Aku masih berkutat dengan lembaran kuisioner.
Mulai menyalin dan memasukkan ke bagan.
Lagu A Thousand Years mengalun di kamarku.
Tiba-tiba bayangan kejadian di mobil muncul.
Rasanya detak jantungku mulai tidak terkendali.
Aku memejam, berusaha melupakan itu.
"Kenapa aku kayak orang bego begini, sih?"
Lembar-lembar kertas yang tadi rapi, kini berantakan karena tubuhku yang berguling-guling.
"Anak Mami kesambet?" tanya Mami sembarangan.
"Enak aja kesambet!" ketusku seraya duduk.
Ternyata Mami yang kuanggap orang menyebalkan karena suka memaksa membawakanku segelas besar s**u di tangan lembutnya itu.
Dia menyodorkan s**u hangat tanpa basa-basi.
"Harus banyak minum s**u biar sehat terus."
"Mami tumben perhatian banget ama Rose!"
Mami hanya tersenyum. Menyuruhku bangun dan segera meminum s**u itu agar tidak keburu dingin. Tak lupa dia juga berpesan agar aku semangat.
Mendengar Mami yang perhatian itu, hati ini terasa menghangat. Aku jadi tidak lagi merasa menjadi Cinderella. Kayak dunia ini berbalik 180 derajat.
"Biar kamu enggak curiga kalau anak pungut!"
"Jahat banget, ih, Mami!" teriakku ke Mami.
Susu hangat sudah tandas. Gelas aku kembalikan lagi ke Mami. Biar saja Si Mami yang mencucinya seperti biasa.
Mami langsung pergi setelah gelas itu kembali.
Entah mengapa aku merasa Mami itu berbeda.
Biasanya wajah Mami terlihat berseri-seri.
Namun, beberapa hari ini Mami agak murung.
Aku juga merasa Mami agak pendiam dan cenderung menjaga jarak. Entah benar atau hanya perasaanku saja. Itu menurutku agak aneh.
Memiliki Mami yang ceria dan sering mengomel tidak selalu membuat aku bahagia.
"Aaahhh!"
Aku mendengar teriakan dari bawah sana.
Jangan-jangan itu suara Mami. Cuma kenapa Mami teriak begitu? Suaranya mirip orang terkejut sekaligus sakit di lantai satu.
"Mami kenapa teriak?" tanyaku agak kebingungan.
"Tolong Mami, Rose!" rintih Mami tak kencang.
"Mami di mana?" tanyaku lagi sambil mencarinya.
"Dapur."
Aku segera mencari Mami ke sana. Di dapur itu, Mami sedang menunduk ke
wastafel yang terlihat masih ada gelas dan piring. Mungkin Mami baru saja bisa untuk melakukannya. Maklum Si Mami memang lumayan berumur.
Aku membantu Mami. Kupapah pelan Mami menuju bangku di ruangan itu agar bisa duduk. Setidaknya supaya di sana dia bisa sedikit mendapat ruang gerak.
Aku bisa melihat Mami seperti sangat kesakitan.
"Minum air putih dulu, Mam," ujarku kepadanya.
"Iya."
"Mami kenapa kelihatan kayak nahan sakit?"
"Perut Mami sakit," jawabnya seraya tersenyum.
"Sakit apa sampai Mami gemetar gitu, Mam?"
"Mungkin karena salah makan," ujar Mami.
Salah makan? Tumben sekali. Biasa Si Mami bisa makan apa saja tanpa ada keluhan.
"Ke dokter kali, Mam," ujarku lembut kepadanya.
"Enggak usah ke dokter segala," kata Mami.
Dari ekspresi Mami, aku yakin bahwa dia baik-baik saja. Mungkin memang tak seharusnya pergi ke dokter untuk memeriksa sakit perut Mami. Semoga Mami memang baik-baik saja. Biarlah aku menjadi Cinderella, yang penting Mami bahagia. Akan tetapi, kalau aku harus melanjutkan hubungan dengan Leong Si Culun, rasanya agak aneh. Di sisi lain, Leong termasuk orang yang perhatian.
