kepadanya. "Iya." "Mami kenapa kelihatan kayak nahan sakit?" "Perut Mami sakit," jawabnya seraya tersenyum. "Sakit apa sampai Mami gemetar gitu, Mam?" "Mungkin karena salah makan," ujar Mami. Salah makan? Tumben sekali. Biasa Si Mami bisa makan apa saja tanpa ada keluhan. "Ke dokter kali, Mam," ujarku lembut kepadanya. "Enggak usah ke dokter segala," kata Mami. Dari ekspresi Mami, aku yakin bahwa dia baik-baik saja. Mungkin memang tak seharusnya pergi ke dokter untuk memeriksa sakit perut Mami. Semoga Mami memang baik-baik saja. Biarlah aku menjadi Cinderella, yang penting Mami bahagia. Akan tetapi, kalau aku harus melanjutkan hubungan dengan Leong Si Culun, rasanya agak aneh. Di sisi lain, Leong termasuk orang yang perhatian. Meski begitu, Leong tetap bukan pria idamanku. Aku sebagai cewek yang normal tentu juga ingin memiliki cowok layaknya pria-pria pada umumnya. Tidak culun dan suka absurd seperti Leong. Belum lagi kalau 'anu'-nya mulai keluar. Satu paket lengkap yang membuatku tidak menyukainya. "Mami istirahat aja, nanti biar Rose ke dapur buat cuci piring sama gelas itu, ya." "Kamu yakin mau nyuci piring kotor itu?" "Demi gengsi, kadang nyuci piring itu ringan." Mami menatapku aneh. Biar saja. Apa pun yang dipikirkan Mami aku tidak peduli. "Anak Mami makin aneh," gumam Si Mami. Peduli setan. Sejak kapan Rose enggak aneh memangnya? Rose memang tak pernah bertindak anggun seperti para gadis lain. Mami kuajak untuk beristirahat agar membaik. Mami tak berkata apa-apa. Hanya ada suara napas berat yang terdengar tak beraturan dan menyesakkan. Kenapa Mami sebenarnya? "Mami kenapa sesak begitu napasnya, Mam?" "Cuma kecapean aja, Rose," jawab Si Mami. "Ya udah kalau gitu Mami diem-diem aja!" Aku enggak mau Mami tambah sakit lagi. "Mana bisa Mami diem-diem?" tanya Mami. Memang benar, selama ini semua hal di rumah adalah hasil karya tangan Si Mami. Melihat dia yang kini kepayahan, apa salahnya sekarang giliranku berkarya menggantikan peran Mami. Mungkin tak seberapa, tetapi aku yakin Mami akan senang. Siapa tahu Mami makin sayang sama anak semata sapinya ini. Mami kuselimuti tubuhnya. Tak lupa kunyalakan pendingin udara supaya enggak kepanasan. Kasihan kalau dia kepanasan nanti. Aku melihat wajah Mami yang seperti kelelahan. "Mami istirahat yang tenang, Rose ini gadis mandiri, jadi jangan takut bakal menderita hanya karena gantiin cuci piring dan temen-temennya!" Senyum Mami terbit juga. Ada sebuah kelegaan yang terpancar dari mata Si Mami melihatku semangat. Ternyata anak Mami ini masih bisa diandalkan. Sekali lagi kepastikan supaya Mami di kamar. "Kalau kira-kira kamu capek mending jangan!" Dia kira aku selemah itu apa? Si Mami ternyata meragukan kekuatan bulan yang kukuasai ini. Sailor Moon bakal kalah sama aku. *** Pagi ini aku sengaja bangun pagi buta supaya bisa mengerjakan semua yang biasa Mami lakukan. Mulai dari siram bunga plus nyapu halaman yang agak luas dan penuh bunga-bunga, hingga memasak sarapan. Semua kulakukan agar Mami bangga punya anak cantik lagi rajin. "Rose pasti bisa!" seruku seraya terus menyapu. Aku terus menyapu halaman luas itu semangat. "Selamat pagi, Tuan Putri Rose," ujar seseorang. Aku sontak menoleh ke arah suara itu dan mendapati seorang yang tidaklah asing. "Ini jam berapa, Leong?" tanyaku tak basa-basi. "Jam setengah enam," jawab Leong di tempatnya. "Kamu mau ngapain jam segini ke sini segala?" *** Jarum jam baru menunjuk angka dua, tetapi tubuhku rasanya sangat lelah di sini. "Aku pijit mau enggak?" tanya Leong perhatian. Rasa sakit yang teramat kurasa justru membuatku mengiyakan tawaran itu cepat. Entah setan apa yang membuatku ini menurut. Leong mulai memijit bagian bahu dan tanganku. "Kamu kenapa seharian ngintilin aku terus?" Leong masih diem, tetapi tangannya terus memijatku. Rasanya begitu enak dan membuat perasaan nyaman. Tak bisa dihindari lagi, kantuk mulai saja menyerangku. "Kamu ngantuk, tidur aja!" sahut pria itu. Rasa mengantuk yang tadi datang itu menghilang. "Kamu bakalan macam-macam pasti nanti!" "Buat apa aku