Malam Minggu ini pasti akan menjadi spesial.
"Kamu apa-apaan sampai kecelakaan segala?"
"Mana ada orang yang mau celaka di jalanan?"
"Terus kamu kenapa jadi begini, Leon Sayang?"
Pertanyaan Papa rasanya tidak ingin kujawab.
Mana mungkin aku sengaja? Ini tidak lain hanya karena ingin memberikan kejutan untuk Rose. Namun, kembali lagi aku hanya manusia.
Aku hanya tersenyum kecut. Papa tak seharusnya menanyakan hal macam itu kepadaku. Aku hanya ingin segera sembuh dan bisa keluar dari ruangan ini.
"Yang jelas Leon cuma manusia biasa, Pa."
Papa terlihat hanya menggeleng tidak paham.
"Perlu ngabarin Rose, enggak?" tanya Papa.
Sepertinya tidak usah. Jika diberitahu, maka penyamaranku selama ini akan sia-sia saja. Jadi kuputuskan untuk tak memberitahunya apa pun.
Biar saja Rose menganganggapku tak jelas.
Akan ada saatnya Rose nantinya tahu kebenarannya.
Namun, kini biarlah semua berjalan normal.
"Kalau ngabarin Rose, percuma donk nyamarnya?"
"Suka-suka kamu aja kalau gitu," ujar Papa.
Papa memang selalu begitu. Tidak di posisi apa pun, beliau selalu mau tahu kondisi maupun kemauan anak. Papa sangat peduli dengan anaknya ini.
Seperti saat ini pun, Papa terlihat tak diam.
"Leon kenyang, Pa!" teriakku melihat kedatangannya.
Bagi berisi makanan itu terlihat nyata di hadapanku. papa sudah membuka pembungkus plastiknya. Bahkan satu suapan sudah dia todongkan kepada anaknya.
"Biar cepet sembuh!" ujar Papa tanpa senyum.
Kalau sudah begini, otomatis wajahku cemberut.
"Kata dokter berapa lama Leon akan begini?"
"Enggak lama, kok," jawab Papa tidak berekspresi.
***
Seminggu sudah aku terbaring di sini sendirian.
"Bosan sekali diriku ini," gumamku di ranjang.
Aku sedang merenung sendiri, ketika sebuah ketukan membuatku tersadar seketika.
Aku menoleh untuk tahu siapa yang datang.
"Nak Leon kenapa enggak kasih kabar Tante?"
Aku melongo karena melihat wanita yang sangat familier itu. Orang yang beberapa bulan ini aktif kutemui. Dia pasti sangat khawatir melihatku.
"Papa yang ngabarin Tante?" tanyaku penasaran.
Wanita itu adalah Tante Ayu Kinasih pastinya.
Dia terlihat membawa beberapa buah kotak.
Kutebak isinya adalah kue-kue spesial untukku.
Dia memang tahu aku menyukai kue manis.
Pasti tadi disempatkannya membuat untukku.
"Papamu khawatir sekali," ujar Tante Ayu.
"Rose enggak tahu, kan?" tanyaku tak sabar.
Tante Ayu menggeleng seraya duduk di bangku dekat ranjangku. Dia juga mengambil sepotong kue pelangi dari kotak yang tadi dibawanya. Tak lupa dia menyiapkan sendok untukku bisa memakan kue itu.
Benar saja, satu suapan kue itu bikin rasa kesepianku yang tadi hinggap di hati dan pikiran, kini hilang. Rasa kue ini benar-benar membuat hati senang dan bahagia. Sungguh ini bukan satu sugesti atau semacamnya.
Menurut Papa, Tante Ayu dulu jualan kue.
Pernah membuka kios kecil untuk dia memasarkan hasil kreasi dapurnya di sana.
Sayangnya, sejak Rose lahir, minatnya ke kegiatan perdapuran menjadi agak berkurang.
Sebenarnya bukan berkurang, hanya saja mungkin sudah tidak ada waktu lagi.
"Memangnya kalau Rose tahu, kamu siap?"
***
Demi apa pun, jangan buat Rose tahu keadaanku!
Aku pincang karena patah di kaki ini tak lekas sembuh. Aku masih dibantu untuk berjalan. Salah satu asistenku, Monica yang sering datang membawa aku keluar dan berlatih jalan seperti orang normal.
"Restoran sepi enggak ada yang minta nasgor."
Aku tersenyum. Pasti mereka kangen membuat nasi goreng telur ceplok di pagi hari. Namun, aku pun berusaha untuk lekas pulih.
Monica membantu untuk berjalan ke halaman.
Dia sengaja menata dua kursi di dekat kolam.
Kolam ikan dengan air mancur kecil yang indah. Ikan-ikannya tampak tak bosan berenang ke sana kemari. Aku mengamati mereka yang terus saja ke sana kemari berenang menjelajahi isi kolam semen itu.
Monica memberiku sebotol pelet ikan yang tutupnya sudah dibuka. Aku tak langsung menerima karena mata ini masih tertuju ke warna-warni ikan di kolam itu. Hingga di menit yang entah keberapa itu, aku mulai menuang isi botol.
"Lekaslah besar ikan-ikanku!" teriaku keras.
"Kalau udah gede mau digoreng nanti emangnya?"
Aku menggeleng seraya bergidik tak jelas.
Mana tega aku melihat ikan-ikan koi digoreng.
Membayangkan saja rasanya kasihan sekali.
"Mending aku kubur," jawabku tanpa menoleh.
"Ngomong-ngomong kamu bener mau nikah?"
Aku menoleh dengan cepat. Entah dia dapat kabar burung dari mana. Yang jelas aku kurang suka dia ikut campur tentang masalah itu.
"Nikah atau enggak urusan nanti, Nic, santai!"
***
Sejak Monica menanyakan penikahan itu membuatku tak nyaman berada di dekatnya.
Jadilah aku mulai menjaga jarak. Tak ingin dia melakukan hal itu lagi. Aku sengaja menyuruhnya untuk tak lagi datang membantuku latihan berjalan.
"Mas Leon, ini ada titipan dari Mbak Monica."
Sebuah kotak yang kutebak berisi kue basah itu diletakkan pembantuku di meja.
"Kapan dia datang, Bu?" tanyaku yang penasaran.
Untuk apa pula dia harus repot-repot mengirimiku?
Aku berusaha untuk duduk di ranjang ini.
"Baru saja, Mas," jawab Si ART wanita itu.
"Lain kali tolong jangan terima ginian lagi!"
ART itu mengangguk mengerti. Kotak di meja itu didekatkan kepadaku. Dia membukanya.
"Ini mau dimakan atau gimana, Mas Leon?"
"Boleh."
Aku akan menghargai jerih payahnya Monica.
Yang penting setelah ini aku tak mau menerima.
ART-ku menyiapkan sebuah lepek di meja.
Terlihat kue bertabur keju itu sangat enak.
Aku tak sabar untuk mencicipi rasa si kue.
Wanita setengah baya itu segera tahu keinginanku.
"Saya potongin agak besar, Mas Leon, mau?"
Tentu saja aku semangat mengangguk berulang-ulang.
"Kejunya bikin laper, Bu," kataku tak malu.
Wanita itu tersenyum. Dia paham aku sangat menyukai keju. Untuk itu, keju yang di atas diangkut semua ke kue di lepek itu. Jadilah sisa kuenya botak.
Aku tertawa melihat hal itu. Menurut pandanganku ini konyol. Tidak begitu seharusnya.
"Mas Leon kenapa ketawa?" tanya si ART.
"Kuenya jadi botak, Bu," kataku yang kegelian.
ART-ku mengamati hasil karyanya itu saksama.
"Biarin aja, yang penting kuenya udah dimakan."
Cuma kasihan sama bagian lain. Masa kejunya diangkut semua? Di manakah keadilan?
"Kasian banget botak," gumamku tak terima.
ART-ku sebenarnya agak terlihat ada rasa menyesal di wajahnya. Mungkin dia begitu ingin aku melahap keju itu, maka diangkut tanpa pikir panjang ke bagian lain. Aku juga berusaha untuk memahami perhatiannya itu.
Aku mulai menyuapkan sesendok kue itu.
"Saya permisi dulu, Mas," pamit ART itu.
Aku mencegahnya pergi. Kusodorkan lepek di tanganku. Aku ingin tambah kuenya.
"Tambahin dulu kuenya!" ujarku agak malu.
***
Setelah masa karantinaku karena cedera kaki selesai, kini saatnya untuk kembali menyamar.
***
Kami akhirnya makan somay di jalanan.
Aku kesal bukan main akibat dari si tukang anu ini, rencanaku gagal. Aku gagal membuatnya kehabisan semua yang dia punya. Uang, kesabaran, dan harga diri. Ternyata dia lebih pandai bikin Si Anak Mami satu-satunya ini hilang semuanya. Terutama harapan.
Sambil makan somay, dia sesekali jadi asistenku.
"Mau minta apa lagi, Rose?" tanya Si Leong.