Aku masih berkutat dengan lembaran kuisioner.
Mulai menyalin dan memasukkan ke bagan.
Lagu A Thousand Years mengalun di kamarku.
Tiba-tiba bayangan kejadian di mobil muncul.
Rasanya detak jantungku mulai tidak terkendali.
Aku memejam, berusaha melupakan itu.
"Kenapa aku kayak orang bego begini, sih?"
Lembar-lembar kertas yang tadi rapi, kini berantakan karena tubuhku yang berguling-guling.
"Anak Mami kesambet?" tanya Mami sembarangan.
"Enak aja kesambet!" ketusku seraya duduk.
Ternyata Mami yang kuanggap orang menyebalkan karena suka memaksa membawakanku segelas besar s**u di tangan lembutnya itu.
Dia menyodorkan s**u hangat tanpa basa-basi.
"Harus banyak minum s**u biar sehat terus."
"Mami tumben perhatian banget ama Rose!"
Mami hanya tersenyum. Menyuruhku bangun dan segera meminum s**u itu agar tidak keburu dingin. Tak lupa dia juga berpesan agar aku semangat.
Mendengar Mami yang perhatian itu, hati ini terasa menghangat. Aku jadi tidak lagi merasa menjadi Cinderella. Kayak dunia ini berbalik 180 derajat.
"Biar kamu enggak curiga kalau anak pungut!"
"Jahat banget, ih, Mami!" teriakku ke Mami.
Susu hangat sudah tandas. Gelas aku kembalikan lagi ke Mami. Biar saja Si Mami yang mencucinya seperti biasa.
Mami langsung pergi setelah gelas itu kembali.
Entah mengapa aku merasa Mami itu berbeda.
Biasanya wajah Mami terlihat berseri-seri.
Namun, beberapa hari ini Mami agak murung.
Aku juga merasa Mami agak pendiam dan cenderung menjaga jarak. Entah benar atau hanya perasaanku saja. Itu menurutku agak aneh.
Memiliki Mami yang ceria dan sering mengomel tidak selalu membuat aku bahagia.
"Aaahhh!"
Aku mendengar teriakan dari bawah sana.
Jangan-jangan itu suara Mami. Cuma kenapa Mami teriak begitu? Suaranya mirip orang terkejut sekaligus sakit di lantai satu.
"Mami kenapa teriak?" tanyaku agak kebingungan.
"Tolong Mami, Rose!" rintih Mami tak kencang.
"Mami di mana?" tanyaku lagi sambil mencarinya.
"Dapur."
Aku segera mencari Mami ke sana. Di dapur itu, Mami sedang menunduk ke
wastafel yang terlihat masih ada gelas dan piring. Mungkin Mami baru saja bisa untuk melakukannya. Maklum Si Mami memang lumayan berumur.
Aku membantu Mami. Kupapah pelan Mami menuju bangku di ruangan itu agar bisa duduk. Setidaknya supaya di sana dia bisa sedikit mendapat ruang gerak.
Aku bisa melihat Mami seperti sangat kesakitan.
"Minum air putih dulu, Mam," ujarku kepadanya.
"Iya."
"Mami kenapa kelihatan kayak nahan sakit?"
"Perut Mami sakit," jawabnya seraya tersenyum.
"Sakit apa sampai Mami gemetar gitu, Mam?"
"Mungkin karena salah makan," ujar Mami.
Salah makan? Tumben sekali. Biasa Si Mami bisa makan apa saja tanpa ada keluhan.
"Ke dokter kali, Mam," ujarku lembut kepadanya.
"Enggak usah ke dokter segala," kata Mami.
Dari ekspresi Mami, aku yakin bahwa dia baik-baik saja. Mungkin memang tak seharusnya pergi ke dokter untuk memeriksa sakit perut Mami. Semoga Mami memang baik-baik saja. Biarlah aku menjadi Cinderella, yang penting Mami bahagia. Akan tetapi, kalau aku harus melanjutkan hubungan dengan Leong Si Culun, rasanya agak aneh. Di sisi lain, Leong termasuk orang yang perhatian.
