Bab 10: Sesepuh

1572 Kata
Aku menggeleng-geleng tiada mampu berhenti. Aku menyaksikan semua hidangan di meja itu amblas. Bukan masalah rasa yang kini dideritanya, melainkan apa KTP selembar milikku laku segitunya. Rasanya kagak mungkin! Haruskah Si Anak Mami ini mengorbankan semua gengsi? Sedangkan aku menyaksikan ekspresi puas terpancar jelas di wajah culun Si Leong. "Sumpah aku kagak ngira banget ini kejadian!" "A-apa maksud kamu, Rose?" tanya Si Leong. "Aku enggak punya duit buat bayarin ini." Sumpah aku hampir menangis karena ini. Leong terlihat sangat tenang dan tak lama kemudian dia bangkit dan pergi diam-diam. Aku yang tengah panik, dibuat makin belingsatan. Ingin rasanya kutarik tubuh itu agar tetap duduk di hadapanku. Sungguh tak ingin aku ditinggalkan seperti ini. Ini terlalu sulit diterima akal sehat. Aku melihat Leong menuju ke kasir di ujung ruangan. Mereka tampak saling bicara dengan wajah yang biasa saja. Aku hanya bisa menebak-nebak apa yang dikatakan oleh Leong kepada si kasir wanita dengan sanggul modern. "Kata Mbak Kasir, KTP kamu enggak laku." Ternyata aku sempat melamun. Kini pikiranku kembali ke dunia nyata. Di depanku sudah berdiri Leong dengan tampang tanpa dosanya itu. Rasanya semua kata makian yang tadi kusimpan dalam hati, kini mesti aku tumpahkan! "Gila banget, sih, ini!" ujarku dengan geram. Singkat saja, aku langsung menuju ke kasir. "Ini dengan Kak Rose, benar?" tanya Kasir. Ya Tuhan, ternyata Leong niat sekali menjerumuskanku. "Jadi saya harus ngapain demi bayar makannya?" Kasir itu mengajakku ke dalam ruang dapur. Beberapa karyawan tampak melihat kepadaku. Aku menunduk dan fokus ke jalanan saja. "Ini yang bisa Kak Rose kerjakan buat mencicil sebagian biaya makanannya tadi." "Mencicil?" Cobaan apa ini, Tuhan? Mana pantas ini disebut manusiawi? Seperti mirip jebakan. Aku dikejutkan oleh suara berat dari samping. "Jadi Kakak ini yang makan, tapi tak mau—" "Mohon maaf, bukan tak mau, hanya tidak punya cukup uang. Tolong tidak disamakan kedua kata itu. Artinya aja jauh beda!" "Kakak yang cantik lagi bijak, silakan diselesaikan!" Orang yang bersetelan rapi itu pergi menjauhiku. "Mau mulai dikerjakan kapan ini, Kak Rose?" Aku seperti baru disiram air es seteko penuh. "Mulai sekarang aja, Mbak!" jawabku ketus. Aku melihat si kasir tersenyum seraya pergi. "Mimpi apa aku semalam?" gumamku lagi. Dengan menarik napas panjang, aku memulainya. "Jangan sampai ada yang pecah!" ujar seseorang. Aku menoleh dan mendapati pria itu lagi. Manusia bersetelan rapi dengan kilat di rambutnya itu kini memantauku di sini. "Ngomong-ngomong kenapa harus di situ?" "Siapa?" Suara itu terdengar dingin. Sungguh menyebalkan dan membuatku ingin menyiramkan busa sabun pencuci ini. Ide bagus. Namun, demi tidak memperpanjang masa hukuman ini, rasanya mending mengalah. Aku berusaha berdamai dengan luka ini. "Akhirnya kelar juga!" ujarku lega dan takjub. "Hebat juga nona cantik ini ternyata, ya!" *** Sepanjang perjalanan pulang aku tak bicara. "Rose jangan marah, ya!" bujuk Leong ketakutan. "Sumpah aku nyesel punya ide traktir kamu!" Aku langsung berlari ke dalam guna menghindarinya. "Rose kenapa mukanya kusut banget, Leong?" "Ka-kayaknya kesel sama saya," jawab Leong. Hanya sampai situ aku mendengar Si Culun berbincang dengan Mami. Dia mungkin saja sekarang sedang sibuk bercerita tentang keseruannya tadi di restoran yang dengan tanpa dosa dan perasaan menghabiskan amat banyak makanan mahal. Sungguh dia pasti di luar sana sekarang sedang tertawa. Aku merasa sudah masuk perangkap buaya. Dari tampang, sebenarnya Leong tak jahat. Namun, siapa yang bisa menebak isi hati? "Siaaal!" Aku mengentak-entakkan kaki demi melampiaskan rasa kesal yang sudah menggunung. "Rose!" Mami pasti akan menceramahi anak cantiknya. Aku membuka kunci pintu. Urusan Si Mami mau masuk atau enggak, bukan jadi urusanku. Aku hanya ingin rebah dan aku berusaha mengubur lukaku. "Kalau enggak begini, aku bakal jadi pendendam." Aku tahu betapa tak enaknya simpan dendam. "Mami bawain martabak," kata Mami, masuk. "Kalau dari Leong mending buang aja, Mam!" Aku yang tak peduli dengan respons Mami akhirnya kena batunya. Kuping ini menjadi sasaran empuk jemari tua Mami yang gatal menyiksa anak. Tak manusiawi! Aku berusaha menahan untuk segera melepaskannya. Namun, tentu saja Mami tidak rela si anak cantiknya terbebas dari siksaan tangannya. "Salah apa Leong sama kamu?" tanya Mami. Aku bilang pun, pasti yang salah tetap anaknya. Mending diam saja dan anggaplah tak ada yang terjadi. Mending tetap diam sampai diamku bisa berubah menjadi emas seperti yang ada di pepatah. Iya tidak? "Yang salah Rose, Mam!" jawabku tak b*******h. Kulirik Mami yang kini tangannya ke piring. "Makan martabak, yuk, enak banget ini!" "Mami suruh Leong beliin Rose pasti, ya?" Mami hanya tersenyum. Senyum tak bersahabat yang kadang aku hindari. Biasanya Mami akan menyuruh aku untuk melakukan sesuatu. Namun, semoga kali ini itu tidak akan terjadi. "Kamu memangnya benar-benar ogah buat dekat-dekat anak itu?" tanyanya halus. Baru kali ini kalimat halus keluar dari mulutnya. "Kalau Rose jawab jujur, Mami marah enggak?" *** "Aku harap ini hari terakhir kamu ke sini!" "Kenapa?" Aku berkata seperti ini setelah Mami mengizinkannya. "Jujur saja, Leong, aku bakalan sibuk banget." *** "Mami sebenarnya suka sama Leong, Rose." Aku melihat mata Mami berkaca-kaca dengan jelas. Ada rasa haru yang tak dapat kutahan. Kupeluk Mami sangat erat dan mencoba memahami bahwa apa pun yang dilakukannya memang hanya demi kebahagiaanku. "Mami pasti paham kalau menikah itu berat." Mami mengangguk. Baru kali ini dia bicara dan bersikap sehalus itu. Akan tetapi, bagiku tetap tak mampu bikin hati ini luluh. "Mami paham, tapi kalian masih bisa saling mengenal satu sama lain lebih dulu." Benar kata Mami, tetapi buatku pria pilihan Mami ini tidaklah pantas buat dinominasikan. "Coba Mami ajukan calon lain supaya dibandingin!" Aku lagi-lagi kena batunya. Tangan Si Mami lagi-lagi mengaiayaku. Kali ini kepala yang menjadi korbannya. Tak ada kasihannya Mami sama aku. "Memangnya kamu mau dibandingin, Rose?" Aku menggeleng. Manalah mungkin aku mau dibandingkan dengan orang lain hanya demi seorang pria. Sedikit menggelikan buatku. "Mana mau Rose dibandingin!" ujarku sebal. Mami kembali tersenyum manis. Dia juga tak lupa mengelus kepalaku yang tadi dijitaknya keras-keras. Rasanya Si Mami benar-benar punya dua pribadi berbeda. "Kalau Rose merasa tidak suka, maka orang lain pun mungkin sama. Leong juga mungkin akan kurang suka buat dibandingkan dengan orang lain. Gitu kalau menurut pengalaman Mami di sepanjang perjalanan hidup. Mami berkata seolah-olah sudah jadi sesepuh. *** "Kalau Pak Galih enggak berkunjung, tolong jangan ada yang bilang bahwa ada anak magang di sini!" pesanku ke para pegawai. "Siap." Mereka menjawab serempak. Walau ada kebingungan di wajah beberapa dari mereka. Pasti bertanya-tanya apa sebabnya aku menutupi hal ini. Aku hanya belum ingin Papa tahu ada Rose. Aku juga masih ingin memastikan apa tujuannya bekerja di sini. Bukankah dia harusnya mengerjakan skripsi? Ya harusnya tak ada yang lebih penting selain itu, kan? Namun, mengapa dia justru bertahan di tempat ini? Padahal aku sudah mengerjainya dan kasar. "Bantu anak itu sampai dia bisa kerja, ya!" "Apa boleh dia saya 'didik' supaya ada hasilnya?" "Didik sewajarnya saja!" tegasku yang paham. "Baik." Kalau Koki sudah bilang 'didik', maka aku takut Rose bakal benar-benar jadi kuli. Aku melihat sendiri betapa kejamnya 'didikan' koki di sini. Namun, tentu itu semua dilakukan untuk mendapatkan kualitas pegawai yang mumpuni. Ada bagusnya. Namun, kalau dengan keadaan Rose yang kayak sekarang ini harus dapat 'didikan' koki, maka sudah pasti bakal berakhir kurang baik. "Ngomong-ngomong ini menu baru di sini belum jadi diuji coba ke saya, ya, kapan?" Koki senior itu terlihat berpandangan dengan beberapa asistennya. Seperti masih ada kendala yang dihadapi dan belum yakin dengan hasilnya. Kalau memang begitu, aku akan memahami itu sebagai suatu pertimbangan. "Sebenarnya kemarin masih ada yang kurang—" "Jadi mau kapan uji coba?" potongku cepat. Sekali lagi mereka tampak berembuk, serius. Beberapa saat kemudian mereka beri jawaban. "Nanti malam, selepas jam tutup, Pak Leon." "Enggak ada waktu lain?" tanyaku tak setuju. Aku ada rencana mau mengikuti Rose nanti. "Pak Leon ada acara, ya?" tanya sang koki. Akhirnya aku memutuskan untuk tak jadi melakukan uji coba lidah dalam waktu dekat. Biar saja agak ditunda di minggu-minggu ke depan. Toh, menu lain masih terus dicari penikmatnya. Setelah jam kerja selesai, aku segera keluar. "Kalau lihat Rose keluar, tolong kasih kabar." Aku berpesan ke orang-orang lama di dapur. "Baik." "Kalau sempat, tolong bikin martabak keju!" "Ditaruh kotak seperti biasanya atau enggak?" "Masih ada, kan, kotaknya?" tanyaku memastikan. Semoga martabak manis ini nantinya bisa mewakili kehadiranku. Melalui si martabak keju gondrong ini kukirim doa bagi kesembuhan Tante Sekar. Si wanita hebat yang begitu sabar dalam mendampingi anak gadisnya. Setelah beberapa saat aku menunggu di mobil, tiba-tiba ponselku berkedip, pesan. "Pak Leon, Rose baru saja keluar dari dapur." Isi pesan ini kutanggapi dengan amat lega. Pelan-pelan kuikuti langkah gontai si gadis. "Kasihan gadis manja itu," gumamku pedih. Biasanya dia hanya berteriak dan apa pun yang dibu Aku baru tahu kalau dia memang tak bekerja demi dirinya sendiri. Dia juga pasti sebenarnya tidak ingin kerja di situasi sesulit ini tanpa adanya bekal. Apalagi ketemunya dengan dapur. Dia sendiri tak pernah kenal dapur. Kasihan juga melihatnya kelelahan di sini. Melihat langkah gontainya itu menuju ruang rawat di mana sang ibu dirawat membuat hati ini sedikit tergugah. Ada beban jelas di pundak gadis manja itu. Ada kekhawatiran yang pasti selalu dia rasakan karena harus bekerja. Pasti dia khawatir dengan sang ibu pas kerja. "Kalau begini, rasanya aku harus agak baik." Dengan sikapku yang seolah-olah tak ada baiknya ke dia, pasti rasa kesal di hati gadis itu melonjak. Namun, pasti dia bertahan agar tak meledak. Pasti. "Selamat malam, Pak, mau ke bagian apa?" "Ti-tidak ke mana-mana, Pak, tadi ada teman...." Aku mencoba menjelaskan tentang Si Rose. Aku juga langsung pergi karena tidak enak. Sesampainya di mobil, aku tak lantas pergi. Aku merenung dulu, memikirkan apa yang sebenarnya sedang kuperbuat di sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN