Seharian ini aku sibuk mengejar Pak Sumardi.
"Judul kamu jelek banget, kagak ada kreatifitasnya!"
Sial.
"Ini mau bikin skripsi apa novel, Pak, sebenarnya?"
"Pokoknya tidak, judul ini enggak ada bagus-bagusnya!"
"Makanya kasih tahu saya, bagusnya gimana!"
"Pokoknya kamu cari judul yang unik, Rose!"
Begitu terus yang pria tua itu katakan kepadaku.
Rasanya aku ingin menelan manusia itu.
Andai saja aku hiu megalodon, sudah kulebarkan rahang ini supaya tubuh itu masuk ke perutku. Biar dia sadar apa yang diperbuatnya itu jahat! Aku tuh enggak bisa diginiin! Camkanlah itu baik-baik, Kisanak!
"Tolong kasih contoh judul yang unik, Pak!"
Pak Sumardi memelototiku. Matanya mengisyaratkan sebuah penolakan. Di mata tua itu aku melihat bahwa dunia begitu kejam.
"Kalau kira-kira belum terpikirkan itu boleh keluar sekarang juga, saya agak sibuk!"
Dosen macam apa yang membimbing dengan cara seperti itu? Cuma dirinya seorang sudah tentu. Sungguh sangat keterlaluan sekali!
Aku kesal dan buru-buru pamit. Hati ini rasanya kayak dikasih wasabi dan kimchi bersamaan. Panas! Pedas! Jadi lapar perutku.
Aku yang memang sudah lapar, cepat berlari.
"Aku kayaknya harus ke perpus buat riset!"
"Kamu mau ke perpus?" tanya sebuah suara.
"Iya."
Rasanya aku tak asing dengan orang ini.
"Kenal aku enggak?" tanya orang itu tersenyum.
Aku mencoba menajamkan ingatan di dalam diri yang kadang pikunnya tak tertolong.
Nyatanya memang tidak ada satu pun ingatan tentang makhluk ini. Aku jadi sedikit tidak enak badan, eh hati. Aku hanya tak suka jika dicap sombong.
Namun, untung saja sepertinya orang di hadapanku ini paham sekali jalan pikiranku.
"Akuuu...."
Baru saja menjawab sepatah kata, dia berlalu.
Aku yang baru saja ingat siapa orang itu pun bergegas menyusul langkah si pria.
"Udah inget belum?" tanya orang itu tersenyum.
"Inget lah, masa sama mantan sendiri lupa."
"Mantaaan...!"
Orang ini adalah salah satu kandidat pacarku.
"Memang mantan, kan?" jelasku yang terkekeh.
"Iya mantan, tapi tanpa pacaran," ujar si pria yang kini berjalan di sebelahku ini.
"Siapa yang mundur teratur karena si cewek banyakan ngomel sama sering morotin?"
"Ya cowok mana juga yang mau sama kamu?"
"Sembarangan kalau ngomong, suka gitu!"
"Serius aku, mana ada yang mau jadi pacarmu?"
Rasanya ingin kucincang halus bibir itu.
Entah apa yang membuatku menjadi emosional.
"Jangan aja kaget kalau lihat pacarku nanti!"
"Memangnya ada gitu yang mau sama kamu?"
Dia masih terus-menerus meledekku begitu.
"Gadis secantik Rose mana ada cowok nolak?"
"Sayangnya cowok perlu cewek yang anggun!"
"Kurang anggun gimana aku di mata cowok?"
***
"Rose udah kelar urusannya?" tanya Leong.
Aku tersenyum dengan ceria melihat Leong.
Aku langsung meraih tangan pria itu, menggelayutinya.
Aku melihat dengan jelas bahwa pria lain di hadapanku merasa sedikit tak nyaman.
***
Seperti janjiku kepada Leong, selepas urusanku selesai, aku akan mengajak makan.
"Kamu mau makan apa?" tanyaku ke Leong.
"Ma-makan apa, terserah kamu," ujar Leong.
"Kali ini aku yang traktir, kamu yang pilih!"
"Be-bener?"
"Giliran denger kata traktir langsung semangat!"
"I-iya udah terserah kamu a-aja udah makannya!"
Aku jadi tak enak sudah menyeletuk begitu.
Aku memang kadang lupa Leong itu sensitif.
Ternyata kalau Leong dandan begini ganteng.
Kenapa setiap hari penampilan yang kulihat berbeda sangat jauh dari kali ini?
Sebenarnya mana penampilan Leong sesungguhnya?
Yang biasa kulihat atau justru malah ini?
Kali ini dia berpenampilan seperti ini aku yang memintanya. Apa lagi kalau bukan karena makhluk yang kutemui tadi itu? Coba kalau aku tak bertemu dia tadi, pasti Leong sudah pasti akan kuusir atau setidaknya kuabaikan.
"Kamu yang pilih sekali-kali!" kataku tegas.
Anggaplah aku sedang membalas apa yang dia lakukan untukku tadi. Jelas aku yang harus mengikuti keinginan Leong kali ini. Hitung-hitung belajar mengenal apa yang disukai cowok itu.
Selama ini Leong begitu perhatian ke aku.
"Ja-jangan nyesel kalau aku yang pilih nanti!"
"Asal jangan yang mahal-mahal kayak kaviar!"
Aku melihat wajahnya sangat ganteng sekarang.
Rasanya mataku mulai kurang fokus ini.
"Aku enggak pernah kepengen makan itu."
Mendengar kalimat lancar itu diucap dengan santai oleh Leong dalam baju dan penampilan yang sangat berbeda membuat seolah-olah aku sedang ada bersama orang lain. Sungguh sangat normal dan mengagumkan. Sumpah!
"Jalan sekarang biar jangan kesorean pulangnya!"
"Oke."
Lagi-lagi mobil melaju dengan diiringi Christina Perri dengan lagu romantis itu.
Berhubung aku lagi ogah kasar-kasar, jadi kubiarkan saja. Malah dalam hati ikut bersenandung. Tentu saja sambil membayangkan sesuatu yang manis.
"Rasanya hari ini adalah yang paling indah."
Aku tersenyum melihat Leong yang di hadapanku.
"Kamu tahu kenapa aku enggak bisa jauh-jauh dari kamu, Tuan Putri Rose Tercinta?"
"Kenapa?"
Aku menanti jawaban yang akan dia berikan.
"Rose!"
Aku merasakan hawa panas di telinga kiri.
"Astaga!"
Ternyata wajah Leong sudah berada di sana dengan mata yang menatapku tajam.
Ternyata tadi hanya sebuah ilusi, tak lebih!
"Ngelamun mulu dari tadi!" ujar pria itu.
Entah ini masih ilusi atau kenyataan, yang jelas bukan hanya penampilan luar saja Leong berbeda, bahkan cara bicaranya pun benar-benar sempurna dan membuatku terkagum-kagum tak henti-hentinya sedari tadi.
Aku melangkah di samping Leong. Di sampingnya seperti biasa, tetapi kali ini rasanya sungguh berbeda. Getar di hati ini seperti kidung cinta.
"Ki-kita makan di sini?" tanyaku sinis, terkejut.
Mana mungkin aku akan mentraktir beginian?
"Kamu yang nyuruh aku pilih," jawab Leong.
Matilah!
"Ta-tapi bu-bukan di restoran mahal juga!"
"Di sini kagak ada kaviar," ujar Leong santai.
Ya ampun, Tuhan, ujian apa ini? Aku rasanya ingin memingsankan diri di sini saat ini. Apalah dayaku, tubuh itu terus membawa masuk semakin jauh.
"Leong tolong jangan lanjut!" cegahku takut.
Namun, tangan ini terus diseret. Tak ada lagi yang bisa menolongku. Ingin rasanya kumenangis seraya berlari ke hutan dan berteriak.
Rasanya duniaku runtuh seketika. Ini semua gara-gara Leong. Semua serba sial.
"Silakan duduk, Tuan Putri!" ujar pria itu.
Ya Tuhan, boleh tidak sebenarnya ini aku mengingkari janji? Rasanya janji ini terlalu berat untuk ditepati. Amat.
"A-aku tiba-tiba kenyang, Leong, kita pulang—"
"Yang mau makan aku, bukan kamu, kan?"
"I-iya juga, sih," jawabku dengan tak berdaya.
Baiklah Tuhan, ini akan menjadi janji terakhirku!
"Mbak!"
Leong memanggil pelayan. Senyum di bibirnya terus mengembang. Sangat terlihat bahwa dia sedang menikmati penderitaanku ini.
Rasanya aku sudah dijatuhkan ke laut yang luas, masih diberi beban sebuah batu besar. Maka sudah pasti tubuhku akan tenggelam dalam lautan luka.
"Saya enggak pesan, Mbak, diet ketat soalnya!"
Mbak pelayan itu hanya mengangguk kepadaku.
Leong dengan santai menunjuk menu mereka.
Sungguh tanpa ampun rasanya wajah ini dikucuri kotoran burung. Itu yang cocok diibaratkan keadaanku saat ini. Mengenaskan dan tak tertolong.
Entah apa saja yang dipesan Leong ke pelayan.
Suasana restoran mulai banyak yang datang.
Apa jadinya jika aku nanti tak mampu membayar?
Haruskah kubayar dengan selembar KTP?
"Silakan pesanannya, Pak," kata Mbak Pelayan.
"Terima kasih banyak, Mbak," jawab Leong.
"Banyak banget kamu pesan?" lirihku serak.
Dia hanya tersenyum. Senyum manis. Sayangnya bagiku senyum itu terlalu pahit.
"Kita harus makan banyak," jawab Si Culun.
"Kalau sampai ini enggak habis, kamu bayar sendiri! Aku enggak mau tahu! Oke?"
"Oke!"
***
Hari ini Mami sudah lebih baik. Kata Si Dokter yang memeriksanya tadi, Mami sudah diperbolehkan pulang. Kondisi Si Mami berangsur bugar.
"Akhirnya Mami bisa pulang," seru sang mami.
Ceria.
Akhirnya memang kami sedang dalam perjalanan menuju rumah. Untungnya tadi Vivi membantuku untuk mengurus administrasi sehingga tak mengganggu waktu kerjaku. Setidaknya aku datang, Mami sudah siap pulang.
Aku memeluk wanita itu dengan amat gembira.
"Mami siap pulang?" tanyaku ke Mami, semangat.
"Mami udah kangen rumah," jawabnya bergetar.
Tentu saja aku pun kangen rebahan di rumah.
Namun, kusadari ini bukan saatnya ke kasur.
"Kalau gitu, mari kita pulang!" teriakku tertahan.
Tentu saja aku tak berani teriak dengan kencang.
Kami memang masih di kamar rawat di mana pasien lain banyak yang istirahat siang.
"Biar aku aja yang dorong Tante Sekar, Rose!"
Mami memang sengaja kusuruh naik di kursi roda untuk ke lobi rumah sakit. Di sisi lain sebenarnya Mami menolaknya karena merasa sudah sehat. Memang di situ benar, tetapi tetap tak ada salahnya menggunakan kursi roda agar tenaga Si Mami sedikit lebih awet. Setidaknya tak mudah pingsan lagi.
"Sebenarnya Tante mau jalan," katanya, merayu.
"Jangan maksain, Tan!" ujar Vivi sabar sekali.
Mami akhirnya mengalah dengan kami berdua.
Suara gesekan roda dengan keramik di lorong rumah sakit mulai terdengar. Di sisi kanan kiri kami ditumbuhi pohon dan tanaman hias lainnya sehingga ada angin yang segar karenanya. Sungguh mampu membuat otak kembali normal.
Mobil yang menjemput kami sudah ada di lobi rumah sakit. Sang sopir terlihat keluar untuk membukakan pintu agar Mami bisa lekas naik mobil. Bersyukur karena mendapat sopir taksi yang tidak cuek kepada pelanggan.
"Terima kasih, Pak," ucap Mami kepada Sopir.
Si sopir tersenyum, tak lupa menjawab Mami.
"Sama-sama."
"Nanti kita mampir ke toko buah dulu, Pak!"
"Baik."
Aku berniat membeli buah-buah yang merah.
"Enggak usah hambur-hamburin uang, Rose!"
Mami kemungkinan takut aku bakalan kehabisan uang jika membeli buah. Ya benar juga, tetapi tetap saja bukan tak boleh aku belanja buah, kan? Buah ini kuniatkan untuk membuat Mami lebih sehat dan bugar.
Masalah uang, nanti pasti ada jalannya lagi.
Beberapa menit melaju, akhirnya toko buah tampak di sisi kanan. Kami sesaat berhenti demi beberapa kilo buah. Dua jenis beri-berian kuambil tanpa pikirin harga karena memang uangnya sudah kusiapkan terlebih dulu.
Setelah membayar, aku langsung balik menuju mobil di mana Mami bersama Vivi.
Sopir pun kusuruh jalan supaya waktu kami tak terbuang banyak. Mengingat aku harus kembali ke restoran tak lebih dari setengah jam lagi. Untuk itu semua harus cepat supaya tak kena marah bos.
Mobil berjalan dengan cepat dan kami pun sampai di rumah. Rumah kami nan asri dan terawat. Akan tetapi, beberapa hari Mami dirawat di rumah sakit bikin tanaman bunga di halaman layu. Amat menyedihkan memang.
"Sampai juga di rumah," seruku dengan takjub.
"Kamu sempetin istirahat dulu," kata Si Mami.
"Rose mesti balik ke tempat kerja cepet, Mam."
"Kamu pasti kecapekan," desah wanita itu.
"Mami jangan khawatir, Rose masihlah muda!"
"Makan yang teratur, ya!" pesan Mami serius.
"Mami juga harus makan teratur walau enggak ada Rose di rumah," pesanku ke Mami.
Vivi membantuku merapikan beberapa titik di rumah ini yang sedikit membuat kurang nyaman karena kotor. Aku dan Mami langsung menuju kamar supaya wanita kesayanganku ini bisa rebahan. Aku khawatir kalau Mami beraktivitas berat malah kecapekan lagi. Sementara uang untuk operasi belum kelihatan di mana.
Jadi aku menjaga banget supaya Mami sehat.
***
"Kamu dari mana saja jam segini baru datang?"
"Saya dari rumah sakit, Pak," jawabku pelan.
"Kamu sakit apa?" tanya Pak Bos tanpa ekspresi.
Aku sebenarnya malas menjawab andai dia bukan bos. Nada pertanyaannya itu sama sekali enggak ada empati. Dingin.
"Saya sehat-sehat saja, Pak," jawabku ke bos.
"Terus ngapain ke sana?" tanya Pak Bos lagi.
"Jemput ibu saya pulang," jawabku tak semangat.
Aku melirik pria yang memakai setelan itu.
"Ibumu dokter atau perawat?" tanyanya lagi.
"Ibu saya baru selesai dirawat," jelasku geregetan.
Mata pria itu terlihat naik. Meski pakai kacamata hitam, tetapi otot di samping mata itu terlihat naik. Mungkin mikirin keadaanku atau Mami.
"Sakit apa memangnya Mami?" tanya Si Bos.
"Mami?"
Aku kaget karena dia menyebut 'Mami' tiba-tiba.
Namun, wajah itu tertangkap kayak ada kegugupan.
"Maaf kebiasaan di rumah," kilahnya ke aku.
"Oh."
"Maksud saya, ibumu sakit apa?" tanya Bos.
Aku jelaskan sedikit bahwa Mami agak kecapekan.
"Nanti saya titip vitamin buat ibumu di rumah."
"Vitamin apaan, Pak?" tanyaku bingung mendengarnya.
Entah kenapa aku merasa bos ini agak aneh.
"Vitamin biar ibumu sehat," katanya tak bereskpresi.
Sedikit terharu aku mendengarnya. Tak kusangka bos yang nyebelin itu peduli sama Mami. Repot-repot mau kasih dia vitamin segala.
Semoga ini pertanda baik. Meski uang yang kubutuhkan untuk pengobatan Si Mami tidak sedikit, tetapi kalau bosnya begini aku jadi semangat. Optimis.
Pak Bos terlihat pergi setelah bilang itu tadi.
Lumayan lega hatiku. Kukira akan ada hukuman karena terlambat balik kerja sekitar 5 menit. Ternyata hanya ditanya dari mana.
"Semoga enggak ada lagi hal aneh dari Bos!"
"Kamu bilang apa barusan?" tanya Bos tiba-tiba.
Ternyata pria itu sudah kembali berdiri mematung.
Jarak kami hanya beberapa puluh senti, mampus!
"Pak Bos ada di situ ternyata," lirihku di tempat.
Dia kembali mendekatiku dengan mata masih tertutup kacamata hitamnya. Ya, tetapi aku menebak dia sedang lurus ke arahku tatapannya. Bikin deg-degan.
Sumpah ini macam adegan slow motion film.
"Mana hafalan menu kamu?" tanya Pak Bos.
Mampuuus!
Bagaimana ini? Sedangkan aku sibuk di rumah sakit dan lupa untuk menghafal menu yang sudah disepakati. Habislah.
Rasanya ingin kutampar ini wajah dan berharap tak mengulangi kesalahan ke depannya.
Aku belum berani membuka mulut dan sedang berusaha menata kata-kata. Ya ssiapa tahu Pak Bos berbaik hati untuk mengampuni kelalaianku ini. Semoga.
"Mohon maaf, Pak, saya belum hafalin menunya."
Hening.
Tak sanggup rasanya aku mendengar Si Bos.
Semoga ada sebuah keajaiban. Semoga malaikat baik hati melindungiku. Mata ini terpejam saking takutnya dengan Si Bos dan ucapan apa yang akan diucap.
Rasanya langit mendadak ingin runtuh, kiamat.
"Jadi?"
Habis sudah riwayatku. Rasanya Tuhan cepat sekali mencabut rasa optimis ini dari hatiku. Rasanya Tuhan mengujiku.
Boleh enggak, sih, ada gempa biar aku lari?