Aku masih berkutat dengan lembaran kuisioner.
Mulai menyalin dan memasukkan ke bagan.
Lagu A Thousand Years mengalun di kamarku.
Tiba-tiba bayangan kejadian di mobil muncul.
Rasanya detak jantungku mulai tidak terkendali.
Aku memejam, berusaha melupakan itu.
"Kenapa aku kayak orang bego begini, sih?"
Lembar-lembar kertas yang tadi rapi, kini berantakan karena tubuhku yang berguling-guling.
"Anak Mami kesambet?" tanya Mami sembarangan.
"Enak aja kesambet!" ketusku seraya duduk.
Ternyata Mami yang kuanggap orang menyebalkan karena suka memaksa membawakanku segelas besar s**u di tangan lembutnya itu.
Dia menyodorkan s**u hangat tanpa basa-basi.
"Harus banyak minum s**u biar sehat terus."
"Mami tumben perhatian banget ama Rose!"
Mami hanya tersenyum. Menyuruhku bangun dan segera meminum s**u itu agar tidak keburu dingin. Tak lupa dia juga berpesan agar aku semangat.
Mendengar Mami yang perhatian itu, hati ini terasa menghangat. Aku jadi tidak lagi merasa menjadi Cinderella. Kayak dunia ini berbalik 180 derajat.
"Biar kamu enggak curiga kalau anak pungut!"
"Jahat banget, ih, Mami!" teriakku ke Mami.
Susu hangat sudah tandas. Gelas aku kembalikan lagi ke Mami. Biar saja Si Mami yang mencucinya seperti biasa.
Mami langsung pergi setelah gelas itu kembali.
Entah mengapa aku merasa Mami itu berbeda.
Biasanya wajah Mami terlihat berseri-seri.
Namun, beberapa hari ini Mami agak murung.
Aku juga merasa Mami agak pendiam dan cenderung menjaga jarak. Entah benar atau hanya perasaanku saja. Itu menurutku agak aneh.
Memiliki Mami yang ceria dan sering mengomel tidak selalu membuat aku bahagia.
"Aaahhh!"
Aku mendengar teriakan dari bawah sana.
Jangan-jangan itu suara Mami. Cuma kenapa Mami teriak begitu? Suaranya mirip orang terkejut sekaligus sakit di lantai satu.
"Mami kenapa teriak?" tanyaku agak kebingungan.
"Tolong Mami, Rose!" rintih Mami tak kencang.
"Mami di mana?" tanyaku lagi sambil mencarinya.
"Dapur."
Aku segera mencari Mami ke sana. Di dapur itu, Mami sedang menunduk ke
wastafel yang terlihat masih ada gelas dan piring. Mungkin Mami baru saja bisa untuk melakukannya. Maklum Si Mami memang lumayan berumur.
Aku membantu Mami. Kupapah pelan Mami menuju bangku di ruangan itu agar bisa duduk. Setidaknya supaya di sana dia bisa sedikit mendapat ruang gerak.
Aku bisa melihat Mami seperti sangat kesakitan.
"Minum air putih dulu, Mam," ujarku kepadanya.
"Iya."
"Mami kenapa kelihatan kayak nahan sakit?"
"Perut Mami sakit," jawabnya seraya tersenyum.
"Sakit apa sampai Mami gemetar gitu, Mam?"
"Mungkin karena salah makan," ujar Mami.
Salah makan? Tumben sekali. Biasa Si Mami bisa makan apa saja tanpa ada keluhan.
"Ke dokter kali, Mam," ujarku lembut kepadanya.
"Enggak usah ke dokter segala," kata Mami.
Dari ekspresi Mami, aku yakin bahwa dia baik-baik saja. Mungkin memang tak seharusnya pergi ke dokter untuk memeriksa sakit perut Mami. Semoga Mami memang baik-baik saja. Biarlah aku menjadi Cinderella, yang penting Mami bahagia. Akan tetapi, kalau aku harus melanjutkan hubungan dengan Leong Si Culun, rasanya agak aneh. Di sisi lain, Leong termasuk orang yang perhatian.