"Minum."
Aku menjawab dengan cuek. Tak lagi ingin memberi dia harapan palsu. Ya, biar saja. Biar dia sadar kalau aku itu enggak mau dekat-dekat dia.
"Ini."
Tahukah kalian kalau cowok sipit itu ternyata sudah mempersiapkan apa pun?
Cowok itu tersenyum manis, walau di mataku itu sama sekali enggak. Sebal. Semua rencanaku mentah begitu saja.
Somay yang kumakan jadi terasa tak enak
***
"Kenapa pada diem-dieman?" tanya Si Mami.
"Sariawan."
"I-itu tadi Rose ngajak makan di res-restoran."
"Terus?"
"Duitnya kagak ada, Mam!" jawabku kesal.
Kesal sekali aku dibuatnya hari ini ih pokoknya.
"Anak Mami jangan marah-marah, ih jelek!"
Bodo amat jelek. Toh jadi cantik juga enggak ada enaknya. Dijodohin sama Leong.
"Cantik juga ujung-ujungnya disuruh kawin sama cowok culun macam dia, hiiih!"
"Rose!"
Bodo amat! Beneran bodo amat! Aku kesal!
"U-udah biarin aja, Tan!" ujar Leong si culun.
Aku mendengar dia mencoba untuk meredakan amarah Mami yang naik. Aku benar-benar sudah bodo amat ini langsung kabur ke kamar. Mengunci dengan gemas daun pintu itu. Meski, aku sebenarnya merasa bersalah, sih.
Cuma ya biarin aja, siapa suruh Leong bikin aku kesal? Kesal dalam mode di atas normal. Hampir meledak dan ini benar-benar pengalaman pertamaku.
"Aku enggak biasa gagal kalau jailin Si Culun!"
Meski tadi sempat merasa bersalah di hati dan jiwa, nyatanya sekarang tak ada lagi. Hanya keping-keping lain di otak isinya masih sama. Jailin Leong.
"Rose!"
"Rose tidur, Mam!" jawabku lirih dan malas.
Nyatanya suara lengkingan dari luar menyiksaku.
Mau tak mau, anak cantik ini luluh. Ih rasanya pengen sekali melempar ini kunci ke wajah Mami. Cuma rasanya, kok kurang mantap.
"Sekali lagi Mami panggil kagak juga keluar—"
"Iyaaa!"
Pintu segera terbuka dan ternyata si culun Leong ada bersama Mami. Ini asli gawat! Aku enggak mau Si Culun bertindak aneh-aneh.
"Kamu mesti minta maaf ke Leong ih Rose!"
Mami apaan coba? Masa harus minta maaf ke Si Culun? Oh, duniaku terasa runtuh.
Mau bagaimana lagi, perintah Mami itu semacam titah. Jadi aku mau tak mau mengulurkan tangan. Mencoba merendahkan ego.
"Maaf!"
"Aku enggak marah sama kamu, Rose, sumpah!"
Apa aku enggak salah dengar? Dia itu lancar banget ngomongnya. Ah, tapi mungkin dia emang lagi serius saja.
Kenapa juga aku mesti mikirin cara Si Culun?
Setelah itu, aku berniat menutup lagi pintu.
"Eeeh!"
Tangan Mami ternyata lebih kilat dari Flash.
Kupingku sudah jadi target operasi. Ih rasanya sungguh seperti anak pungut. Kupingku bahkan mungkin sudah tak kuat menahan panas dan perih.
"Maaam!"
"Siapa suruh nutup pintu?" tanya Jeng Sekar.
Jeng Sekar Ayu yang ayunya enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rose.
"Kalau enggak tutup pintu nanti ada maling!"
"Emang Mami sengaja bawain maling kamu!"
Mami bawa maling? Tuhan, habis ini apa lagi cobaan yang harus kunikmati melalui tangan lentik Mami? Leong Si Culun saja aku belum sanggup untuk mengempaskannya.
Semoga setelah ini Tuhan memberiku keistimewaan.
"Rose enggak punya harta, mana ada maling yang berminat masuk ke sini, Mam?"
"Kamu sendiri tadi yang bilang," kata Mami.
Benar juga. Ah, ternyata gara-gara ini kuping kena jewer terus-terusan bisa bikin amnesia. Wah ini wajib diteliti!
"Oke... oke... Mami mau Rose ngapain lagi?"
"Temenin Leong ngobrol!" perintah Si Mami.
Rasanya somay di perutku ingin lari keluar.
"Harus banget Rose lakuin?" tanyaku negosiasi.