Bab 13: AC Mobil Leong yang Panas

1673 Kata
Rasanya hidupku lebih lega sekarang karena akhirnya Leong tak lagi mau datang. Sudah kuduga sejak awal, Leong sama dengan cowok-cowok lain. Mundur di tengah jalan. Bagus lah, setidaknya di waktu-waktu krusialku memulai apa tuntutan dosen, aku tak terganggu dia dan segudang keabsudrannya. Kini, aku sudah mulai menyebar kuis yang akan kugunakan sebagai bahan skripsi. Menjelajahi Jakarta dengan berbagai probelmatikanya. "Mohon maaf, Mbak, boleh saya titip kuisioner buat para pembeli yang ke supermarket?" Jujur saja aku memang belum izin ke penanggung jawab pasar swalayan ini sebelumnya. "Kakak sudah ketemu Manajer belum ini?" "Belum memang," jawabku sedikit tak nyaman. Mbak Kasir terlihat senyum masam di tempatnya. Dengan begitu, aku akhirnya berjalan menuju ruangan manajer diantar itu Kasir. "Selamat siang, Pak, ada tamu untuk Bapak." Ruangan manajer itu kukira kayak di film. "Siapa?" Ya Tuhan, ternyata tidak semua yang menjabat manajer itu bekerja dalam ruangan mewah, ber-AC, dan minimal luas kayak di drama Korea. Lihatlah apa yang kulihat ini! Ruang manajer ini hanya berukuran kurang lebih 3x3 meter persegi. Letaknya tak strategis dan terkesan jauh dari hiruk pikuk kegiatan jual beli. Mojok malah. "Selamat siang, Pak, perkenalkan saya Rose." "Ada perlu apa?" tanya Manajer tidak bersahabat. "Saya mau menyusun skripsi, Pak, ini kalau—" "Sepertinya kamu salah tempat, Anak Gadis!" "Salah tempat bagaimana maksud Pak Manajer?" Aku tak paham dari mana beliau bisa yakin. "Intinya tempat ini tidak cocok untuk disurvey." Aku menahan napas sesak. Rasanya Si Manager belum pernah berhadapan dengan gadis cantik kayak aku. Entah kenapa rasanya tubuh ini gatal untuk berdiri. "Mohon maaf, Pak Manajer yang saya hormati dan banggakan. Saya ke sini dengan niat tulus dan ikhlas. Saya tak peduli Pak Manajer paham atau tidak akan hal ini, yang jelas tempat ini ada dalam pantauan saya." "Apa maksud kamu?" tanya Manager itu. Aku yang geram langsung pamit saja keluar. Bodo amat dia akan mengejarku atau enggak. "Kalau enggak bisa di dalam, luar pun oke." "Apa luar dalam segala?" tanya suara itu. Aku menoleh dan mendapati sosok di sampingku. "Pak Manajer jangan kepo, berat, Pak Manajer! Manajer itu terus mengikutiku yang menjauh. Bodo amat dengan kehadirannya. Aku mulai menyiapkan lembar-lembar ini agar semakin cepat pekerjaanku. Jadi, setiap pengunjung yang terlihat mulai keluar dari pasar swalayan ini cepat kuhampiri guna meminta mereka isi kuisioner. "Begini ternyata yang kamu maksud itu?" Aku mendengar manajer itu berkata, tetapi aku tetap diam. Malas apabila harus menanggapinya. Jadi, aku terus saja membagikan kuisioner. "Selamat siang, Bu, Kak, boleh bantu mengisi...." Aku terus saja mengabaikan Manajer itu. Sibuk dengan lembar-lembar kertas pentingku. Aku mendengar ada langkah kaki tak jauh dari tempatku berdiri. Mungkin manajer ini kurang kerjaan sehingga rajin sekali menemaniku membagi si kertas-kertas ini. Mungkin juga si pria terpesona melihat kecantikanku. "Selamat siang, Kakak Cantik, silakan minumannya!" "Ya ampun, bikin kaget aja!" gerutuku kesal. Ternyata Leong yang sudah berada di sana. "Kakak kayaknya haus," katanya tidak peduli. "Kamu kenapa bisa ada di sini, Leong Culun?" "Di mana ada Rose, di situ ada Leong Tampan." Boleh enggak muntah di jalanan? Ini perut rasanya seperti diaduk. Sangat memuakkan. Aku juga baru menyadari penampilan Leong. Pria itu masih dengan kacamata yang melekat di wajah. Akan tetapi, baju Si Culun rasanya tidak seperti biasanya. Ini terlihat lebih keren. Apakah aku sedang berhalusinasi dan delusi? "Jangan gombal, aku enggak tertarik, Leong!" Memang kuakui, tak hanya luar saja