macam-macamin Tuan Putri?" Mendengar kalimatnya yang lancar di telinga membuatku tersenyum. Leong ternyata bisa normal juga. Coba kalau penampilannya juga lebih oke. "Kamu sekarang ngomongnya lancar terus...." Aku memutuskan untuk tidak lanjut bicara. Leong beralih posisi menjadi berdiri di depanku. Tangannya terulur yang membuatku bingung. Untuk apa pula tangannya begitu? "Percayalah bahwa apa pun yang aku lakukan itu hanya demi Rose seorang saja." Kalimat itu seolah-olah membiusku di tempat. "Ta-tapi...." "Jangan banyak tanya dan tapi, nurut aja!" Tanganku ditariknya hingga aku kini berdiri. "Le-Leong...!" Aku sungguh tak mampu berkata apa pun. Rasanya lutut ini lemas dan keringat dingin mulai mengalir. Gemetar. Aku ketakutan. "Kamu jangan takut, aku enggak akan macam-macam!" Bagaimana mungkin aku tidak takut melihat ekspresi Leong yang berbeda dari biasanya. Leong yang biasa culun itu berubah drastis menjadi maskulin. Aroma tubuhnya juga begitu segar di indra penciumanku. Inikah sihir cinta? Atau ini hanya satu delusi karena aku yang kelelahan? Di manakah Rose yang biasanya ketus ke Leong setiap saat? "Tolong jangan begini, Leong!" ujarku lirih. Aku merasakan genggaman tangan si pria mulai melemah. Mungkin dia tak ingin lagi membuatku ketakutan. Aku pun berharap semua ini hanya ilusi. Namun, ternyata tangan itu tidak jadi melepaskanku. "Kalau kamu pikir ini hanya ilusi, itu salah!" "Dari mana kamu tahu semua pikiran itu?" "Mudah saja membacanya dari mata ini." Dia menyentuh ujung mataku seraya mengelusnya. *** Hari ini Mami sudah lebih baik. Kata Si Dokter yang memeriksanya tadi, Mami sudah diperbolehkan pulang. Kondisi Si Mami berangsur bugar. "Akhirnya Mami bisa pulang," seru sang mami. Ceria. Akhirnya memang kami sedang dalam perjalanan menuju rumah. Untungnya tadi Vivi membantuku untuk mengurus administrasi sehingga tak mengganggu waktu kerjaku. Setidaknya aku datang, Mami sudah siap pulang. Aku memeluk wanita itu dengan amat gembira. "Mami siap pulang?" tanyaku ke Mami, semangat. "Mami udah kangen rumah," jawabnya bergetar. Tentu saja aku pun kangen rebahan di rumah. Namun, kusadari ini bukan saatnya ke kasur. "Kalau gitu, mari kita pulang!" teriakku tertahan. Tentu saja aku tak berani teriak dengan kencang. Kami memang masih di kamar rawat di mana pasien lain banyak yang istirahat siang. "Biar aku aja yang dorong Tante Sekar, Rose!" Mami memang sengaja kusuruh naik di kursi roda untuk ke lobi rumah sakit. Di sisi lain sebenarnya Mami menolaknya karena merasa sudah sehat. Memang di situ benar, tetapi tetap tak ada salahnya menggunakan kursi roda agar tenaga Si Mami sedikit lebih awet. Setidaknya tak mudah pingsan lagi. "Sebenarnya Tante mau jalan," katanya, merayu. "Jangan maksain, Tan!" ujar Vivi sabar sekali. Mami akhirnya mengalah dengan kami berdua. Suara gesekan roda dengan keramik di lorong rumah sakit mulai terdengar. Di sisi kanan kiri kami ditumbuhi pohon dan tanaman hias lainnya sehingga ada angin yang segar karenanya. Sungguh mampu membuat otak kembali normal. Mobil yang menjemput kami sudah ada di lobi rumah sakit. Sang sopir terlihat keluar untuk membukakan pintu agar Mami bisa lekas naik mobil. Bersyukur karena mendapat sopir taksi yang tidak cuek kepada pelanggan. "Terima kasih, Pak," ucap Mami kepada Sopir. Si sopir tersenyum, tak lupa menjawab Mami. "Sama-sama." "Nanti kita mampir ke toko buah dulu, Pak!" "Baik." Aku berniat membeli buah-buah yang merah. "Enggak usah hambur-hamburin uang, Rose!" Mami kemungkinan takut aku bakalan kehabisan uang jika membeli buah. Ya benar juga, tetapi tetap saja bukan tak boleh aku belanja buah, kan? Buah ini kuniatkan untuk membuat Mami lebih sehat dan bugar. Masalah uang, nanti pasti ada jalannya lagi. Beberapa menit melaju, akhirnya toko buah tampak di sisi kanan. Kami sesaat berhenti demi beberapa kilo buah. Dua jenis beri-berian kuambil tanpa pikirin harga karena memang uangnya sudah kusiapkan terlebih dulu. Setelah membayar, aku langsung balik menuju mobil di mana Mami bersama Vivi. Sopir pun kusuruh jalan supaya waktu kami tak terbuang banyak. Mengingat aku harus kembali ke restoran tak lebih dari setengah jam lagi. Untuk itu semua harus cepat supaya tak kena marah bos. Mobil berjalan dengan cepat dan kami pun sampai di rumah. Rumah kami nan asri dan terawat. Akan tetapi, beberapa hari Mami dirawat di rumah sakit bikin tanaman bunga di halaman layu. Amat menyedihkan memang. "Sampai juga di rumah," seruku dengan takjub. "Kamu sempetin istirahat dulu," kata Si Mami. "Rose mesti balik ke tempat kerja cepet, Mam." "Kamu pasti kecapekan," desah wanita itu. "Mami jangan khawatir, Rose masihlah muda!" "Makan yang teratur, ya!" pesan Mami serius. "Mami juga harus makan teratur walau enggak ada Rose di rumah," pesanku ke Mami. Vivi membantuku merapikan beberapa titik di rumah ini yang sedikit membuat kurang nyaman karena kotor. Aku dan Mami langsung menuju kamar supaya wanita kesayanganku ini bisa rebahan. Aku khawatir kalau Mami beraktivitas berat malah kecapekan lagi. Sementara uang untuk operasi belum kelihatan di mana. Jadi aku menjaga banget supaya Mami sehat. *** "Kamu dari mana saja jam segini baru datang?" "Saya dari rumah sakit, Pak," jawabku pelan. "Kamu sakit apa?" tanya Pak Bos tanpa ekspresi. Aku sebenarnya malas menjawab andai dia bukan bos. Nada pertanyaannya itu sama sekali enggak ada empati. Dingin. "Saya sehat-sehat saja, Pak," jawabku ke bos. "Terus ngapain ke sana?" tanya Pak Bos lagi. "Jemput ibu saya pulang," jawabku tak semangat. Aku melirik pria yang memakai setelan itu. "Ibumu dokter atau perawat?" tanyanya lagi. "Ibu saya baru selesai dirawat," jelasku geregetan. Mata pria itu terlihat naik. Meski pakai kacamata hitam, tetapi otot di samping mata itu terlihat naik. Mungkin mikirin keadaanku atau Mami. "Sakit apa memangnya Mami?" tanya Si Bos. "Mami?" Aku kaget karena dia menyebut 'Mami' tiba-tiba. Namun, wajah itu tertangkap kayak ada kegugupan. "Maaf kebiasaan di rumah," kilahnya ke aku. "Oh." "Maksud saya, ibumu sakit apa?" tanya Bos. Aku jelaskan sedikit bahwa Mami agak kecapekan. "Nanti saya titip vitamin buat ibumu di rumah." "Vitamin apaan, Pak?" tanyaku bingung mendengarnya. Entah kenapa aku merasa bos ini agak aneh. "Vitamin biar ibumu sehat," katanya tak bereskpresi. Sedikit terharu aku mendengarnya. Tak kusangka bos yang nyebelin itu peduli sama Mami. Repot-repot mau kasih dia vitamin segala. Semoga ini pertanda baik. Meski uang yang kubutuhkan untuk pengobatan Si Mami tidak sedikit, tetapi kalau bosnya begini aku jadi semangat. Optimis. Pak Bos terlihat pergi setelah bilang itu tadi. Lumayan lega hatiku. Kukira akan ada hukuman karena terlambat balik kerja sekitar 5 menit. Ternyata hanya ditanya dari mana. "Semoga enggak ada lagi hal aneh dari Bos!" "Kamu bilang apa barusan?" tanya Bos tiba-tiba. Ternyata pria itu sudah kembali berdiri mematung. Jarak kami hanya beberapa puluh senti, mampus! "Pak Bos ada di situ ternyata," lirihku di tempat. Dia kembali mendekatiku dengan mata masih tertutup kacamata hitamnya. Ya, tetapi aku menebak dia sedang lurus ke arahku tatapannya. Bikin deg-degan. Sumpah ini macam adegan slow motion film. "Mana hafalan menu kamu?" tanya Pak Bos. Mampuuus! Bagaimana ini? Sedangkan aku sibuk di rumah sakit dan lupa untuk menghafal menu yang sudah disepakati. Habislah. Rasanya ingin kutampar ini wajah dan berharap tak mengulangi kesalahan ke depannya. Aku belum berani membuka mulut dan sedang berusaha menata kata-kata. Ya ssiapa tahu Pak Bos berbaik hati untuk mengampuni kelalaianku ini. Semoga. "Mohon maaf, Pak, saya belum hafalin menunya." Hening. Tak sanggup rasanya aku mendengar Si Bos. Semoga ada sebuah keajaiban. Semoga malaikat baik hati melindungiku. Mata ini terpejam saking takutnya dengan Si Bos dan ucapan apa yang akan diucap. Rasanya langit mendadak ingin runtuh, kiamat. "Jadi?" Habis sudah riwayatku. Rasanya Tuhan cepat sekali mencabut rasa optimis ini dari hatiku. Rasanya Tuhan mengujiku. Boleh enggak, sih, ada gempa biar aku lari?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN