Kemarin Rose membuat aku mulai mikir ulang.
"Aku harap ini hari terakhir kamu ke sini, Leong."
"Kenapa?"
Jujur sebenarnya aku tak terlalu kaget. Si Rose memang sejak awal sudah sangat menunjukkan gelagat kurang sukanya ke Leong alias aku. Entah sisi mana yang Si Rose tak sukai dari sosok pria culun lagi gagap itu.
"Jujur saja, Leong, aku bakalan sibuk banget."
Sejak kapan dia sesibuk itu? Aku merasa ini hanyalah akal-akalan Rose saja demi membuatku menjauhinya. Aku yakin itu.
Aku merebahkan diri ke kasur empuk di kamar.
Mata ini rasanya lelah sekali karena satu hari tak lepas dari kacamata. Kadang aku berpikir bahwa apa yang kulakukan tidak ada gunanya. Buang-buang waktu.
"A-aku enggak masalah ka-kalau kamu sibuk."
Sebisa mungkin aku masih ingin seperti ini.
***
Pagi ini rasanya aku ragu untuk menemui Rose.
Menjadi Leong bukanlah hal yang mudah bagiku.
Menjadi sosok pria gagap dan culun tak enak.
"Tumben belum siap-siap ke rumah Rose kamu."
Papa ternyata masih di rumah. Terlihat di teras depan sambil menikmati secangkir kopi ditemani kue basah yang entah apa namanya itu.
"Putus."
Aku melihat ekspresi terkejut Papa. Amat terkejut pasti mendengarnya. Apalagi aku terlihat begitu santai. Aku yakin beliau di kursinya sedang mencerna baik-baik info tersebut.
***
"Selamat pagi, Pak Leon," sambut orang dapur.
Sengaja aku datang Pagi-pagi ke tempat ini.
"Pagi."
Aku menuju tempat pencucian piring. Di sana kemarin Rose membuatku bahagia karena terlihat begitu semangat mencuci piring dan perabot kotor. Setidaknya dia melakukan demi menyelamatkan gengsi.
Rose yang biasanya hanya tahu beres, di restoran itu justru dikerjai. Semua pasti ada maksud dan tujuan yang baik di balik yang kulakukan kepadanya. Semoga saja setelah ini Rose menjadi sosok pantang menyerah dan gigih.
"Nanti ini siang ruangan VIP akan dipakai meeting."
"Berapa orang pesertanya?" tanyaku tak menoleh.
"Sekitar sepuluh orang, Pak," jawab sang pegawai.
Restoran ini sudah sangat lama berdiri di Jakarta.
Restoran dengan nuansa klasik yang tak begitu mewah, tetapi mengusung konsep unik.
Kenapa aku menyebutnya unik? Sebab di sini kalian bisa menikmati hidangan ala barat dan timur secara bersamaan. Dari masakan ala Jepang sampai Perancis.
"Oke."
Aku kembali menuju ruangan yang depan dan melihat ke seluruh isinya. Semua tak ada kekurangan. Sempurna. Aku jadi tak begitu merasa bersalah meninggalkan ini lama-lama.
"Nanti Kak Rose masih harus mencuci di sini?"
"Kalian gimana kemarin kesepakatannya emang?"
"Kemarin saya bilang nyicil, artinya utang dia."
"Bagus."
Aku tertawa mendengar kepala restoran mengatakannya.
Dia juga sepertinya paham maksud dari tawaku.
"Kak Rose ini aslinya manja, ya, Pak, saya lihat?"
"Begitulah."
"Nanti kalau Kak Rose datang lagi, mau diapain?"
Aku berpikir sejenak. Rasanya mengerjai orang terlalu ekstrem akan berakibat tak baik bagi semuanya. Jadi, cukuplah Rose disuruh mencuci piring.
Beberapa orang mulai berdatangan demi sarapan.
"Saya ke ruang kerja dulu," pamitku pada Kepala.
"Silakan."
Aku meninggalkan ruang depan tempat para tamu menikmati makanannya. Pergi ke ruang kerja demi memeriksa laporan penjualan yang beberapa hari lalu belum sempat kusentuh. Sesekali mataku tetap meneliti sekeliling.
"Ngopi atau ngeteh, Pak?" tanya seorang pelayan.
"Kopi."
"Kopi putih dengan sedikit gula?" tanya si pelayan.
Aku mengangguk dan langsung menuju ruanganku.
"Tolong sekalian minta nasi goreng yang pedes!"
Aku memang sengaja tak sarapan tadi di rumah.
Rasanya restoran ini menyediakan menu terenak.
Boleh saja makanan di sini ala Perancis dan sebagainya, tetapi lidah Indonesiaku tetap.
Rasanya tak ada makanan senikmat apa yang disebut kuliner ala Indonesia. Satai ayam salah satu yang kusukai. Tentu tak ketinggalan rendangnya.
"Telur setengah matang, Pak?" tanyanya mengonfirmasi.
Aku mengangguk seraya merebahkan diri sejenak.
Dalam ruangan ini memang sengaja ada ranjangnya.
Kecil saja, di sudut ruangan. Itulah yang membuatku nyaman berada di ruangan ini walau seharian, bahkan lembur. Mirip rumah tinggalku pribadi rasanya.
"Kerja itu yang nomor satu adalah tempat nyaman."
Aku menggumam sendiri. Merasa sudah memberikan yang terbaik bagi pekerja di sini dengan memberikan fasilitas terbaik. Tentu saja tujuan utamanya agar mereka nyaman.
"Kopi dan nasi goreng pedasnya datang, Pak."
Aku menjawab dengan geraman halus di ranjang.
Aku melihat pegawai itu meletakkan kopi dan makanan pesananku di mejaku. Dia tak lupa meletakkan sebotol air mineral. Sangat lucu apabila minum kopi setelah makan.
"Makasih."
Aku segera mendekati hidangan favorit di meja.
Rasanya lama sekali tak menikmati ini. Si Rose menyita banyak waktu dan fokusku hingga makanan seenak ini pun terlewat. Agak sedikit bucin sepertinya.
Dengan menatap telur mata sapi di atas nasi goreng, aku membaca doa. Meminta untuk diberikan kenikmatan dan berkah. Memaksa Tuhan memberiku segalanya.
Sesendok nasi goreng pedas itu kusuap, nikmat.
"Pak Leon!" panggil seseorang yang baru masuk.
Aku yang sedang menikmati nasi goreng, mengabaikannya.
"Apaan?"
Akhirnya aku bertanya karena pegawai di seberang mejanya itu hanya diam. Pasti takut menggangguku. Apalagi masuk tak ketuk pintu terlebih dahulu.
"Pak Kepala meminta saya untuk panggil Bapak."
Mana mungkin aku pergi sekarang? Nasi goreng ini pasti akan kehilangan rasanya setelah dingin. Jadi kusuruh pegawai itu bilang kepada Kepala agar menungguku.
Pegawai itu pun pamit. Melangkah tanpa berisik keluar ruanganku. Dia paham aku tak suka keributan, apalagi saat sedang makan atau kerja.
Setelah selesai menikmati makanan yang sudah lama tak kusentuh itu, aku segera keluar.
Satu yang kutuju, Kepala Restoran. Pasti ada satu atau beberapa hal yang penting. Akan tetapi, kupingku seperti sedang tak normal karena mendengar sebuah suara aneh.
"Suara apa itu?" gumamku mencari tahu sumbernya.
Beberapa pegawai mencegahku masuk dapur.
Beberapa pegawai menunjuk sesuatu. Di sana terlihat seorang wanita yang cantik sedang mencuci perabot kotor dan piring bekas pengunjung. Rose.
***
Sepanjang hari ini hidupku rasanya tidak membosankan.
Gara-gara mengintip Rose yang berjuang untuk menyelesaikan utang, membuatku semangat.
Mungkin aku harus memberikan sebuah penghargaan.
Untuk itu aku memesan banyak siomai di dapur.
"Siomai sudah siap, Pak," kata Si Kepala Restoran.
Terlihat satu kotak berukuran sedang itu dipenuhi siomai lengkap dengan telurnya dan sambal kacang. Pas. Sempurna dan tak kurang satu apa pun.
"Saya pulang dulu, ya," pamitku dengan sekotak sedang siomai ditentengan guna menghibur dan memberi penghargaan si gadis pejuang utang.
"Selamat berpesta siomai sama gadis itu, Pak!"
Dengan langkah lebar, aku menuju mobil dan melajukannya cepat. Berharap tidak terjebak macet. Apalagi ini jamnya orang pulang kantor.
"Rose bakalan seneng banget lihat kotak ini."
Namun, tentu saja kita manusia hanya di bibir saja kuasanya. Semua Tuhan yang menentukan apakah akan seperti tujuan atau malah meleset. Seperti saat ini, aku kecelakaan.
***
Kami akhirnya makan somay di jalanan.
Aku kesal bukan main akibat dari si tukang anu ini, rencanaku gagal. Aku gagal membuatnya kehabisan semua yang dia punya. Uang, kesabaran, dan harga diri. Ternyata dia lebih pandai bikin Si Anak Mami satu-satunya ini hilang semuanya. Terutama harapan.
Sambil makan somay, dia sesekali jadi asistenku.
"Mau minta apa lagi, Rose?" tanya Si Leong.
"Minum."
Aku menjawab dengan cuek. Tak lagi ingin memberi dia harapan palsu. Ya, biar saja. Biar dia sadar kalau aku itu enggak mau dekat-dekat dia.
"Ini."
Tahukah kalian kalau cowok sipit itu ternyata sudah mempersiapkan apa pun?
Cowok itu tersenyum manis, walau di mataku itu sama sekali enggak. Sebal. Semua rencanaku mentah begitu saja.
Somay yang kumakan jadi terasa tak enak
***
"Kenapa pada diem-dieman?" tanya Si Mami.
"Sariawan."
"I-itu tadi Rose ngajak makan di res-restoran."
"Terus?"
"Duitnya kagak ada, Mam!" jawabku kesal.
Kesal sekali aku dibuatnya hari ini ih pokoknya.
"Anak Mami jangan marah-marah, ih jelek!"
Bodo amat jelek. Toh jadi cantik juga enggak ada enaknya. Dijodohin sama Leong.
"Cantik juga ujung-ujungnya disuruh kawin sama cowok culun macam dia, hiiih!"
"Rose!"
Bodo amat! Beneran bodo amat! Aku kesal!
"U-udah biarin aja, Tan!" ujar Leong si culun.
Aku mendengar dia mencoba untuk meredakan amarah Mami yang naik. Aku benar-benar sudah bodo amat ini langsung kabur ke kamar. Mengunci dengan gemas daun pintu itu. Meski, aku sebenarnya merasa bersalah, sih.
Cuma ya biarin aja, siapa suruh Leong bikin aku kesal? Kesal dalam mode di atas normal. Hampir meledak dan ini benar-benar pengalaman pertamaku.
"Aku enggak biasa gagal kalau jailin Si Culun!"
Meski tadi sempat merasa bersalah di hati dan jiwa, nyatanya sekarang tak ada lagi. Hanya keping-keping lain di otak isinya masih sama. Jailin Leong.
"Rose!"
"Rose tidur, Mam!" jawabku lirih dan malas.
Nyatanya suara lengkingan dari luar menyiksaku.
Mau tak mau, anak cantik ini luluh. Ih rasanya pengen sekali melempar ini kunci ke wajah Mami. Cuma rasanya, kok kurang mantap.
"Sekali lagi Mami panggil kagak juga keluar—"
"Iyaaa!"
Pintu segera terbuka dan ternyata si culun Leong ada bersama Mami. Ini asli gawat! Aku enggak mau Si Culun bertindak aneh-aneh.
"Kamu mesti minta maaf ke Leong ih Rose!"
Mami apaan coba? Masa harus minta maaf ke Si Culun? Oh, duniaku terasa runtuh.
Mau bagaimana lagi, perintah Mami itu semacam titah. Jadi aku mau tak mau mengulurkan tangan. Mencoba merendahkan ego.
"Maaf!"
"Aku enggak marah sama kamu, Rose, sumpah!"
Apa aku enggak salah dengar? Dia itu lancar banget ngomongnya. Ah, tapi mungkin dia emang lagi serius saja.
Kenapa juga aku mesti mikirin cara Si Culun?
Setelah itu, aku berniat menutup lagi pintu.
"Eeeh!"
Tangan Mami ternyata lebih kilat dari Flash.
Kupingku sudah jadi target operasi. Ih rasanya sungguh seperti anak pungut. Kupingku bahkan mungkin sudah tak kuat menahan panas dan perih.
"Maaam!"
"Siapa suruh nutup pintu?" tanya Jeng Sekar.
Jeng Sekar Ayu yang ayunya enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rose.
"Kalau enggak tutup pintu nanti ada maling!"
"Emang Mami sengaja bawain maling kamu!"
Mami bawa maling? Tuhan, habis ini apa lagi cobaan yang harus kunikmati melalui tangan lentik Mami? Leong Si Culun saja aku belum sanggup untuk mengempaskannya.
Semoga setelah ini Tuhan memberiku keistimewaan.
"Rose enggak punya harta, mana ada maling yang berminat masuk ke sini, Mam?"
"Kamu sendiri tadi yang bilang," kata Mami.
Benar juga. Ah, ternyata gara-gara ini kuping kena jewer terus-terusan bisa bikin amnesia. Wah ini wajib diteliti!
"Oke... oke... Mami mau Rose ngapain lagi?"
"Temenin Leong ngobrol!" perintah Si Mami.
Rasanya somay di perutku ingin lari keluar.
"Harus banget Rose lakuin?" tanyaku negosiasi.