perubahannya. "Ini minum dulu, biar enggak kering kerongkongan!" "Dari tadi kudengar kenapa kamu itu lancar...." *** Bukan Leong namanya kalau enggak absurd. "Yang bantuin Kak Rose isi kuisioner nanti ada bonus minuman dingin, ya, ayooo!" Aku yang sempat lelah, perlahan ada rasa semangat di dalam diri. Tak ada lagi ketakutan akan apa yang sedang kulakukan saat ini. Apa pun hasilnya, yang penting aku sudah berusaha dan mengerahkan seluruh kemampuan. "Mau isi kuisioner juga, donk!" teriak orang-orang. Luar biasa sekali pria ini. Selain agak absurd yang sudah mendarah daging, ternyata Leong sangat berbakat buat memengaruhi orang. Diam-diam aku bahagia. "Kak Rose, ayo kasih Kakak itu kertas kuisionernya!" Aku menyeringai senang karena bisa menyelesaikan misi hari ini. Dengan begitu aku bisa lekas pulang. Rasanya pegal sekali. "Makasih udah bantuin aku," kataku tulus. "Cuma begitu caramu berterima kasih ternyata." Aku enggak mendengar ada nada tak enak. Dia mengatakan itu ringan sekali. Dia juga terus berjalan di sampingku. Tak berhenti. Kami sedang menuju mobil Leong tak begitu jauh dari tempatku membagi si kuisioner. Aku memijat kening yang agak pusing ini. Leong menyentuh tangan ini dan dia memapahku. Entah apa yang terjadi, hati ini terasa bergetar. Rasanya seperti ada yang menyirami dengan air es ditambah sirup. Manis. Menyenangkan. Ternyata aku sudah duduk sebelahan dengan Leong di mobil. Matanya tak lepas dari wajahku. Hal itu membuat agak jengah. "Aku mau tidur selama perjalanan ini, Leong." Leong mencondongkan tubuhnya dan tangan itu terulur. Ada semacam rasa aneh menjalari seluruh badan. Belum pernah aku merasakan hal ini dengan pria. Wajah kami hanya terpaut beberapa senti. "Sabuk pengamannya pake," katanya pelan. "I-iya." "Jangan gugup gitu, santai aja!" ujar Si Leong. "Enggak." Gimana enggak gugup kalau kalian di posisiku? "Kamu laper enggak?" tanyanya tidak menoleh. Aku tak seger menjawab karena hati ini rasanya masih terguncang. Masih belum terbiasa dengan kelakuan sang cowok yang tiba-tiba saja seperti pria normal lainnya. Meski, hal seperti itu tadi baru kurasakan sekali ini. "Aku capek, pulang aja," jawabku tak lama. "Pegel-pegel badan kamu?" tanya pria itu. "Dari mana kamu tahu?" tanyaku tak paham. Bagaimana bisa dia mengetahui rasa tubuh ini seperti habis menggendong batu? "Leong itu peka," jawabnya sangat tak peka. Peka dari Hongkong, mana ada orang mengajak pacaran ke kuburan? Peka. Itu bukan peka, tapi pekok alias edan. "Kalau peka, tolong bawa aku pulang sekarang!" "Kamu diem aja, aku bakal ajak kamu bersenang-senang!" Bersenang-senang? Rasanya mengerikan mendengar kata itu. "Jangan coba macem-macem kamu ke aku!" "Satu macam aja cukup," jawab Leong santai. "Aku enggak lagi becanda!" ancamku geram. "Aku juga serius, enggak lagi becanda, Rose." "Tolong jangan mikir macam-macam, Leong!" Aku mendengar ada kekehan. Sebuah kekehan yang sangat menyebalkan di hati dan otak. Rasanya seperti sebuah olok-olok yang kekanakan-kanakan. "Pikiranmu kayaknya yang kotor, Kak Rose!" "Sialan!" Kalimat itu mempunyai arti yang tak mengenakkan. "Ngaku aja kamu terpesona melihat Si Culun!" Dari mana dia mengetahui sebutan 'Si Culun'? "Stop omong kosong, Leong!" teriakku kesal. "Nanti juga bakal ngerasain ciuman di sini." Dia menyentuh bibirku dengan halus sekali. Aku memundurkan badan. Mencoba tak terbawa suasana yang mulai tidak kondusif untuk berlama-lama di sana. Mulai memanas. Entah kenapa rasanya AC tak berguna ini. Aku sampai mengipas-ngipas tubuhku sendiri. "Ini mobil bagus, tapi AC rusak begini, sih." "Bukan AC yang rusak, tapi otakmu di sini!" *** Kami akhirnya makan somay di jalanan. Aku kesal bukan main akibat dari si tukang anu ini, rencanaku gagal. Aku gagal membuatnya kehabisan semua yang dia punya. Uang, kesabaran, dan harga diri. Ternyata dia lebih pandai bikin Si Anak Mami satu-satunya ini hilang semuanya. Terutama harapan. Sambil makan somay, dia sesekali jadi asistenku. "Mau minta apa lagi, Rose?" tanya Si Leong. "Minum." Aku menjawab dengan cuek. Tak lagi ingin memberi dia harapan palsu. Ya, biar saja. Biar dia sadar kalau aku itu enggak mau dekat-dekat dia. "Ini." Tahukah kalian kalau cowok sipit itu ternyata sudah mempersiapkan apa pun? Cowok itu tersenyum manis, walau di mataku itu sama sekali enggak. Sebal. Semua rencanaku mentah begitu saja. Somay yang kumakan jadi terasa tak enak *** "Kenapa pada diem-dieman?" tanya Si Mami. "Sariawan." "I-itu tadi Rose ngajak makan di res-restoran." "Terus?" "Duitnya kagak ada, Mam!" jawabku kesal. Kesal sekali aku dibuatnya hari ini ih pokoknya. "Anak Mami jangan marah-marah, ih jelek!" Bodo amat jelek. Toh jadi cantik juga enggak ada enaknya. Dijodohin sama Leong. "Cantik juga ujung-ujungnya disuruh kawin sama cowok culun macam dia, hiiih!" "Rose!" Bodo amat! Beneran bodo amat! Aku kesal! "U-udah biarin aja, Tan!" ujar Leong si culun. Aku mendengar dia mencoba untuk meredakan amarah Mami yang naik. Aku benar-benar sudah bodo amat ini langsung kabur ke kamar. Mengunci dengan gemas daun pintu itu. Meski, aku sebenarnya merasa bersalah, sih. Cuma ya biarin aja, siapa suruh Leong bikin aku kesal? Kesal dalam mode di atas normal. Hampir meledak dan ini benar-benar pengalaman pertamaku. "Aku enggak biasa gagal kalau jailin Si Culun!" Meski tadi sempat merasa bersalah di hati dan jiwa, nyatanya sekarang tak ada lagi. Hanya keping-keping lain di otak isinya masih sama. Jailin Leong. "Rose!" "Rose tidur, Mam!" jawabku lirih dan malas. Nyatanya suara lengkingan dari luar menyiksaku. Mau tak mau, anak cantik ini luluh. Ih rasanya pengen sekali melempar ini kunci ke wajah Mami. Cuma rasanya, kok kurang mantap. "Sekali lagi Mami panggil kagak juga keluar—" "Iyaaa!" Pintu segera terbuka dan ternyata si culun Leong ada bersama Mami. Ini asli gawat! Aku enggak mau Si Culun bertindak aneh-aneh. "Kamu mesti minta maaf ke Leong ih Rose!" Mami apaan coba? Masa harus minta maaf ke Si Culun? Oh, duniaku terasa runtuh. Mau bagaimana lagi, perintah Mami itu semacam titah. Jadi aku mau tak mau mengulurkan tangan. Mencoba merendahkan ego. "Maaf!" "Aku enggak marah sama kamu, Rose, sumpah!" Apa aku enggak salah dengar? Dia itu lancar banget ngomongnya. Ah, tapi mungkin dia emang lagi serius saja. Kenapa juga aku mesti mikirin cara Si Culun? Setelah itu, aku berniat menutup lagi pintu. "Eeeh!" Tangan Mami ternyata lebih kilat dari Flash. Kupingku sudah jadi target operasi. Ih rasanya sungguh seperti anak pungut. Kupingku bahkan mungkin sudah tak kuat menahan panas dan perih. "Maaam!" "Siapa suruh nutup pintu?" tanya Jeng Sekar. Jeng Sekar Ayu yang ayunya enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rose. "Kalau enggak tutup pintu nanti ada maling!" "Emang Mami sengaja bawain maling kamu!" Mami bawa maling? Tuhan, habis ini apa lagi cobaan yang harus kunikmati melalui tangan lentik Mami? Leong Si Culun saja aku belum sanggup untuk mengempaskannya. Semoga setelah ini Tuhan memberiku keistimewaan. "Rose enggak punya harta, mana ada maling yang berminat masuk ke sini, Mam?" "Kamu sendiri tadi yang bilang," kata Mami. Benar juga. Ah, ternyata gara-gara ini kuping kena jewer terus-terusan bisa bikin amnesia. Wah ini wajib diteliti! "Oke... oke... Mami mau Rose ngapain lagi?" "Temenin Leong ngobrol!" perintah Si Mami. Rasanya somay di perutku ingin lari keluar. "Harus banget Rose lakuin?" tanyaku negosiasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN